Powered By Blogger

Minggu, 18 September 2011

Perbandingan Sistem Ekonomi Kapitalis dengan Ekonomi Islam

PERBEDAAN MENDASAR EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL By H. Nur Kholis, S.Ag, M.Sh.Ec A. Pengantar Sistem ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan lembaga pengambilan keputusan yang mengimplementasikan keputusan tersebut terhadap produksi, konsumsi dan distribusi pendapatan.[1] Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian suatu negara. Sistem ekonomi terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks, misalnya ideologi dan sistem kepercayaan, pandangan hidup, lingkungan geografi, politik, sosial budaya, dan lain-lain. Pada saat ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi negara-negara di dunia. Meskipun demikian secara garis besar, sistem ekonomi dapat dikelompokkan pada dua kutub, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem-sistem yang lain seperti welfare state, state capitalism, market socialisme, democratic sosialism pada dasarnya bekerja pada bingkai kapitalisme dan sosialisme. Akan tetapi, sejak runtuhnya Uni Soviet, sistem sosialisme dianggap telah tumbang bersama runtuhnya Uni Soviet tersebut. Dalam konteks tulisan ini, maksud ekonomi konvensional adalah sistem ekonomi kapitalisme yang hingga kini masih menjadi sistem ekonomi kuat di dunia. B. Pokok-pokok ekonomi konvensional 1. Sejarah Sistem ekonomi konvensional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis diawali dengan terbitnya buku The Wealth of Nation karangan Adam Smith pada tahun 1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan pengaruh besar terhadap pemikiran para ekonom sesudahnya dan juga pengambil kebijakan negara. Lahirnya sistem ekonomi kapitalis, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pemikiran dan perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya. Pada suatu masa, di Benua Eropa pernah ada suatu zaman dimana tidak ada pengakuan terhadap hak milik manusia, melainkan yang ada hanyalah milik Tuhan yang harus dipersembahkan kepada pemimpin agama sebagai wakil mutlak dari Tuhan. Pada zaman tersebut yang kemudian terkenal dengan sistem universalisme. Sistem ini ditegakkan atas dasar keyakinan kaum agama “semua datang dari Tuhan, milik Tuhan dan harus dipulangkan kepada Tuhan”. Kemudian lahir pula golongan baru, yang mendekatkan dirinya pada kaum agama, yaitu kaum feodal. Mereka ini yang berkuasa di daerahnya masing-masing, lalu menguasai tanah-tanah dan memaksa rakyat menjadi hamba sahaya yang harus menggarap tanah itu. Sistem feodal hidup subur di bawah faham universalisme. Faham ini lebih terkenal dengan feodalisme. Jika kaum feodal memaksa rakyat bekerja mati-matian, maka kaum agama dengan nama Tuhan menghilangkan hak dari segala miliknya. Artinya kaum feodal yang bekerjasama dengan kaum agama, telah mempermainkan seluruh hak milik manusia untuk kepentingan mereka sendiri. Gambaran yang dapat diperoleh dari zaman kaum agama dan feodal ialah manusia hidup seperti hewan, tidak mempunyai fikiran sendiri, tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri dan semuanya hanyalah kaum agama yang memilikinya. Inilah suatu kesalahan besar yang pernah diperbuat oleh kaum agama di benua Eropa. Seluruh masyarakat Eropa berontak dan mengadakan perlawanan menentang kaum agama dan feodal. Pecahlah revolusi Perancis yang sudah terkenal itu. Revolusi Perancis (1789 – 1793) dipandang sebagai puncak kegelisahan dari rakyat yang tertindas dan dirampas haknya. Dengan dendam dan kemarahan yang luar biasa mereka menghancurkan universalisme dan feodalisme yang mengikat mereka. Tetapi, akibatnya lebih buruk dari itu. Bukan saja mereka memusuhi kaum agama dan feodal, tetapi juga menjatuhkan nama suci dari Tuhan yang selalu dibuat kedok oleh kedua golongan di atas. Di samping itu, berkembangnya sistem ekonomi kapitalis juga dapat dirunut dari sejak munculnya faham fisiokrat (abad 17) yang mengatakan bahwa pertanian adalah dasar dari produksi negara, sebab itu, seluruh perhatian harus ditumbuhkan kepada memperbesar hasil pertanian. Kemudian lahir pula paham merkantilisme (awal abad 18) yang mengatakan bahwa perdagangan adalah lebih penting dari pertanian, karena itu pemerintah harus memberikan perhatiannya kepada mencari perdagangan dengan negara-negara lainnya. Pada pertengahan abad ke-18, lahirlah paham baru yang dinamakan liberalisme dari Adam Smith (1723 – 1790) di Inggris. Menurut dia, bukan soal pertanian atau perdagangan yang harus dipentingkan, tetapi titik beratnya diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan diri. Jika seseorang dibebaskan untuk berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk mengatur kepentingan dirinya. Sebab itu ajaran laiser aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi persaingan mereka. Selanjutnya manusia memasuki kancah individualisme yang ditandai dengan nafsu untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang bebas tadi. Dari paham liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini akhirnya menimbulkan sistem ekonomi, sistem ekonomi kapitalis. Berkembangnya paham kapitalis menimbulkan reaksi yang ditandai dengan munculnya paham komunisme. Paham ini lahir dari seorang Jerman, bernama Karl Marx pada tahun 1848 yang sangat kecewa terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dianggap telah menyengsarakan rakyat banyak. Silih berganti nasib yang dilalui paham Marx itu. Tetapi akhirnya sewaktu Lenin mendirikan pertama kali negara komunis di Rusia pada tahun 1917, maka marxisme telah menjejakkan kakinya dengan kuat sebagai dasar bagi negara baru tersebut. Walapun ajaran komunisme ini pernah menguasai hampir separo dari penduduk dunia, akan tetapi paham ini dianggap telah runtuh bersamaan dengan runtuhnya Rusia. 2. Landasan Filosofi dan Welstanchaung Landasan filosofi sekaligus welstanchaung sistem ekonomi kapitalis adalah materialisme dan sekularisme. Pengertian manusia sebagai homo economicus atau economic man adalah manusia yang materialis hedonis, sehingga ia selalu dianggap memiliki serakah atau rakus terhadap materi. Dalam perspektif materialisme hedonisme murni, segala kegiatan manusia dilatarbelakangi dan diorientasikan kepada segala sesuatu yang bersifat material. Manusia dianggap merasa bahagia jika segala kebutuhan materialnya terpenuhi secara melimpah. Pengertian kesejahteraan yang materialistik seperti ini seringkali menafikan atau paling tidak meminimalkan keterkaitannya dengan unsur-unsur spiritual ruhaniah.[2] Dalam sistem ekonomi kapitalis, materi adalah sangat penting bahkan dianggap sebagai penggerak utama perekonomian. Dari sinilah sebenarnya, istilah kapitalisme berasal, yaitu paham yang menjadikan kapital (modal/material) sebagai isme. Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasionality assumption dalam ekonomi menurut Roger LeRoy Miller adalah individuals do not intentionally make decisions that would leave them worse off.[3] Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Bahkan menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang nampak tidak rasional akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti yang kuat, misalnya orang yang berpacaran menghabiskan waktu dan uang, dan lain sebagainya. Rasionaliti merupakan kunci utama dalam pemikiran ekonomi modern. Ia menjadi asas aksioma bahwa manusia adalah makhluk rasional.[4] Konsep rasionaliti muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu set constrain. Yang dimaksud constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah SWT.[5] Berdasarkan pernyataan di atas maka manusia perlu membuat suatu pilihan yang rasional sehingga pilihan tersebut dapat memberikan kepuasan atau keuntungan yang maksimal pada manusia. Menurut ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest)[6] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap ekuivalen (equivalent) dengan memaksimalkan utiliti. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat. Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[7] Pada sisi lain, landasan filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual dan material (atau agama dan dunia) secara dikotomis. Segala hal yang berkaitan dengan dunia adalah urusan manusia itu sendiri sedangkan agama hanyalah mengurusi hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Implikasi dari ini adalah menempatkan manusia sebagai sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris) yaitu manusilah yang berhak menentukan kehidupannya sendiri. 3. Pokok-pokok pikiran Dalam dunia nyata, kapitalisme tidak memiliki bentuk yang tunggal. Ia memiliki ragam yang tidak selalu sama di antara negara-negara yang menerapkannya, dan ia seringkali berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal, (1) ada banyak ragam pendapat dari para pemikir, (2) definisi kapitalisme selalu berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi dan modifikasi ini telah berlangsung berabad-abad.[8] Dengan demikian, pengertian kapitalisme sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam pemikiran Adam Smith mungkin tidak lagi dijumpai secara murni. Karakteristik umum kapitalisme antara lain: a. Kapitalisme menganggap ekspansi kekayaan yang dipercepat dan produksi yang maksimal serta pemenuhan keinginan menurut preferensi individual sebagai sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan manusia. b. Kapitalisme menganggap bahwa kebebasan individu yang tak terhambat dalam mengaktualisasikan kepentingan diri sendiri dan kepemilikan atau pengelolaan kekayaan pribadi sebagai suatu hal yang sangat penting bagi inisiatif individu c. Kapitalisme berasumsi bahwa inisiatif individu ditambah dengan pembuatan keputusan yang terdesentralisasi dalam suatu pasar yang kompetitif sebagai syarat utama untuk mewujudkan efisiensi optimum dalam alokasi sumberdaya ekonomi. d. Kapitalisme tidak menyukai pentingnya peranan pemerintah atau penilaian kolektif (oleh masyarakat), baik dalam efisiensi alokatif maupun pemerataan distributif. e. Kapitalisme mengklaim bahwa melayani kepentingan diri sendiri oleh setiap individu secara otomatis akan melayani kepentingan sosial kolektif. Adapun konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi konvensional[9] adalah sebagai berikut: a. Rational economic man Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Berdasarkan paham ini, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest)[10] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam implementasinya, rasionaliti ini dianggap dapt diterapkan hanya jika individu diberikan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga dengan sendirinya di dalamnya terkandung individualisme dan liberalisme. Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[11] Oleh karena itu, kapitalisme sangat menjunjung tinggi pasar yang bebas dan menganggap tidak perlu ada campur tangan pemerintah.[12] b. Positivism Kapitalisme berusaha mewujudkan suatu ilmu ekonomi yang bersifat objektif, bebas dari petimbangan moralitas dan nilai, dan karenanya berlaku universal. Ilmu ekonomi telah dideklarasikan sebagai kenetralan yang maksimal di antara hasil akhir dan independensi setiap kedudukan etika atau pertimbangan normatif. Untuk mewujudkan obyektivitas ini, maka positivism telah menjadi bagian integral dari paradigma ilmu ekonomi. Positivism menjadi sebuah keyakinan bahwa setiap pernyataan ekonomi yang timbul harus mempunyai pembenaran dari fakta empiris. Paham ini secara otomatis mengabaikan peran agama dalam ekonomi, sebab dalam banyak hal, agama mengajarkan sesuatu yang bersifat normatif. c. Hukum Say Terdapat suatu keyakinan bahwa selalu terdapat keseimbangan (equilibrium) yang bersifat alamiah, sebagaimana hukum keseimbangan alam dalam tradisi fisika Newtonian. Jean Babtis Say menyatakan bahwa supply creates its own demand, penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada asumsi bahwa tidak akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi. Kegiatan produksi dengan sendirinya akan menciptakan permintaannya sendiri, maka tidak akan terjadi kelebihan produksi dan pengangguran. Implikasi selanjutnya, tidak perlu ada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Intervensi pemerintah dianggap justru akan mengganggu keseimbangan alamiah. Asumsi inilah yang menjadi piranti keyakinan akan kehebatan pasar dalam menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Inilah salah satu paradigma ilmu ekonomi konvensional.[13] C. Pokok-pokok Ekonomi Islam 1. Sejarah Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah diturunkan oleh Allah SWT di daerah Arab sebuah analisis tentang ekonomi yang unggul, karena analisis ekonomi tersebut tidak hanya mencerminkan keadaan bangsa Arab pada waktu itu –sehingga hanya bermanfaat untuk bangsa Arab saat itu–, tetapi juga untuk seluruh dunia. Struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah suatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam. Berbagai pemikiran dari para sarjana ataupun filosof zaman dahulu mengenai ekonomi tersebut juga sudah ada. Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf (731 - 798 M), Yahya Ibnu Adam (meninggal 818 M), Al Farabi (870 – 950 M), Ibnu Sina (980 – 1037 M), El-Hariri (1054 – 1122 M), Imam Al Ghozali (1058 – 1111 M), Tusi (1201 – 1274 M), Ibnu Taimiyah (1262 – 1328 M), Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M), dan lain-lain. Sumbangan Abu Yusuf terhadap keuangan umum adalah tekanannya terhadap peranan negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang bahkan masih berlaku sampai sekarang ini. Gagasan Ibnu Taimiyah tentang harga ekuivalen, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan pasar dan pengendalian harga, tekanan terhadap peranan negara untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dan gagasannya terhadap hak milik, memberikan sejumlah petunjuk penting bagi perkembangan ekonomi dunia sekarang ini. Ibnu Khaldun telah memberikan definisi ekonomi yang lebih luas dengan menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang positif maupun normatif. Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu saja. Ibnu Khaldun juga menyatakan adanya hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekonomi, politik, sosial, etika, dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan ekonomi yang mendasar seperti pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja dalam teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem harga dan sebagainya. Secara keseluruhan para cendekiawan tersebut pada umumnya dan Ibnu Khaldun pada khususnya dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan klasik (misalnya Adam Smith, Ricardo, Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes). Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat eksklusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas spesifik yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang. Sebenarnya Ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya, ekonomi Islam dapat menunjukkan jati dirinya – dengan segala kelebihannya — pada setiap sistem yang dimilikinya. Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine economics. Cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya — sebab pelakunya pasti manusia — tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (QS 3: 109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan main..”Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (QS 42: 12; 13: 26). Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak untuk mendapatkannya (11: 6). Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha. Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam — meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi — mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya. Ekonomi Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam bisa dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan, apakah ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada sejarah dan makna yang terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen untuk hal ini antara lain: 1. Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firmannya QS Al-An’am (6):38, ما فرطنا في الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون 2. ٍSejarah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai zaman keemasan, yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu, sangat banyak kontribusi sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh semua pihak dalam berbagai bidang ilmu sampai saat ini, seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain sebagainya. Sejarah juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah kemajuan umat dengan begitu banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup dan bidang keilmuan tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan ekonomi. 3. ٍSejarah juga mencatat banyak tokoh ekonom muslim yang hidup dan berjaya di zamannya masing-masing, seperti Tusi, Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah, Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun dan lain-lain.[14] Bahkan yang disebut terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia[15] sebagai berikut: “Ibn Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtues and the necessity of a division of labor before (Adam) Smith and the principle of labor before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keynes. The economist who rediscovered mechanisms that he had already found are too many to be named.” “. . . although Ibn Khaldun is the forerunner of many economist, he is an accident of history and has no consequence on the evolution of economic thought.” Ketiga argumen dan indikator di atas dapat dipakai sebagai pendukung yang amat meyakinkan bahwa sistem ekonomi Islam bukanlah hal baru sama sekali. Namun patut diakui bahwa sistem yang pernah berjaya ini pernah tenggelam dalam masa yang cukup lama, dan sempat dilupakan oleh sementara pihak, karena kuatnya dua sistem yang pernah berebut simpati dunia yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme. Sistem ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu: 1. Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif. Masa ini dimulai kira-kira apada pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam lokal ayang beroperasi bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an. Lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomir Local Saving yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir. Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya. 2. Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim. Konferensi internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977. Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi kerja sama ekonomi yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun 1983. Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad, kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian. Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di seluruh dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom muslim yang dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of life yang integral dan komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa di mata dunia. 3. Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam bermunculan di mayoritas negara-negara muslim termasuk di Indonesia. 4. Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat. 2. Pengertian dan Prinsip Dasar Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”.[16] Menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam adalah a systematic effort to try to understand the economic problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective. Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.[17] Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[18] Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra[19] adalah sebagai berikut: 1. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya. 2. Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia. 3. Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas. 3. Landasan Filosofi dan Welstanchaung Banyak sekali keterangan dari Al-Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual beli yang baik dan sah menurut Islam, pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama. Dari namanya sudah dapat dipastikan bahwa secara ideologi sistem ekonomi Islam kental dengan nuansa keislaman, dengan kata yang lebih jelas adalah aqidah islamiyah. Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengan jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya halal, secara zatnya maupun secara perolehannya. Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat[20] menegaskan: ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق Artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan: اينما كانت المصلحة فثم حكم الله Artinya: “Di mana ada maslahah, di sanalah hukum Allah”. [21] Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[22] Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.[23] Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi. Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[24] 4. Pokok-pokok Pikiran a. Metodologi Ekonomi Islam Para pakar ekonomi Islam (seperti Masudul Alam Choudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam. Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[25]: 1. Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan secara membabi buta dan ngawur.[26] 2. Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode induktif. 3. Ilmu Usul tetap mengikat bagi metodologi ilmu ekonomi Islam. Walaupun begitu pemikiran kritis dan evaluatif terhadap ilmu usul sangat diperlukan karena pada dasarnya ilmu usul adalah produk pemikrian manusia. 4. Penggunaan metode ilmiah konvensional atau metodologi lainnya dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. 5. Ekonomi Islam dibangun di atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain. 6. Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif. 7. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat. 8. Pada dasarnya metodologi yang bersumber dari metode ilmiah memiliki peluang untuk menghasilkan kesimpulan yang sama dengan yang bersumber dari ilmu usul. Ilmu usul untuk ayat qauliyah dan metode ilmiah untuk ayat kauniyah b. Ekonomi Islam Membentuk Islamic Man Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikan manusia sebagai rational economic man, ekonomi Islam membentuk manusia menjadi islamic man. Faham rational economic man dalam ekonomi konvensional menuai berbagai kritik. Di antara kritik-kritik terhadap rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah sebagai berikut: 1. Terlalu demanding, karena menganggap setiap agen ekonomi pasti memiliki informasi lengkap. Ini tentu anggapan yang tidak realistik. Di samping itu terlalu terbatas, karena memahami self interest secara sangat sempit. 2. Tidak menggambarkan tingkah laku manusia yang sesungguhnya yaitu apa yang diasumsikan oleh ekonomi konvensional tidak mewakili perilaku manusia yang sebenarnya dan mengabaikan sama sekali emosi dan perasan. Clive Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan bersepakat dengan kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang berperasaan selain berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang mengabaikan perasaan (moral/etika) dan spirituality merupakan kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu dengan hanya berdasarkan akal semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.[27] 3. Pilihan perlu konsisten. Individu diandaikan rasional jika memilih pilihannya yang senantiasa konsisten dan mengabaikan perbedaan cita rasa individu. Di samping itu, dalam setiap pilihannya, setiap individu tidak hanya mempertimbangkan apakah pilihannya itu memenuhi utilitinya, akan tetapi juga mempertimbangkan mestikah memilih pilihan itu. Misalnya, pertanyaannya bukan hanya, “Dapatkah benda ini dibeli?” Tetapi juga “Haruskah minuman keras ini dibeli?”. Oleh karena itu Viktor J. Vanberg[28] menyatakan bahwa karena tidak mungkin mencapai konsisten yang terus menerus dalam pilihan rasional, beliau menyatakan perlu ada sebuah teori yang disebut dengan theory of behavioural adaptation. 4. Terlalu materialistik. Teori ilmu ekonomi konvensional menganggap manusia senantiasa ingin mencapai keuntungan material yang lebih tinggi sedangkan sebenarnya ada batasan dalam kehendak manusia. Dalam kenyataannya keinginan manusia tidak hanya dibatasi oleh budget constrain/level of income, tingkat harga, atau tingkat modal yang dipunya, tetapi juga oleh hukum, peraturan perundangan, tradisi, nilai-nilai/ajaran agama, nilai moral, dan tanggung jawab sosial.[29] Secara konseptual terdapat perberbedaan mendasar antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam memandang manusia. Ekonomi konvensional mengasumsikan manusia sebagai rational economic man, sedangkan ekonomi Islam hendak membentuk manusia yang berkarakterkan Islamic man (‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup. Islamic man dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau tidak, tabzir atau tidak, memudaratkan masyarakat atau tidak dan lain-lain. Ketakwaannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada hari kiamat membuatnya senantiasa taat kepada rules Allah dan Rasul-Nya. Islamic man tidak materialistik, ia senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati, suka menolong, dan peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk menyenangkan orang lain. (QS 2: 215; QS 92: 18-19). Motifnya dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma, bersedekah, menyantuni anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan sebagainya, tidak dilandasi motif ekonomi sebagaimana dalam doctrine of social responsibility, tetapi semata-mata berharap keridhaan Allah SWT. Dalam ekonomi Islam, tindakan rasional termasuklah kepuasan atau keuntungan ekonomi dan rohani baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan dalam ekonomi konvensional cakupan tujuannya terbatas hanya pada kepuasan atau keuntungan ekonomi saja. Oleh karena itu, dimensi waktu dalam ekonomi Islam adalah lebih luas dan menjadi perhatian tersendiri pada tingkat agen-agen ekonomi di dalam Islam. Dalam ekonomi Islam, di dalam menjalankan perekonomian tidak hanya berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah SWT. Manusia perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan dibanding ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional apabila .individu tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum sesuai dengan norma-norma Islam.[30] Individu rasional adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falah dibanding memaksimumkan kepentingan diri sendiri. Konsep asas rasionalisme Islam menurut Monzer Kahf[31]: 1. Konsep kesuksesan Islam membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama Islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas seseorang, semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan kunci dalam moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta menjauhkan diri dari kejahatan. Ketakwaan kepada Allah dicapai dengan menyandarkan seluruh kehidupan hanya karena (niyat), dan hanya untuk (tujuan) Allah, dan dengan cara yang telah ditentukan oleh Allah.[32] 2. Jangka waktu perilaku konsumen Dalam pandangan Islam kehidupan dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal di akhirat. Maka dalam mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua tempoh waktu tersebut, demi mencapai kesuksesan yang hakiki. Oleh karena itu sebagian dari keuntungan atau kepuasan di dunia sanggup dikorbankan untuk kepuasan di hari akhirat. Manakala dalam pandangan konvensional mereka tidak memperhitungkan hal tersebut karena mereka menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya, sehingga tidak perlu menyisihkan sebagian hartanya dari keuntungan atau kepuasan untuk masa yang tidak jelas dan tidak logis pada hari akhirat. 3. Konsep kekayaan Kekayaan dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia. 4. Konsep barang Konsep barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram. Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi pada tiga kategori yaitu: barang keperluan primer (daruriyyat) dan barang sekunder (hajiyyah) dan barang tersier (tahsiniyyat). Barang haram tidak diakui sebagai barang dalam konsep Islam. Dalam menggunakan barang senantiasa memperhatikan maqasid syariah (tujuan syariah). Oleh karena itu konsep barang yang tiga macam tersebut tidak berada dalam satu level akan tetapi sifatnya bertingkat dari daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. [33] 5. Etika konsumen Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran) dan tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi dan lainnya. Dengan demikian economic rationality from Islamic view bermakna: (1) konsisten dalam pilihan ekonomi (2) Content pilihan tidak mengandungi haram, israf, tabdzir, mudarat kepada masyarakat (jadi senantiasa taat kepada rules Allah) (3) Memperhatikan faktor eksternal seperti kebaikan hati (altruism) yang sesungguhnya, interaksi sosial yang mesra. Menurut Siddiqi, perilaku rasional dalam ekonomi Islam tidak selalu mengindikasikan pemaksimuman.(Rational behaviour in Islamic economics doesn’t necessarily imply maximization). c. Keseimbangan dalam Ekonomi Islam Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang, akan tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri.[34] Rasionaliti keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional ditunjukkan pada perilaku seseorang untuk memenuhi kehendaknya dan kehendak masyarakat sebagaimana ia memenuhi kehendak dirinya sendiri. Kenyataan ini adalah tidak benar karena perilaku seseorang individu adalah berbeda dengan perilaku individu lain dan tidaklah mungkin bisa memenuhi keperluan dan keinginan sendiri apabila keperluan individu itu tidak dipenuhi. Timothy Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens (makhluk bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional memaksimumkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan reduksi yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral/etika.[35] Menurut Umer Chapra, sebenarnya kalau tujuan-tujuan normatif masyarakat telah ditentukan, tidak bisa ada kebebasan tak terbatas untuk mendefinisikan rasionaliti sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dengan demikian, perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku yang kondusif bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.[36] Sebenarnya dapat saja memenuhi kepentingan diri sendiri dalam berbagai cara, baik ekonomi maupun nonekonomi, yang didasarkan kepada perhitungan uang atau selain uang. Namun, untuk menyelaraskan dengan orientasi materinya, ilmu ekonomi mengesampingkan semua aspek kepentingan diri nonekonomi itu, sementara itu ia hanya menyamakan rasionaliti dengan aspek ekonomi saja. Bahkan pengertian ekonomi di sini, disederhanakan lagi hanya dikaitkan dengan hitungan uang. Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang “manusia ekonomi” di mana tanggungj awab sosial satu-satunya adalah meningkatkan keuntungannya. Dengan demikian, ilmu ekonomi hanya memperhatikan perilaku rasional manusia ekonomi yang dimotivasi hanya oleh dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dengan cara memaksimumkan kekayaan dan konsumsinya lewat cara apapun. Semua keinginan lain yang membawa manusia bersama-sama seperti kerjasama, saling menyayangi, persaudaraan dan altruisme, di mana orang berjuang untuk kebahagiaan orang lain, sekalipun kadangkala hal itu mesti mengorbankan kepentingan dirinya sendiri, dikesampingkan sama sekali. Dengan demikian, jebakan ilmu ekonomi sekularis pada dasarnya adalah bagaimana memenuhi kepentingan diri sendiri lewat maksimumisasi kekayaan dan konsumsi sebagai alat utama untuk melakukan filterasasi, motivasi, dan restrukrisasi.[37] Berbeda dengan tujuan utama konsumsi oleh konsumen dalam ekonomi konvensional yang semata-mata memaksimumkan utilitinya, dalam Ekonomi Islam yang berasaskan syariat Islam, menolak aktivitas manusia yang selalu memenuhi segala kehendaknya untuk memaksimumkan utiliti, karena pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang baik dan buruk sekaligus. Kehendak manusia didorong oleh suatu kekuatan dalam diri manusia (inner power) yang bersifat pribadi, dan karenanya seringkali berbeda antara satu orang dengan lainnya (sangat subjektif). Kehendak tidak selalu sesuai dengan rasionaliti, karena sifatnya yang tak terbatas. Kekuatan dari dalam diri manusia itu disebut jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang menjadi penggerak aktiviti manusia.[38] Karena kualitas hawa nafsu manusia berbeda-beda, maka sangat wajar apabila kehendak satu orang dengan lainnya berbeda-beda pula.[39] Secara sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa: a. Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, sehingga mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya, disaat yang sama zakat tidak diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang diinvestasikan, Islam tidak mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini menyebabkan para pemilik harta berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada kemungkinan adanya kerugian hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi resesi dalam Islam dapat dihindari. b. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) menggantikan pranata bunga membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha, keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil. c. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya inflasi. d. Keadilan dalam distribusi pendapatan dan harta. Fakir miskin dan pihak yang tidak mampu ditingkatkan pola konsumsinya dengan mekanisme zakat, daya beli kaum dhu’afa meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja. e. Intervensi negara dalam roda perekonomian. Negara memiliki wewenang untuk intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat. Ada dua fungsi negara dalam roda perekonomian: (1) Melakukan pengawasan terhadap jalannya roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi seperti ; monopoli, upah minimum, harga pasar dan lain-lain. (2) Peran negara dalam distribusi kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang. d. Konsep Need Membawa Maslahah Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan kehendaknya (want) sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan keperluan (need) muncul dari suatu pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan manfaat bagi kehidupan. Keperluan diarahkan oleh rasionaliti normatif dan positif yaitu rasionaliti ajaran Islam, sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya. Jadi, seorang muslim mengkonsumsi suatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi keperluannya sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal ini merupakan asas dan tujuan dari syariat Islam itu sendiri, yaitu maslahah al-ibad (kesejahteraan hakiki untuk manusia), sekaligus sebagai cara untuk mendapatkan falah yang maksimum. Rasionaliti dalam ekonomi Islam, senantiasa memperhatikan maslahah untuk diri, keluarga dan masyarakat, utiliti bukanlah suatu prioritas, walau tidak dibuang. Implikasi pengaplikasian konsep need ini dalam mewujudkan maslahah adalah sebagai berikut: 1. Menghindarkan diri dari sikap israf (berlebih-lebihan melampaui batas). Seorang konsumen muslim akan selalu mempertimbangkan maslahah bagi diri dan masyarakatnya dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa dan menghindari sikap israf.[40] Ia tidak akan menuruti want-nya untuk mendapatkan utiliti yang maksimum, apabila didapati want-nya itu mengandungi israf. Misalnya, seorang muslim tidak akan mengkonsumsi makanan yang mahal-mahal walau income-nya memungkinkan untuk membelinya, sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan karena tidak punya makanan. Ia akan memilih untuk menginfakkan sebagian income-nya kepada tetangganya agar dapat makan. Dengan begitu ia berarti mendahulukan maslahah daripada memaksimalkan utiliti untuk diri pribadinya. 2. Mengutamakan akhirat daripada dunia. Pada asasnya seorang muslim akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu di antara mengkonsumsi barang ekonomi yang bersifat duniawi saja dan yang bersifat ibadah (ukhrawi). Pengunaan barang atau jasa untuk keperluan ibadah bernilai lebih tinggi dari konsumsi untuk duniawi. Konsumsi untuk ibadah lebih tinggi nilainya karena orientasinya adalah al-falah yang akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, sehingga lebih bertujuan untuk kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itulah, konsumsi untuk ibadah pada hakikatnya adalah konsumsi untuk masa depan (future consumption), sedangkan konsumsi duniawi adalah hanya untuk konsumsi masa sekarang (present consumption). Semakin besar konsumsi untuk ibadah maka semakin tinggi pula al-falah yang akan dicapai, vice versa.[41] 3. Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah) Keperluan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat kepentingan yang tidak selalu sama. Terdapat prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaatan dan kemendesakan dalam pemenuhannya. Para ulama telah membagi prioritas ini menjadi tiga, yaitu al-hajat al-dharuriyyah, al-hajat al-hajiyyah, dan al-hajat al-tahsiniyyah. Seorang muslim perlu mengalokasikan budget-nya secara urut sesuai dengan tingkat prioritasnya secara konsisten. Keperluan pada tingkat dharuriyyah mesti dipenuhi terlebih dahulu, baru kemudian hajiyyah dan akhir sekali tahsiniyyah.[42] Prioritas ini semestinya diaplikasikan pada semua jenis keperluan, yaitu agama (al-din), kehidupan, harta, ilmu pengetahuan (akal) dan kelangsungan keturunan. 4. Memperhatikan etika dan norma[43] Syariah Islam memiliki seperangkat etika dan norma yang mesti dipedomani dalam semua aktivitas kehidupan. Beberapa etika misalnya kesederhanaan, keadilan, kebersihan, halalan toyyiba, keseimbangan, dan lain-lain. Ringkasnya, seorang muslim dalam beraktivitas, khususnya dalam mengkonsumsi barang atau jasa mestilah berpedoman pada etika dan norma yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Ini artinya, ia lebih mengutamakan maslahah, dari mendapatkan utiliti untuk memenuhi want-nya yang relatif tidak terbatas. Menurut Anas Zarqa’,[44] perilaku muslim yang rasional dalam mengaplikaiskan konsep need akan mendorong individu untuk berada pada suatu tingkat yang berada di antara pembaziran dan kecukupan. Rasional dalam mengkonsumsi menurut modelnya adalah: 1. Konsumen yang rasional tidak akan berpuas hati sebelum sampai ke tahap barang kecukupan yang mampu diusahakan, karena akan dihukum bersalah dan dianggap menimbulkan penganiayaan terhadap diri dan keluarga. 2. Tidak melebihi garis pembaziran, karena dilarang Islam 3. Konsumen tidak menggunakan barang terlarang, karena berkibat buruk di akhirat. 4. Bersedia share sebagian dari konsumsinya dengan orang lain atas sikap mematuhi prinsip Islam seperti zakat, sadaqah, infaq. D. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, jelaslah perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Di antara perbedaan mendasar itu adalah: 1. Rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah rational economics man yaitu tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat. Sedangkan dalam ekonomi Islam jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic man (‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup. Ekonomi Islam menawarkan konsep rasionaliti secara lebih menyeluruh tentang tingkah laku agen-agen ekonomi yang berlandaskan etika ke arah mencapai al-falah, bukan kesuksesan di dunia malah yang lebih penting lagi ialah kesuksesan di akhirat. 2. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat, sedangkan ekonomi konvensional semata-mata kesejahteraan duniawi. 3. Sumber utama ekonomi Islam adabah al-Quran dan al-Sunnah atau ajaran Islam. Segala sesuatu yang bertentangan dengan dua sumber tersebut harus dikalahkan oleh aturan kedua sumber tersebut. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat positivistik. 4. Islam lebih menekankan pada konsep need daripada want dalam menuju maslahah, karena need lebih bisa diukur daripada want. Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan want dan need sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat. 5. Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang, akan tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri. Wallahua’lam bi Ash-Shawab. DAFTAR PUSTAKA AbulHasan M. Sadeq, 1992, “Islamic Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd. Ahmad, Khursid, 1992, dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB. Al-Syatibi, t.t., al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2. Chapra, M. Umer, 1995, Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation. Chapra, Umer, 2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam/The Future of Economics: An Islamic Perspective. Ikhwan Abidin Basri (terj.) Jakarta: Gema Insani Press Choudory, Masudul Alam, 1989, The Paradigm of Humanomics. Bangi: UKM Gorringe, Timothy, 1999, Fair Shares: Ethics and The Global Economy. Slovenia: Thames Hamilton, Clive, 1994, The Mystic Economist. Australia: Hamilton Hamouri, Qasem, 1991, “Rationality, Time and Accounting for The Future in Islamic Thaought”, dalam Faridi (ed), Essays in Islamic Economic Analysis. New Delhi: Genuine Publication & Media PVT. Ltd. Heap, Shaun Hargreaves, 1992, “Rationality”, dalam Shaun Hargreaves Heap et. al (1992), The Theory of Choice: A Critical Guide. Oxford UK: Basil Blackwell Ltd. Joni Tamkin Bin Borhan, 2002, “Economic Function of The State: An Islamic Perspective” dalam Jurnal Usuluddin, No. 16, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya. ___________________ 2002, “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya. Kahf, Monzer, 1989, “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications. _____________1992, “The Theory of Consumption” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd. __________, “A Contribution to the theory of Consumer Behaviour in Islamic Society” dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia ___________ 1991, “Zakat: Unresolved Issues in Contemporery Fiqh”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press. Khan, M. Fahim, 1992, “Theory of Consumer Behaviour in Islamic Perspective”, dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia ____________ 1994, An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan. Khan, Muhammad Akram, 1989, “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications. M.B. Hendrie Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: EKONISIA Mannan, M. Abdul, 1986, Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd. ____________1993, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.). Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf ____________1982, “Scarcity, Choice and Opportunity Cost: Their Dimension in Islamic Economics” Saudi Arabia: International Centre for Research in Islamic Economics March, James G. 1986, “Bounded Rationality, Ambiguity, and the Engineering of Choice”, dalam Jon Elster (ed.) Rational Choice. Oxford UK: Basil Blackwell Ltd. Miller, Roger LeRoy, 1997, Economics Today, The Micro View, edisi 9. New York: Addison Wesley Mohammad Daud Ali, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Nomani, Farhad dan Ali Rahnema, 1994, Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd. Qaradawi, Yusuf al-, 1998, al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami. Rahman, Afzalur, 1979, Economic Doctrines of Islam, Vol. 4, London: The Muslim Schools Trust. Samuelson, Paul dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomics. New York: McGraw-Hill, edisi 17 Siddiqi, Muhammad Nejatullah, 1991, “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press. ______________ 1992, “Islamic Consumer Behaviour” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. 2005, Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd. Syed Omar Syed Agil, 1992, “Rationality in Economic Theory: A Critical Appraisal”, dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd Tajuldin et.al, 2004, Rasionalisme dari Perspektif Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam: Implikasi ke Atas Keseimbangan Konsumen dan Keseimbangan Pengeluar. Kertas kerja untuk seminar Vanberg, Viktor J. 1994, Rules and Choice in Economics. London: Routledge, h. 37 Zarqa’, Anas, 1989, “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications ________________________________________ [1] Paul R Gregory dan Robert C Stuart, 1981, Comparative Economic System, Boston: Houghton Miffin Company, hal. 16. [2] M. Umer Chapra, 2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 3. [3] Roger LeRoy Miller, 1997, Economics Toda: The Micro View, edisi 9, New York: Addison Wesley, hal. 6 [4] Qasem Hamouri, 1991, “Rationality, Time and Accounting for The Future in Islamic Thaought”, dalam Faridi (ed), Essays in Islamic Economic Analysi, New Delhi: Genuine Publication & Media PVT. Ltd., hal. 70 [5] M.A. Mannan, 1982, “Scarcity, Choice and Opportunity Cost: Their Dimension in Islamic Economics” Saudi Arabia: International Centre for Research in Islamic Economics, hal. 107-109 [6] Ini tergambar dalam ungkapan Adam Smith (1776) dalam bukunya an Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, yang menyatakan “it is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest”. Sebagaimana dikutip oleh Miller, 1997, hal. 5-6 [7] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomic, New York: McGraw-Hill, edisi 17, hal. 30-31 dan 216 [8] Umer Chapra, 1995, Islam and Economic Challenge. Herndon USA: IIIT [9] Umer Chapra, 2001, op.cit. hal. 23-28 [10] Ini tergambar dalam ungkapan Adam Smith (1776) dalam bukunya an Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, yang menyatakan “it is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest”. Sebagaimana dikutip oleh Miller, 1997, hal. 5-6 [11] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomic, New York: McGraw-Hill, edisi 17, hal. 30-31 dan 216 [12] Dalam bukunya yang berjudul Economics, Paul dan Ronald Wonnacott menulis enam kelemahan mekanisme pasar. Pertama, sekalipun pasar memberikan kebebasan individu lebih tinggi kepada para pemain di dalamnya, ia hanya memberikan kepada si lemah kebebasan untuk merasakan lapar dan tersingkir. Kenyataan menunjukkan, dalam mekanisme pasar yang bebas dan berjalan baik, banyak orang kaya dapat memberikan makanan yang lebih bergizi untuk anjingnya daripada si miskin memberikan makanan kepada diri dan keluarganya. Kedua, dalam suatu sistem perekonomian dengan sistem pasar yang tidak diatur, akan terjadi keadaan yang sangat tidak stabil dengan inflasi tinggi, diikuti oleh resesi yang tajam. Bila ini terjadi, segenap lapisan masyarakat akan menderita. Ketiga, dalam sistem laissez faire, harga-harga di pasaran tidak selalu mencerminkan kekuatan pasar yang tidak memihak. Harga-harga yang mencerminkan mekanisme murni permintaan dan penawaran, hanya terjadi pada pasar bersaing sempurna. Namun pasar ini hanya ada dalam teori. Dalam faktanya, para produsen senantiasa memiliki kekuasaan untuk mempermainkan harga dan pasar cenderung berbentuk monopolis, oligopolis dan persaingan tidak sempurna. Keempat, pasar tidak menggubris efek eksternalitas seperti polusi udara dan air dan penurunan kualitas kehidupan fisik. Kelima, dalam wilayah-wilayah tertentu, kadang-kadang terjadi kegagalan pasar. Jika ini ada, maka pemerintahlah yang harus mengambil alih komando. Keenam, dalam sebuah perekonomian dengan mekanisme pasar yang baik, dunia usaha mampu memenuhi keinginan konsumen dengan sangat baik. Namun harus disadari konsumen bersedia membeli produk tidak selalu didorong oleh keinginan riil pribadinya yang independen, tetapi sering lebih dipengaruhi gencarnya iklan di berbagai media. Preferensi dan cita rasa konsumen telah didikte oleh imajinasi yang ditimbulkan oleh promosi. [13] M. B. Hendrie Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA, hal. 353 [14] M. Abdul Mannan, 1986, Islamic Economics, Theory and Practice. Cambride: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy; M. Umar Chapra, 2001, What is Islamic Economics, Jeddah: IRTI – IDB, hal. 44. [15] David Jean C. Boulakia, 1971, “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, Journal of Political Economy, Vol. 79, No. 5 (September/October), The University of Chicago, hal. 1117-1118. [16] M. Abdul Mannan, 1986, Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd., hal. 18. [17] Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1991, “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press, hal. 21. Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan Akram Khan, “Islamic economics aims at the study of human falah [well-being] achieved by organizing the resources of the earth on the basis of cooperation and participation”. Lihat Muhammad Akram Khan, 1994, An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan, hal. 33. Dan juga definisi Khurshid Ahmad, ekonomi Islam adalah “a sistematic effort to try to understand the economic problems and man’s behaviors in relation to that problem from an Islamic perspective”. Khursid Ahmad, 1992, dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB, hal. 19. [18] Lihat M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal. 10-11; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al., 2005, Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd., hal. 50; Mohammad Daud Ali, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hal. 18. [19] M. Umer Chapra, 2001, op.cit., hal. 202-206. [20] Al-Syatibi, t.t., al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2, hal. 19. [21] Yusuf al-Qaradawi, 1998, al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami, hal. 68. [22] Al-Quran menyebut kata falah dalam 40 tempat. Falah mencakup konsep kebahagiaan dalam dua dimensi yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan dimensi duniawi, falah mencakup tiga aspek, yaitu: (1) kelangsungan hidup, (2) kebebasan dari kemiskinan, (3) kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam kebahagiaan dimensi akhirat, falah mencakup tiga aspek juga, yaitu: (1) kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2) kesejahteraan abadi, (3) berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan. Falah hanya dapat dicapai dengan suatu tatatan kehidupan yang baik dan terhormat (hayah al-tayyibah). Lihat M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal. 7. [23] Muhammad Akram Khan, 1989, “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hal. 59; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al., 2005, op.cit., hal. 53; M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal. 7. [24] Anas Zarqa’, 1989, “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hal. 29-38. [25] Joni Tamkin Bin Borhan, 2002, “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, hal. 77-83; Farhad Nomani dan Ali Rahnema, 1994, Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd., hal. 2-19; Muhammad Akram Khan, 1989, op.cit., hal. 53-60; Monzer Kahf, 1989, “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hal. 43-48. [26] M. Abdul Mannan, 1986, op.cit., hal. 13-27. [27] Clive Hamilton, 1994, op.cit., hal. 6-7. Lihat pula Masudul Alam Choudory, 1989, The Paradigm of Humanomics, Bangi: UKM [28] Viktor J. Vanberg, 1994, Rules and Choice in Economics, London: Routledge, hal. 37 [29] Syed Omar Syed Agil, 1992, op.cit., hal. 34-38 [30] Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1992, “Islamic Consumer Behaviour” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd, hal. 55-56 [31] Monzer Kahf, 1992, “The Theory of Consumption” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd, hal. 62-67 [32] MB Hendri, 2003, op.cit., hal. 123 [33] M. Fahim Khan, 1992, “Theory of Consumer Behaviour in Islamic Perspective”, dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective, Petaling Jaya: Longman Malaysia, hal. 74 [34] Bandingkan dengan penjelasan Clive tentang transrationality, Clive Hamilton, 1994, The Mystic Economist, Australia: Hamilton, hal. 158-161 [35] Timothy Gorringe, 1999, Fair Shares: Ethics and The Global Economy, Slovenia: Thames, hal. 31 [36] Umer Chapra, 2001, op.cit., hal. 19 [37] Ibid., hal. 20 [38] Lihat QS Asy-Syams: 7-10 [39] Lihat QS Yusuf: 53; al-Qiyamah: 2; al-Fajr: 27 [40] M. Fahim Khan (1992), op. cit., hal. 78 [41] M.B Hendri Anto, 2003, op.cit., hal. 129-131. Lihat pula Monzer Kahf, “A Contribution to the theory of Consumer Behaviour in Islamic Society” dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia, hal. 96-98 [42] M.A Mannan, 1993, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.), Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, hal. 48 [43] M. Fahim Khan, 1992, op. cit., hal. 78. Lihat pula M.B Hendri Anto, 2003, op.cit., hal.132 [44] Sebagaimana dikutip Syed Omar Syed Agil, 1992, op.cit., hal. 43