Powered By Blogger

Sabtu, 29 Mei 2010

teori Sheppard Lemma

Shephard's Lemma: Hicksian Demand and the Expenditure Function

We can also estimate the Hicksian demands by using Shephard's lemma which stats that the partial derivative of the expenditure function Ι with respect to the price i is equal to the Hicksian demand for good i. The general formula for Shephards lemma is given by
For good one we get: We know since previously that the Hicksian demand for good one is given by Which can be written as This means in order for Shephards lemma to work the partial derivative of the expenditure function Ι with respect to the price of good one must be equal to this expression. Our expenditure function is given by If we substitute in the expressions for the Hicksian demand for good 1 and good 2 we get

The partial derivative of the above function with respect to the price of good one is therefore given by

Which can be written as
Which we can see is the same expression that we had previously for the Hicksian demand for good one given by Which means that Shephards Lemma seams to work for good one.
For good two we get: We know since previously that the Hicksian demand for good two is given by Which can be written as
This means in order for Shephards lemma to work the partial derivative of the expenditure function Ι with respect to the price of good two must be equal to this expression. Our expenditure function is given by If we substitute in the expressions for the Hicksian demand for good 1 and good 2 we get
The partial derivative of the above function with respect to the price of good two is therefore given by

Which can be written as

Which we can see is the same expression that we had previously for the Hicksian demand for good two given by. Which means that Shephards lemma seams to work for good two as well.

Perkembangan Dalam Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Volume 18, 1991
PEMODELAN BIAYA JANGKA PENDEK MENGGUNAKAN DAN FUNGSI PRODUKSI SHEPPHERD'S lemma BISNIS DI Simulasi Komputerisasi
Steven C. Emas Rochester, Institut Teknologi
ABSTRAK
Makalah ini mengembangkan suatu algoritma untuk menjalankan model-biaya jangka pendek dan fungsi produksi menggunakan Sheppard's lemma dalam simulasi usaha komputerisasi. Algoritma ini diambil menggunakan teori dualitas untuk menjaga konsistensi antara teknologi produksi dan hubungan biaya perusahaan. Fungsi biaya jangka pendek ditampilkan tergantung pada: variabel faktor harga, tingkat produksi, dan tingkat faktor tetap. Sheppard Lemma diterapkan untuk menurunkan biaya meminimalkan tingkat permintaan masukan berdasarkan karakteristik dari fungsi biaya jangka pendek. Sebuah sistem yang direkomendasikan persamaan disajikan dan dibahas untuk mensimulasikan model teoritis perusahaan. Sebuah contoh numerik diberikan untuk menggambarkan bagaimana parameter dari himpunan persamaan dapat diestimasi dan bagaimana fungsi berperilaku.Sistem ini terbukti menjadi fleksibel dan dapat diterapkan untuk model beragam struktur biaya.
MASALAH DAN TUJUAN
Dalam makalah mani, Kenneth Goosen (1981) mendorong desainer simulasi untuk lebih terbuka tentang cara di mana mereka memiliki model simulasi mereka. Dia mencatat bahwa sebelum tahun 1981 hanya enam belas kertas profesional ditangani dengan masalah desain dalam menciptakan simulasi algoritma yang diwujudkan dalam simulasi akan membantu tidak hanya bagi individu yang tertarik untuk mengembangkan simulasi tetapi juga untuk pengguna simulasi.
Pengguna simulasi kadang-kadang bingung tentang hasil tim memainkan. Banyak pertanyaan yang diajukan tentang kinerja simulasi, seperti: "Mengapa saya jatuh keuntungan? Apa yang menyebabkan biaya pokok penjualan saya meningkat begitu cepat LaBarre? Atau Mengapa ada seperti penurunan saham besar di permintaan pasar nilai? "Beberapa desain Meskipun isu telah dibahas terakhir di tahun mereka tergolong terutama ke samping (lihat Decker, , & Adler (1987), Frazer (1983); Emas & Berdoa (1983, 84), Golden (1987), Goosen (1986); Lambert & Lambert (1988); Mengajar (1989, 1990); dan Thavikulwat (1988) )). Sebuah kertas oleh Thavikulwat (1989 adalah salah satu upaya pertama di hati-hati pemodelan sisi penawaran perusahaan, dan ia mengatakan: "Masalah pasokan pemodelan cenderung. harus diabaikan (p.37) Namun, di sisi penawaran pemodelan menyajikan isu-isu yang setidaknya sama terlibat sebagai orang dari sisi permintaan p.37. "()
Dalam makalah ini desain dan hubungan produksi dan struktur biaya dalam simulasi bisnis komputerisasi akan dibahas. Menurut sebuah studi oleh Whitney, et. al. al (1990) pengelolaan teknologi menjadi fokus perhatian di banyak sekolah bisnis. Hal ini menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana teknologi dimodelkan dalam bisnis dan manajemen simulasi. Review dari sejumlah simulasi bisnis kontemporer oleh Emasdan Berdoa (1989) mengidentifikasi masalah dalam proses desain teknologi produksi dalam beragam simulasi bisnis. Hampir semua simulasi ditampilkan ditinjau hubungan linear antara produksi dan biaya baik dalam jangka pendek dan jangka panjang, yang menyiratkan hasil konstan
masukan variabel dan tidak ada ekonomi-of-skala dalam struktur biaya. Hal ini kontras dengan berbagai kajian ekonomi yang menunjukkan bahwa skala ekonomi yang luas di industri (lihat Walters (1963)).
Emas dan Berdoa (1989) juga mencatat bahwa ada ketidakkonsistenan antara pemodelan produksi dan struktur biaya yang tersirat dari perusahaan simulasi. Beberapa desainer model skala ekonomi dengan mengubah harga input sekaligus menjaga produktivitas konstan. Meskipun pendekatan ini mungkin tampaknya cukup memungkinkan produktivitas menjadi konstan dan, secara bersamaan, rata-rata
biaya untuk menolak. Meskipun hasil ini adalah mungkin, adalah tidak kasus umum. teori dualisme menyatakan bahwa skala ekonomi diturunkan, lebih umum, dari hasil yang meningkat dalam proses produksi diberikan faktor harga tetap. Dalam upaya untuk mengatasi masalah ini Gold (1990) mengembangkan sistem untuk model struktur biaya perusahaan dengan cara konsisten dengan teori dualitas. Namun, struktur biaya yang dikembangkan oleh Gold adalah analisis jangka panjang dan diasumsikan semua faktor produksi variabel. Karena semua perusahaan beroperasi dengan kendala tetap dalam jangka pendek adalah
penting untuk menilai dampak ukuran tanaman dan keterbatasan kapasitas pada biaya perusahaan. Tujuan makalah ini adalah untuk mengatasi masalah ini dan menggabungkan jangka pendek dengan faktor-faktor produksi yang tetap dalam pemodelan biaya dan fungsi.
METODOLOGI
Pendekatan yang diambil dalam makalah ini memungkinkan desainer untuk menentukan hubungan biaya penginapan f pertama dan kemudian berasal, bersama-sama, tingkat penggunaan input dan fungsi produksi ditunjukkan oleh struktur biaya. Pertama, menjamin bahwa perilaku fungsi produksi akan konsisten dengan struktur biaya perusahaan. Kedua, menggunakan informasi biaya daripada data produksi untuk model perusahaan.Biaya informasi lebih dapat diakses di terbitkan sumber dari data produksi. Karena metodologi dalam makalah ini menggunakan informasi biaya untuk mengembangkan fungsi biaya, yang pertama, dan kemudian berasal tersirat
teknologi produksi, lebih mudah untuk mensimulasikan dan tidak memerlukan data produksi. Lebih khusus lagi metodologi yang meliputi:
1. Menurunkan fungsi biaya jangka pendek umum berdasarkan sifat teoritis dari teori dualitas dan Sheppard Lemma. Jangka-pendek adalah hati-hati dibedakan dari karakteristik biaya jangka-panjang perusahaan.
2. . Mengembangkan sistem persamaan direkomendasikan untuk pemodelan-biaya jangka pendek dan fungsi produksi. Sistem disarankan persamaan menjaga hubungan dual antara biaya produksi dan karakteristik perusahaan.
3. Menetapkan prosedur untuk mengestimasi parameter dari sistem persamaan berdasarkan spesifikasi apriori desainer. Contoh numerik diberikan untuk menggambarkan prosedur dan menunjukkan karakteristik dari bentuk fungsional.
4. Simulasi set persamaan dan menurunkan teknologi produksi tersirat diberikan estimasi parameter sistem. Contoh numerik digunakan untuk menggambarkan bagaimana sistem berperilaku.
MENURUNKAN ATAS FUNGSI BIAYA JANGKA PENDEK UMUM
Fungsi biaya tergantung pada teknologi produksi perusahaan. Dengan asumsi satu input tetap, peralatan modal, dan dua input variabel, tenaga kerja dan material, kita dapat mengekspresikan fungsi produksi secara umum sebagai:
Q = f(K, L, M) (1) Q = f (K, L, M) (1)
mana Q = kuantitas yang dihasilkan (unit)
K = modal tetap (unit)
L = tenaga kerja (jam)
M = bahan (pon)
tunduk pada-jangka pendek kendala bahwa modal adalah tetap:
K = K = tetap (2) Dalam jangka pendek biaya total f dapat dibagi ke dalam variabel dan biaya tetap. TC TFC + TVC (3), TFC = (PK) K (4), TVC = (Pl)L + (Pm)M (5) di mana: TC total biaya ($ / periode) TFC = total biaya tetap ($ / periode) ,TVC = Biaya variabel total ($ / periode)
Pk = harga modal ($ / unit)
P1 = harga tenaga kerja ($ / jam)
p3 = harga mat'1 ($ / lb)
Membagi kedua sisi persamaan biaya (3, 4, 5) oleh kuantitas yang dihasilkan Q, kita mendapatkan:
ATC = AFC + AVC (6)
AFC = PK / APK (7)
AVC = P1/Api + Pm / AP (8)
dimana: ATC = total rata-rata biaya
AFC = biaya rata-rata tetap
AVC = biaya variabel rata-rata
APK = produk rata-rata modal = Q / K
Q/L APL = produk kerja = Q / L
AP = rata-rata produk dari mat'l = Q / M
Persamaan (6-8) menggambarkan hubungan dual antara produksi dan biaya dalam jangka-pendek. total biaya rata-rata (ATC) adalah matahari biaya tetap rata-rata (AFC), ditambah biaya variabel rata-rata (AVC). Rata-rata biaya tetap dan biaya variabel rata-rata berbanding terbalik dengan produk rata-rata dari input masing-masing. Sebagai produk rata-rata modal (APK) meningkat, AFC akan menurun. As the average product of labor (APi) or material (AP.) Sebagai produk rata-rata tenaga kerja (API) atau material (AP.) meningkatkan AVC akan berkurang.
Biaya marjinal jangka-pendek persamaan mungkin diturunkan dengan mengambil turunan dari TVC terhadap Q sejak produk marjinal dari faktor tetap, K, adalah nol:
MC = P1/MP1 + P/MPm (9) MC = P1/MP1 + P / MPM (9)
dimana: MC = biaya marjinal produksi
MP1 = produk marginal tenaga kerja = dQ / dL
MPM = marjinal produk dari bahan = dQ / dm
Persamaan 9 menunjukkan jangka pendek biaya marjinal (MC) yang berbanding terbalik dengan produk marjinal dari input variabel. Produk marjinal input tetap adalah nol dalam jangka-pendek dan tidak termasuk. Sebagai produk marjinal tenaga kerja atau meningkatkan bahan, MC akan menurun.
Menerapkan pendekatan disajikan oleh Sheppard (1970) mungkin menunjukkan bahwa biaya dapat dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat harga input dan produksi. Langkah pertama adalah merumuskan persamaan Lagrangian untuk meminimalkan total biaya variabel, persamaan 5, dikenakan tingkat output tertentu, fungsi produksi, persamaan 1, dan kendala masukan tetap, persamaan 2:
Z = (P1) L + (Pm) M + q (Q - f (L, M, K)). + K (K - K)) * (10)
dimana: q = pengali Lagrangian kendala Q
k = pengali Lagrangian kendala K
Meminimalkan biaya penggunaan input maka dapat diperoleh dengan menetapkan derivatif parsial dari persamaan Lagrangian (Z) terhadap masukan sama dengan nol, memberi kita urutan pertama kondisi sebagai berikut:
dz / dL P1 = - g (dQ / dL = 0 (11)
dz / DM = Pm - g dQ / dm = 0 (12)
dz / dq = Q - f (L, M, K) = 0 (13)
dz / dk = K-K * = 0 (14)
Memecahkan persamaan set secara bersamaan, dan menggantikannya ke dalam persamaan 1, fungsi biaya umum dapat ditulis sebagai:
(15) TVC = f (P1, Pm, Q, K) (15)
Persamaan 15 menunjukkan bahwa total biaya variabel dapat dinyatakan sebagai fungsi dari harga input, produksi, dan tingkat modal, tanpa secara langsung menentukan tingkat penggunaan input.
Tingkat masukan menggunakan saya akan diturunkan dengan menerapkan Sheppard Lemma. Sheppard (1970) membuktikan bahwa permintaan untuk variabel input dapat diperoleh dengan membedakan fungsi biaya berkenaan dengan harga input variabel. Mengingat fungsi biaya umum, persamaan 15, dan menerapkan Sheppard Lemma kita mendapatkan:
L = d (TVC) / dpl (16)
M = d (TVC) / dpm (17)
Persamaan 16 menetapkan bahwa jumlah tenaga kerja yang digunakan oleh perusahaan dapat ditentukan melalui fungsi biaya dengan mengambil derivatif dari total biaya variabel terhadap harga tenaga kerja Demikian pula, persamaan 17 menentukan kuantitas bahan yang digunakan oleh perusahaan adalah turunan dari total biaya variabel terhadap harga bahan.
Sheppard Lemma adalah alat teoritis yang kuat untuk desain biaya dan fungsi produksi. Setelah fungsi biaya yang ditentukan, permintaan untuk input (tenaga kerja dan bahan) dapat dipastikan dengan cara yang konsisten dengan teori dualitas. Dalam hal ini, kenaikan biaya variabel rata-rata atau biaya marjinal akan berarti penurunan rata-rata produk atau produk marjinal dari input variabel (seperti yang dijelaskan oleh persamaan 8 & 9).
Elastisitas produksi atau kembali ke input variabel (E) adalah diukur dengan rasio-lari ke MC AVC pendek, sehingga: E = AVC/14C (18) Jika E> 1 maka hasil yang meningkat ke input variabel ada.. Meningkatkan kembali menyiratkan AVC melebihi MC. Jika E <1 kemudian menurun kembali ada, menunjukkan MC melebihi AVC. Jika E = 1 maka ada elastisitas output konstan, AVC = MC, dan AVC diminimalkan.
Secara umum, diharapkan bahwa pada tingkat rendah output perusahaan akan mampu mencapai peningkatan kembali, dan setelah beberapa point dari hasil yang menurun hanya akan dapat memperoleh hasil yang menurun ke input variabel.
A. JANGKA PENDEK SISTEM BIAYA
Untuk kejelasan eksposisi, input variabel dua dan satu input tetap akan digunakan untuk menggambarkan fungsi, tetapi model yang dapat dengan mudah digeneralisasikan ke sejumlah argumen. Fungsi biaya jangka pendek adalah perkalian di alam dan cukup fleksibel untuk model peningkatan dan penurunan kembali ke variabel input, tingkat tetap diberi modal:
Biaya multiplikatif Fungsi
a2 a3 (a4 + a5Q - a6K) A7
TVC = al (P1) (Pm) QK (19)
TC = TVC + (PK) K (20)
dimana: TVC = total biaya variabel
TC = total biaya (variabel + biaya tetap)
Ai = parameter; i = 1-7
P1 = harga input tenaga kerja
Pm = harga input mat'1
Q = kuantitas yang dihasilkan
K = modal peralatan
. Karakteristik penting dari persamaan 19 adalah bahwa biaya variabel total, TVC, tergantung pada tingkat faktor tetap, K. Meskipun ini menambah kompleksitas fungsi, itu membuat fungsi yang lebih realistis dan mengikuti dari asumsi non-keterpisahan antara variabel dan faktor-faktor produksi yang tetap. Seperti dijelaskan oleh Bernt dan Christensen (1973) nonseparability ada dalam berfungsi bila tingkat marjinal substitusi antara dua faktor variabel (L dan M) adalah tergantung pada faktor tetap (s), K. Asumsi ini diperlukan untuk mewujudkan ekonomi atau
disekonomis skala dalam struktur biaya. Skala ekonomi menunjukkan bahwa AVC akan turun dalam jangka-panjang dengan peningkatan modal, K. Sebuah studi oleh Walters (1963) menyimpulkan bahwa skala ekonomis adalah karakteristik dari hampir semua operasi manufaktur.
Bentuk fungsional perkalian dari persamaan biaya membuat parameter yang relatif mudah untuk menafsirkan, dan merupakan fungsi stabil dan fleksibel untuk keperluan simulasi. Al parameter hanyalah sebuah faktor skala untuk memperoleh tingkat biaya yang diinginkan. Parameter a2 dan C adalah elastisitas harga input dan menunjukkan proporsi biaya input terhadap total biaya variabel.
Istilah eksponen (a4 + a5Q - a6K) terkait dengan Q, memungkinkan untuk elastisitas biaya variabel yang berkaitan dengan kedua output, Q, dan modal, biaya variabel elastisitas K. diperlukan untuk model peningkatan dan penurunan kembali ke variabel input.. Elastisitas kenaikan biaya sebagai tingkat kenaikan tingkat produksi atau modal menurun. Akhirnya, parameter A7 dampak elastisitas modal, yang menentukan, sebagian, TVC sensitivitas terhadap perubahan tingkat faktor tetap.
Elastisitas output (E) dapat diturunkan dari persamaan 18 sejak E = AVC / MC = (TVC / Q) / (TVC / dQ). dimana: biaya total TC ($ / periode) TFC = total biaya tetap ($ / periode), TVC = Biaya variabel total ($ / periode) , Pk = harga modal ($ / unit) , P1 = harga tenaga kerja ($ / jam) ,p3 = harga mat'1 ($ / lb) . Membagi kedua sisi persamaan biaya (3, 4, 5) oleh kuantitas yang dihasilkan Q, kita mendapatkan:
ATC = AFC + AVC (6)
AFC = PK / APK (7)
AVC = P1/Api + Pm / AP (8)
dimana: ATC = total rata-rata biaya
AFC = biaya rata-rata tetap
AVC = biaya variabel rata-rata
APK = produk rata-rata modal = Q / K
APL = produk dari tenaga kerja = Q / L
AP = rata-rata produk dari mat'l = Q / M
Persamaan (6-8) menggambarkan hubungan dual antara produksi dan biaya dalam jangka-pendek. total biaya rata-rata (ATC) adalah matahari biaya tetap rata-rata (AFC), ditambah biaya variabel rata-rata (AVC).. Rata-rata biaya tetap dan biaya variabel rata-rata berbanding terbalik dengan produk rata-rata dari input masing-masing. Sebagai produk rata-rata modal (APK) meningkat, AFC akan menurun. Sebagai produk rata-rata tenaga kerja (API) atau material (AP.) meningkatkan AVC akan berkurang.
Biaya marjinal jangka-pendek persamaan mungkin diturunkan dengan mengambil derivatif dari TVC terhadap Q sejak produk marjinal dari faktor tetap, K, adalah nol:
MC = P1/MP1 + P / MPM (9)
dimana: MC = biaya marjinal produksi MP1 = produk marginal tenaga kerja = dQ / dL MPM = marjinal produk dari bahan = dQ / dm
Persamaan 9 menunjukkan jangka pendek biaya marjinal (MC) yang berbanding terbalik dengan produk marjinal dari input variabel. Produk marjinal input tetap adalah nol dalam jangka-pendek dan tidak termasuk. Sebagai produk marjinal tenaga kerja atau meningkatkan bahan, MC akan menurun.
Menerapkan pendekatan disajikan oleh Sheppard (1970) mungkin menunjukkan bahwa biaya dapat dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat harga input dan produksi. Langkah pertama adalah merumuskan persamaan Lagrangian untuk meminimalkan total biaya variabel, persamaan 5, dikenakan tingkat output tertentu, fungsi produksi, persamaan 1, dan kendala masukan tetap, persamaan 2:
Z = (P1) L + (Pm) M + q (Q - f (L, M, K)). + K (K - K)) * (10)
dimana: q = pengali Lagrangian kendala Q
k = pengali Lagrangian kendala K
Meminimalkan biaya penggunaan input maka dapat diperoleh dengan menyetel parsial
turunan persamaan Lagrangian (Z) terhadap masukan sebesar
nol, memberi kita urutan pertama kondisi berikut:
dz / dL P1 = - gram (dQ / dL = 0 (11)
dz / DM = Pm - g dQ / dm = 0 (12)
dz / dq = Q - f (L, M, K) = 0 (13)
dz / dk = K-K * = 0 (14)
Memecahkan persamaan set secara bersamaan, dan menggantikannya ke dalam persamaan 1, fungsi biaya umum dapat ditulis sebagai:
TVC = f(P1, Pm, Q, K) (15) Equation 15 shows that total variable costs may be expressed as a function of input prices, production, and the level of capital, without directly specifying the level of input use. TVC = f (P1, Pm, Q, K) (15) Persamaan 15 menunjukkan bahwa total biaya variabel dapat dinyatakan sebagai fungsi dari harga input, produksi, dan tingkat modal, tanpa secara langsung menentukan tingkat penggunaan input. Tingkat masukan menggunakan saya akan diturunkan dengan menggunakan Sheppard Lemma. Sheppard (1970) membuktikan bahwa permintaan untuk variabel input dapat diperoleh dengan membedakan fungsi biaya berkenaan dengan harga input variabel. Mengingat fungsi biaya umum, persamaan 15, dan menerapkan Sheppard Lemma kita mendapatkan:
L = d (TVC) / dpl (16)
M = d (TVC) / dpm (17)
Persamaan 16 menetapkan bahwa quby perusahaan dapat ditentukan melalui fungsi biaya dengan mengambil derivatif dari total biaya variabel terhadap harga tenaga kerja. Demikian pula, persamaan 17 menentukan kuantitas bahan yang digunakan oleh perusahaan adalah derivatif dari total biaya variabel terhadap harga bahan. Sheppard Lemma adalah alat teoritis berkuasa untuk desain dan fungsi biaya produksi. Setelah fungsi biaya yang ditentukan, permintaan terhadap input (tenaga kerja dan bahan) dapat dipastikan dengan cara yang konsisten dengan teori dualitas. Dalam hal ini, kenaikan biaya variabel rata-rata atau biaya marjinal akan berarti penurunan rata-rata produk atau produk marjinal dari input variabel (seperti yang dijelaskan oleh persamaan 8 & 9).
Elastisitas produksi atau kembali ke input variabel (E) adalah diukur dengan rasio-lari AVC singkat ke MC, bahwa seperti:
E = AVC/14C (18)
Jika E> 1 maka hasil yang meningkat ke input variabel ada. Meningkatkan kembali menyiratkan AVC melebihi MC. Jika E <1 kemudian menurun kembali ada, menunjukkan MC melebihi AVC. Jika E = 1 maka ada elastisitas output konstan, AVC = MC, dan AVC diminimalkan. Secara umum, diharapkan bahwa pada tingkat rendah output perusahaan akan mampu mencapai hasil yang semakin meningkat, dan setelah beberapa point dari hasil yang menurun hanya akan dapat memperoleh hasil yang menurun ke input variabel.
SISTEM BIAYA JANGKA PENDEK
Untuk kejelasan eksposisi, input variabel dua dan satu input tetap akan digunakan untuk menggambarkan fungsi, tetapi model yang dapat dengan mudah digeneralisasikan ke sejumlah argumen. Fungsi biaya jangka pendek adalah perkalian di alam dan cukup fleksibel untuk model peningkatan dan penurunan kembali ke input variabel, tingkat tetap diberi modal:
Biaya multiplikatif Fungsi
a2 a3 (a4 + a5Q - a6K) A7
TVC = al (P1) (Pm) QK (19)
TC = TVC + (PK) K (20)
dimana: TVC = total biaya variabel
TC = total biaya (variabel + biaya tetap)
Ai = parameter; i = 1-7
P1 = harga input tenaga kerja
Pm = harga input mat'1
Q = kuantitas yang dihasilkan
K = modal peralatan
Karakteristik penting dari persamaan 19 adalah bahwa biaya variabel total, TVC, tergantung pada tingkat faktor tetap, K. Meskipun ini menambah kompleksitas fungsi, itu membuat fungsi yang lebih realistis dan mengikuti dari asumsi non-keterpisahan antara variabel dan faktor-faktor produksi yang tetap.. Seperti dijelaskan oleh Bernt dan Christensen (1973) nonseparability ada dalam berfungsi bila tingkat marjinal substitusi antara dua faktor variabel (L dan M) adalah tergantung pada faktor tetap (s), KAsumsi ini diperlukan untuk mewujudkan ekonomi atau disekonomis skala dalam struktur biaya. Skala ekonomi menunjukkan bahwa AVC akan turun dalam jangka-panjang dengan peningkatan modal, K. Sebuah studi oleh Walters (1963) menyimpulkan bahwa skala ekonomis adalah karakteristik dari hampir semua operasi manufaktur.
Bentuk fungsional perkalian dari persamaan biaya membuat parameter yang relatif mudah untuk menafsirkan, dan merupakan fungsi stabil dan fleksibel untuk keperluan simulasi. Al parameter hanyalah sebuah faktor skala untuk memperoleh tingkat biaya yang diinginkan. Parameter a2 dan C adalah elastisitas harga masukan dan menunjukkan proporsi biaya input terhadap total biaya variabel. Istilah eksponen (a4 + a5Q - a6K) terkait dengan Q, memungkinkan untuk elastisitas biaya variabel yang berkaitan dengan kedua output, Q, dan modal, K.
Biaya variabel
elastisitas model perlu meningkatkan dan menurunkan kembali ke variabel input Elastisitas kenaikan biaya sebagai tingkat output meningkat atau menurun tingkat modal. Akhirnya, parameter A7 dampak elastisitas modal, yang menentukan, sebagian, TVC sensitivitas terhadap perubahan tingkat faktor tetap.
Elastisitas output (E) dapat diturunkan dari persamaan 18 sejak E = AVC / MC = (TVC / Q) / (TVC / dQ) tenaga kerja. Antity yang digunakan data simulasi yang sesuai dengan spesifikasi apriori desainer. Meningkatkan kembali ke input variabel terjadi sampai elastisitas output, E, adalah 1,0 dan biaya variabel rata-rata diminimalkan.. Dalam Tabel 1, di mana modal adalah tetap sebesar 2000 unit, rata-rata biaya variabel penurunan sampai tingkat produksi 1500. Dalam Tabel 2, di mana modal adalah tetap sebesar 2.200 unit, rata-rata biaya variabel penurunan sampai tingkat produksi 1600. Setelah tingkat produksi di mana AVC diminimalkan (E = 1,0), menurun kembali ke input variabel terjadi, elastisitas output, E, menjadi kurang dari satu, dan biaya variabel rata-rata mulai meningkat. Total rata-rata biaya, ATC, perubahan dalam cara yang konsisten dengan perubahan biaya variabel rata-rata, AVC, dan biaya tetap rata-rata, AFC. Secara khusus, biaya total rata-rata adalah "U" berbentuk dengan tingkat minimum terjadi pada tingkat produksi lebih besar dari tingkat yang sesuai dengan AVC minimum.
Pada tabel 1, ATC diminimalkan dengan tingkat produksi sebesar 1600 sedangkan AVC diminimalkan pada tingkat produksi 1500. Dalam Tabel 2, ATC diminimalkan pada tingkat produksi sebesar 1.700 sedangkan AVC diminimalkan pada tingkat produksi 1600.
Skala ekonomis juga tercermin dalam struktur biaya. Sebagai modal meningkat 2000-2200 unit, minimum ATC menurun dari 27,80 $ / unit dalam Tabel 1-18,16 $ / unit dalam Tabel 2. Tingkat di mana skala ekonomi terjadi dalam struktur biaya simulasi ditentukan dengan menetapkan output elastisitas, E, sesuai dengan berbagai tingkat modal, K; dan elastisitas modal nilai, A7.
"dual" fungsi produksi tersirat oleh struktur biaya dapat diamati dengan menerapkan's lemma Sheppard dan menggunakan persamaan 22 untuk menurunkan permintaan input tenaga kerja. Mengingat tingkat produksi yang sama (1200-1800), dan mengubah input modal 2000-2200 unit, Tabel 3 merangkum hasil.
TABEL 3
Fungsi Produksi tersirat oleh Struktur Biaya
K = 2000 K = 2200
Output Tenaga Kerja Tenaga Kerja APL APL
1200 1041,5 1,152 673,13 1,783
1300 1113,2 1,168 715,51 1,817
1400 1189,8 1,177 760,89 1,840
1500 1271,7 1,179 809,49 1,853
1600 1359,5 1,177 861,53 1,857
1700 1453,4 1,170 917,26 1,853
1800 1554 1. 1. 1.842 158 976,95 1,842
Fungsi produksi disimulasikan untuk tenaga kerja adalah diamati untuk berperilaku dengan cara yang konsisten dengan teori dualitas. Produk rata-rata input variabel (tenaga kerja), APL, adalah "dual" dari biaya variabel rata-rataKetika AVC menurun, produk rata-rata tenaga kerja meningkat. Ketika AVC berada pada tingkat minimum, produk rata-rata tenaga kerja adalah sebesar nilai maksimal. Sebagai tingkat input tetap, K, meningkat 2000-2200 unit, APL meningkat seiring dengan penurunan AVC dan ATC diamati pada Tabel 1 dan 2. Dengan cara ini, skala ekonomi di sisi biaya yang dicerminkan oleh meningkatnya kembali ke skala dalam teknologi produksi.
Input variabel kedua, bahan CM), juga disimulasikan dan ditampilkan untuk berperilaku dengan cara yang konsisten dengan teori dualitas tetapi hasilnya tidak ditampilkan untuk kepentingan singkat.
KESIMPULAN
Siswa menggunakan simulasi bisnis yang seharusnya untuk belajar, bagaimana dunia nyata "" fungsi. Oleh karena itu penting untuk algoritma dalam simulasi untuk mencerminkan, sebanyak mungkin, hubungan diamati oleh penelitian empiris dari lingkungan bisnis.
Meskipun sifat teoritis dan empiris yang ditemukan dalam literatur terkenal, kuantifikasi hubungan ini dalam simulasi tidak lurus ke depan. Bentuk fungsional digunakan dalam simulasi harus cukup fleksibel untuk model berbagai biaya dan hubungan produksi, dengan tetap menjaga karakteristik stabilitas dan konsistensi. Maksud
penelitian ini tidak hanya untuk menyajikan suatu pendekatan untuk pemodelan sisi penawaran dari perusahaan, tetapi untuk mendorong desainer simulasi lain untuk berbagi, untuk tingkat yang lebih besar, cara di mana mereka memiliki model simulasi mereka.
Jenis penelitian ini akan membantu pengguna simulasi lebih memahami hubungan sebab dan akibat yang terkandung di dalam kotak hitam "" simulasi bisnis. Sebuah pemahaman yang lebih baik dari simulasi oleh pengguna dan desainer hanya dapat membantu memfasilitasi pertumbuhan, pengembangan, dan penggunaan simulasi bisnis belajar andexperiential.
Secara khusus penelitian ini berpendapat bahwa sifat teori dualitas perlu diatasi ketika merancang-biaya jangka pendek dan fungsi produksi.. Karakteristik biaya struktur diwujudkan dalam simulasi bisnis menyiratkan karakteristik tertentu yang berhubungan dengan produksi teknologi Jika hubungan ini tidak dimodelkan dengan hati-hati, inkonsistensi antara produksi
Sebuah tinjauan literatur telah menunjukkan bahwa ada beberapa masalah umum dalam cara di mana simulasi bisnis kontemporer telah dirancang ada biaya dan hubungan produksi.
Metodologi yang dikembangkan dalam makalah ini untuk model struktur biaya dan teknologi produksi perusahaan memiliki sejumlah properti yang diinginkan:
(1) informasi Biaya digunakan pertama untuk model perusahaan, dan kemudian diterapkan untuk mendapatkan teknologi produksi yang terkait. Ini akan mengurangi kebutuhan untuk mengumpulkan biaya dan data produksi untuk model perusahaan. Selain itu, informasi biaya yang lebih mudah diakses informasi produksi daripada, membuat pengumpulan data lebih mudah dan lebih cepat.
(2) Penerapan jaminan Sheppard's lemma karakteristik dirancang dalam struktur biaya akan diwujudkan, secara konsisten, dengan teknologi produksi perusahaan. Ini akan membantu menghindari beberapa perangkap yang ditemukan dalam studi sebelumnya yang berkaitan dengan desain kontemporer simulasi bisnis.
(3) biaya menjalankan fungsi-pendek variabel total biaya berkaitan langsung dengan harga-harga faktor variabel, tingkat produksi, dan tingkat faktor tetap (misalnya modal). Non-keterpisahan antara variabel dan faktor diasumsikan tetap, membuat biaya variabel juga merupakan fungsi dari tingkat input tetap. Pendekatan ini memungkinkan untuk elastisitas variabel, meningkat dan menurun kembali, dan ekonomi dan disekonomis skala.
(4) Parameter bentuk fungsional perkalian mudah untuk memperkirakan kertas. Hanya terbatas jumlah data yang diperlukan untuk merancang karakteristik dari biaya produksi dan sistem, seperti ditunjukkan oleh contoh numerik ini. The Bentuk fungsional cukup fleksibel untuk model berbagai biaya dan ion fungsi produk.


DAFTAR PUSTAKA
Vol. (1973) Struktur Internal Hubungan Fungsional: Separablity, Substitusi, dan Agregasi, "Review Ekonomi dan Statistik, Vol. 40(3), pp. 403 - 406.
Vol. Decker, R., LaBarre, J., dan Adler, Thomas (1987), "Logaritma Fungsi eksponensial sebagai Algoritma untuk Simulasi Bisnis", Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol. 14, pp.47 -49.
Dickson, EG, dan Kinney, T. Paul, (1982), "Sebuah Generasi Baru di Simulasi Bisnis," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol,. 9 hal. 256-259. Frazer, J. Ronald (1983), "A menipu Game Wikipedia Strategi Bisnis," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, vol 10, hal -. 98 100.
Vol. (1990) "Fungsi Biaya Pemodelan Simulasi Bisnis Komputerisasi: Sebuah Aplikasi Teori dualisme dan Lemma"'s Sheppard, Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol. 17, hal -. 70 72.
Emas, S. dan Berdoa, T., (1989) "The Frontier Produksi: Modeling Produksi di Simulasi Bisnis Komputerisasi," Simulasi & Games: An International Journal of Theory. Desain, dan Penelitian, Vol. 20. 20.
Lambert, Nancy, dan Lambert, David (1988), "Respon Iklan di Gold dan Algoritma Berdoa: Kajian Kritis," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, vol 15, hal -. 188 191.
Sheppard, RW, (1970) Teori Biaya dan Fungsi Produksi, Princeton: Princeton University Press, 1970) Mengajar, Richard, D., (1990) "Permintaan Persamaan Yang Sertakan Produk
Atribut ", Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol,. 17 hal. 161-166.
Vol. (1984), "Hubungan Menggunakan Tata Ruang untuk Perkiraan Permintaan di Simulasi Bisnis," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Pengalaman, Vol 11, hal. 244-246.
Thavikulwat, Precha, (1990) "Konsumsi Sebagai Tujuan Dalam Simulasi Komputer-Dicetak Enterprise Total," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol. 17, hal. 167-169.
Thavikulwat, Precha, (1989) "Pemodelan Komponen Manusia Simulasi Bisnis," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol,. 16 hal. 37-40.
Thavikulwat, Precha, (1988), "Permintaan Simulasi di seberang-Independen-Game Perusahaan Manajemen," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol 15, hal. 183-187.
Walters, AA, (1963) "Produksi dan Fungsi Biaya," Econometrica, Vol,. 31 No 1 (Januari) hlm. 1-66. al, (1990) "Pengajaran Manajemen Teknologi," Perkembangan Latihan Simulasi Bisnis & Experiential, Vol. 17, p. 17, hal

Jumat, 28 Mei 2010

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah secara tegas menyatakan, tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah untuk: (a) mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan, (b) menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, dan (c) meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.

Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung dengan: (1) upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam berusaha melalui rumusan kebijakan yang terintegrasi dan akuntabel, (2) membaiknya stabilitas perekonomian yang ditandai oleh laju inflasi yang rendah dan terkendali, nilai tukar rupiah yang stabil, dan suku bunga SBI yang menurun diikuti secara proporsional oleh suku bunga pinjaman sehingga mendorong sektor riil untuk bergerak, (3) dukungan akses pembiayaan baik melalui pemberian dana bergulir atau kredit program bagi lembaga keuangan mikro dan koperasi dengan mengembangkan pola tanggung renteng maupun pembiayaan yang bersumber dari dana bank dan non bank, (4) technical assistance yaitu program pendampingan, pelatihan ketrampilan dan pembinaan pada aspek-aspek kualitas produksi, value added dan efisiensi sumber daya (business side), dan (5) membuka akses pasar, kemudahan untuk mengakses informasi usaha, melaksanakan promosi dan pameran, pengembangan jaringan kemitraan dan perlindungan dari persaingan yang tidak sehat.
Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).




Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).

Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).

Kriteria sebagaimana dimaksud diatas nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden












Strategi Pengembangan Dan Permasalahannya
Hampir semua orang pernah mendengar istilah UMKM, namun mungkin
hanya sedikit orang yang paham maksud kata tersebut dengan satu kesamaan
pandangan. Maklumlah, karena instansi-instansi pemerintah sendiri memiliki
perbedaan cara dalam pengklasifikasiannya.

Menurut Departemen Perindustrian (1993) UMKM didefinisikan sebagai perusahaan yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI), memiliki total asset tidak lebih dari Rp 600 juta (diluar area perumahan dan perkebunan).

Sedangkan definisi yang digunakan oleh BiroPusat Statistik (BPS) lebih mengarah pada skala usaha dan jumlah tenaga kerja yang diserap. Usaha kecil menggunakan kurang dari lima orang karyawan,sedangkan usaha skala menengah menyerap antara 5-19 tenaga kerja.

Menurut survey BPS tahun 2004, di Indonesia ada 141,36 juta UMKM (99,9% dari total unit usaha). Dengan jumlahnya yang begitu banyak, serta kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja (76,55 juta atau 99,5% dari total angkatan kerja yang bekerja), dengan total kontribusi yang sangat signifikan yaitu sebesar 55,3% dari total PDB, maka potensi yang dimiliki oleh UMKM untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional sangatlah besar.
Itulah alasan mengapa pemerintah begitu gencar dalam usahanya mengembangkan UMKM, selain dengan pembuktian empiris dimana saat periode krisis ekonomi kemarin, ketika begitu banyak perusahaan-perusahaan besar yang tumbang dan melakukan PHK dalam jumlah besar, UMKM dengan fleksibilitasnya mampu survive dari kondisi tersebut.

Permasalahan yang paling sering timbul dalam usaha pengembangan ini berhubungan dengan karakteristik yang dimiliki oleh UMKM yang sedikit
menyulitkan.






Beberapa karakteristik yang paling melekat pada sebagian besar
UMKM antara lain:
1)Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bekerja pada sektor UMKM;
2) Rendahnya produktifitas tenaga kerja yang berimbas pada rendahnya gaji dan upah;
3) Kualitas barang yang dihasilkan relative rendah;
4) Mempekerjakan tenaga kerja wanita lebih besar daripada pria;
5) Lemahnya struktur permodalan dan kurangnya akses untuk menguatkan struktur modal tersebut;

6) Kurangnya inovasi dan adopsi teknologi-teknologibaru, serta 7) Kurangnya akses pemasaran ke pasar yang potensial.
Pada umumnya ada tiga institusi yang berperan dalam pembinaan UMKM,
yaitu: 1. Lembaga teknis yang bertugas mengembangkan produk, utilitas, kualitas SDM dan optimalisasi (lebih pada business side).

2. Lembaga keuangan yang bertugas menyediakan dana secara profesional
(microfinance). Keprofesionalan ini sering kali dikaitkan dengan pemberian
dana kepada UMKM yang bankable, namun fakta di lapangan menyebutkan
bahwa hampir 99% UMKM di Indonesia tidak memenuhi syarat bankable
tersebut, sehingga analisis kredit dapat dilakukan dengan metode kualitatif.

3. Lembaga pemasaran yang bertugas membantu memberi assitensi kepadaUMKM dalam akses pasar dan pemasaran (market and marketing).

Sebenarnya di Indonesia, sebelum isu UMKM merebak, telah dilakukan berbagai macam strategi dalam usaha mengembangkan UMKM ini yang sebagian besar
fokus pada pemberdayaan tenaga kerja melalui output expansion dan innovationadoption, yang berarti adanya peran lembaga teknis yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga lainnya.
Hampir semua bentuk intervensi yang diketahui pernah diaplikasikan,antara lain program- program pelatihan technical skills dan kewirausahaan,konsultasi pemberdayaan karyawan, subsidi input,



peningkatan infrastruktur,pembangunan fasilitas public, pembangunan sentra-sentra industri, kredit subsidi dan lainnya. Review menunjukkan ada lebih dari 30 program- program pendampingan teknis UMKM di Indonesia yang tersebar di beberapa departemen. Pelatihan teknis yang dilakukan lebih difokuskan pada pelatihan kepada produsen dalam hal pembukuan, manajemen, technical skills, kewirausahaan dan marketing.

Kesimpulan umum yang diperoleh adalah bahwa sebagian besar program tersebut memberikan pengaruh yang sedikit sekali terhadap pengembangan UMKM. Sebagian besar disebabkan oleh terbatasnya dana yang dialokasikan untuk begitu banyaknya program dan dengan jumlah UMKM yang begitu besar.
Dari ketiga lembaga yang seharusnya berperan dalam pengembangan UMKM, hanya dua lembaga yang tampak wujud kegiatannya. Sebagai contoh, beberapa program yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pembentukan Lembaga Teknis berupa Program Bimbingan dan


Pengembangan Indutri Kecil khusus golongan ekonomi lemah (BIPIK program) yang dimulai akhir tahun 1970an yang berkonsentrasi pada technical assistance.
Program ini meyakini bahwa tanpa proses dan inovasi produk, mayoritas UMKM tidak akan mampu mengakomodasikan perubahan struktural yang terjadi di lingkungan ekonomi mereka. Budget yang dikeluarkan oleh BIPIK sebesar Rp. 2,5 juta/unit usaha Pendampingan teknis yang dilakukan oleh BIPIK terdiri dari training untuk memberikan penerangan kepada pegawai dan memperkenalkan peralatan baru untuk menunjukkan manfaat dari perubahan teknologi. Hasil yang bisa dicapai oleh program BIPIK ini adalah:
1. Technical training menciptakan kesadaran dari para produsen mengenai keberadaan teknologi-teknologi yang lebih produktif. Dengan training ini 4 pula, ditentukan produsen-produsen yang dianggap mampu untuk memberikan training/menyebarkan hasil training kepada produsen lainnya.

2. Bantuan peralatan memberikan kesempatan kepada produsen untuk melihat dan mencoba inovasi terbaru, sehingga mereka punya akses ke teknologi terbaru.



3. Sebagai tambahan, BIPIK juga membangun pusat service teknis, dimana produsen mendapatkan akses ke peralatan yang sangat penting, namun relatif dipandang sangat mahal untuk dimiliki secara individu.

Program lainnya adalah pembentukan Lembaga Keuangan yang dibentuk
dari beberapa bank komersial maupun departemen pemerintah. Program yang
pernah dilaksanakan antara lain:
1. Kredit Usaha Kecil (KUK) yang dilakukan oleh bank-bank komersial. Target
grup untuk KUK sangat luas. Setiap UMKM bias mengajukan kredit dan
dianggap layak, selama asset mereka tidak melebih batas program.
2. Kredit Modal Kerja Permanent (KMKP) dan Kredit Investasi Kecil (KIK)
yang dimotori oleh Bank Indonesia sebagai upaya bank sentral dalam
mendukung UMKM di tahun 1980an.
3. Sistem Unit Desa yang dilaksanakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang
mendanai UMKM yang memiliki skala aktivitas lebih kecil daripada yang
diberikan oleh KUK. Sistem ini menyediakan kredit (yang tidak disubsidi)
dengan tingkat bunga yang tidak lebih tinggi daripada cost of fund.
4. Beberapa kredit dengan nilai lebih kecil dikeluarkan oleh perusahaan
pembiayaan mikro (microfinance enterprises). Kredit ini disesuaikan dengan
kebutuhan nasabah
5. Kredit yang diberikan oleh Departemen Perindustrian, namun jumlahnya
sangat terbatas. Kredit ini merupakan follow up dari training yang telah
diberikan oleh BIPIK.
Dari beberapa program yang telah dilakukan ini, dengan segala usaha dan
keterbatasannya, ternyata tidak memberikan implikasi sesuai dengan harapan.
Beberapa permasalahan yang timbul, diantaranya:

1. Program pendampingan yang telah dilakukan lebih pada supply side effort.
Untuk UMKM yang baru tumbuh, perkenalan dan adaptasi terhadap inovasi
terbaru ternyata tidak efektif. Lingkungan market dari UMKM ini sendiri
tidak begitu memperhatikan perubahan teknologi yang digunakan.
2. Strategi pemasaran kurang diperhatikan, dimana produk cenderung tidak
melihat selera konsumen




3. Adanya kredit-kredit murah yang dikeluarkan oleh bank, baik bank komersial maupun bank sentral, telah memberikan pelajaran bahwa pemberian bantuan
likuiditas untuk KMKP dan KIK ternyata telah menimbulkan praktik moral
hazard di kalangan perbankan yang salah satu indikasinya adalah meledaknya
kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pada saat itu.

Hal tersebut juga menunjukkan bahwa lembaga pemasaran tidak diperhatikan
fungsinya, sehingga peningkatan output, baik melalui technology adoption
maupun technical skill, tidak terserap pasar dengan baik.

Namun programprogram itu pula yang diyakini sebagai pembuka akses ke lembaga kredit formal, yaitu sektor perbankan, yang secara signifikan meningkat, meskipun subsidi tingkat bunga telah hampir seluruhnya diambilkan dari tingkat bunga pasar.

Pergantian tempat ini juga mendorong pihak-pihak “terlarang” lainnya lebih
banyak masuk ke pasar ini. Kebijakan deregulasi dan liberalisasi secara signifikan
telah menaikkan jumlah service points keuangan, terutama di daerah pedesaan.
Krisis ekonomi yang terjadi telah menyebabkan peningkatkan suku bunga, penutupan beberapa bank, dan merger didalam sistem perbankan. Hal itulah yang memberikan dampak negatif terhadap akses UMKM ke lembaga kredit formal.

Beberapa periode setelah krisis, banyak pihak mulai mengeluhkan lambatnya pemulihan sektor riil perekonomian Indonesia. Tidak seperti Korea Selatan dan Thailand, yang membutuhkan waktu lebih cepat dalam perbaikan kondisi ekonominya. Alasan yang paling sering digunakan adalah masih seretnya pengucuran kredit oleh perbankan kepada sektor riil. Seretnya sector perbankan
dalam menyalurkan kreditnya setelah periode krisis kemarin disebabkan karena
perbankan masih berhati-hati (selektif) dalam penyaluran kreditnya.







Apalagi diramalkan pada tahun-tahun kedepan tingkat risiko yang akan dihadapi sektor riil akan semakin meningkat. Selain itu juga suku bunga pinjaman masih sulit untuk diturunkan. Hal ini akan memberikan tekanan pada struktur biaya (cost structure) sektor riil.

Untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi, telah diupayakan perbaikan dan pengembangan di berbagai sektor, terutama sektor UMKM (apalagi dicanangkannya tahun 2005 sebagai tahun micro banking). Usaha ini dikerjakan
bersama-sama antara pemerintah dan Bank Indonesia sebagai bank sentral.

Meskipun menurut UU 23/1999 (dan dirubah dengan UU No 3/2004) BI tidak
diperkenankan berperan sebagai financing agent, BI masih tetap berperan aktif
sebagai konsultan, promotor dan fasilitator bagi pemberdayaan UMKM.
Peranan Bank Indonesia dalam upaya pemberdayaan UMKM dilakukan
melalui empat pilar kebijakan dan strategi, yaitu kebijakan kredit perbankan,
pemberian bantuan teknis kepada UMKM, penelitian mengenai pola pembiayaan
kepada UMKM, dan penyediaan sistem informasi usaha kecil dan pemberian
bantuan teknis. Karena itu, tugas pengelolaan kredit program dialihkan kepada
tiga BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI
sebagai koordinator penyaluran skim KUT, Kkop, KKPA-TR); PT Bank
Tabungan Negara (BTN sebagai koordinator penyaluran skim KPRS dan
KPRSS); serta PT Permodalan Nasional Madani (PNM sebagai koordinator
penyaluran kredit lainnya).

Implikasi penting dari beberapa program yang diterapkan oleh BI antara lain:
1. Kebijakan Kredit
Dari sisi kebijakan kredit, perbankan didorong untuk memasukkan rencana
penyaluran kredit UMKM ke dalam business plan perbankan. Sebelum krisis,
pemerintah pernah tegas-tegas mensyaratkan bahwa dari seluruh portofolio
pinjaman yang dimiliki bank, minimal 20 persen dari portofolio kreditnya
harus merupakan kredit kepada sektor UMKM. Secara spesifik, strategi yang
dilaksanakan adalah





a. Pengaturan kredit usaha kecil (KUK) yang mana tanggal 4 Januari 2001
Bank Indonesia telah menyempurnakan ketentuan tentang KUK melalui
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil yang pada intinya BI tidak mewajibkan namun menganjurkan kepada bank untuk menyalurkan KUK sesuai business plan-nya.

b. Penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan dengan memberdayakan UMKM pada 22 April 2002. Dalam perkembangan kredit
UMKM terjadi peningkatan kredit baru perbankan ke sektor UMKM dan
mencatat kinerja NPLs yang relatif rendah. Kredit baru yang disalurkan
perbankan ke sektor UMKM selama semester I/2004 sebesar Rp 30,9
triliun atau mencapai 80,4% dari total bussines plan perbankan untuk
menyalurkan kredit UMKM sebesar Rp 38,5 triliun. Pertumbuhan kredit
baru ini meningkat sebesar 14,3%.

c. Menyesuaikan ketentuan perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan peraturan perundang- undangan yang berlaku

d. Memfasilitasi pertemuan antar pemerintah, perbankan dan dunia usaha yang bertujuan untuk meningkatkan komunikasi antara kedua belah pihak
yang saling berkepentingan. Dengan ini diharapkan dapat menindaklanjuti
rekomendasi-rekomendasi yang berasal dari permasalahan dunia usah sehingga dapat dimanfaatkan dan direalisasikan oleh BI dan kalangan
perbankan untuk mendorong sektor riil.
d. Dalam pengembangan kelembagaan, Bank Indonesia mendorong peran
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai executing agent atau channelling
agent dalam linkage program antara bank umum dengan BPR yang memiliki sumber daya manusia yang lebih terlatih dalam membina hubungan dengan nasabah mikro dan kecil.
Strategi penguatan industri BPR dipandang perlu karena BPR merupakan lembaga keuangan mikro yang memiliki peran strategis dalam memberikan pelayanan jasa keuangan kepada UMKM.



Beberapa hal yang menjadi kunci sukses BPR dalam memberikan pelayanan kepada UMKM adalah lokasi yang dekat dengan masyarakat, prosedur pelayanan kepada nasabah yang lebih sederhanan serta lebih mengutamakan pendekatan personal serta fleksibilitas pola dan model pinjaman

2. Pemberdayaan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank
(KKMB) Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberdayakan konsultan/pendamping, baik swasta maupun yang dibentuk oleh pemerintah, yang selama ini terlibat dalam pengembangan UMKM. Keberhasilan pendekatan ini akan nampak dari
meningkatnya jumlah UMKM yang bankable dan memperoleh kredit dari bank dan mampunya KKMB beroperasi secara bisnis sehingga dapat membiayai diri sendiri Sampai saat ini telah terbentuk 26 Satgas Pemberdayaan KKMB di 22 provinsi dengan melibatkan Badan Musyawarah Perbankan Daerah (BMPD) setempat, KPK dan Pemda terkait. Di Surabaya telah didirikan PEAC BROMO (Promoting Enterprise Access to Credit) pada Februari 2004 yang berperan sebagai jembatan penghubung antar UKM dengan lembaga keuangan yang ada di Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat telah didirikan Pusat Pembinaan Lembaga Jasa Pengembangan Usaha (Service Provider Management Center) yang menyediakan pendampingan dan konsultasi bagi UMKM. Sejauh ini, Pusat Pengembangan Pendamping Usaha Kecil Menengah (P3UKM) telah melakukan fungsinya dengan baik yang antara lain tercermin dari terakreditasinya 21 pendamping UKM dan 10 bank telah yang menggunakan layanan jasa para pendamping UKM yang telah
diakreditasi. Jumlah penyaluran kredit perbankan yang menggunakan fasilitas pendamping UKM telah mencapai sekitar Rp. 24 milyar, sedangkan proposal kredit yang telah diajukan dan menunggu persetujuan dari bank telah mencapai lebih dari Rp. 27 miliar.

3. Kegiatan Penelitian
Kegiatan Penelitian BI dalam kaitannya dengan UMKM saat ini terutama diarahkan dalam upaya mencari model atau pola pembiayaan dan bantuan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan UMKM, juga untuk menggali potensi sector UMKM di tiap-tiap daerah. Penelitian yang telah dilakukan adalah baseline economic survey mengenai kredit mikro, bantuan teknis dan lending model. Sedangkan yang akan dilaksanakan adalah penelitian mengenai hubungan inti-plasma dan pola pembiayan UMKM.


4. Penyediaan Sistem Informasi Usaha Kecil dan Pemberian Bantuan Teknis
Ini dilakukan sebagai usaha untuk lebih memberikan nilai tambah dan manfaat
yang lebih besar terhadap hasil-hasil penelitian melalui Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK) di website Bank Indonesia (http://www.bi.go.id/) yang di-launching tanggal 14 Februari 2002. Bank Indonesia juga menerbitkan PBI No. 5/18/PBI/2003 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Pengembangan UMKM yang diharapkan dapat digunakan sebaga tambahan wawasan bagi kalangan perbankan dan UMKM dalam penyaluran kredit UMKM secara lebih luas. Pelatihan teknis tersebut juga diberikan kepada Business Development Service Provider (BDS-P) atau lembaga penyedia jasa pengembangan usaha (LPJPU) yang memenuhi persyaratan tertentu. Selain itu Bank Indonesia juga mendorong pembentukan UKM Center di bank-bank umum untuk melayani kebutuhan nasabah UMKM.

Dengan melihat begitu banyaknya strategi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, serta pencapian hasilnya sampai saat ini dapat dikatakan bahwa pemerintah sudah berusaha untuk mengembangkan UMKM dan mendatangkan hasil yang cukup menggembirakan dengan indikasi pada meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit kepada UMKM. Namun bila dibandingkan kembali dengan program yang telah pernah dilakukan sebelumnya, ada beberapa program yang serupa sehingga ditakutkan akan mendatangkan hasil yang sama dengan sebelumnya, yaitu ketidakefektifan strategi dalam mendorong pemberdayaan UMKM. Dan fakta yang paling patut mendapatkan concern adalah, kembali tidak diberdayakannya lembaga pemasaran.
Apabila dilihat, strategi-strategi tersebut masih tetap difokuskan pada fungsi lembaga teknis dan peningkatan lembaga keuangan dengan mengabaikan fungsi pemasaran output akhir produksi.










Alternatif Pemikiran
Ada beberapa pemikiran yang mungkin patut dijadikan alternatif program
atau sebagai tambahan program yang bisa dilakukan, terutama dalam kaitannya
dengan meningkatkan eksistensi dan peran masing-masing lembaga pembina
UMKM, yaitu:
1. Pemberdayaan Peran Lembaga Pemasaran:
a. Pendampingan terhadap UMKM, seharusnya tidak hanya terfokus pada
produksi tetapi lebih pada pasar yang akan dituju. Dengan kata lain meningkatkan peran dan fungsi lembaga pemasaran Karenanya penggunaan teknologi baru yang memberikan peningkatan dan inovasi produk baru tetap tidak dapat diserap oleh pasar melalui channel yang telah ada. Mayoritas produk yang dihasilkan oleh UMKM adalah barang inferior, sehingga akan sangat sulit diserap oleh perkembangan pasar. Mungkin bisa dipikirkan untuk merubah kemasan ataupun menjadikan bentuk produk UMKM lebih bergengsi dan dijual tidak dengan harga murah sehingga akan lebih terlihat berkualitas.

b. Pemberian proteksi kepada UMKM untuk masuk pasar. Hasil pendampingan teknis dan keuangan yang diberikan akan terlihat setelah produsen sadar dan paham tentang eksistensi dan yakin akan adanya akses/jaringan ke perdagangan yang lebih baik.

Disinilah peran pemerintah sangat diperlukan. Untuk sebuah UMKM yang memiliki keterbatasan permodalan dan SDM, maka sangatlah susah untuk mereka
bisa masuk ke pasar tanpa proteksi dari pemerintah. Mereka tidak akan mampu berkompetisi dengan perusahaan besar yang notabene memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Apalagi bila UMKM ini merupakan new comer tidak akan mampu berkompetisi dengan perusahaan besar yang sudah exist. Bila proteksi tidak diberlakukan, maka bukannya tidak mungkin akan ada kegagalan dari UMKM tersebut untuk masuk pasar (no entry)







2. Pemberdayaan Peran Lembaga Teknis

a. Sehubungan dengan keterbatasan SDM dan dana yang dimiliki oleh pemerintah, perlu dikembangkan cost-effective strategy yang menstimulasi
dan mengembangkan sentra-sentra industri/UMKM, yang mengarah pada akses produsen ke pasar (berkunjung ke konsumen/pembeli, menjual dengan sistem retail atau wholesale, market and fairs), dianggap sangat berguna untuk membangun jaringan perdagangan baru yang menjadi tempat penjualan produk baru. Pemikiran untuk melakukan inovasi marketing seharusnya mulai dilakukan mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh UMKM tidak hanya pada akses ke lembaga kredit fomal, namun lebih pada akses ke pasar.

b. Eksistensi lembaga yang mengkoordinasikan upaya pemberdayaan UMKM. Salah satu usaha yang dipandang efektif untuk memberdayakan UMKM adalah dengan cara koordinasi atau sinergi antar lembaga /instansi
, baik lembaga teknis, lembaga keuangan, maupun lembaga pemasaran, agar memudahkan bagi UMKM untuk segera memperoleh bantuan. UMKM tidak perlu mencari bantuan dari satu bank ke bank lain ataupun dari satu BUMN ke BUMN lain tetapi cukup datang ke satu tempat, maka seluruh bantuan yang dibutuhkan ada di sana (one stop service). Tetapi ini semua membutuhkan komitmen dan keterlibatan dari semua lembaga/instansi untuk berkoordinasi/bersinergi dengan satu tujuan menjadikan UMKM sebagai penopang perekonomian di Indonesia. BI sebenarnya telah sangat berpengalaman dalam pengembangan UMKM ini. Namun demikian, BI UMKM tidak terbatas hanya pada aspek pembiayaan yang menjadi kompetensi BI, namun juga soal kemampuan SDM, teknologi, pemasaran, dan aspek kualitas produk. Untuk inilah perlu dibentuk satu lembaga yang menetapkan strategi pengembangan UMKM melalui koordinasi yang terpadu antar departemen pemerintahan, minimal dapat dicari bentuk- bentuk koordinasi atau sinergi sebagai mekanisme penyaluran bantuan agar pemberdayaan UMKM maksimal





c. Pemerintah harus mengkaji ulang kriteria UKM, di mana kriteria UKM dapat dibuat berdasarkan batasan-batasan asset yang dimilikinya, tingkat penjualannya, atau jumlah tenaga kerja yang dimilikinya. Pemerintah juga
harus menstandardisasi kriteria UKM ini bagi seluruh perbankan. Dengan
demikian, dapat dihindari adanya dualisme kriteria UKM seperti yang
terjadi sekarang, yaitu masing-masing bank menentukan kriteria UKM
sendiri berdasarkan jumlah kredit yang diberikan, sementara pemerintah
mempunyai kriteria UKM dengan pendekatan yang lain

3. Pemberdayaan Peran Lembaga Keuangan
Kebijakan kredit yang diberlakukan hendaknya disertai dengan langkah
kongkrit bukan hanya himbauan semata, sehingga ada support nyata dari
lembaga ini.

Pembelajaran dari Malaysia
Di belahan dunia manapun, bank sentral tidak pernah terlibat dalam pengembangan UMKM karena tugas utamanya adalah untuk pengendalian stabilitas moneter. Namun, munculnya krisis di tahun 1997, timbul kesadaran baru bahwa sebenarnya bank sentral dapat mengambil peran aktif memajukan UMKM.

Karena masih merupakan program baru, Bank Negara Malaysia (BNM) masih
menganggap pengembangan UMKM harus didahului dengan penyediaan bantuan
likuiditas kepada bank-bank pelaksana. Ada lima hal yang dilakukan Bank Negara
Malaysia (BNM) dalam pengembangan UMKM, yakni (1) penyediaan dana khusus, (2) bantuan kolateral, (3) kebijakan perkreditan UMKM, (4) penyediaan lembaga penunjang, dan (5) restrukturisasi kredit UMKM. Follow up masingmasing program ini adalah:
1. BNM menyediakan lima jenis dana khusus untuk UMKM, di mana setelah berjalan sekitar enam bulan, jumlah kredit yang telah disetujui mencapai 6.576
juta ringgit Malaysia (RM) dengan outstanding sebesar 3.884 juta ringgit dengan jumlah nasabah sebanyak 16.574 orang





2. Untuk membantu UMKM yang tidak memiliki kolateral (agunan) atau agunannya tidak mencukupi, BNM mendirikan sebuah badan usaha pemerintah yaitu Credit Guarantee Corporation (CGC) dengan dana yang dialokasikan pemerintah senilai 800 juta ringgit. CGC ini akan menjamin hingga 80 persen terhadap nilai pinjaman baru UMKM yang tak beragunan.

3. BNM mengeluarkan kebijakan perkreditan agar perbankan di sana bersedia mengucurkan kredit kepada UMKM. Kebijakan ini tidak hanya bersifat imbauan, juga disertai langkah yang diperlukan sehingga perbankan tidak setengah hati di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM.

4. Lembaga penunjang yang dibentuk BNM (Bank Negara Malaysia), yang merupakan bank sentral Malaysia, untuk pengembangan UMKM adalah complaint unit. Unit ini dimaksudkan untuk menampung berbagai keluhan yang dihadapi UMKM dengan tujuan agar dapat diselesaikan seketika. Di dalam mekanisme kerja complaint unit ini juga ditegaskan bahwa setiap bank komersial yang menolak sebuah pengajuan kredit oleh UMKM harus menjelaskan alasan penolakannya. Praktik ini sebenarnya belum begitu lazim ditemukan di Indonesia, sehingga tidak aneh apabila UMKM selalu mempunyai persepsi bahwa perbankan kita masih sangat birokratis, arogan, dan prosedur kredit yang harus ditempuh UMKM merupakan sebuah "rimba gelap" yang sulit untuk ditembus

5. Restrukturisasi NPL. Sebagaimana diketahui bahwa praktik umum di seluruh
negara adalah bahwa apabila seorang debitor memiliki NPL, akan sulit baginya untuk memperoleh pinjaman baru dari sistem perbankan karena adanya daftar kredit macet yang dikeluarkan oleh bank sentral yang dapat diakses oleh seluruh bank.

Merupakan suatu pelanggaran apabila sebuah bank memberikan kredit baru untuk seorang debitor yang telah memiliki NPL pada bank sebelumnya. Padahal belum tentu macetnya kredit UMKM disebabkan oleh adanya itikad tidak baik dari debitor, namun mungkin lebih banyak diakibatkan oleh siklus bisnis yang naik-turun. Untuk mengatasi kendala tersebut BNM menawarkan program restrukturisasi kredit untuk UMKM.




Terhadap NPL UMKM yang telah direstrukturisasi langsung dianggap sebagai kredit lancar sehingga debitor dapat segera mengajukan pinjaman baru dan perbankan tidak akan lagi dipermasalahkan oleh BNM. Namun NPLs tampaknya tidak menjadi permasalahan yang mendasar bagi penyaluran kredit UMKM di Indonesia, karena NPLsnya masih relative rendah, 4,4% pada triwulan II/2004 dibandingkan dengan NPLs total kredit perbankan sekitar 6,2% Selain lima program tersebut, Pemerintah Malaysia juga menawarkan berbagai kebijakan terobosan untuk pengembangan UMKM, yaitu (1) meningkatkan batas penghasilan kena pajak sebesar 20 persen, dari 100 ribu ringgit menjadi 500 ribu ringgit, (2) mengalokasikan dana tambahan sebesar 1 juta ringgit untuk kredit mikro, dan (3) membentuk dewan tingkat tinggi untuk pengembangan UMKM (High Level SME Council) yang langsung dipimpin langsung oleh Perdana Menteri
Pemerintah menyadari bahwa UMKM merupakan tulang punggung kehidupan ekonomi Malaysia di masa depan. Pemerintah juga menyadari bahwa di tahun 2020, Malaysia telah mencanangkan visi menjadi salah satu negara maju di dunia sehingga UMKM harus siap menjadi bagian visi pemerintah tersebut.

Namun demikian, UMKM itu sendiri tidak dapat hidup jika hanya terus mengandalkan pada bantuan dari pemerintah. UMKM harus juga meningkatkan
kemampuannya untuk menghadapi globalisasi. Jika dilihat berbagai program yang telah dilaksanakan BI maupun pemerintah Indonesia, tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan BNM dan Pemerintah Malaysia.
Belajar dari pengalaman Malaysia, maka BI perlu mengeluarkan kebijakan perkreditan agar perbankan bersedia mengucurkan kredit kepada UMKM. Kebijakan ini tidak hanya bersifat imbauan, juga disertai langkah yang diperlukan sehingga perbankan tidak setengah hati di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Yang menarik adalah, ternyata Malaysia mengambil pelajaran dari pengalaman yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia.

Meskipun program yang diajukan BI dan pemerintah cukup lengkap, namun ada hal penting yang belum dilaksanakan oleh pemerintah kita dalam pengembangan UMKM, yaitu keberpihakan yang sungguh-sungguh.




Jika keberpihakan ini memang sungguh-sungguh maka koordinasi antar departemen dalam pengembangan UMKM harus merupakan gerakan nasional yang seyogianya dipimpin langsung Presiden sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Malaysia. Jika tidak, berbagai keluhan dan hambatan UMKM di seluruh pelosok Tanah Air akan tetap berjalan seperti saat ini. UMKM akan tetap "manis" sebagai daya tarik politik namun kehidupannya tetap akan merana

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bakal bertumbuh sekitar 25% pada 2010 dibandingkan prediksi 2009 yang berkisar 15-20%. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang UMKM dan Koperasi Sandiaga S Uno mengatakan, hal itu bakal tercapai jika platform microfinance yang tengah digarap dalam roadmap Kadin dapat terealisasi.
"Saya optimistis, platform itu bakal terealisasi. Sehingga, pertumbuhan UMKM bakal bergerak pada level 25-30% dari tahun ke tahun. Selain itu, dengan pembiayaan yang berpihak pada sektor usaha mikro juga akan mendorong pemberdayaan yang mengarahkan unit usaha tersebut naik kelas. Di situ nilai utamanya," kata Sandiaga di Jakarta, Sabtu (8/8).
Di sisi lain, dia mengungkapkan, sekitar 99% unit UMKM Indonesia belum disentuh oleh lembaga pembiayaan. Hal itu, kata dia, karena mereka dinilai tidak bankable karena tidak memiliki kolateral atau jaminan aset
"Saat ini, terdapat sekitar 51 juta unit UMKM, yakni hingga 99% merupakan unit usaha mikro," jelas Sandiaga.
Menurut dia, saat ini, yang didukung oleh lembaga pembiayaan hanya sekitar 2 juta UMKM yang didominasi usaha makanan serta jasa dan perdagangan, itu pun melalui kredit usaha rakyat (KUR) dan mereka tergolong unit usaha kecil-menengah. Selama ini, unit-unit mikro, terutama di bidang pertanian dan unit usaha di level akar rumput, mengandalkan rentenir dengan bunga yang mencekik.

Untuk itu, lanjut dia. Kadin menyiapkan skema micronnanceunhik pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Platform microfinance tersebut kata dia, menjadi pilar penting dalam roadmap Kadin guna memberdayakan UMKM dan koperasi di Indonesia. Rencanaya, roadmap tersebut bakal rampung pada Oktober 2009 dan diserahkan kepada kabinet pe-merintahan baru. Sandiaga yakin, usulan dalam roadmap tersebut bakal diterima dan diimplementasikan oleh pemerintah mendatang.
Keyakinan itu, ujar dia, karena pihaknya bersama wakil dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM juga baru melakukan kunjungan kerja ke Bangladesh pada 6 Agustus 2009.
"Dalam kunjungan tersebut kamiditantang oleh pendiri Grameen Bank, Profesor M Yunus, untuk mengembangkan pembiayaan mikro secara serius di Tanah Air. Menurut M Yunus, kredit adalah hak asasi setiap manusia, termasuk yang miskin. Dia sangat percaya, kredit mikro adalah jawaban jitu untuk masalah kemiskinan," tutur Sandiaga.
Dia memaparkan, saat ini, belum ada lembaga pembiayaan yang serius menggeluti skema microfinance sesuai dengan topografi penduduk Indonesia. Sementara itu, lanjut dia, saat ini Kadin secara serius mempersiapkan program pemberdayaan UMKM dan koperasi dengan memobilisasi kredit mikro melalu jaringan lembaga keuangan mikro nonperbankan yang lebih fleksible, efektif, dan efisien.
"Kredit mikro adalah bentuk intervensi bersama antara pengusaha, pemerintah dan akademisi untuk memberantas kemiskinan. Jadi, dibutuhkan kredit yang tidak menuntut kolateral atau jaminan aset dan yang tidak mencekik bunganya. Selama ini, banyak bentuk kredit tanpa agunan tapi bunganya tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh pengusaha kecil apalagi mikro," pungkas Sandiaga.
Sumber : Investor Daily


TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA
UMKM INDONESIA
Di susun
O
L
E
H

Kelompok 12
Dwi Aji Sapto 108084000015
M.Wanda Syafii 108084000020
Hudzaifah 107084003749

Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2010

nilai ekonomi pendidikan

I. NILAI MODAL MANUSIA
Modal fisik, tenaga kerja dan kemajuan teknologi adalah tiga faktor pokok masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Di negara berkembang dan terbelakang, laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada di negara maju. Meski demikian, umumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di negara maju. Kenapa demikian?
Jawabnya adalah: kedua faktor selain tenaga kerja, sangat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.
Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79.
Tetapi, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Bila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.
Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas.
Lalu pertanyaan, apa ukuran yang menentukan kualitas manusia? Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik.

Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Ini adalah anggapan umum, yang secara teoritis akan diuraikan lebih detail.
 Kerangka Teoritis mengenai Nilai Modal Manusia
Dewasa ini berkembang paling tidak tiga perspektif secara teoritis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial.
Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini.
Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi.
Pada tahun 70-an, teori ini mendapat kritik tajam. Argumen yang disampaikan adalah tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Juga ditekankan bahwa dalam ekonomi modern sekarang ini, angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan lagi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan proses produksi yang semakin dapat disederhanakan.
Dengan demikian, orang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya noon formal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Argumen ini diformalkan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori alokasi atau persaingan status yang mendapat dukungan dari Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979).
Teori persaingan status ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi. Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang bependidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Akan halnya teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial. Pendidikan pada kelompok elit lebih menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan kelas yang dominan. Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini didukung antara lain oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976).
Teori mana yang relevan dalam situasi sekarang? Seperti disebutkan di atas, pandangan baru dalam pertumbuhan produktivitas, yang dimulai pada akhir 1980-an dengan pionir seperti Paul Romer dan Robert Lucas, menekankan aspek pembangunan modal manusia.
Menurut Romer misalnya (1991), modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi.
Karena modal manusia, seperti dikemukakan dalam awal tulisan ini, memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi.
Secara implisit, pendidikan menyumbang pada penggalian pengetahuan. Ini sebetulnya tidak hanya diperoleh dari pendidikan tetapi juag lewat penelitian dan pengembangan ide-ide, karena pada hakikatnya, pengetahuan yang sama sekali tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan manusia akan mubazir.
Karenanya, aspek penelitian dan pengembangan menjadi salah satu agenda utama apabila bangsa Indonesia berkeinginan untuk hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah jauh lebih maju. Dengan keterbatasan modal kapital dan manusia, tugas pengembangan penelitian ini tidak mungkin hanya diusahakan pemerintah. Seharusnya, pihak swasta menjadi ujung tombak dalam usaha kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
 Realitas Nilai Modal Manusia yang terjadi di Indonesia
Akan tetapi, umumnya sektor swasta masih melihat investasi modal fisik sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi usaha. Untuk memenuhi kebutuhan modal manusianya, sektor swasta cenderung mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Dalam jangka pendek cara ini mungkin ada benarnya. Tetapi dalam jangka panjang tentu sangat tidak relevan, apalagi untuk sebuah usaha berskala besar atau yang sudah konglomerasi.
Bila dilihat dari besarnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kondisi ini tidak lebih baik. Dibanding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih kecil. Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dilakukan di luar negeri. Singapura, yang berpenduduk tidak sampai setengah penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS hampir setengah jumlah mahasiswa Indonesia di AS.
Sesuai dengan berbagai kesepakatan regional dan internasional di bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan situasi persaingan yang amat ketat. Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi tidak mungkin dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing kompetitif sumberdaya manusia. Dalam arti, mengandalkan keunggulan komparatif sumberdaya manusia yang melimpah dan murah sudah kurang relevan.
Dengan demikian, peningkatan investasi di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan tidak bisa dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta. Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara absolut relatif sangat kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat serius dalam pengembangan sumberdaya manusia. Persentase investasi pendidikan sekitar 10-15 persen dari total anggaran pemerintah mungkin adalah hal yang wajar.
Demikian juga sektor swasta. Selama ini belum ada aturan yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya manusia serta penelitian dan pengembangan dari struktur biaya perusahaan dalam industri nasional. Di sektor perbankan sempat ada ketentuan yang menetapkan biaya pengembangan sumberdaya manusia 5 persen dari profit. Akan tetapi, angka ini relatif sangat kecil, karena biaya pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai beban input.
Dengan pendekatan beban input, proporsi sekitar 10-15 persen dari total biaya juga merupakan hal yang wajar. Barangkali dalam pelaksanaannya, tidak salah jika BUMN menjadi pionir
II. Teori Modal Manusia
SELAMA 32 tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan pendidikan nasional telah mengikuti Teori Modal Manusia (the human capital theory), yaitu meningkatkan produktivitas warga belajar, yang memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Teori ini bersumber dari pemikiran para ekonom (Schultz 1961, Blaugh 1976 dan Woodhal 1994), yang menyatakan proses pendidikan, nilai-nilai, dan keterampilan yang berguna pada manusia dapat meningkatkan kapasitas belajar dan produktivitasnya.
Semua ini yang memungkinkan pendapatan masa datang mereka, dengan meningkatkan penghasilan seumur hidup mereka. Proses pendidikan dilihat sebagai model investasi yang dibedakan dari konsumsi yang menghasilkan kepuasan atau manfaat segera, tetapi tidak menciptakan pendapatan masa depan.
Aset yang menghasilkan pendapatan masa depan disebut kapital, yang dalam analisis ekonomi tentang investasi dan kapital cenderung berkonsentrasi pada kapital fisik, yang menghasilkan pendapatan di masa depan dengan menghasilkan produksi.
Namun kemudian, investasi telah diperluas ke investasi manusia dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, yang dapat meningkatkan kapasitas produksi kerja yaitu peningkatan produktivitas usaha manusia. Masyarakat memperoleh manfaat pendidikan atau pelatihan, dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja terdidik yang semakin banyak.
Biaya pendidikan bagi masyarakat adalah biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan swasta, baik berupa penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun swasta. Keuntungan investasi dalam kapital manusia adalah dengan menggunakan teknis analisis biaya dan penafsiran investasi.
Dalam kenyataannya, akumulasi masyarakat terdidik dari tahun-ketahun tidak mendukung pembentukan investasi dalam bentuk kapital manusia. Pada awalnya, orang menduga berlakunya hukum ekonomi pertambahan yang makin berkurang (law diminishing return) sehingga berlangsung tidak berkesinambungan.
Banyak fenomena di negara berkembang bahwa akumulasi masyarakat terdidik malah menghasilkan akumulasi pengangguran. Fenomena ini muncul pada akhir 1960-an di banyak negara berkembang, sehingga membalikkan asumsi bahwa pendidikan maupun pelatihan tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kapasitas belajar dan produksi pendidikan.
 Teori Modal Manusia di dalam Konsep Sekolah Unggulan
Perkembangan Teori Modal Manusia kemudian menjadi isu kontroversial. Dalam perkembangan ekonomi pendidikan, kehadiran Teori Modal Manusia dikoreksi oleh The Screening Hypothesis, yaitu asumsi yang menyatakan pendidikan tidak mampu meningkatkan kapasitas produksi pendidikan secara langsung. Tetapi cuma bertindak sebagai filter yang memungkinkan seseorang mempekerjakan atau mengidentifikasi personal, dengan kemampuan bawaan atau karakteristik personal yang tinggi yang membuat mereka produktif.
Asumsi ini kemudian diformalkan oleh Joseph Stiglitz (1975), melalui The Signaling Theory, yang melontarkan pemikiran bahwa setiap orang berbeda produktivitasnya. Ia pun menyatakan, pendidikan menyerap banyak biaya. Sedangkan perusahaan tidak bakal mengetahui produktivitas karyawan hanya lewat pendidikan formalnya.
Asumsi dari The Screening Hypothesis ini lantas mendasari elite pemodal mendirikan sekolah unggulan. Mereka yakin pendidikan akan menjadi tiket masuk untuk profesi-profesi tertentu. Selain itu, para pekerja terdidik kemungkinan besar datang dari kelas sosial yang lebih tinggi dan cenderung bekerja di kota daripada di desa.
Salah satu pengertian yang dikaitkan dengan keungulan adalah kemampuan yang diperlukan manusia untuk bisa survive secara berhasil dalam iptek (ada yang menerjemahkan dengan kemampuan teknokultural dan teknostruktural). Orang tua dari kelas menengah tertentu mulai gelisah, mencoba merebut masa depan dengan memposisikan anak-anaknya pada proses pendidikan yang lebih menjanjikan masa depan.
Dalam persaingan di alam yang serba kapitalistik itu, Teori Modal Manusia sudah mulai memihak yaitu kepada pemilik modal atau kapital. Teori modal manusia kemudian menggejala sebagai simbol status kebersaran sekolah unggulan dengan konsep yang dilontarkan oleh Peter Drucker (1997), ''Knowledge is the only meaningful resource today'' (Pengetahuan adalah salah satu sumberdaya yang bermakna dewasa ini).
 Teori Modal Manusia di dalam Konsep Social Action
Berlakunya Teori Modal Manusia selama ini menyiratkan ada sesuatu yang hilang: mengapa pendidikan hanya melahirkan akumulasi pengangguran dalam masyarakat? Mengapa pendidikan tidak menghasilkan masyarakat yang mempunyai keterampilan, tangguh, dan mampu bersaing, sehingga dapat menciptakan peluang usaha baru bagi masyarakat?
Serangkaian pernyataan selalu dapat terlontar untuk mengkritisi Teori Modal Usaha, sebab pada kenyataannya sejak tahun 1970-an di banyak negara berkembang lahir masalah baru akibat investasi pendidikan yaitu makin banyak pengangguran dan makin menumpuk hutang negara berkembang pada negara maju, karena investasi pendidikan yang tidak terbayar.
Menurut kacamata sosiologi, masalah pendidikan dapat diwawas lewat pendekatan makro dan mikro. Pada tataran makro, negara tidak berhasil memposisikan pendidikan dalam peristiwa social action. Yaitu kemampuan individu dalam masyarakat untuk ''memahami'' (pinjam istilah Max Weber soal vestehen) arti tindakan orang-perorang secara subjektif sebagai kekuatan yang berdiri sendiri, sesuai dengan kemampuan yang ada dan tersebar.
Pendidikan sebagai tindakan sosial untuk melepaskan diri dari ideologi pembangunan yang membelenggu. Proses pendidikan adalah konsep subjektif dari masyarakat untuk dapat mengatasi berbagai masalah empirik dalam kehidupan sehari-hari secara objektif. Pada tataran mikro, dibutuhkan berbagai jenis keterampilan khusus yang beragam di setiap daerah.
Desentralisasi pendidikan dalam bentuk otonomi daerah membutuhkan beragam produk keterampilan teknis, sesuai potensi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sumber daya yang ada.
Selama ini, pendidikan dibangun atas dasar paradigma pembangunan yang sangat sentralistis. Acuan kemajuan bersifat general, sehingga menghasilkan produk lulusan yang tidak kompetitif. Konsep keunggulan yang terdapat pada lembaga sekolah tidak ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, tapi lebih condong untuk melayani kebutuhan pengembangan profit bagi pemilik kapital.
Sudah waktunya mulai dipikirkan konsep pendidikan unggulan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Sekolah yang menjadi wadah proses social action, di mana lulusan sekolah tidak ''dicetak biru'' sebagai pelayan pemilik kapital, tetapi lulusan yang mampu bersaing di kaki lima karena mereka ditugaskan masyarakat untuk menciptakan usaha sendiri. Insya Allah! (Agus Salim-48)

Penulis adalah staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang




III. Peranan Pendidikan dalam Pembangunan

Di muka telah diuraikan bahwa pendidikan mempunyai peranan dalam meningkatkan kualitas manusia sebagai sumberdaya pembangunan dan menjadi titik sentral pembangunan. Manusia yang berkualitas me¬miliki keseimbangan antara tiga aspek yang ada padanya, yaitu aspek pribadi sebagai individu, aspek sosial dan aspek kebangsaan. Manusia sebagai makhluk individu memiliki potensi fisik dan nirfisik; dengan potensi potensi tersebut manusia mampu berkarya dan berbudi pekerti luhur. Manusia sebagai makhluk soslaJ mempunyai kesetiakawanan sosial, tanggung jawab sosial dan disiplin sosial. Manusia yang memiliki aspek kebangsaan mernpunyai rasa cinta tanah air, jiwa patriotik dan berwawasan masa depan.

Berorientasi pada peningkatan kualitas manusia Indonesia tersebut, maka peranan pendidikan dalam pembangunan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dalam meningkatkan manusia sebagai makhluk individu yang berpotensi fisik dan nirfisik, dilaksanakan dengan pemberian pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pembentukan nilai adalah nilai-nilai budaya bangsa dan juga nilai-nilai keagamaan sesuai dengan agama masing-masing dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Proses transformasi tersebut berlangsung dalam jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. John Vaizei dalam bukunya Education in the Modern World (1965) mengemukakan peranan pendidikan sebagai berikut : (1) melalui lembaga mengemukakan peranan pendidikan tinggi dan lembaga riset memberikan gagasan-gagasan dan teknik baru, (2) melalui sekolah dan latihan-latihan mempersiapkan tenaga kerja terampil berpengetahuan, dan (3) penanaman sikap.

Dalam menghadapi perubahan masyarakat yang terus menerus dan berjalan secara cepat manusia dituntut untuk selalu belajar dan adaptasi dengan perkembangan masyarakat sesuai dengan zamannya. Dengan perkataan lain manusia akan menjadi ”pelajar seumur hidup”. Untuk itu sekolah berperan untuk mepersiapkan peserta didiknya menjadi pelajar seumur hidup yang mampu belajar secara mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar baik yang ada di sekolah maupun di luar sekolah. Menurut Moedjiono dalam buku dasar-dasar Kependidikan (1986), mengemukakan bahwa aktivitas belajar dalam rangka menghadapi perubahan-perubahan yang cepat di dalam masyarakat menghendaki (1) kemampuan untuk mendapatkan informasi, (2) keterampilan kognitif yang tinggi, (3) kemampuan menggunakan strategi dalam memecahkan masalah, (4) kemampuan menentukan tujuan yang ingin dicapai, (5) mengevaluasi hasil belajar sendiri, (6) adanya motivasi untuk belajar, dan (7) adanya pemahaman diri sendiri.

Eksistensi kebangsaan nasional perlu dipertahankan dengan berbagai cara antara lain memupuk identitas nasional pada generasi muda, penanaman kesadaran nasional. Kesadaran nasional perlu dibangkitkan melalui kesadaran sejarah. Kesadaran ini mencakup pengalaman kolektif di masa lampau atau nasib bersama di masa lampau yang menggembleng nation.

Tanpa kesadaran sejarah tak ada identitas dan tanpa orang tak kepribadian atau kepribadian nasional. Kesadarari nasional, menciptakan inspirasi dan aspirasi nasional, keduanya penting untuk membangkitkan semangat nasional. Nasionalisme sebagai ideologi perlu menjiwai setiap warga negara yang wajib secara moral (moral com-mitment) dengan loyalitas penuh pengabdian diri kepada kepentingan negara, (Kartidirdjo, 1993).

Prinsip nasionalisme sebagaian tujuan pendidikan nasional adalah : (1) Unity (kesatuan persatuan) lewat proses integrasi dalam sejarah berdasarkan solidaritas nasional yang melampaui solidaritas lokal, etnis, tradisional, (2) Libcrty (kebebasan) setiap individu dilindungi hak-hak azasinya, kebebasan berpendapat, berkelompok, kebebasan dihayati dengan penuh tanggung jawab sosial, (3) Equality (persamaan) hak dan kewajiban, persamaan kesempatan, (4) Berkaitan dengan prinsip ke 2, ke 3 ada prinsip kepribadian atau individualitas. Pribadi perorangan dilindungi hukum antara lain dalam hak milik, kontrak, pembebasan dari ikatan komunal dan primoriaL (5) Performance (hasil kerja) baik secara individual atau kolektif. Setiap kelompok membutuhkan rang¬sangan dan inspirasi untuk memacu prestasi yang dapat dibanggakan.
Dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan mem¬punyai peranan penting dalam pembudayaan, pernyatan dan peng¬amalan nilai nilai budaya nasional yang akan mampu memupuk per¬satuan dan kesatuan bangsa.

IV. Nilai Ekonomi dari Pendidikan
 Pendidikan sebagai Investasi
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.

Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
 Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain
Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
 Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.

 Nilai Ekonomi Pendidikan
Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.

Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Pendapat yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.
Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.



V. Peran Pemerintah Indonesia dalam Pendidikan
MASALAH pendidikan sebenarnya teramat penting untuk negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan jumlah tenaga kerja sekitar 144 juta orang. Apabila tidak memperoleh pendidikan memadai, penduduk atau tenaga kerja yang ada itu akan menjadi beban daripada menjadi modal dasar pembangunan.
MESKI dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah disebutkan salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa selain untuk memajukan kesejahteraan umum, sektor pendidikan tampaknya amat terbelakang dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi, misalnya.
Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan yang amat rendah. Indonesia hanya menyumbangkan sekitar 1,4 persen produk nasional brutonya untuk pendidikan dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 4,5 persen (UNDP, 2001).
Sementara untuk pengeluaran pemerintah pada periode sebelum krisis (1991-1995), pengeluaran pemerintah hanya 1,3 persen, amat jauh di bawah negara jiran Malaysia yang mencapai 4,8 persen. Meski sama-sama dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, Malaysia tampaknya lebih berhasil dalam mencerdaskan kehidupan rakyatnya daripada Indonesia. Malaysia juga lebih berhasil dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan. Data sebelum krisis (1995) menunjukkan, Malaysia bahkan mengalami kekurangan tenaga kerja sebesar 60.000 orang, sedangkan Indonesia dihadapkan masalah kelebihan 1,2 juta tenaga kerja!
Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai landasan perjuangan bangsa yang sakral.
Sebelum pemerintahan Presiden Soeharto, sebenarnya masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.
Sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI baru) sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah menjadi Partai Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), konsep pentingnya pendidikan telah diajukan Hatta dalam Pasal 4 Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat dalam hal pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung Hatta dalam reuni Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun 1968).
Namun, sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikan mulai dikesampingkan, terutama mungkin terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan Soeharto untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat.
Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam sejarah, berbagai macam pelajaran sejarah yang ada secara tumpang tindih diberikan berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan perguruan tinggi dalam bentuk P4. Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih dari justifikasi mengenai G30S, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran konstitusional terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Tidak heran apabila sistem pendidikan yang ada di Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari kurikulum yang ada ditentukan oleh pusat (Ibrahim, 1998).
Contoh lain, dalam hal dana instruksi presiden (inpres) pada masa Soeharto. Meski tujuannya baik, yaitu untuk menanggulangi kemiskinan, penyaluran dana inpres untuk pendidikan (pembangunan SD inpres) lebih banyak muatan politiknya, yaitu untuk memberi \"hadiah\" bagi wilayah di mana pemerintah memperoleh dukungan politik, hal ini dikarenakan kategori penyaluran dana yang tak jelas dan abstrak.
Sejak saat itu, fokus pembangunan lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi daripada pembangunan manusia. Departemen Pendidikan pun tumbuh menjadi kementerian yang termarjinalisasi dibandingkan dengan departemen lain.
Rosser (2002) mencatat, pada tahun 1980-an Menteri Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita) dan Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ Habibie) merupakan kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan pembangunan.
Hal ini berbeda dengan Malaysia. Menurut Musa (2003), Kementerian Pendidikan selalu memperoleh tempat yang terpandang di Malaysia, dengan semua perdana menteri Malaysia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan. Kementerian Pendidikan di Malaysia juga memperoleh anggaran yang besar dari total pengeluaran pemerintah. Bahkan, tahun 2003, departemen ini menerima 27 persen dari total pengeluaran pemerintah (Musa, 2003).
DPR sebenarnya sudah berupaya mengoreksi kebijakan pendidikan di Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Ayat (49), yang mensyaratkan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan harus paling rendah sebesar 20 persen dari total anggaran pemerintah pusat maupun daerah. Namun, dengan mudahnya menteri keuangan menyatakan angka itu baru bisa dipenuhi tahun 2009! Anehnya, DPR tidak bereaksi apa-apa.
Atas keadaan ini, seharusnya ada konsekuensi hukum bila ada pihak yang melanggar UU. Anehnya lagi, tidak lama kemudian pemerintah mengumumkan darurat militer di Aceh, di mana untuk perpanjangannya selama enam bulan telah menelan dana sekitar Rp 2 triliun (Tempointeraktif, 14/11/2003), yang sebelumnya tidak ada dalam anggaran.
Uraian itu menunjukkan rendahnya prioritas pendidikan dalam pemikiran elite politik saat ini. Anehnya, dalam masa kampanye pemilu presiden beberapa waktu lalu, masalah pendidikan merupakan masalah utama yang dijanjikan para kandidat. Beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan mengangkat 100.000 guru.
Sayangnya, janji-janji itu justru menggambarkan ketidakmengertian pemerintah saat ini atas masalah pendidikan. Kandidat yang menjanjikan pengangkatan 100.000 guru seharusnya memahami bahwa beban anggaran gaji guru dalam otonomi daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sudah banyak pemerintah daerah yang bingung mengatasi beban transfer gaji guru dari pusat ke daerah karena APBD mereka tidak mencukupi, bahkan di kemudian hari mungkin harus menanggung beban tambahan dari janji-janji kandidat presiden yang ada.
Hal ini menunjukkan, pada masa mendatang, paling tidak lima tahun ke depan, masalah pendidikan di Indonesia masih akan memperoleh prioritas yang tidak semestinya.Lantas, apa yang harus dilakukan? Dalam buku IQ and the Wealth of Nations (2002), Lynn dan Vanhanen menyimpulkan, produk domestik bruto (PDB) dan IQ dari penduduk suatu negara mempunyai hubungan yang amat erat. Tingkat IQ dari penduduk suatu negara, menurut mereka, dapat menjelaskan variasi yang ada dalam PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi.
Di kawasan Asia Tenggara, rata-rata IQ penduduk Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dan ada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Satu hal lagi dari tabel di atas adalah prediksi PDB Indonesia berdasarkan level IQ yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang ada. PDB Indonesia pada tabel itu hanya sekitar 25 persen dari PDB yang diprediksikan atau PDB potensial yang dapat dicapai.
Hal ini menunjukkan potensi luar biasa bagi perekonomian Indonesia apabila saja kondisi infrastruktur sosial yang ada dibenahi (budaya KKN dan sebagainya) dan kita dapat membentuk masyarakat yang berdasarkan \"guna\" (merit-based society) sehingga seseorang benar-benar dinilai berdasarkan pada apa yang telah dihasilkan, bukan sekadar berdasarkan pada relasi atau kekuasaan.
Apabila pengeluaran pemerintah untuk pendidikan kurang bisa diharapkan, apakah kita harus menunggu sampai elite politik sadar bahwa pendidikan itu penting? Sebenarnya peran serta masyarakat sendiri masih dapat diharapkan.
Porsi pengeluaran untuk pendidikan sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi dalam rumah tangga. Namun, ini juga bergantung pada bagaimana masyarakat memandang pendidikan itu sendiri. Jika pendidikan hanya dipandang sebagai \"biaya\", tentu ada keengganan untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan.
Namun, apabila masyarakat dapat melihat pendidikan sebagai bentuk \"investasi\", yang nantinya akan dapat membawa mereka ke tingkat kesejahteraan lebih baik, masa depan lebih cerah, dan pendapatan lebih tinggi, masyarakat tentu tidak akan sayang meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan. Hanya saja, \"investasi\" dalam pendidikan mungkin hanya akan tinggal angan-angan jika tidak ada perbaikan struktur ekonomi dan struktur sosial yang menjamin bahwa keahlian yang diperoleh dalam pendidikan benar-benar bisa dimanfaatkan untuk memperoleh pekerjaan ataupun pendapatan lebih baik.


Daftar rujukan
Browsing di Intenet di www.google.com dan www.yahoo.com pada tanggal 5 Mei 2010 di warnet dekat kampus UIN Syarf Hidayatullah Jakarta
Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004
Akhmad Bayhaqi Pengajar pada Fakultas Ekonomi UI dan Peneliti pada LPEM-FEUI
Teori Alokasi atau Persaingan Status, Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979).
W Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976).
orld Bank, World Development Report, 1980

Lynn dan Vanhanen. Buku IQ and the Wealth of Nations (2002)

Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas

Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga

Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992), yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956)

Easterly (2001), Rosser (2002)


Kutipan Buku Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995), mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India