Tugas Ekonomi Syariah
“Pembangunan Ekonomi Syariah”
Di Susun Oleh
IESP Semester 5 kelas A
Kelompok 3
Honey Annisah 108084000010
Devita Patriawati 108084000013
Dwi Aji Sapto 108084000015
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2010
Urgensi Berekonomi Secara Islami
Dalam pandangan Islam, manusia merupakan khalifah Allah SWT di muka bumi (QS. 2:30). Allah SWT menciptakan bumi dan segala isinya untuk manusia (QS. 2:29) dan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengelola sumber daya ekonomi yang tersedia di alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan membangun peradaban manusia ke arah yang lebih baik.
Manusia diberi kebebasan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan melakukan transaksi perekonomian sesama mereka (muamalah). Mengenai muamalah (kegiatan ekonomi) tersebut terdapat kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “Hukum ashal (awal/asli) dari muamalah adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang menyatakan sebaliknya. Artinya, segala kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil nash (Al-Quran dan sunnah) dan tujuan-tujuan syariah dalam perekonomian.
Tujuan-tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam. Pertama, kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas norma-norma moral Islami (QS. 2:60, 168, 172; 6:142; 7:31, 160; 16:114; 20:81; 23:51; 34:15; 67:15). Kedua, tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal (QS. 49:13). Ketiga, distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan.. Keempat, tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan social (QS. 7:157).
Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia
Secara sederhana, perkembangan itu dikelompokkan menjadi perkembangan industri keuangan syariah dan perkembangan ekonomi syariah non keuangan. Industri keuangan syariah relatif dapat dilihat dan diukur perkembangannya melalui data-data keuangan yang ada, sedangkan yang non keuangan perlu penelitian yang lebih dalam untuk mengetahuinya.
Di sektor perbankan, hingga saat ini sudah ada tiga Bank Umum Syariah (BUS), 21 unit usaha syariah bank konvensional, 528 kantor cabang (termasuk Kantor Cabang Pembantu (KCP), Unit Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK)), dan 105 Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Aset perbankan syariah per Maret 2007 lebih dari Rp. 28 triliun dengan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) hampir mencapai 22 Triliun. Meskipun asset perbankan syariah baru mencapai 1,63 persen dan dana pihak ketiga yang dihimpun baru mencapai 1,64% dari total asset perbankan nasional (per Februari 2007), namun pertumbuhannya cukup pesat dan menjanjikan. Diproyeksikan, pada tahun 2008, share industri perbankan syariah diharapkan mencapai 5 persen dari total industri perbankan nasional.
Di sektor pasar modal, produk keuangan syariah seperti reksa dana dan obligasi syariah juga terus meningkat. Sekarang ini terdapat 20 reksa dana syariah dengan jumlah dana kelola 638,8 miliar rupiah. Jumlah obligasi syariah sekarang ini mencapai 17 buah dengan nilai emisi mencapai 2,209 triliun rupiah.
Di sektor saham, pada tanggal 3 Juli 2000 BEJ meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII). JII yang merupakan indeks harga saham yang berbasis syariah terdiri dari 30 saham emiten yang dianggap telah memenuhi prinsip-prinsip syariah. Data pada akhir Juni 2005 tercatat nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp325,90 triliun atau 43% dari total nilai kapitalisasi pasar di BEJ. Sementara itu, volume perdagangan saham JII sebesar 348,9 juta lembar saham atau 39% dari total volume perdagangan saham dan nilai perdagangan saham JII sebesar Rp322,3 miliar atau 42% dari total nilai perdagangan saham. Peranan pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku keuangan syariah di Indonesia adalah penerbitan Undang-undang Perbankan Syariah dan Undang-undang Surat Berharga Negara Syariah (SBSN).
Di sektor asuransi, hingga Agustus 2006 ini sudah lebih 30 perusahaan yang menawarkan produk asuransi dan reasuransi syariah. Namun, market share asuransi syariah belum baru sekitar 1% dari pasar asuransi nasional. Di bidang multifinance pun semakin berkembang dengan meningkatnya minat beberapa perusahaan multifinance dengan pembiayaan secara syariah. Angka-angka ini diharapkan semakin meningkat seiiring dengan meningkatnya permintaan dan tingkat imbalan (rate of return) dari masing-masing produk keuangan syariah.
Di sektor mikro, perkembangannya cukup menggembirakan. Lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) terus bertambah, demikian juga dengan aset dan pembiayaan yang disalurkan. Sekarang sedang dikembangkan produk-produk keuangan mikro lain semisal micro-insurance dan mungkin micro-mutual-fund (reksa dana mikro).
Sisi Non-Keuangan
Industri keuangan syariah adalah salah satu bagian dari bangunan ekonomi syariah. Sama halnya dengan ekonomi konvensional, bangunan ekonomi syariah juga mengenal aspek makro maupun mikro ekonomi. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana masyarakat dapat berperilaku ekonomi secara syariah seperti dalam hal perilaku konsumsi, giving behavior (kedermawanan), dan sebagainya. Perilaku bisnis dari para pengusaha Muslim pun termasuk dalam sasaran gerakan ekonomi syariah di Indonesia.
Walau terlihat agak lambat, namun sisi non-keuangan dalam kegiatan ekonomi ini juga semakin berkembang. Hal ini ditandai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku konsumsi yang Islami, tingkat kedermawanan yang semakin meningkat ditandai oleh meningkatnya dana zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang berhasil dihimpun oleh badan dan lembaga pengelola dana-dana tersebut.
Faktor Pendorong Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor pendorong. Secara sederhana, faktor-faktor itu dkelompokkan menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah penyebab yang datang dari luar negeri, berupa perkembangan ekonomi syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun tidak. Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah timbulnya kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam perekonomian mereka. Kesadaran ini kemudian ’mewabah’ ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Sedangkan faktor internal antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Fakta ini menimbulkan kesadaran di sebagian cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam dijalankan oleh masyarakat Muslim di Indonesia.Di samping itu, faktor politis juga turut bermain. Membaiknya ”hubungan” Islam dan negara menjelang akhir milineum lalu membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan prinsip syariah.
Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan yang terdidik dan relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri keuangan syariah. Mereka mempunyai kesadaran bahwa agama bukan sekedar shalat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdah lainnya saja. Tetapi, agama harus diterapkan secara kafah (holistik) dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berekonomi.Faktor berikutnya adalah pengalaman bahwa sistem keuangan syariah tampak cukup kuat menghadapi krisis moneter tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh ketika ”badai” itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia.
Di samping itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan ekonomi syariah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak cukup dapat menerima sistem keuangan syariah berdasarkan ikatan emosi (personal attachment) terhadap Islam, faktor keuntungan menjadi pendorong mereka untuk terjun ke bisnis syariah.
Implikasi Bagi Perkembangan Ekonomi Nasional
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. Pertama, ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil. Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sektor riil. Kedua, ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya. Ketiga, gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
Dunia harus berpaling dari kesalahan fatal IMF dan Bank Dunia yang telah menjadikan pertumbuhan ekonomi ( economic growth ) sebagai mantra dalam program pengentasan kemiskinan.Sebuah seminar menarik diselenggarakan dalam rangkaian pertemuan tahunan ke-42 Dewan Gubernur Asian Development Bank (ADB) di Bali baru-baru ini.Seminar bertajuk Toward A More Stable, Transparent and Responsible Financial System: The Role of Islamic Finance in Preventing Financial Failure and Crisis yang menghadirkan begawan ekonomi Islam DR M Umer Chapra itu menandai hadirnya keinginan kuat sejumlah ekonom untuk menghadirkan paradigma baru guna membangun pilar ekonomi yang lebih kokoh di kawasan ini.Krisis keuangan global diyakini memberi implikasi serius bagi kawasan Asia. Menurut Asian Development Outlook (2009), pertumbuhan ekonomi negara berkembang di Asia tahun ini merosot menjadi 3,4 persen, dibandingkan pencengakibatkan lebih dari 56 ribu anak terancam kematian.Krisis kali ini pun dipandang memiliki spektrum dan kedalaman yang lebih berat ketimbang krisis keuangan Asia 1997-1998. Krisis keuangan Asia 1997-1998 lebih disebabkan kelemahan struktur dalam sistem keuangan dan moneter di sejumlah negara.
sejumlah negara maju. Macetnya subprime mortgage di AS, diikuti runtuhnya kepercayaan atas lembaga dan instrumen keuangan global, jatuhnya harga-harga saham, dan ambruknya pasar modal telah membalikkan arus modal dan kredit di Asia.Akibatnya, pasar modal dan nilai tukar di Asia pun mengalami tekanan dan menghambat proses pembangunan sosial dan ekonomi di negara-negara Asia. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya resesi ekonomi yang melanda Kelompok Negara G3, yaitu AS, Jepang, dan Eropa. Pertumbuhan ekonomi yang anjlok tentu akan berdampak pada membengkaknya angka pengangguran, penurunan upah, konsumsi dan tingkat kesejahteraan keluarga di negara-negara Asia. International Labour Organization (ILO) telah memprediksi lebih dari 30 juta penduduk akan kehilangan pekerjaan akibat krisis keuangan global ini.
Tren penurunan angka kemiskinan di kawasan ini pun akan akan terganggu. Studi Hasan, Magsombol, dan Chain (2009) menunjukkan bahwa akibat krisis penduduk miskin dan hampir miskin masih akan terperangkap dalam poverty trap mencapai lebih dari 80 juta orang tahun ini dan dapat membengkak menjadi 130 juta orang pada 2010.
Tidak mengherankan bila kemudian Presiden ADB, Haruhiko Kuroda, menegaskan, diperlukan upaya restrukturisasi secara mendasar untuk membentuk paradigma baru pembangunan di Asia dalam menahan laju dampak krisis keuangan global.
Konsep Pembangunan Ekonomi Perspektif Ekonomi Islam
Penyebabnya karena krisis ini menyentuh langsung keperluan dasar mereka baik pada aspek biologis maupun sosiologis. Sebetulnya perencanaan pembangunan di Indonesia banyak diarahkan pada pembangunan ekonomi, namun hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi semata. Alhasil lahirlah kesenjangan ekonomi dimana segelintir orang hidup dalam berkelimpahan, sementara sebagian besar masyarakat lainnya hidup dalam keadaan memperihatinkan. Mereka tidak mampu memenuhi hajat hidup sehari-hari.Target pertumbuhan ekonomi yang seperti ini hanya untuk kepentingan persaingan perseorangan, bukan mewujudkan kesetiakawanan dan kerjasama sosial. Pembangunan ekonomi yang disertai dengan perubahan sosial budaya akan banyak menimbulkan masalah moral, oleh karena itu alternatif yang dapat dilakukan oleh ekonomi agar merespon aspek moral dengan cara mengkaitkan pembangunan ekonomi dengan agama. Kajian bidang ekonomi pada prinsipnya membicarakan tingkah laku manusia sebagai konsumen, distributor dan produsen. Sementara obyek pembicaraan utama dalam bidang ekonomi ialah tingkah laku manusia, maka untuk memahami tingkah laku manusia langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri melalui filsafat dan sikap hidup yang dianut oleh manusia. Perjalanan panjang ekonomi konvensional ternyata hanya mengantarkan manusia pada keadaan yang sangat resah bukan pada keadaan yang dapat mengantarkan manusia mencapai keadilan dan kemakmuran di dunia maupun di akhirat. Keadaan itu diakibatkan oleh karena sistem ekonomi barat mengabdi kepada kepentingan peribadi, bukan mengabdi kepada Allah SWT. Keresahan akibat ketidakadilan tersebut mendorong manusia hidup dalam keadaan konflik dan cenderung bersaing untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Sementara, ekonomi yang di dasarkan oleh ajaran Islam menganjurkan manusia mengabdi kepada Allah SWT. (QS. 18:29) dengan memakai landasan iman dan takwa, sehingga menjadikan manusia tenang dan harmonis. Dari sini kemudian target pembangunan ekonomi Islam adalah an-nafs al-muthmainnah atau calmness terhadap akhlak (QS.89:27-30). Namun bagaimana pertumbuhan ekonomi syari'ah itu dikonsepsikan oleh para penulis muslim? Dan bagaimana seharusnya ia berperan untuk menata ulang kehidupan manusia ini ? Tulisan ini akan memaparkan pendapat para teorikus ekonomi Islam tentang konsep pembangunan ekonomi.
Tujuan Pembangunan Ekonomi
Teori ekonomi konvensional setidaknya memperkenalkan dua hal fundamental berkaitan dengan tujuan pembangunan ekonomi. Pertama memperbaiki tingkat pendapatan riil individu dan yang kedua, menegakkan keadilan distribusi pendapatan. Dua tujuan tersebut menjadi fokus pembicaraan di kalangan penulis muslim. Namun sebagian mereka menambahkan tujuan lain yang menjadi karakteristik masyarakat muslim. Quhaf misalnya, mengatakan tujuan pembangunan ekonomi untuk membentuk iklim yang kondusif bagi keagungan nilai-nilai Islam dalam suatu masyarakat yang sejahtera secara material. Dengan demikian, pembangunan ekonomi yang memiliki karakteristik islami harus dapat meningkatkan komitmen umat Islam terhadap agamanya. Al-Rubi mengkorelasikan pembangunan ekonomi dengan kewajiban-kewajiban keagamaan. Menurutnya, tujuan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sehingga setiap individu dapat melaksanakan dan komitmen terhadap ajaran agama mereka. Sedangkan menurut Yusuf, tujuan pembangunan ekonomi harus dapat merubah masyarakat dari keadaan yang tidak diridai Allah menjadi keadaan yang diridai-Nya.
Diantara tujuan pembangunan ekonomi yang sering disebutkan dalam karya-karya kontemporer adalah untuk memenuhi kebutuhan secara memadai (al-had al-kifayah) bagi setiap masyarakat muslim. Asas yang mendasari ide al-had al-kifayah dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Abu Ubaid, As-Sarakhsi dan Al-Mawardi, dan kadang-kadang makna al-had al-kifayah tersebut secara inplisit terdapat dalam beberapa hadist Nabi tentang zakat. Al-Fanjari boleh dikatakan seorang penulis yang paling banyak menghubungkan konsep al-had al-kifayah dengan pembangunan ekonomi. Namun sebagian besar penulis melihat perlu membedakan antara haddul al-kifayah dangan haddu al-kafaf karena Islam mewajibkan kita untuk memenuhi tingkat kebutuhan haddul al-kifayah. Berbeda dengan sistem ekonomi lain yang hanya memenuhi tingkat kebutuhan haddu al-kafaf.Sementara pengertian al-had al-kifayah sebagai target pembangunan ekonomi masih menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan al-had al-kifayah adalah memerangi kemiskinan. Tetapi ada pula yang mengartikan al-had al-kifayah meliputi semua kebutuhan "hidup sejahtera" termasuk perhiasan wanita, buku-buku dan kebutuhan perkawinan bagi pemuda muslim ….dst, atau menurut Mansur meliputi berbagai sarana pembinaan dan pendidikan "mukmin yang berkualitas"(almu'min alqawi). Namun beberapa penulis menolak konsep al-had al-kifayah dan al-had al-kafaf. Mereka menegaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk merealisasikan kesejahteraan yang maksimal bagi setiap anggota masyarakat. Walaupun demikian analisis mereka tentang tujuan pembangunan ekonomi bagi masyarakat muslim terdorong oleh niat untuk mengatasi masalah-masalah kemiskinan.
Secara umum dapat difahami bahwa menegakkan keadilan dalam distribusi pendapatan dan pemanfaatan sumber-sumber ekonomi secara ideal dan fungsional dan meningkatkan kapasitas produksi dan sumber daya manusia sejalan dengan Islam. Quhaf menambahkan perlunya menselaraskan pembangunan ekonomi di berbagai daerah. Sedangkan Naqwa mengingatkan perlunya mempertimbangkan kebutuhan generasi mendatang dalam pemanfaatan sumber-sumber ekonomi.
Khursyid menambahkan bahwa tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk merealisasikan desentralisasi. Sedangkan menurut Siddiqi tujuan pembangunan ekonomi untuk mewujudkan keseimbangan dan memperbaiki peradaban. Beberapa penulis mengemukakan bahwa menetapkan batasan kebutuhan dalam kehidupan (al-had) merupakan suplemen dari tujuan pembangunan. Sedangkan pokok dari tujuan pembangunan ekonomi dalam Islam adalah merealisasikan independensi ekonomi bagi masyarakat muslim. Sebagian penulis mendiskusikan kemungkinan terjadinya kerancuan antara tujuan yang berkaitan dengan realisasi tingkat pertumbuhan ekonomi yang maksimal dengan distribusi pendapatan yang adil. Menurut Naqwa: "Islam tidak dapat menerima kalau keadilan dalam distribusi pendapatan tidak terwujud, walaupun dilihat dari aspek pertumbuhan ekonomi sangat tinggi." Kalaulah, kata Naqwa hanya ada dua pilihan yaitu menegakkan keadilan distribusi dan merealisasikan pertumbuhan ekonomi yang bagus maka lebih baik kita memilih tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif kurang dengan keadilan distribusi yang merata. Adapun Mansur menafikan adanya pertentangan antara keadilan distribusi dengan tingkat pertumbuhan. Hal ini menurutnya lebih bersifat ilusi karena sampai saat ini jarang sekali hasil studi yang membuktikan validitas pendapat tersebut.
Tolak ukur pembangunan ekonomi
Sistem ekonomi pada umumnya memfokuskan tingkat pendapatan riil individu sebagai tolok ukur pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi pada era modern terdapat indikator-indikator lain seperti keadilan dalam distribusi pendapatan, keberhasilan dalam mengatasi pengangguran atau membuka lapangan kerja dan lain-lain. Terdapat kecenderungan para penulis untuk menolak tingkat pendapatan riil individu sebagai satu-satunya alat ukur pertumbuhan ekonomi.
Menurut Khursyid "adalah keharusan bagi kita untuk meninggalkan semua model pertumbuhan global yang memfokuskan perhatiannya pada realisasi tingkat pendapatan rata-rata secara maksimal sebagai satu-satunya indikator pertumbuhan ekonomi. Al-`Audhi menambahkan "Sesungguhnya pembangunan ekonomi yang dimaksudkan secara Islami lebih luas dari pada sekadar meningkatkan pendapatan rata-rata bagi setiap individu. Adapun Dunya menolak pendapatan rata-rata individu sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dan memberikan solusi lain yang dinamainya al-miqyas al-Islami (alat ukur pertumbuhan ekonomi Islam). Alat ukur ini adalah kondisi riil masing-masing individu dalam masyarakat yang tercermin dalam pelayanan dan barang yang mungkin dapat diperoleh oleh mereka. Adapun `Affar menawarkan alat ukur lain yang lebih sederhana dan bersifat kualitatif yaitu sejauh mana komitmen seseorang dengan Islam sebagai aqidah dan syari'ah. Dalam hal ini mungkin dengan menggunakan indikator-indikator tertentu misalnya sejauh mana komitmen umat Islam untuk mengambil pokok ajaran agama dan prinsip-prinsip undang-undangnya dalam sistem negara dan sejauh mana upaya mereka untuk mendirikan lembaga-lembaga Islam, menyebarkan da'wah, menyediakan masjid-masjid dan sarana-sarana yang lain. Akan tetapi sebagian penulis menolak alat ukur apa pun yang bertujuan untuk membandingkan masyarakat muslim dengan non muslim. Menurut Yasri: "Adalah tidak benar bagi masyarakat Islam apabila mereka sungguh-sungguh memajukan ekonomi untuk menyibukkan dirinya membandingkan tingkat kemajuan ekonomi mereka dengan masyarakat non muslim, karena masing-masing memiliki hukum yang berbeda-beda". Ketertinggalan negara-negara Islam, lanjut Yasri merupakan bagian dari peringatan dan pendidikan Tuhan (at-ta'dib al-ilahi). Hal ini disebabkan oleh kejauhan mereka dari jalan yang benar. Akan tetapi Yasri sendiri tidak memberikan alat ukur tertentu untuk membandingkan tingkat kemajuan masyarakat muslim tu sendiri.
Epilog
Pada umumnya karya-karya yang berbicara tentang pembangunan ekonomi menggunakan metode kritik, tidak mengemukakan metode teoritis yang mungkin dianggap islami dalam bidang pembangunan ekonomi. Walaupun ini sesuatu yang alami pada masa persalinan bagi kelahiran ilmu apa pun, namun kita yakin bahwa kelahiran itu tidak mungkin sempurna kecuali setelah kita bebas dari teori-teoritis ekonomi konvensional terutama dalam bidang pembangunan ekonomi, dan memfokuskan segala usaha untuk mengemukakan konsep ilmiah bagi proses pembangunan ekonomi di dalam masyarakat yang komitmen dengan sistem Islam.
Karya-karya kontemporer juga belum memberikan jawaban ilmiah terhadap efek yang terjadi terhadap penerapan sistem Islam dalam proses pembangunan ekonomi, misalnya pengaruh pengharaman bunga bank terhadap pertumbuhan ekonomi? Apakah mungkin memodifikasi akad mudarabah(al-qiradh) untuk mendanai proyek-proyek vital? apakah dampak yang mungkin terjadi kalau melibatkan zakat pada proses pertumbuhan ekonomi? Dan sejumlah pertanyaan lain.
Selain itu kita juga belum menemukan studi aplikasi yang meneliti prinsip-prinsip dasar dalam perencanaan ekonomi yang akan direalisasikan dalam islamisasi rencana pembangunan ekonomi yang diterapkan pada negara berkembang dan meneliti dampak yang mungkin terjadi bagi perencanaan tersebut terhadap struktur hubungan masyarakat. Apakah mungkin, misalanya mendesain rencana pembangunan yang akan merealisasikan tujuan-tujuan Islam dan dibangun atas perimbangan islami bagi kepentingan masyarakat? Kita juga belum menemukan usaha serius untuk membentuk tolok ukur islami bagi pertumbuhan ekonomi yang dapat diterapkan dalam perencanaan ekonomi dan dalam penilaian pelaksanaan pembangunan dalam masyarakat muslim, meskipun Muhammad Affar memasukkan tolok ukur yang serupa namun ini merupakan usahaperdana.Studi-studi aplikasi yang meneliti pengaruh nilai-nilai keislaman dalam proses pembangunan ekonomi hampir tidak ada dalam karya-karya kontemporer. Tulisan-tulisan yang sering muncul di Barat mengungkapkan bahwa nilai-nilai Islam bertentangan dengan tuntutan pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya umat Islam dihadapkan pada pilihan yang sulit antara komitmen dengan nilai-nilai Islam dengan merealisasikan keberhasilan usaha pembangunan ekonomi. Apakah masyarakat yang merealisasikan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah merupakan masyarakat yang lebih kurang komitmenya terhadap nilai-nilai Islam ataukah sebaliknya?
Namun semua penulis sepakat atas peran positif bagi campur tangan pemerintah dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk mempersiapkan pergerakan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi kita belum menemukan analisis yang cermat terhadap strategi yang relevan dalam bidang ini melainkan hanya seruan keharusan menjamin kebutuhan minimal setiap anggota masyarakat dalam kehidupan. Juga tidak terdapat rekomendasi apapun dalam hal strategi umum yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi.Lima tantangan dan problem besar
Namun demikian, sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan Islam, ekonomi Islam menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan-tantangan yang besar. Dalam usia yang masih muda tersebut, setidaknya ada lima problem dan tantangan yang dihadapi ekonomi Islam saat ini, pertama, masih minimnya pakar ekonomi Islam berkualitas yang menguasai ilmu-ilmu ekonomi modern dan ilmu-ilmu syariah secara integratif. . Kedua, ujian atas kredibiltas sistem ekonomi dan keuangannya, ketiga, perangkat peraturan, hukum dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional masih belum memadai . Keempat, masih terbatasnya perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam dan masih minimnya lembaga tranining dan consulting dalam bidang ini, sehingga SDI di bidang ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas dan belum memiliki pengetahuan ekonomi syariah yang memadai. Kelima , peran pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, masih rendah terhadap pengembangan ekonomi syariah, karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan mereka tentang ilmu ekonomi Islam
Gerakan Menghadapi Tantangan Sadar akan berbagai problem tersebut ditambah dengan kondisi ekonomi bangsa (umat) yang masih terpuruk, maka tiga tahun lalu, para ekonom muslim yang terdiri dari akademisi dan praktisi ekonomi Islam se-Indonesia berkumpul di Jakarta, tepatnya di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 Maret 2004 dalam sebuah forum Konvensi Nasional Ekonomi Islam. Keesokan harinya, bertempat di Universitas Indoensia, yakni pada tanggal 4 Maret 2004, dideklarasikan-lah lahirnya sebuah wadah Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) oleh para tokoh ekonomi Islam nasional, Gubernur Bank Indonesia, BurhanuddinAbdullah, ulama (MUI), K.H Maruf Amin, Direktur Utama Bank Muamalat, A.Riawan Amin, Ketua Umum BAZIS saat itu Ahmad Subianto, dan pakar ekonomi Islam dari Timur, Prof. Halidey, dan disaksikan ratusan ahli/akademisi dan praktisi ekonomi syariah se Indoensia.
Dari acara konvensi nasional dan deklarasi IAEI tersebut perlu dicatat, bahwa para akademisi, praktisi, ulama dan regulator (BI), bergabung, bersinergi dan memiliki visi yang sama untuk mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia, setelah sehari sebelumnya mendapat dukungan dan respon positif dari Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz, saat itu. Ketika itu, ada keyakinan bersama, yaitu jika berbagai elemen penting dari umat tersebut bersinergi, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, ekonomi Islam akan mampu memberikan konstribusi yang besar dan nyata bagi pembangunan ekonomi bangsa yang sekian lama terpuruk dalam krisis moneter dan ekonomi.
Oleh karena itu IAEI merumuskan visinya, yaitu menjadi wadah para pakar ekonomi Islam yang memiliki komitmen dalam mengembangkan dan menerapkan ekonomi syariah di Indonesia.
Sebagai sebuah wadah assosiasi para pakar dan profesional, IAEI lebih mengutamakan program pengembangan Ilmu Pengetahuan di bidang ekonomi syariah melalui riset ilmiah untuk dikonturibusikankan bagi pembangunan ekonomi, baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Karena itu IAEI terus bekerja membangun tradisi ilmiah di kalangan akademisi dan praktisi ekonomi syariah di Indonesia.Misi IAEI selanjutnya ialah menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas di bidang ekonomi dan keuangan Islam melalui lembaga pendidikan dan kegiatan pelatihan. Juga, membangun sinergi antara lembaga keuangan syariah, lembaga pendidikan dan pemerintah dalam membumikan ekonomi syariah di Indonesia. Selain itu IAEI juga akan berusaha membangun jaringan dengan lembaga-lembaga internasional, baik lembaga keuangan, riset maupun organisasi investor internasional
Peranan IAEI. Dalam perjalanannya yang masih relatif baru, IAEI telah banyak berperan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia. IAEI telah banyak menggelar berbagai kegiatan, walaupun dengan dukungan dana yang terbatas, seperti Simposium Kurikulum Nasional, Rapat Kerja Nasional I IAEI di Arthaloka, PNM, Seminar Perbankan Syariah, dsb.
IAEI juga telah melaksanakan Muktamar IAEI di Medan pada 18-19 September 2005 yang dirangkaikan dengan Seminar dan Simposium Internasional Ekonomi Islam sebagai Solusi. Pada momentum itu juga dilakukan penyunan draft blueprint Ekonomi Islam Indonesia.
Pasca muktamar IAEI juga telah banyak dilaksanakan berbagai program lkegiatan, antara lain, mendorong dan mengadvise diselengarakannya kajian, konsentrasi maupun Program Stdui Ekonomi islam, baik di D3, S1, S2 maupun S3 Ekonomi Islam. Berbagai kegiatan seminar dan workshop ekonomi syariah telah digelar, Silaturrahmi Nasionalk IAEI, diskusi ilmiah bulanan antar kampus yang secara rutin dilaksanakan. IAEI juga berperan aktif dalam penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Islam Indoneia yang diprakarsai baik oleh BPHN (Departemen Hukum dan Perundang-Undangan) maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selain itu, IAEI seringkali diundang sebagai pembicara (nara sumber) dalam forum-forum ilmiah tentang ekonomi Islam, baik taraf nasional maupun internasional. IAEI juga telah beberapa kali memberikan materi ekonomi dan bank syariah kepada para ulama, seperti terhadap Korps Muballigh Jakarta dan Majalis Ulama di daerah. IAEI juga telah bekerjasama dengan FoSSEI melaksakanan Olympiade Ekonomi Syariah memperebutkan piala bergilir IAEI sejak tahun 2007. Penerbitan buletin ekonomi syariah dan penulisan artikel ekonomi syariah di koran juga telah banyak dilakukan IAEI.
Selain itu, IAEI juga telah membentuk kepengurusan IAEI di berbagai wilayah propinsi, daerah serta komisariat-komisariat di berbagai Perguruan Tinggi. Banyak di antaranya telah dilantik sebagai pengurus IAEI wilayah maupun komisariat. Kini terdapat lebih dari 30 Pengurus DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) dan Komisariat IAEI yang tersebar di seluruh Indonesia.
Penutup
Demikianlah peran ekonom muslim yang tergabung dalam IAEI diusianya yang relatif muda tersebut. Mudah-mudahan peranan yang dimainkan IAEI di masa depan lebih besar dan signifikan lagi untuk menegakkan ekonomi yang berkeadilan yang membawa rahmat bagi semua elemen bangsa. Selanjutnya diharapkan semua lembaga ekonomi syariah, regulator, ulama, akademisi, para pengusaha (aghniya) hendaknya bersinergi menyatukan langkah membangun bangsa ini, karena IAEI sebagai sebuah wadah para ahli ekonomi Islam tidak akan mampu menghadapi tantangan dan problem besar yang sedang kita hadapi tanpa adanya sinergi dan kebersamaan di antara berbagai elemen tersebut. Dengan mengharap bantuan Allah dan komitmen kita bersama Insya Allah kemaslahatan bangsa (kesejahteraan material dan spiritual) dapat terwujud. Amin (Penulis adalah Sekjen IAEI, Dosen Pascasarjajan PSTTI Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Indonesia dan Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
DAFTAR PUSTAKA
Posted: March 24,2009 by Ekonomiprofetik in Islamic Economics Tags Ekonomi Syariah oleh Nuruddin Mhd Ali,MA,M.Sc
www.google.com (search: Tujuan Pembangunana Ekonomi Syariah,8 Oktober 2010)
(Penulis adalah Sekjen IAEI, Dosen Pascasarjajan PSTTI Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Indonesia dan Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DALAM ISLAM
Fakultas ekonomi dan bisnis
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK IV
WASIS HANDOKO (108084000017)
HASAN KHOIRUL F (108084000019)
SENDY FIRMANSYAH (108084000021)
PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN DALAM ISLAM
A. Pengangguran
1.1 Pengertian pengangguran
Pengangguran adalah angkatan kerja (16 – 64 tahun) yang tidak mempunyai pekerjaan atau orang yang sedang mencari pekerjaan tetapi belum mendapatkannya.
Masalah pengangguran selalu menjadi fokus utama dalam pembahasan kinerja perekonomian suatu Negara. Kemajuan dan kemunduran yang dicapai dalam bidang pembangunan ekonomi sering diukur dari perubahan tingkat pengangguran Negara tersebut. Semakin banyak angkatan kerja yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekonomi menunjukkan roda perekonomian berjalan semakin cepat. Sebaliknya, bila banyak angkatan kerja yang tidak berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi/pengangguran berarti perekonomian suatu negara belum berjalan secara optimal. Daya serap angkatan kerja tersebut sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan fakta, pengangguran terjadi di semua negara termasuk negara – negara maju. Akan tetapi, negara – negara sedang berkembang, seperti Indonesia, menghadapi masalah pengangguran yang lebih serius, yang menurut teori ekonomi sudah berada di luar tingkat pengangguran alamiah. Selain itu, masalah pengangguran di negara – negara sedang berkembang memiliki dampak yang luas terhadap masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan antar penduduk.
1.2 Penyebab pengangguran
Dalam suatu perekonomian yang dinamis dimana informasi pekerjaan tidak sempurna serta kurangnya lapangan pekerjaan maka, peserta kerja perusahaan yang beragam maka tingkat pengangguran nol tidak mungkin akan tercapai. Hal ini disebabkan oleh pengangguran sukarela adalah suatu cara bagi individu tertentu untuk meningkatkan pendapatannya dan ini merupakan bagian dalam proses suatu masyarakat untuk menaikkan output riil dan pendapatan. Selain itu perubahan produk menurut selera,pergeseran penduduk dan kemajuan teknologi juga akan ikut mempengaruhi. Perubahan – perubahan tersebut menimbulkan salah perhitungan secara struktural antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, dan penyesuaian – penyesuaian yang dibutuhkan dalam pengalokasiansumberdaya pekerja dari beberapa jabatan dan dari satu daerah ke daerah lain ( Mc Connel & Brue, 1995:533-535).
Menurut Payaman Simanjuntak faktor penyebab pengangguran dibagi menjadi 2 yaitu: (1985:10)
1). Pengangguran friksional adalah pengangguran yang terjadi karena kesulitan temporer dalam mempertemukan para pencari kerja dengan lowongan pekerjaan yang tersedia. Kesulitan temporer ini dapat sekedar waktu yang diperlukan selama proses pelamaran dan seleksi, atau terjadi karena faktor jarak dan kurangnya informasi.Disatu pihak para pencari kerja berusaha mencari pekerjaan yang dapat memberikan penghasilan yang tertinggi dan kondisi kerja yang terbaik diantara beberapa alternatif yang ada.proses pemilihan kerja ini memerlukan waktu. Dilain pihak, pengusaha tidak begitu saja mengisi lowongan pekerjaan yang ada dengan orang yang pertama kali melamar kerja.
2). Pengangguran struktural adalah pengangguran yang terjadi karena adanya perubahan dalam struktur atau komposisi suatu perekonomian. Perubahan struktur yang demikian memerlukan perubahan dalam keterampilan tenaga kerja yang dibutuhkan sedangkan para pencari kerja tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan apa yang diharapkan oleh perusahaan tersebut.
1.3 Pengangguran menurut pandangan islam
Islam telah memperingatkan agar umatnya jangan sampai ada yang menganggur dan terpeleset kejurang kemiskinan, karena ditakutkan dengan kemiskinan tersebut seseorang akan berbuat apa saja termasuk yang merugikan orang lain demi terpenuhinya kebutuhan pribadinya, ada sebuah hadist yang mengatakan “ kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran. Namun kenyataannya, tingkat pengangguran di negara – negara yang mayoritas berpenduduk muslim relatif tinggi. Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang buruknya pengangguran, baik bagi individu, masyarakat ataupun negara, akan meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih serius. Walaupun Allah telah berjanji akan menaggung rizqi kita semua, namun hal itu bukan berarti tanpa ada persyaratan yang perlu untuk dipenuhi. Syarat yang paling utama adalah kita harus berusaha untuk mencari rizqi yang dijanjikan itu, karena Allah SWT telah menciptakan “sistem” yaitu siapa yang bekerja maka dialah yang akan mendapatkan rizqi dan barang siapa yang berpangku tangan maka dia akan kehilangan rizqi.Artinya, ada suatu proses yang harus dilalui untuk mendapatkan rizqi tersebut.
Oleh karena itu semua potensi yang ada harus dapat dimanfaatkan untuk mencari, menciptakan dan menekuni pekerjaan. Muhammad Al Bahi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Mursi ( 1997:34) mengatakan bahwa ada tiga unsur penting untuk menciptakan kehidupan yang positif dan produktif, yaitu:
a). Mendayagunakan seluruh potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada kita untuk bekerja, melaksanakan gagasan dan memproduksi.
b). Bertawakal kepada Allah, berlindung dan memeinta pertolongan kepada-Nya ketika melakukan suatu pekerjaan.
c). Percaya kepada Allah bahwa Dia mampu menolak bahaya, kesombingan dan kediktatoran yang memasuki lapangan pekerjaan.
Bermalas-malasan atau menganggur akan memberikan dampak negatif langsung kepada pelakunya serta akan mendatangkan dampak tidak langsung terhadap perekonomian secara keseluruhan. Dari kacamata makro, pengangguran akan menyebabkan tidak optimalnya tingkat pertumbuhan ekonomi akibat sebagian potensi dari faktor produksi tidak dimanfaatkan. Kelompok pengangguran akan menggantungkan hidupnya pada orang – orang yang bekerja sehinggan tingkat ketergantungan akan menjadi tinggi sedangkan tingkat pendapatan perkapita akan merosot.
Untuk menghindari dampak tersebut, maka sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan untuk melakukan suatu usaha walaupun jumlahnya terbatas.Bekerja, walaupun dengan pekerjaan yang menggunakan tenaga kasar dan termasuk pada pekerjaan sektor informal, tidak menjadi halangan karena hal itu lebih terhormat daripada meminta-minta.
Dalam kaitannya dengan bidang pekerjaan yang harus dipilih, Islam mendorong umatnya untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi dalm segala bentuk seperti: pertanian, pengembalaan, berburu,industri , perdagangan dan lain-lain. Islam tidak semata-mata hanya memerintahkan untuk bekerja tetapi harus bekerja dengan lebih baik (insan), penuh ketekunan dan profesional. Ihsan dalam bekerja bukanlah suatu perkara yang sepele tetapi merupakan suatu kewajiban agama yang harus dipatuhi oleh setiap muslim. “ Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan pekerjaan yang dilakukan secara itqan (profesional)” (HR.Baihaqi).
Menurut Qardhawi (2005:6-18) pengangguran dapat dibagi menjadi dua kelompokkan, yaitu:
a). Pengangguran jabariyah (terpaksa)
suatu pengangguran diamana seseorang tidak mempunyai hak sedikitpun memilih status ini dan terpaksa menerimanya. Pengangguran seperti ini umunya terjadi karena seseorang tidak mempunyai keterampilan sedikitpun, yang sebenarnya bisa dipelajari sejak kecil sebagai modal untuk masa depannnya atau seseorang telah mempunyai suatu keterampilan tetapi keterampilan ini tidak berguna sedikitpun karena adanya perubahan lingkungan dan perkembangan zaman.
b). Pengangguran khiyariyah
Seseorang yang memilih untuk menganggur padahal dia pada dasarnya adalah orang yang mampu untuk bekerja, namun pada kenyataanya dia memilih untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan hingga menjadi beban bagi orang lain. Dia memilih hancur dengan potensi yang dimilki dibandingkan menggunakannya untuk bekerja . Dia tidak pernah mengusahakan suatu pekerjaan dan mempunyai pribadi yang lemah hingga menjadi “ sampah masyarakat”.
Adanya pembagian kedua kelompok ini mempunyai kaitan erat dengan solusi yang ditawarkan islam untuk mengatasi suatu pengangguran. Kelompok pengangguran jabariyah perlu mendapatkan perhatian dari pemeintah agar mereka dapat bekerja. Sebaliknya, Islam tidak mengalokasikan dana dan bantuan untuk pengangguran khiyariyah karena pada prinsipnya mereka memang tidak memerlukan bantuan karena pada dasarnya mereka mampu untuk bekerja hanya saja mereka malas untuk memanfaatkan potensinya dan lebih memilih menjadi beban bagi orang lain.
1.4 Biaya dan dampak bagi pengangguran
Pengangguran tentunya akan menimbulkan biaya bagi pelakunya, masyarakat maupun negara. Biaya yang ditanggung oleh sipelaku adalah kehilangan gaji atau pendapatan yang diperoleh apabila dia bekerja padahal pengeluaran aka terus ada untuk setiap harinya gune untuk memenuhi kebutuhannya. Di negara-negara maju yang sudah memberikan tunjangan bagi penganguran, biaya menganggur yang harus ditanggung oleh individu tersebut tentunya akan lebih kecil karena mereka dan keluarganya mendapatkan bantuan dari pemerintah selama menganggur. Sedangkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya biaya menganggur akan ditanggung sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Dalam kaitannya dengan biaya sosial yang ditimbulkan oleh pengangguran ini Joseph Stigltz (2003:80) mengatakan biaya yang paling buruk adalah berbentuk kekerasan yang terjadi di perkotaan, kejahatan yang meningkat,serta kerusuhan sosial dan politik.
Qardhawi (2005:4-5) telah merinci dampak buruk pengangguran dalam dua tingkatan, yaitu:
1). Dampak buruk pengangguran bagi individu:
a). secara ekonomi tidak memiliki pemasukan ataupun penghasilan.
b). secara kesehatan akan mengurangi gerak tubuh
c). secara kejiwaan seseorang akan hidup dalam kekosongan waktu dan
akan menimbulkan perasaan dengki dan iri terhadap keberhasilan orang
lain
d). dampak buruk pengangguran bagi kehidupan keluargannya.`
2). Dampak buruk pengangguran bagi masyarakat sekitarnya:
a). perkembangan ekonomi akan terhambat karena dalam masyarakat terdapat
kerusakan dan kekurangan daya produksi
b). dampak terhadap interaksi sosial dimana seseorang yang pengangguran akan
merasa kehilangan semua kemampuannya dan akan selalu merasa pesimis dalam
hidupnya
c). dampak terhadap moralitas dalam masyarakat yaitu munculnya kecenderungan
atau indikasi untuk berbuat kriminalitas karena seseorang yang menganggur pada
umumnya akan memiliki banyak kekosongan dan kekhawatiran.
1.5 Teladan Islam Dalam Pengentasan Pengangguran
Merujuk pada permasalahan diatas sebenarnya Islam telah mengajarkan cara yang paling ideal dalam mengatasi pengangguran. Suatu ketika datang kepada Rasulullah dari kalangan Anshar untuk meminta-minta (pengemis). Lalu Rasulullah bertanya kepada pengemis tersebut, “Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?” Pengemis itu menjawab, “Saya mempunyai pakaian dan cangkir.” Kemudian Rasulullah mengambil sebagian pakaian dan cangkir tersebut untuk di jual kepada para sahabat. Salah seorang sahabat sanggup membeli barang-barang tersebut seharga dua dirham. Selanjutnya Rasulullah membagi uang yang di dapat tersebut untuk sebagaian dibelikan keperluan kebutuhan keluarga pengemis tersebut dan sebagian lagi dibelikan kapak sebagai sarana untuk berusaha mencari kayu bakar. Akhirnya dengan usahanya sang pengemis mendapatkan uang sebanyak sepuluh dirham.
Kisah ini sudah terlalu sering kita dengar akan tetapi jarang kita mau mengambil hikmah untuk menganalisa suatu permasalahan hidup. Khusus dalam permasalahan pengangguran hal ini dapat menjadi cara yang ideal untuk diterapkan.
Kembali pada pernyataan pertama, “kita berikan pancing, jangan memberi umpan” adalah kebijakan yang lemah. Coba kita bayangkan orang yang sedang memancing, mengharapkan ikan akan tersangkut di mata kail dengan penuh ketidak pastian. Jika dapat syukur, jika tidak dapat maka pemancing (pengangguran) akan mati kelaparan.
Bagaimana dengan tauladan Rasulullah yang ditujukan oleh pengemis tadi? Rasulullah tidak langsung memerintahkan pada pengemis itu untuk membeli kapak, tetapi Rasulallah membelikan kebutuhan pokok (primer) terlebih dahulu. Setelah kebutuhan pokok nya terpenuhi maka barulah Rasulullah memerintahkan untuk membeli kampak. Dimana perbedaannya? Perbedaannya jelas sangat jauh, Rasulullah memikirkan kebutuhan hidup sang pengangguran kemudian membantunya dalam melihat peluang usaha. Jika pada hari pertama pengemis tadi tidak mendapatkan penghasilan dari berjualan kayu bakar, ia tidak perlu terlalu susah hati karena sebagian uang telah dibelikan kebutuhan pokoknya.
Hal lain yang menjadi pelajaran dari kisah tersebut adalah Rasulullah tidak suka kita sebagai manusia menjadi pemalas. Dalam Islam mengajarkan “tangan diatas lebih baik dari pada tangan yang selalu dibawah”.
Contoh tersebut layak untuk dijadikan acuan berfikir oleh pemerintah bagaimana seharusnya membuat sebuah kebijakan yang benar dan baik untuk mengatasi tingkat pengangguran yang semakin hari semakin meningkat ini. Tidak lagi sekedar umpan, atau sekedar pancing tetapi harus berjalan keduanya sekaligus.
Kebijakan yang Perlu Lakukan
Untuk aplikasinya ada baiknya pemerintah tetap mendata pengangguran dan kemiskinan secara tepat tanpa kepentingan apapun dan sekaligus mencari jalan keluar untuk masalah ini. Mungkin banyak hal yang dapat dilakukan pemerintah mengatasi masalah pengangguran.
Pertama, menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Keadaan politik dan ekonomi yang stabil harus terus dipertahankan agar dunia usaha baik pengusaha dalam dan luar negri merasa nyaman dalam menjalankan usahanya. Bangkitnya dunia usaha (sektor riil) akan menyerap pengangguran yang ada. Administrasi birokrasi harus seefesian mungkin. Jangan jadikan biriksasi yang bertele-tele membuat pengusaha jadi enggan dalam memulai suatu usaha. Apalagi cara ini akan meningkatkan biaya produksi perusahaan.
Kedua, meningkatkan kemampuan kerja. Pengangguran di Indonesia disebabkan salah satunya karena kemampuan tenaga kerja (skill) kita yang rendah. Untuk hal ini pemerintah harus terus menjaga kualitas pendidikan dan pelatihan yang baik. Kejadian Ujian Nasional di beberapa daerah menjadi pelajaran yang amat berharga untuk mengevaluasi kembali apakah kebijakan ini dapat meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Masih banyak lagi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menekan angka pengangguran. Yang perlu selalu di ingat adalah pengangguran sangat dekat dengan kemiskinan. Dan kemiskinan pasti akan menyimpan potensi konflik yang besar.
B. Kemiskinan
2.1 Pengertian kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan , pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah untuk dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa, namun diperkotaan juga banyak terdapak kemiskinan.Di balik kemegahan gedung-gedung pencakarlangit di Jakarta, tidak terlalu sulit kita jumpai banyak rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai, atau pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.
Anehnya, secara statistik jumlah mereka bukan berkurang, tetapi justru terus bertambah. Terlebih lagi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia. Disadari atau tidak, semua itu merupakan buah pahit dari system Kapitalisme. Sebab memang sistem kapitalislah yang diterapkan saat ini dan kemiskinan itulah yang terjadi. Bahkan tak sekadar kemiskinan, kesenjangan pun makin lebar antara orang kaya dan miskin. Pada tahun 1985, misalnya, pendapatan per kapita Indonesia sebesar 960 dolar AS per orang per tahun. Dari angka tersebut 80% daripadanya dikuasai hanya oleh 300 grup konglomerat saja. Sedangkan sisanya 20 %, diperebutkan oleh hampir 200 juta penduduk.
Harus diakui, kapitalisme memang telah gagal menyelesaikan problem kemiskinan. Alih-alih dapat menyelesaikan, yang terjadi justru menciptakan kemiskinan. Jika demikian halnya mengapa umat tidak segera berpaling pada Islam? Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki banyak aturan untuk mengatasi berbagai problem kehidupan, termasuk kemiskinan. Bagaimana Islam mengatasi masalah ini, makalah ringkas ini mencoba untuk menguraikannya.
2.2 Pandangan Islam Tentang Kemiskinan
Kemiskinan adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan. Allah Swt.. berfirman:
]الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ[
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah [2]: 268)
Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan sebuah ideologi yang shahih, sangat consen terhadap masalah kemisikinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam fiqih, dibedakan antara istilah Fakir dan Miskin. Menurut pengertian syara’, Fakir adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Sedangkan Miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai apa-apa.
Dari pengertian kedua istilah di atas, nampak bahwa kriteria Fakir sebenarnya telah mencakup kriteria Miskin. Karena itulah dalam pembahasan selanjutnya, kedua istilah tersebut dilebur dalam satu istilah yaitu miskin, dengan pengertian orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, berupa pangan, sandang dan papan.
Syariat Islam telah menetapkan kebutuhan pokok (primer) bagi setiap individu adalah pangan, sandang, dan papan. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-halaq [65]: 6).
Rasulullah saw. bersabda:
Dan kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian. (HR. Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Sebagai kebutuhan primer, ketiga hal tersebut, harus terpenuhi secara keseluruhan. Jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka seseorang terkategori sebagai orang miskin.
Pangan, sandang, dan papan yang dimaksud di sini, tidak berarti sekadar apa adanya, melainkan harus mencakup hal-hal yang berkaitan dengannya. Kebutuhan pangan, misalnya, juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti peralatan dapur; kayu bakar, minyak tanah, atau gas; rak piring, lemari makan, meja makan, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan pakaian adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias, parfum, bedak, celak, minyak rambut, lemari pakaian, cermin, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan tempat tinggal adalah apa-apa yang diperlukan untuk tempat tinggal, seperti tempat tidur dan perabotan rumah tangga, menurut yang umum diketahui masyarakat, seperti, meja, kursi, karpet, korden, dan lain-lain. Demikianlah tolak ukur kemiskinan menurus Islam. Dari sini tampak bagaimana Islam memberikan jaminan kepada manusia untuk hidup secara layak sebagai manusia.
Tolok ukur kemiskinan ini berlaku untuk semua manusia, kapan pun dan di mana pun mereka berada. Tidak boleh ada pembedaan tolok ukur kemiskinan bagi orang yang tinggal di satu tempat dengan tempat lainnya, atau di satu negeri dangan negeri lainnya. Misalnya, orang yang tinggal di Amerika dikatakan miskin jika tidak memiliki mobil pribadi (walaupun tercukupi pangan, sandang dan papannya). Sementara di Indonesia, orang semacam ini tidak dikatakan miskin. Pandangan semacam ini bathil dan tidak adil. Sebab, Syariat Islam diturunkan untuk menusia sebagai manusia, bukan sebagai individu. Sehingga tidak ada perbedaan dari sisi kemanusiaan antara orang yang tinggal di suatu negeri dengan negeri lainnya. Seandainya sebuah Negara memerintah rakyatnya dari berbagai negeri, di Mesir, Yaman, Sudan, Indonesia, Jerman, dan lain-lain; maka tidak sah jika pandangan pemerintah tersebut terhadap kemiskinan berbeda-beda antara rakyat yang satu dengan yang lain.
Lebih dari itu, yang ditetapkan syariat Islam sebagai kebutuhan pokok sebenarnya bukan hanya pangan, sandang, dan papan. Ada hal lain yang juga termasuk kebutuhan pokok yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hanya saja, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dibebankan kepada individu masyarakat, melainkan langsung menjadi tanggungjawab negara. Dalam membahas kemiskinan, ketiga hal ini tidak dimasukan dalam perhitungan, karena memang bukan tanggungjawab individu.
2.3 Cara Islam Mengatasi Kemiskinan
Allah Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:
]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ رَزَقَكُمْ[
Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rizki.(TQS. ar-Rum [30]: 40)
]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud [11]: 6)
Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi, dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan, pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang, rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
a. Mewajibkan Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Allah Swt. berfirman:
]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ[
Maka berjalanlah ke segala penjuru, serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya. (TQS. al-Mulk[67]: 15)
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku mendengan Rasulullah saw. bersabda:
Salah seorang diantara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya.
Ayat dan hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah kepada mereka.
b. Mewajibkan Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja. Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
…Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun berkewajiban demikian… (TQS. al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi. Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Jika kerabat dekat diberi kewajiban untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’ adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:
Sebaik-baik sedekah adalah harta yang berasal dari selebihnya keperluan (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
Tangan di atas (memberi) itu lebih baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan (HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad dari Abu Harairah)
Yang dimaksud al-Ghina (selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.
c. Mewajibkan Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’, maka dia menjadi kewajiban kami. (HR. Imam Muslim)
Yang dimaksud kalla adalah oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.
Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah Swt.. berfirman:
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ[
Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin… (TQS. at-Taubah [9]: 60)
Apabila harta zakat tidak mencukupi, maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d. Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum Muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19)
Rasulullah saw. juga bersabda:
Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)
Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya. (HR. al-Bazzar)
Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak) kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang yang miskin; dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya, hingga mencukupi.
2. Pengaturan Kepemilikan
Pengaturan kepemikikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini, sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan, pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi dengan sangat mudah.
Pengaturan kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai merikut.
a. Jenis-jenis Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan kepemilikan sebagai izin dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
• Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu.
Allah Swt. telah memberi hak kepada individu untuk memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan, misalnya: hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan individu ini, menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi kebutuhannya. Sebab, secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.
• Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah Swt.. kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
Aset yang tergolong kepemilikan umum ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan persengkataan jika ia lenyap, misalnya: padang rumput, air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu, misalnya: sungai, danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang depositnya sangat besar, misalnya: emas, perak, minyak, batu bara, dan lain-lain.
Dalam prakteknya, kepemilikan umum ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh seseorang atau sekelompok orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa; sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian masalah kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini.
• Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim, tetapi hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai ijtihadnya) sebagai kepala negara
Aset yang termasuk jenis kepemilikan ini di antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan negara dalam Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset yang cukup banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.
b. Pengelolaan Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul Mal) dan penginfaqkan harta (infaqul Mal).
Baik pengembangan harta maupun penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam, misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi, atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar, perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.
c. Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini, menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.
Dengan mengamati hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum hukum-hukum tersebut senatiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.
Kita juga dapat melihat, misalnya, dalam hukum waris. Secara rinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan harus dibagikan. Jadi seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang tidak adil.
Lebih dari itu, negara berkewajiban secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang mampu untuk mengelolanya. Bahkan setiap individu berhak menghidupkan tanah mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya. Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan produktivitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, yang dengan sendirinya dapat mengatasi masalah kemiskinan.
3. Penyediaan Lapangan Kerja
Menyediakan lapangan pekerjaan merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah saw.:
Seorang iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian Beliau saw. bersabda:
Makanlah dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.
Demikianlah, ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga kemiskinan dapat teratasi.
4. Penyediaan Layanan Pendidikan
Masalah kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik dari sisi kepribadian maupun ketrampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layana pendidikan oleh negara. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat, sekaligus memiliki ketrampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab, pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat. Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, onovatif, dan produktif. Dengan demkian kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
2.4 Keberhasilan Islam dalam Mengatasi Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan, sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim, membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas membagikan shadaqah: “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”, selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun salah seorang diantara mereka memiliki seratus onta”. Beliau menerapkan politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyatnya. Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka, dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”. Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan jawaban: “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi harta masih juga tersisa. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai, untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah diantara kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini, orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam aqad dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.”Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda, kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.
Demikianlah beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.
Penutup
Islam bukanlah agama ritual semata, melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia, termasuk problem pengangguran dan kemiskinan. Dari pebahasan ini, tampak bagaimana kehandalan Islam dalam mengatasi problem pengangguran dan kemiskinan. Apabila saat ini kita menyaksikan banyak pengangguran kemiskinan yang justru melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena mereka tidak hidup secara Islam. Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja hidup dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124)
Jika demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa syariat Islam?
Daftar Pustaka
1). DR.H.Rijaluddin.FN,M.Ag. Nuansa-nuansa ekonomi Islam.Jakarta selatan:CV Sejahter percetakan dan perdagangan umum.2007
2). DR.Chapra, M.Umer. Islam dan tantangan ekonomi.Jakarta utara: Gema insane.2000
3).http://husnita.multiply.com/journal/item/31/SOLUSI_ISLAM_DALAM_MASALAH_KEMISKINAN
4). http://zonaekis.com/search/kemiskinan+menurut+pandangan+islam
5). katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/.../8277/8277.pdf
KEADILAN DISTRIBUSI DALAM ISLAM
“untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi syariah”
Disusun oleh kelompok 5:
• ARIEF RACHMAN H (108084000018)
• RISDIANA (108084000011)
• M.WANDA SYAFII (108084000020)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
KEADILAN DISTRIBUSI DALAM ISLAM
KEADILAN DISTRIBUTIF
Beberapa ahli memberikan definisi keadilan distribusi secara berbeda-beda sesuai dengan bidangnya. Filosof Aristoteles berpendapat bahwa keadilan distributif berkaitan dengan distribusi berdasarkan peran dan fungsi masing-masing dalam masyarakat. Deustch mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan atas apa yang telah diterima sebagai hasil dari suatu keputusan atau ketetapan pembagian. Sedangkan Adam Smith lebih menekankan pada kerangka teori pertukaran untuk mengevaluasi keadilan. Menurutnya, orang tidak melulu hanya melihat besarnya hasil yang diterima tetapi lebih menekankan pada apakah yang diterima tersebut sudah dirasakan adil. Cara untuk menentukannya adalah dengan membandingkan antara kontribusi atau input yang telah diberikan dengan hasil atau output yang diterimanya dan kemudian dibandingkan dengan kontribusi dan hasil yang diterima orang lain Pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Messicck dan Sentis (1983), bahwa suatu hasil dikatakan adil dan memuaskan ketika hasil tersebut sama dengan yang diterima oleh orang lain.
Pentingnya perbandingan dengan orang lain dan proporsi input atau output dalam keadilan distribusi tercermin pula dalam definisi yang disampaikan oleh Bartol yang menyatakan bahwa keadilan distribusi adalah penilaian keadilan pada proporsi antara hasil (outcomes) yang diterima oleh individu dengan input yang diberikan dibandingkan dengan proporsi input dan hasil yang diterima orang lain. Definisi tersebut mengindikasikan pada sistem proporsional (equity) yang memang sangat populer di negara–negara barat dan yang menjadi konsep awal dari keadilan distribusi.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, yang menarik adalah apa yang diungkapkan dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Walaupun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Dan inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut, Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
Sedangkan John Rawls menyatakan bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Dengan demikian prinsip keadilan distributif merupakan prinsip normatif yang di desain untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya yang relatif terbatas terhadap permintaan atau tuntutan. Prinsip ini bervariasi dalam berbagai hal diantaranya adalah tergantung barang apa yang akan didistribusikan seperti pendapatan, kesejahteraan atau kesempatan. Juga berdasar pada sifat dari subjek distribusi seperti individu atau kelompok serta yang terakhir berdasar pada tata cara pendistribusian, misalnya dengan apakah menggunakan prinsip persamaan (equality), proporsionalitas (equity), kebutuhan (need) atau berdasar karakter individunya. Deutcsh menambahkan bahwa keadilan dan ketidakadilan distributif dapat dilihat pada tingkatan, yaitu nilai-nilai, peraturan dan impelementasi peraturan. Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa keadilan distribusi adalah persepsi keadilan terhadap besarnya hasil pembagian, pemberian dan pertukaran sumber daya yang diterima oleh individu dari orang lain atau kelompoknya. Dan prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
KEADILAN DISTRIBUSI DALAM EKONOMI ISLAM
Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis dan sosialis, sistem ekonomi syariah memiliki paradigma syariah, yang berarti tidak lagi berorientasi kepada Marxis dan pasar, melainkan berorientasi syariah (hukum) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Kemudian dilihat dari dasar dan filosofinya, tidak lagi sekedar memperbincangkan antara kebersamaan dan individu, melainkan bersifat menyeluruh, bahkan berorientasi kepentingan dunia dan akhirat, karena filosofi Tauhid akan menaungi seluruh aktivitas hidup, bukan hanya sebatas ektivitas ekonomi melainkan akan terintegrasi kepada semua aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan tataran spiritual sekalipun.
Disamping itu ilmu ekonomi syariah juga merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi syariah sebagai kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-Qur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu. Jadi sangat jelas bahwa ekonomi syariah terkait dan mempunya hubungan yang erat dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu Khaldun dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya.
Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan sebagaimana menurut kaum kapitalisme dan sosialisme yakni merupakan pemahaman yang salah, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi non materi.
Dalam ekonomi yang berbasis Islam kedua dimensi tersebut (material dan non material) tercakup didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab. Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan makhluknya yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap kehendak-Nya serta memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari Islam yang dalam perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material, individu dan sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di dunia dan akhirat saja tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.
Sistem ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dikutuk. al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.
Di dalam syariat islam ada bentuk distribusi yang dikemukakan dalam pembahasan tentang al-aqd(transaksi). Model-model distribusi mengacu pada prinsip qur’ani yang menganjurkan agar harta kekayaan tidak berputar pada orang-orang kaya saja. Makanya, al-Qur’an memerintahkan agar supaya harta kekayaan itu berputar sehingga terjadi pemerataan dan keadilan bagi masyarakat lainnya.
Selain bentuk distribusi dengan cara pertukaran(exchange) ada juga model yang bukan berkaitan dengan masalah hasil produksi melainkan distribusi pendapatan yang lebih berorientasi pada distribusi kekayaan karena anjuran dan kewajiban agama, seperti: zakat, infak dan shodaqoh, serta bentuk-bentuk distribusi social lainnya: wakaf,hibah dan hadiah.
KEADILAN DISTRIBUSI PENDAPATAN
Dengan komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan umat manusia dan keadilan ekonomi sosial, maka ketidak-adilan dalam hal pendapatan dan kekayaan tentu saja bertentangan dengan semangat Islam. Ketidak-adilan seperti itu hanya akan merusak rasa persaudaraan yang hendak diciptakan Islam.
Disamping itu, karena seluruh sumber daya, menurut Qur’an adalah “amanat Allah kepada seluruh umat manusia” (QS. 2:29), maka tak dibenarkan sama sekali apabila sumberdaya-sumberdaya tersebut dikuasai oleh sekelompok kecil manusia saja (monopoli).
Jadi, Islam menekankan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil, hingga setiap individu memperoleh jaminan serta tingkat hidup yang manusiawi dan terhormat, sesuai dengan harkat manusia yang inheren dalam ajaran-ajaran Islam, yaitu sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi (QS. 2:30).
Suatu masyarakat Islam yang gagal memberikan jaminan serta tingkat hidup yang manusiawi tidaklah layak disebut masyarakat Islam, seperti dinyatakan oleh Nabi saw: “Bukanlah seorang Muslim yang tidur dalam keadaan kenyang sedang tetangganya lapar” (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 1:52).
Umar bin Khathab, Khalifah kedua, ketika menerangkan tentang redistribusi keadilan dalam Islam, beliau menekankan dalam salah satu pidato umumnya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam kekayaan masyarakat, bahwa tak seorang pun, termasuk dirinya sendiri, yang memiliki hak yang lebih besar dari yang lain. Bahkan seandainya ia dapat hidup lebih lama, ia akan berusaha agar seorang gembala yang hidup di atas gunung Shan’a menerima bagian dari kekayaannya.
Khalifah Ali bin Abi Thalib diriwayatkan juga telah menekankan bahwa “Allah telah mewajibkan orang-orang kaya untuk menyediakan kebutuhan orang-orang miskin dengan selayaknya. Apabila orang-orang miskin tersebut kelaparan, tak punya pakaian atau dalam kesusahan hidup, maka itu adalah karena orang-orang kaya telah merampas hak-hak mereka, dan patutlah bagi Allah untuk membuat perhitungan bagi mereka dan menghukum mereka”.
Para ahli hukum sepakat bahwa adalah kewajiban bagi masyarakat Islam secara keseluruhan, khususnya kelompok yang kaya, untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan pokok kaum miskin, dan bila mereka tak mau memenuhi tanggung jawab ini, padahal mereka mampu, maka negara dapat bahkan harus memaksa mereka untuk memenuhinya.
Program Islam dalam redistribusi kemakmuran terdiri dari tiga bagian:
Pertama, seperti telah diuraikan terlebih dahulu, ajaran-ajaran Islam mencakup pemberian bantuan bagi kaum penganggur dan pencari pekerjaan supaya mereka memperoleh pekerjaan yang baik, dan pemberian upah yang adil bagi mereka yang bekerja.
Kedua, Islam menekankan pembayaran zakat untuk redistribusi pendapatan dari kelompok kaya kepada kelompok miskin, yang -karena ketidakmampuan atau rintangan-rintangan pribadi (kondisi-kondisi fisik atau mental yang bersifat eksternal, misalnya ketiadaan kesempatan kerja)- tidak mampu mencapai tingkat hidup yang terhormat dengan usaha sendiri. Hal ini dimaksudkan agar “kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya diantaramu saja” (QS. 59:7).
Ketiga, pembagian warisan tanah/kebun dari seseorang yang meninggal, sesuai dengan patokan yang telah ditentukan diantara sejumlah individu-individu untuk mengintensifkan dan mempercepat distribusi kekayaan di masyarakat.
Akan tetapi, konsep keadilan Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan dan konsepsinya tentang keadilan ekonomi ini tidaklah berarti menuntut bahwa semua orang harus menerima upah yang sama, tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat.
Islam mentolerir ketidak-samaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya kepada masyarakat (QS. 6:165; 16:71; 43:32).
Karena itu, keadilan distributif dalam masyarakat Islam, setelah memberi jaminan tingkat hidup yang manusiawi kepada seluruh warganya melalui pelembagaan zakat, mengijinkan perbedaan pendapatan yang sesuai dengan perbedaan nilai kontribusi atau pelayanan yang diberikan, masing-masing orang menerima pendapatan yang sepadan dengan nilai sosial dari pelayanan yang diberikannya kepada masyarakat.
Penekanan Islam terhadap keadilan distributif adalah demikian keras, hingga ada beberapa orang dari kaum Muslimin yang percaya akan persamaan kekayaan yang mutlak. Abu Dzar, salah seorang sahabat dekat Nabi, berpendapat bahwa tidaklah halal bagi seorang Muslim untuk memiliki kekayaan diluar kebutuhan pokok keluarganya. Tetapi sebagian besar sahabat Nabi tidak setuju dengan pendapat ekstrim ini dan mencoba mempengaruhinya untuk merubah pendapatnya. (lihat: Tafsir Ibnu Katsir, tentang QS.9:34).
Tapi Abu Dzar sendiri juga tidak mendukung persamaan pendapatan. Ia mendukung persamaan dalam simpanan kekayaan (stock). Ini, katanya, bisa dicapai apabila seluruh kelebihan dari pendapatan yang telah dipakai untuk keperluan-keperluan pokok (al-’afw) dipergunakan untuk meningkatkan taraf hidup orang-orang miskin.
Akan tetapi konsensus para ulama Islam adalah bahwa walaupun mereka sangat mendukung keadilan distributif, namun mereka berpendapat bahwa apabila seorang Muslim memperoleh penghasilan dengan cara-cara yang halal dan memenuhi kewajibannya terhadap kesejahteraan masyarakat dengan membayarkan zakat pendapatan dan kekayaannya, maka tidak ada salahnya ia memiliki kekayaan lebih dari orang-orang Muslim yang lain.
Akan tetapi, dalam kenyataan, apabila ajaran-ajaran Islam tentang halal dan haram dalam pencarian kekayaan ditaati, norma-norma keadilan terhadap kaum buruh dan konsumen diterapkan, pedoman-pedoman redistribusi pendapatan dan kekayaan dilaksanakan, dan hukum Islam dalam masalah pembagian warisan diberlakukan, maka tidak akan ada perbedaan besar dalam pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat Islam.
Kemerdekaan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial
Dasar iman yang paling penting dalam Islam adalah kepercayaan bahwa manusia diciptakan oleh Allah, karena itu hanya boleh bersikap menghamba kepada-Nya saja (QS. 13:36 dan 31:32). Ini adalah intisari, piagam Islam tentang kemerdekaan dari segala jenis perbudakan.
Dalam hal ini Al-Qur’an mengatakan bahwa salah satu tugas Nabi Muhammad saw adalah untuk “membebaskan umat manusia dari beban dan belenggu yang mengikat mereka” (QS. 7:157). Semangat kemerdekaan atau kebebasan inilah yang mendorong Umar, Khalifah kedua, untuk mengatakan: “Sejak kapankah engkau memperbudak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?”.
Imam Syafi’i, pendiri madzhab fiqh Syafi’i, mengungkapkan semangat yang sama ketika ia mengatakan: “Allah telah menciptakanmu dalam keadaan merdeka, karena itu selalulah merdeka”.
Karena manusia dilahirkan merdeka, maka tak seorang pun, walau negara sekalipun, berhak untuk merampas kemerdekaannya dan membuat hidupnya tunduk pada berbagai cara dan aturan. Ulama-ulama fiqh sepakat bahwa pembatasan-pembatasan tak dapat dikenakan kepada seorang yang merdeka, dewasa, dan sehat akal fikirannya, bahkan meskipun ia berbuat merugikan dirinya sendiri, dengan, misalnya, membelanjakan uangnya secara boros tanpa faedah.
Alasan yang dikemukakannya untuk itu adalah bahwa merampas kemerdekaan atau kebebasan menentukan pilihan adalah sama dengan merendahkan kemanusiaannya dan memperlakukannya seperti hewan yang tak berakal. Kemadharatan/ kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan ini adalah lebih besar daripada kerusakan yang timbul karena keborosannya. “Bahaya yang lebih besar tak boleh dikenakan untuk menghindari bahaya yang lebih kecil”.
Akan tetapi perbedaan pendapat ini -tentang pembatasan kemerdekaan orang yang berlaku boros- hanya menyangkut seorang yang merugikan kepentingan dirinya sendiri tanpa, tentu saja, melanggar batas-batas norma Islam.
Apabila seseorang merugikan kepentingan orang lain, maka tak ada perbedaan pendapat bahwa pembatasan boleh dan bahkan harus dikenakan terhadapnya. Semua ahli hukum Islam berpendapat boleh dikenakan pembatasan apabila pembatasan itu dapat mencegah timbulnya kerugian di pihak orang lain atau menyelamatkan kepentingan umum; karena, seperti kata Abu Hanifah, “kontrol adalah perlu bagi seorang dokter yang tidak berpengalaman, atau seorang hakim yang tidak hati-hati, atau seorang majikan yang bangkrut; karena kontrol seperti itu berarti mengenakan kerugian yang lebih kecil terhadap seseorang untuk menghindari bahaya yang lebih besar”.
Kesejahteraan sosial memiliki tempat yang mutlak penting dalam Islam, dan kebebasan individu, walaupun sangat penting, tidak boleh mengabaikan implikasi sosialnya.
Untuk menempatkan hak-hak seorang individu vis-a-vis individu-individu lain dalam masyarakat, maka ulama-ulama fiqh telah menyepakati prinsip-prinsip dasar berikut ini:
1. Kepentingan yang lebih besar dari masyarakat harus lebih diutamakan daripada kepentingan individu.
2. Walaupun “menghindarkan kerugian” dan “meningkatkan keuntungan” kedua-duanya adalah tujuan utama syari’ah, namun yang pertama lebih diutamakan daripada yang kedua.
3. Suatu kerugian yang lebih besar tak dapat dikenakan untuk menghindari kerugian yang lebih kecil; atau suatu keuntungan yang lebih besar tak dapat dikorbankan demi keuntungan yang lebih kecil. Sebaliknya, kerugian yang lebih kecil dapat dikenakan untuk menghindari kerugian yang lebih besar; atau suatu keuntungan yang lebih kecil dapat dikorbankan demi keuntungan yang lebih besar. Kebebasan individu, dalam batas-batas etika Islam, hanya dianggap sah selama tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat yang lebih besar, atau selama individu yang bersangkutan tidak melanggar hak-hak orang lain.
KEADILAN DISTRIBUSI MENURUT NAQVI
Di dalam Al-qur’an telah di jelaskan bagaimana distribusi pendapatan seharusnya berjalan yaitu dengan penyaluran pendapatan tersebut kepada yang berhak agar harta kekayaan tidak berputar hanya pada orang-orang kaya saja. Hal ini tertera dalam surat al hasyr ayat 7
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar hanya di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya. (al-Hasyr : 7)
Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa kekayaan haruslah di distribusikan, agar tidak berputar di kalangan elit. Dan islam melarang penimbunan harta kekayaan, karena dengan demikian akan mengakibatkan tersendatnya atau bahkan putusnya perputaran roda ekonomi. Namun islam tidak melarang penyimpanan (saving) karena saving harta disimpan untuk sesuatu di masa yang akan datang artinya harta tersebut tatap akan berputar. Contohnya menyimpan uang untuk biaya pernikahan, untuk biaya sekolah, dan lain sebagainya.
Ada tiga permasalahan yang berhubungan dengan distribusi pendapatan yaitu:
1. Mengatur bagaimana distribusi pendapatan dapat terwujud
2. Haruskah distribusi pendaptan membentuk masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama
3. Siapa yang menjamin distribusi pendapatan dapat terwujud dalam masyarakat
Untuk menjawab pemasalahan di atas, islam telah memberikan solusi yaitu zakat, infaq, shadaqah. Yang mana ketiga hal ini, zakat, ifanq dan shadaqah yang di kumpulkan dari orang-orang kaya selanjutnya di distribusikan kepada orang-orang yang berhak.
Syed Nawab Haider Naqvi mengatakan bahwa kesenjangan pendapatan haruslah dikurangi agar tercapainya keadilan distributif. Hal ini di sebabkan perputaran pendaptan hanya pada kalangan elit saja. Dan bahkan meskipun kaum utilitarianisme yang berlandaskan pada teori ekonomi klasik menawarkan kebahagiaan denga teori utuliti-nya tatap saja tidak dapat menyelesaikan maslah kesenjangan pendapatan ini. Persamaan yang di tawarkan oleh paham utilitarian ini dengan menyamakan utilitas marjinal setiap orang. Dengan alasan ini kaum utilitarian menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, namun sebaliknya penghitungan tersebut malah memberikan kebahagian semu bagi orang miskin.
Keadilan distribusi harus menjadi prioritas utama dalam pendistribusian pendapatan. Dan ini menunjukan, bahwasanya islam memiliki prinsip yang berhubungan antara etika dan ekonomi. Naqvi juga menjelaskan bahwa pendistribusian pendapatan yang adil haruslah di tafsirkan dalam konteks yang dinamis. Hal ini dilakukan agar pemerataan distribusi pada hari ini tidak lebih rendah dari hari kemarin. Sebagai aturan pemerataan distribusi yang tidak merata mungkin dapat di terima jika, pemerataan distribusi dapat menurunkan tingkat kesejahteraan di masa yang akan datang.
ZAKAT,INFAQ DAN SHADAQAH (ZIS)
Zakat
Etimologi
Secara harfiah zakat berarti "tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau "membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu sebagaimana ditentukan.
Hukum Zakat
Zakat merupakan salah satu[rukun Islam], dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya [syariat Islam]. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah, seperti:salat,haji,dan puasa yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah,sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia.
Macam-Macam Zakat
Zakat terbagi atas dua tipe yakni:
• Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
• Golongan Yang Berhak Menerima Zakat :
• Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
• Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
• Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
• Muallaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
• Hamba Sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
• Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
• Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
• Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.
Yang tidak berhak menerima zakat
Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
• Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
• Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
• Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
• Orang kafir
Zakat Maal (Harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
• Adapun harta kekayaan yang terkena wajib zakat adalah:
• Yang ada nashnya :
• Emas dan Perak (termasuk uang)
• Harta Perniagaan
• Binatang Ternak (Unta, Sapi/kerbau dan kambing)
• Hasil Tanaman
• Hasil tambang dan harta karun.
• Yang di Istinbathkan atau dianalogkan :
1. Saham
2. Hasil Profesi
3. Barang-barang produktif
4. Hasil Perseroa,dsb.
• Syarat-Syarat Zakat Maal
Syarat yang terkait dengan Muzakki:
• Islam
• Merdeka
• Baligh dan Akil
• Syarat yang terkait dengan harta :
• Halal
• Kepemilikan secara penuh
• Mencapai nishob (batas jumlah minimal)
• Berumur satu tahun (khusus untuk harta poin a.1,2 dan 3)
• Bebas dari hutang
• Kelebihan dari kebutuhan pokok minimal
• Berkembang atau memungkinkan untuk berkembang
Zakat dari segi pemerolehannya tidak akan dikumpulkan selain dari harta orang-orang islam, bukan dari orang non-muslim. Zakat tidak sama dengan pajak umum melainkan hanya semata merupakan salah satu bentuk ibadah dan dianggap sebagai salah satu rukun islam. Pengumpulan zakat tidak bisa dilaksanakan karena adanya kebutuhan Negara serta maslahat jama’ah (community), seperti harat-harta lain yanga dikumpulkan dari umat. Zakat merupakan jenis harta lain, yang wajib diberikan kepada baithul maal, baik ada kebutuhan atau pun tidak.
Zakat yang dikumpulkan berbentuk uang tunai (dirham dan dinar) hasil pertanian. Penarikan zakat dalam bentuk mata uang menyebabkan munculnya penarikan terhadap zakat pendapatan yang berasal dari kegiatan komersial seperti kerajinan tangan, sedangkan pendapatan dari kegiatan pertanian lebih berbentuk barang , tidak dalam bentuk uang tunai, yang berupa hasil pertanian itu sendiri.
Zakat, sungguh pun itu mengambil bentuk mengeluarkan sebagian dari harta untuk menolong fakir-miskin dan sebagainya. Dan yang terpenting, membayar zakat adalah untuk member makan anak yatim dan berusaha member makan fakir-miskin. Berusaha di sini mempunyai arti berusaha melalui sebuah institusi atau lembaga.
Zakat dalam kegiatan ekonomi mempunyai pengaruh kuat dalam memberikan ditribusi pendapatan. Di samping itu, ada pula shodaqat nafila, yaitu derma yang dianjurksn bagi orang-orang kaya muslim, serta infaq atau al-afw, yaitu derma tambahan yang dikeluarkan seseorang kaya muslim dari sisa-sisa kekayannya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah SWT.
Muhammad Al-Assal mencatat ada beberapa pengaruh ekonomis dari zakat tampak dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Pengaruh zakat pada usaha produktif
2. Pengaruh zakat dalam mengembalikan pembagian pendapatan
3. Pengaruh zakat atas kerja.
Zakat juga harus memberikan pengaruh lain yang bermanfaat bagi Negara-negara muslim. Ia juga harus menambah persediaan dana investasi. Retribusi zakat dari semua kekayaan, termasuk emas,perak,dan harta simpanan, akan mendorong pembayar zakat untuk mencari pendapatan dari harta mereka agar ia dapat membayar zakat tanpa mengurangi harta itu. Bila dana zakat, infak, shodaqoh mampu dkelola dengan baik maka ia harus didistribusikan sesuai dngan at-taubah ayat 60 dengan melihat aspek social dan ekonominya dari:
1. Dana social kemasyarakatan untuk kebutuhan pokok minimal masyarakat fakir
2. Dana pembangunan ekonomi untuk pengembangan ekonomi masyarakat miskin, memperluas lapangan kerja dan pendapatan masyarakat.
3. Dana prestasi kerja berupa gaji bagi’amil
4. Dana pembinaan dan pengembangan dakwah untuk muallaf.
5. Dana pembebasan hutang masyarkat fakir-miskin atau pun lainnya.
6. Dana perjuangan membebaskan perbudakan.
7. Dana perjuangan menegakkan jalan Allah SWT, jalan kebenaran pendidikan pembanguna ilmu dan kemaslahatn umum lainnya.
8. Dana mengatasi permasalahan masyarakat lainnya(ibnu sabil)
Beberapa Faedah Zakat
Faedah Diniyah (segi agama)
1. Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
2. Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
3. Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
4. Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.
Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
1. Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
2. Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
3. Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
4. Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
1. Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
2. Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
3. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
4. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
5. Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.
Hikmah Zakat
Hikmah dari zakat antara lain:
1. Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
2. Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
3. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
4. Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
5. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
6. Untuk pengembangan potensi ummat
7. Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
8. Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.
Zakat dalam Al Qur'an
• QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".)
• QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.")
• QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).
INFAQ
Infaq berasal dari kata anfaqo-yunfiqu , artinya membelanjakan atau membiayai, arti infaq menjadi khusu tatkala dikaitkan dengan upaya realisasi perintah-perintah Allah. Infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dll. Infak sunnah diantara nya, infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan, dll. Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran".
Dan Infaq hanya berkaitan dengaat atau hanya dalam bentuk materi saja, adapun hukumnya ada yang wajib (termask dalam hal ini zakat, nadzardsb),ada infaq sunnah, mubah bahkan ada yang haram.
SHADAQAH
Secara bahasa shadaqah berasal dari kata shidq yang berarti benar. Dan menurut Al-Qadhi abu bakar bin Arabi, benar disini adalah benar dalam hubungan dengan sejalannnya perbuatan dan ucapan serta keyakinan. Dalam makna seperti inilah, shadaqah diibaratkan dalam hadist : “ Dan shadaqah itu merupakan Burhan (Bukti)”.(HR. Muslim).
Shadaqah adalah pemberian dari seorang muslim secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi waktu dan jumlah (Haul dan Nisab) sebagai kebaikan yang dilakukan seorang muslim.
Bershadaqah merupakan aktifitas seorang muslim yang memiliki sifat utama. Bahkan ketinggian derajatnya ditentukan oleh sebesar dan sejauhmana memiliki kepedulian dan kepekaan sosial kepada muslim lainnya.
Ada beberapa hal penting dan keutamaan yang perlu diperhatikan berkenaan dengan shadaqah. Pertama, bershadaqah mesti dalam keadaan sehatdan keingininan yang kuat,sebab jika dilaksanakan pada keadaan menjelang kematian tidak ada gunanya. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah disebutkan, ada seseorang berkata pada Nabi Saw : “ Sedekah yang mana yang lebih utama itu”? nabi bersabda :”engkau bershadaqah dalam keadaan sehat (shahih) dan berkeinginan(harish)”. Kedua ada jaminan syurga dari Allah karena shadaqah akan melindunginya di hari perhitungan. Dalam riwayat Ibnu Hibban dan Hakim dari Uqbah ia mendengar rasulullah bersabda :”setiap orang bernaung dibawah perlindungan shadaqah hingga ditetapkan hisab (perhitugan) di antar manusia di yaumil akhirat”. Ketiga, jika kita berikan dibulan ramadhan maka ganjarannya sebanyak orang yang berpuasa. Hadits dari Zaid bin Khalid Al-Juhny yang diriwayatkan oleh turmudzi, bahwa rasulullah bersabda :” Barangsiapa memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat ganjaran sebanyak orang yang berpuasa, tidak kurang sedikitpun.
Meski shadaqah baik seluruhnya, namun antara satu dengan yang lain berbeda keutamaan dan nilainya, tergantung kondisi orang yang bershadaqah dan kepentingan sasaran shadaqah tersebut, Di antara shadaqah yang utama menurut islam antara lain :
1. Shadaqah Sirriyah
Yaitu shadaqah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Shadaqah ini lebih utama karena lebih mendekati ikhlas dan selamat dari sifat pamer (ingin diliaht orang lain), Allah subhannahu wata’ala telah berfirman, “ jika kamu menampakan shadaqahmu, maka itu baik sekali, dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang – orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”(Al-baqarah[2]:271).
Yang perlu kita perhatikan di dalam ayat di atas adalah, bahwa yang utama untuk disembunyikan terbatas pada shadaqah kepada fakir miskin secara khusus. Hal ini karenakan ada banyak jenis shadaqah yang mau tidak mau harus tampak, seperti dalam membangun sekolah, jembatan, membekali pasukan jihad dan lain sebagainya.
Di antara hikmah menyembunyikan shadaqah kepada fakir miskin adalah untuk menutupi aib saudara yang miskin tersebut. Sehingga tidak tampak di kalangan manusia serta tidak di ketahui kekurangan dirinya. Tidak diketahui bahwa tangannya berada dibawah, bahwa dia orang papa yang tak punya sesuatu apapun. Ini merupakan nilai tambah tersendiri dalam ihsan terhadap orang faqir.
2. Shadaqah dengan kemampuan Maksimal
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,”shadaqah yang paling utama adalah (infak) maksimal orang tak punya. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”(HR. Abu Dawud).
Al-Imam al-Baghawi rahimhullah berkata, “Hendaknya seseorang memilih untuk bershadaqah dengan kelabihan hartanya, dan menyisakan untuk dirinya kecukupan karena khawatir terhadap fitnah fakir, sebab boleh jadi dia akan menyesal atas apa yang dia lakukan (dengan infak seluruh atau melebihi separuh harta) sehingga merusak pahala. Shadaqah dan kecukupan hendaknya selalu eksis dalam diri manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengingkari Abu Bakar rhadiyallahu anhu yang keluar dengan seluruh hartanya, karena Nabi tehu persis kuatnya keyakinan Abu Bakar dan kebenaran tawakkalnya, sehingga beliau tidak khawatir fitnah itu menimpanya sebagaimana Nabi kahawatir terhadap selain Abu Bakar. Bershadaqah dalam kondisi keluarga sangat butuh dan kekurangan, atau dalam keadaan menanggung banyak hutang bukanlah sesuatu yang dikehendaki dari shadaqah itu. Karena membayar hutang dan memberi nafkah keluarga atau diri sendiri yang memang butuh adalah lebih utama. Kecuali memang dirinya sanggup untuk bersabar dan membiarkan dirinya mengalah meski sebenarnya membutuhkan sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Bakar radhiyalluhu ‘anhu dan juga itsar (mendahulukan orang lain)yang dilakukan kaum anshar terhadap kaum muhajirin”(syarhus sunnah).
3. Shadaqah Jariyah
Yaitu shadaqah yang pahalanya terus mengalir meskipun orang yang bershaaqah telah meninggal dunia. Nabi shallallahu ‘alihi wasallam bersabda,” Apabila anak Adam wafat putuslah amalnya kecuali tiga hal yaitu sodaqoh jariyah, pengajaran dan penyebaran ilmu yang dimanfaatkannya untuk orang lain, dan anak (baik laki-laki maupun perempuan) yang mendoakannya” (HR. Muslim).
Itulah beberapa shadaqah yang utama, dan tentu masih banyak yang lainnya. Islam juga mengajarkan bahwa shadaqah tidak mesti dengan hanya mengeluarkan sejumlah materi atau uang, tetapi semua amal kebajikan yang dilakukan seorang muslim seperti : menciptakan kebersihan lingkungan, bersikap santun, memberikan pendidikan agama kepada anak dan istri dan bahkan dengan memberikan senyuman pun adalah shadaqah.
Manfaat ZIS
• Sarana Pembersih Jiwa
Sebagaimana arti bahsa dari zakat adalah suci, maka seseorang yang berzakat, pada hakekatnyameupakan buktrhadap duninya dari upyanya untuk mensucikan diri;mensucikan diri dari sifat kikir, tamak dan dari kecintaan yang sangat terhadap dunianya , juga mensucikan hartanya dari hak-hak orang lain (QS.:103,70:24-25)
• Realisasi Kepedulian Sosial
Salah satu al esensial dalam Islam yang ditekankan untuk ditegakkan adalah hidupnya suasana ? takaful dan tadhomun ? (rasa sepenanggungan) dan hal tersebut akan bisa direalisasian dengan ZIS. Jika sholat berfungsi Pembina ke khusu'an terhadap Allah, maka ZIS berfungsi sebagai Pembina kelembutan hati seseorang terhadap sesame (QS.9:71)
• Sarana Untuk Meraih Pertolongan Sosial
Allah SWT hanya akan memberikan pertolongan kepada hambaNya, manakala hambanya Nya mematuhi ajranNya.Dan diantara ajaran Allah yang harus ditaati adalah menunaikan ZIS (QS.22:39-40)
• Ungkapan Rasa Syukur Kepada Allah
Menunaikan ZIS merupkan ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan Allah kepada kita
• Salah Satu Aksiomatika Dalam Islam
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang diketahui oleh setiap muslim, sebagaimana mereka mengetahui sholat dan rukun-rukun Islam lainnya.
WARIS.
Islam telah melembagakan system pewarisan unik yang dirancang untuk mewujudkan suatu distribusi kekayaan yang lebih adil. Ketentuan-ketentuan pewarisan ini telah ditetapkan syariah berdasarkan tujuan-tujuan sosio-ekonomisnya, di mana dalilnya telah ditetapkan berdasarkan nash al-qu’ran yang qath’i.
Waris adalah salah satu sarana untuk mmembagikan kekayaan. Hanya masalahnya, membagikan kekayaan tersebut bukan merupakan illat bagi waris tersebut. Akan tetapi, sarana tersebut hanya merupakn penjelasan tentang fakta waris itu sendiri. Hal itu adalah karena kekayaan, meski pemilikannya telah di mubahkan, namun kenyatannya kekayaan tersebut telah mengumpul pada orang tertentu semasa hidupnya. Agar kekayaan tersebut tidak terus mengumpul, pasaca kematina orang tadi, maka harus ada sarana untuk mendermakannya kepada ornag lain. Pada faktnya, sarana unyuk mendermakan kekayaan secara alami itu sudah bisa dibuktikan dan itulah waris.
DAFTAR PUSTAKA
M.B. Hendrie Anto. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: Ekonisia.
Syed Nawab Haider Naqvi. 1981. Ethics and Economics An Islamic Synthesis. London: The Islamic Foundation.
Ali,daud,m.1998.sistem ekonomi islam zakat dan wakaf,UIP, Jakarta.
Aziz,abdul,2008,ekonomi islam analisis mikro dan makro, graha ilmu, Yogyakarta.
Internet
Muhammad Sofyan. Distribusi Dalam Ekonomi Islam. Pada http://www.msi-uii.net di akses pada 22 Desember 2009
Metz Muntsani. Keadilan. Dalam http://bismirindu.wordpress.com/2009/07/23/keadilan-4 di akses pada 22 Desember 2009
Perkembangan Ekonomi Syariah
Kelompok 6 :
Muamar Faruqy (108084000023)
Heslima Muslita Zianti (108084000024)
Muhammad Riza (108084000025)
Fitri Anasta (108084000026)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2010
1. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia dan Kontribusinya Bagi Pembangunan Nasional.
Ekonomi islam dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan yang pesat, baik dalam kajian akademis di perguruan tinggi maupun dalam praktek operasional. Dalam bentuk pengajaran, ekonomi islam telah dikembangkan di beberapa universitas baik di negara-negara muslim, maupun di negara-negara barat, seperti USA, Inggris, Australia, dan Iain-lain.
Dalam bentuk praktek, ekonomi islam telah berkembang dalam bentuk lembaga perbankan dan juga lembaga-lembaga islam non bank lainya. Sampai saat ini, lembaga perbankan dan lembaga keuangan islam lainya telah menyebar ke 75 negara termasuk ke negara barat (WASPADA online).
Di Indonesia, perkembangan pembelajaran dan pelaksanaan ekonomi islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat. Pembelajaran tentang ekonomi islam telah diajarkan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Perkembangan ekonomi islam telah mulai mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Berbagai Undang-Undangnya yang mendukung tentang sistem ekonomi tersebutpun mulai dibuat, seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahkan mendapat dukungan langsung dari bapak wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla.
Urgensi Berekonomi Secara Islami
Dalam pandangan Islam, manusia merupakan khalifah Allah SWT di muka bumi (QS. 2:30). Allah SWT menciptakan bumi dan segala isinya untuk manusia (QS. 2:29) dan memberi kebebasan kepada manusia untuk mengelola sumber daya ekonomi yang tersedia di alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan membangun peradaban manusia ke arah yang lebih baik.
Manusia diberi kebebasan untuk mengelola sumber daya ekonomi dan melakukan transaksi perekonomian sesama mereka (muamalah). Mengenai muamalah (kegiatan ekonomi) tersebut terdapat kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “Hukum ashal (awal/asli) dari muamalah adalah boleh (mubah) sampai ada dalil yang menyatakan sebaliknya.
Artinya, segala kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan dalil-dalil nash (Al-Quran dan Sunah) tujuan-tujuan syariah dalam perekonomian. Tujuan-tujuan kegiatan ekonomi tersebut dapat dirumuskan menjadi 4 macam yaitu: Pertama, kegiatan ekonomi atau muamalah bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas norma-norma moral Islami (QS. 2:60, 168, 172; 6:142; 7:31, 160; 16:114; 20:81; 23:51; 34:15; 67:15). Kedua, tatanan ekonomi yang diusahakan bertujuan untuk membina persaudaraan dan menegakkan keadilan universal (QS. 49:13). Ketiga, distribusi pendapatan yang seimbang. Islam mempunyai komitmen yang tinggi terhadap persaudaraan manusia dan keadilan.. Keempat, tatanan ekonomi dalam Islam bertujuan untuk mewujudkan kebebasan manusia dalam konteks kesejahteraan social (QS. 7:157).
Perkembangan Ekonomi Syariah di Indonesia
Secara sederhana, perkembangan itu dikelompokkan menjadi perkembangan industri keuangan syariah dan perkembangan ekonomi syariah non keuangan. Industri keuangan syariah relatif dapat dilihat dan diukur perkembangannya melalui data-data keuangan yang ada, sedangkan yang non keuangan perlu penelitian yang lebih dalam untuk mengetahuinya.
Di sektor perbankan, hingga saat ini sudah ada tiga Bank Umum Syariah (BUS), 21 unit usaha syariah bank konvensional, 528 kantor cabang (termasuk Kantor Cabang Pembantu (KCP), Unit Pelayanan Syariah (UPS), dan Kantor Kas (KK)), dan 105 Bank Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Aset perbankan syariah per Maret 2007 lebih dari Rp. 28 triliun dengan jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) hampir mencapai 22 Triliun.
Meskipun asset perbankan syariah baru mencapai 1,63 persen dan dana pihak ketiga yang dihimpun baru mencapai 1,64% dari total asset perbankan nasional (per Februari 2007), namun pertumbuhannya cukup pesat dan menjanjikan. Diproyeksikan, pada tahun 2008, share industri perbankan syariah diharapkan mencapai 5 persen dari total perbankan nasional. Di sektor pasar modal, produk keuangan syariah seperti reksa dana dan obligasi syariah juga terus meningkat. Sekarang ini terdapat 20 reksa dana syariah dengan jumlah dana kelola 638,8 miliar rupiah. Jumlah obligasi syariah sekarang ini mencapai 17 buah dengan nilai emisi mencapai 2.209 triliun rupiah.
Di sektor saham, pada tanggal 3 Juli 2000 BEJ meluncurkan Jakarta Islamic Index (JII). JII yang merupakan indeks harga saham yang berbasis syariah terdiri dari 30 saham emiten yang dianggap telah memenuhi prinsip-prinsip syariah. Data pada akhir Juni 2005 tercatat nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp325,90 triliun atau 43% dari total nilai kapitalisasi pasar di BEJ. Sementara itu, volume perdagangan saham JII sebesar 348,9 juta lembar saham atau 39% dari total volume perdagangan saham dan nilai perdagangan saham JII sebesar Rp322,3 miliar atau 42% dari total nilai perdagangan saham.
Peranan pemerintah yang sangat ditunggu-tunggu oleh pelaku keuangan syariah di Indonesia adalah penerbitan Undang-undang Perbankan Syariah dan Undang-Undang Surat Berharga Syariah (SBSN). Di sektor asuransi, hingga Agustus 2006 ini sudah lebih 30 perusahaan yang menawarkan produk asuransi dan reasuransi syariah. Namun, market share asuransi syariah belum baru sekitar 1% dari pasar asuransi nasional. Di bidang multifinance pun semakin berkembang dengan meningkatnya minat beberapa perusahaan multifinance dengan pembiayaan secara syariah.
Angka-angka ini diharapkan semakin meningkat seiiring dengan meningkatnya permintaan dan tingkat imbalan (Rate of Return) dari masing-masing produk keuangan syariah.
Di sektor mikro, perkembangannya cukup menggembirakan.
Lembaga keuangan mikro syariah seperti Baitul Mal wa Tamwil (BMT) terus bertambah, demikian juga dengan aset dan pembiayaan yang disalurkan. Sekarang sedang dikembangkan produk-produk keuangan mikro lain semisal micro-insurance dan mungkin micro-mutual-fund (reksa dana mikro).
Sisi Non Keuangan
Industri keuangan syariah adalah salah satu bagian dari bangunan ekonomi syariah. Sama halnya dengan ekonomi konvensional, bangunan ekonomi syariah juga mengenal aspek makro maupun mikro ekonomi. Namun, yang lebih penting dari itu adalah bagaimana masyarakat dapat berperilaku ekonomi secara syariah seperti dalam hal perilaku konsumsi, giving behavior (kedermawanan), dan sebagainya. Perilaku bisnis dari para pengusaha Muslim pun termasuk dalam sasaran gerakan ekonomi syariah di Indonesia. Walau terlihat agak lambat, namun sisi non-keuangan dalam kegiatan ekonomi ini juga semakin berkembang. Hal ini ditandai semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap perilaku konsumsi yang Islami, tingkat kedermawanan yang semakin meningkat ditandai oleh meningkatnya dana zakat, infaq, waqaf, dan sedekah yang berhasil dihimpun oleh badan dan lembaga pengelola dana-dana tersebut.
Faktor Pendorong
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia tidak terlepas dari beberapa faktor pendorong. Secara sederhana, faktor-faktor itu dikelompokkan menjadi faktor eksternal dan internal.Faktor eksternal adalah penyebab yang datang dari luar negeri, berupa perkembangan ekonomi syariah di negara-negara lain, baik yang berpenduduk mayoritas Muslim maupun tidak. Negara-negara tersebut telah mengembangkan ekonomi syariah setelah timbulnya kesadaran tentang perlunya identitas baru dalam perekonomian mereka. Kesadaran ini kemudian ’mewabah’ ke negara-negara lain dan akhirnya sampai ke Indonesia.
Sedangkan faktor internal antara lain adalah kenyataan bahwa Indonesia ditakdirkan menjadi negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Fakta ini menimbulkan kesadaran di sebagian cendikiawan dan praktisi ekonomi tentang perlunya suatu ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam di jalankan masyarakat muslim ke Indonesia.
Di samping itu, faktor politis juga turut bermain. Membaiknya ”hubungan” Islam dan negara menjelang akhir milineum lalu membawa angin segar bagi perkembangan ekonomi dengan prinsip syariah.
Meningkatnya keberagamaan masyarakat juga menjadi faktor pendorong berkembangan ekonomi syariah di Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan yang terdidik dan relijius membawa semangat dan harapan baru bagi industri keuangan syariah. Mereka mempunyai kesadaran bahwa agama bukan sekedar shalat, puasa, dan ibadah-ibadah mahdah lainnya saja. Tetapi, agama harus diterapkan secara kafah (holistik) dalam setiap aspek kehidupan termasuk dalam berekonomi. Faktor berikutnya adalah pengalaman bahwa sistem keuangan syariah tampak cukup kuat menghadapi krisis moneter tahun 1997-1998. Bank syariah masih dapat berdiri kokoh ketika ”badai” itu menerpa dan merontokkan industri keuangan di Indonesia.
Di samping itu, faktor rasionalitas bisnis pun turut membesarkan ekonomi syariah. Bagi kelompok masyarakat yang tidak cukup dapat menerima sistem keuangan syariah berdasarkan ikatan emosi (personal attachment) terhadap Islam, faktor keuntungan menjadi pendorong mereka untuk terjun ke bisnis syariah.
Implikasi Bagi Perkembangan Ekonomi Nasional Setidaknya ada 3 hal yang menjadi sumbangan ekonomi syariah bagi ekonomi nasional. Pertama, ekonomi syariah memberikan andil bagi perkembangan sektor riil.
Pengharaman terhadap bunga bank dan spekulasi mengharuskan dana yang dikelola oleh lembaga-lembaga keuangan syariah disalurkan ke sector riil. Kedua, ekonomi syariah lewat industri keuangan syariah turut andil dalam menarik investasi luar negeri ke Indonesia, terutama dari negara-negara Timur-tengah. Adanya berbagai peluang investasi syariah di Indonesia, telah menarik minat investor dari negara-negara petro-dollar ini untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Minat mereka terus berkembang dan justru negara kita yang terkesan tidak siap menerima kehadiran mereka karena berbagai ’penyakit akut’ yang tidak investor friendly, seperti rumitnya birokrasi, faktor keamanan, korupsi, dan sebagainya.
Ketiga, gerakan ekonomi syariah mendorong timbulnya perilaku ekonomi yang etis di masyarakat Indonesia. Ekonomi syariah adalah ekonomi yang berpihak kepada kebenaran dan keadilan dan menolak segala bentuk perilaku ekonomi yang tidak baik seperti sistem riba, spekulasi, dan ketidakpastian (gharar).
Tantangan Yang Harus Di Hadapi
Namun selain itu sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat dengan ekonomi perbankan secara islami, ekonomi islam mendapat tantangan yang sangat besar pula. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi, yaitu: Pertama, ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan keuanganya. Kedua, bagaimana sistem ekonomi islam dapat meningkatkan dan menjamin atas kelangsungan hidup dan kesejahteraan seluruh umat, dapat menghapus kemiskinan dan pengangguran di Indonesia ini yang semakin marak, serta dapat memajukan ekonomi dalam negeri yang masih terpuruk dan dinilai rendah oleh negara lain.
Dan yang ketiga, mengenai perangkat peraturan; hukum dan kebijakan baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Untuk menjawab pertanyaan itu, telah dibentuk sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang tersebut adalah organisasi (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia).
Organisasi tersebut didirikan dimaksudkan untuk membangun jaringan kerja sama dalam mengembangkan ekonomi islam di Indonesia baik secara akademis maupun secara praktek. Dengan berdirinya organisasi tersebut, diharapkan agar para ahli ekonomi islam yang terdiri dari akademisi dan praktisi dapat bekerja sama untuk menjalankan pendapat dan aksinya secara bersama-sama, baik dalam penyelenggaraan kajian melalui forum-forum ilmiah ataupun riset, maupun dalam melaksankan pengenalan tentang sistem ekonomi islam kepada masyarakat luas. Dengan cara seperti itu, maka InsyaAllah segala ujian yang diberikan dapat dipikirkan dan ditemukan solusinya secara bersama sehingga pergerakannya bisa lebih efektif dalam pembangunan ekonomi seluruh umat.
Harus diakui bahwa perkembangan ekonomi islam merupakan bagian penting dari pembangunan ekonomi bangsa dan juga mayoritas muslim, bukan hanya sebuah gerakan sebagaimana penilaian dan pemikiran oleh sebagian orang yang sama sekali tidak paham tentang karakteristik ekonomi syari'ah.
Hikmah didirikannya ekonomi islampun sangat banyak, salah satunya praktek ekonomi islam ini mengajarkan pada kita bahwa perbuatan riba (melebih-lebihkan) itu adalah perbuatan dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan mengajarkan pada kita agar menjauhi perbuatan tersebut. Selain itu ekonomi islam juga sebagai wadah menyimpan dan meminjam uang secara halal dan diridhoi oleh Allah SWT.
2. Perkembangan Bank-Bank yang berlandaskan Prinsip Syariah
Berkembangnya bank-bank syariah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Drs. Karnaen A. Perwataatmadja, MPd, FIIS., Prof. Drs. M. Dawam Rahardjo, Prof. Dr. A.M. Saefudin, Prof. Dr. M. Amin Aziz dan lain-lain.
Sementara di Indonesia timur Prof. Dr. Halide seorang ekonom Unhas pada dekade yang bersamaan sangat gencar memperkenalkan konsep ekonomi Islam di tengah-tengah masyarakat yang ketika itu sama sekali masih awam tentang konsep ekonomi syariah. Harapan untuk mewujudkan bank syariah terus menguat. Dan upaya intensif pendirian bank Islam (disebut oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai ”Bank Syariah”) di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat pemerintah menge¬luarkan Paket Kebijakan Oktober yang dikenal dengan istilah Pakto 88. Paket ini mengatur deregulasi industri perbankan di Indonesia. Sementara itu para ulama saat itu telah berusa¬ha mendirikan bank bebas bunga, tapi tidak ada satu pun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen). Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya UU No. 7/1992 tentang Perbankan di mana perbankan bagi-hasil mulai diakomodasi. Dalam keputusan lokakarya tersebut juga terdapat pengakuan adanya dua pandangan yang berbeda terhadap bunga bank. Pendapat pertama berpendapat bahwa bunga bank itu riba, dan oleh karena itu hukumnya haram, sedang pandangan kedua berpendapat bunga itu bukan riba, dan oleh karena itu hukumnya halal. Meski diakui oleh lokakarya bahwa pandangan kedua tersebut adalah rukhshah (penyimpangan) dari ketentuan baku, namun dengan melihat kenyataan hidup yang ada untuk menghindari kesulitan (masyaqqah).
Hal itu karena sebagian umat Islam terlibat dalam sistem bunga bank, maka hal itu dapat dipastikan adanya kebutuhan, sepanjang dapat dipastikan adanya kebutuhan (qiyamu hajatin) umum demi kelanjutan pembangunan nasional dan secara khusus untuk mempertahankan kehidupan pribadi pada tingkat kecukupan (kifayah). Oleh karena itu maka usaha pengembangan perbankan yang sistem operasinya tidak mengenakan bunga (interest free banking system), lebih ditujukan kepada pemantapan pengarahan dana pembangunan dari masyarakat yang menganggap bunga bank adalah riba atau meragukan.
Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali UU No. 7/1992 dan Peraturan Pemerintah No. 72/1992, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung beroperasinya per¬bankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif (peraturan umum perbankan) yang berlaku di Indonesia, yang nota bene berbasis bunga/konvensional. Akibatnya ciri-ciri Syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.
Dengan diundangkannya UU No. 10/1998 tentang Perubahan UU No. 7/1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari Sistem Perbankan Nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam bebe¬rapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Hal yang sangat penting dari peraturan baru itu adalah bahwa bank-¬bank umum dan bank-bank perkreditan rakyat konvensional dapat menjalankan transaksi perbankan syariah melalui pembukaan kantor¬-kantor cabang syariah, atau mengkonversikan kantor cabang konven-sional menjadi kantor cabang syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberi dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pembentukan BMI ini diikuti oleh pendirian bank-bank perkreditan rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang men¬cukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang di-sebut Bait al Maal wat Tamwil (BMT)–atau Bait al Qiradh menurut ma¬syarakat Aceh.
Sebenarnya sebelum Bank Muamalat berdiri, di Jawa Barat sudah terlebih dahulu berdiri beberapa BPRS, antara lain BPRS Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung oleh para mantan aktivis HMI dan ulama Persis Bandung dan sebuah institusi syariah yaitu ISED (Institute for Sharia Economic Development). Namun karena belum didukung oleh SDM yang baik, maka BPRS ini tidak berkembang ketika itu. Pada saat yang bersamaan dengan BPRS tadi sejumlah BMT juga berdiri yang semangatnya adalah ingin menerapkan sistem ekonomi syariah, Misalnya BMT Bina Insan Kamil. Jauh sebelum Bank Muamalat berdiri di Mesjid Salman juga pernah didirikan “Bank” Teknosa dengan ruh dan nafas ekonomi syariah. Semua ini boleh dikatakan sebagai embrio menuju berdirinya bank berdasarkan prinsip-prinsip Islam.
Setelah dua tahun Bank Muamalat beroperasi, kemudian mensponsori pen¬dirian asuransi Islam pertama di Indonesia, yaitu Syarikat Takaful Indonesia, dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti dengan beroperasinya lembaga reksadana Syariah oleh PT Danareksa. Pada tahun yang sama, berdiri pula sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) Syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company. Bank Muamalat ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit serta menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 mengenai Perbankan. Dalam rangka terus meningkatkan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia maka DPR telah mensyahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867).
Bahkan Bank Indonesia sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, telah membuat Peraturan Bank Indonesia No. 10/32/PBI/2008 tanggal 20 Nopember tentang Komite Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 179; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomer 4927). Tugas KPS (Komite Perbankan Syariah) adalah membantu Bank Indonesia dalam: 1) Menafsirkan fatwa MUI yang terkait dengan perbankan syariah, 2) Memberikan masukan dalam rangka implementasi fatwa ke dalam Peraturan Bank Indonesia, 3) Melakukan Pengembangan industri perbankan syariah. Menyusul setelah di umumkan bank syariah bukopin pada penghujung 2008, maka sampai Desember 2008, terdapat empat bank umum syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, dan Bank Bukopin Syariah. Berdasarkan catatan yang aqda di Masyarakat Ekonomi Syariah, BRI Syariah pun telah mendapat izin operasional dari Bank Indonesia, akan tetapi baru akan lounching pada awal tahun 2009.
Dengan demikian di awal tahun 2009 Insya Allah telah beroperasi Bank umum yang benar-benar full Syariah sebanyak lima bank. Saat ini, berdasarkan data yang dimiliki MES terdapat beberapa bank yang sedang dan dalam proses spint off ke syariah, dan di harapkan pertengahan atau akhir tahun 2009 dapat beroperasi
3. Ekonomi Syariah dan Gerakan Sektor Riil
Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada pekan ini adalah pergantian menteri keuangan dari Sri Mulyani kepada Agus Marowardoyo, serta penunjukan Anny Ratnawati sebagai wakil menkeu. Harus diakui bahwa pergantian ini merupakan ekses dari proses politik yang terjadi akibat kasus Bank Century. Terlepas dari pro kontra yang ada, setumpuk harapan dialamatkan kepada duet Agus dan Anny, terutama dalam upaya menggerakkan sektor riil.
Hal tersebut dikarenakan masih belum optimalnya kebijakan ekonomi terkait sektor ini. Stabilitas makroekonomi yang selama ini menjadi fokus perhatian pemerintah, ternyata masih belum mampu menggerakkan sektor riil secara optimal. Karena itu, diperlukan adanya paradigma baru kebijakan pembangunan ekonomi nasional, dengan menjadikan ekonomi syariah sebagai salah satu pilar utamanya.
Keunggulan Ekonomi Syariah
Terkait dengan ekonomi syariah ini, ada beberapa keunggulan yang dimilikinya, yang perlu menjadi perhatian bersama. Pertama, dan sisi teori, ada keseimbangan antara sektor riil dengan sektor moneter. Hal tersebut dikarenakan seluruh transaksi keuangan syariah adalah berbasis pada sektor riil. Sehingga, mendorong perkembangan lembaga keuangan syariah sesungguhnya sama dengan mendorong pertumbuhan sektor riil. Ini terbukti dari nilai financing to deposit ratio perbankan syariah yang selalu di atas 90 persen, yang berarti fungsi intermediasi perbankan berjalan dengan baik. Secara empiris, riset Ayuniyyah, Achsani, dan Ascarya (2010) mampu membuktikan adanya hubungan positif antara pembiayaan bank syariah dan Industrial Production Index, yang merupakan proxy dari pertumbuhan di sektor riil.
Kedua, secara sosial budaya, praktik-praktik ekonomi syariah telah melembaga dalam kehidupan masyarakat. Semangat untuk tolong-menolong dan saling menanggung beban sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang telah tertanam kuat dalam masyarakat selama ini.
Ketiga, ekonomi syariah sangatmenekankan adanya prinsip keadilan. Keadilan ini merupakan pilar penting tegaknya ajaran agama dalam kehidupan. Bahkan, Allah SWT telah mengingatkan bahwa berlaku adil merupakan jalan menuju ketakwaan (QS 58). Tidak mungkin predikat ketakwaan akan diraih seorang Muslim manakala ia tidak pernah berlaku adil. Ekonomi syariah akan kehilangan ruh syariah apabila mengabaikan prinsip keadilan ini.
Keempat, ekonomi syariah akan mencegah terkonsentrasikannya kekayaan di tangan segelintir kelompok, sekaligus menjamin terdistribusikannya kue ekonomi secara adil dan merata kepada seluruh kom-ponen masyarakat (QS: 597). Hal tersebut didukung oleh keberadaan tiga instrumen pokok dari ekonomi syariah ini, yaitu instrumen yang bersifat prohibitive (larangan riba atau bunga, dan ikhtikar atau penim-bunan/spekulasi), instrumen yang bersifat positif (kewajiban zakat), dan instrumen yang bersifat voluntary (infak, sedekah, dan wakaf)-Perhatikan QS Al-Baqarah: 275-281. Keberadaan ketiga instrumen ini akan membuat mekanisme distribusi ekonomi berjalan dengan baik dan lancar. Sehingga, persoalan ketimpangan dan kesenjangan ekonomi yang selama ini menjadi salah satu tantangan besar perekonomian nasional akan dapat diatasi. Apalagi hal tersebut juga didukung oleh potensi yang luar biasa.
Zakat, misalnya, menurut penelitian Prof Habib Ahmed, seorang peneliti IRTI-IDB dan guru besar di Durham University Inggris, potensi zakat di Indonesia temyata mencapai angka dua persen dari GDP. Jika GDP kita tahun lalu mencapai angka Rp 5 ribu triliun, maka potensi minimal zakat yang dapat digali adalah sebesar Rp 100 triliun. Belum lagi potensi wakaf yang mencapai angka Rp 590 triliun. Bisa dibayangkan, apabila potensi ini dapat dimaksimalkan dan direalisasikan dengan baik, maka persoalan kemiskinan akan dapat direduksi secara signifikan. Indonesia akan memiliki potensi sumber dana domestik yang cukup, tanpa harus menggadaikan harga diri melalui utang luar negeri.
Keberpihakan Pemerintah
Seluruh keunggulan dan kelebihan ekonomi syariah akan dapat direalisasikan manakala pemerintah menunjukkan keberpihakan yang optimal. Hal tersebut tecermin, antara lain, melalui orientasi dan paradigma kebijakan yang memberi ruang lebih besar kepada ekonomi syariah untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Tanpa dukungan pemerintah yang optimal, mustahil ekonomi syariah dapat berperan secara maksimal.
Contoh dukungan tersebut, antara lain, melalui penempatan dana pemerintah di bank syariah dan pelaksanaan kebijakan zakat pengurang pajak. Kebijakan yang pertama akan menstimulasi lebih dalam peran intermediasi perbankansyariah di sektor riil, sedangkan kebijakan yeng kedua akan mendorong terciptanya economic growth with equity. Zakat sebagai kredit pajak, akan menstimulasi pertumbuhan ekonomi melalui instrumen konsumsi dan investasi. Konsumsi akan mendorong terpenuhinya kebutuhan jangka pendek kaum dhuafa, sedangkan investasi akan menciptakan ketahanan ekonomi kaum dhuafa pada jangka panjang.
Penutup
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah kami paparkan diatas, bahwa pada kenyataannya Perekembangan Ekonomi Syariah , mulai terlihat marak perkembangannyadi tanah air sejak kurang lebih satu decade terakhir. Perkembangannya ini tidak terlepas dari alasan pokok pokok keberadaan sistem ekonomi syariah, yaitu keinginan dari masyarakat muslim untuk kaffah dalam menjalankan ajaran islam dengan menjalankan seluruh aktivitas dan transaksi ekonominya sesuai dengan ketentuan syariah. Ekonomi syariah yang bertujuan untuk membangun sistem yang berkeadilan dan membawa kemaslahatan bagi seluruh masyarakat yang ada di Indonesia.
Saran dan Kritik
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka itu, untuk dapat memperbaikinya kami mohon saran dan kritik dari para pembaca. Kami mohon maaf sedalam-dalamnya seumpama ada kata-kata yang salah atau tidak mengenakan hati. Atas perhatian pembaca kami mengucapkan banyak terimakasih.
Daftar Pustaka
1. http://bataviase.co.id/node/222220
2. http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2010/03/02/latar-belakang-syariah/
3. http://syakirsula.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100:
sejarah-perkembangan-ekonomi-islam-5&catid=33:amanah-bangsa&Itemid=7
4. http://ekonomiprofetik.wordpress.com/2009/03/24/perkembangan-ekonomi
5. http://vicry90.blogspot.com/2010/03/perkembangan-syariah-di-indonesia.html
KEBIJAKAN EKONOMI SYARIAH
DENGAN EKONOMI KONVENSIONAL
Tugas ini diajukan sebagai tugas mata kuliah Ekonomi Syariah
Dosen Pembimbing :
Suhenda Wiranata
Kelompok 7
Di susun oleh :
Angga Wiguna 108084000026
Adi Komba 108084000028
Ely Agustiani Solikhah 108084000029
JURUSAN ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
Kebijakan ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional
Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan dalam merecovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang sehingga menciptakan stabilitas perekonomian.
Ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global, seperti Rodney Shakespeare (United Kingdom), Volker Nienhaus (Jerman), dsb. Ke depan pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan karena ia menggunakan sistemi hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut.
Sementara bank-bank raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian bank konvensional lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN kita dikuras lagi oleh keperluan membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi.
Selama ini, sistem ekonomi dan keuangan syari’ah kurang mendapat tempat yang memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam belum menjadi perhatian pemerintah. Sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan, Ekonomi Islam bagaikan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja, tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat lambat, karena kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten, seperti Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Industri, BAPENAS, DPR dan Menteri yang terkait lainnya.
Keberhasilan Malaysia mengembangkan ekonomi Islam secara signifikan dan menjadi teladan dunia internasional, adalah disebabkan karena kebijakan Mahathir yang secara serius mengembangkan ekonomi Islam. Mereka tampil sebagai pelopor kebangkitan ekonomi Islam, dengan kebijakan yang sungguh-sungguh membangun kekuatan ekonomi berdasarkan prinsip syari’ah. Indonesia yang jauh lebih dulu merdeka dan menentukan nasibnya sendiri, kini tertinggal jauh dari Malaysia.
Kebijakan-kebijakan Mahathir dan juga Anwar Ibrahim ketika itu dengan sistem syari’ah, telah mampu mengangkat ekonomi Malaysia setara dengan Singapura. Tanpa kebijakan mereka, tentu tidak mungkin ekonomi Islam terangkat seperti sekarang, tanpa kebijakan mereka tidak mungkin terjadi perubahan pendapatan masyarakat Islam secara signifikan. Mereka bukan saja berhasil membangun perbankan, asuransi, pasar modal, tabungan haji dan lembaga keuagan lainnya secara sistem syari’ah, tetapi juga telah mampu membangun peradaban ekonomi baik mikro maupun makro dengan didasari prinsip nilai-nilai Islami.
Aplikasi ekonomi Islam bukanlah untuk kepentingan ummat Islam saja. Penilaian sektarianisme bagi penerapan ekonomi Islam seperti itu sangat keliru, sebab ekonomi Islam yang konsen pada penegakan prinsip keadilan dan membawa rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi ummat Islam saja, dan karena itu ekonomi Islam bersifat inklusif.
Momentum Indonesia Syariah Expo hendaknya bisa menyentakkan dan membuka mata pemerintah untuk melirik dan menerapkan ekonomi syariah sebagai solusi perekonomian Indonesia. Pemerintah harus melihat ekonomi syari’ah dalam konteks penyelamatan ekonomi Nasional. Sehubungan dengan itu, pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) perlu kembali diwujudkan dengan memasukkan para pakar ekonomoi syariah di dalamnya. Ekonomi syariah di Indonesia telah menunjukkan ketangguhannya di masa krisis dan lagi pula dalam praktek perekonomian di Indonesia selama ini, Indonesia sudah menerapkan dual system, yakni konvensional dan sistem ekonomi syari’ah, terutama yang berkaitan dengan lembaga perbankan dan keuangan,
Ciri-ciri sistem Ekonomi kapitalis; 1) faktor produksi dimiliki oleh pribadi atau swasta; 2) desentralisasi pengambilan keputusan dan informasi ekonomi; 3) insentif utama (dalam bekerja) bersifat materi; 4) alokasi dan distribusi menggunakan mekanisme pasar; 5)ekses produksi dipakai untuk memperluas kapasitas produksi. Penerapan ekonomi kapitalis ter nyata menimbulkan berbagai masalah dan ekses seperti penindasan, perbudakan, penjajahan, ekploitasi buruh, dominasi majikan dan pemilik modal, kesenjangan yang luar biasa antara yang kaya dan yang miskin, the have and the have not.
Ciri-ciri sistem Ekonomi komunis adalah alat produksi dimiliki secara bersama, produksi, distribusi barangsdan jasa serta pendapatan diputuskan secara tersentralisiroleh sebuah komisi ekonomi (Economic Planning Commision). Pelaksanaan sistem ekonomi tersebut juga menimbulkan berbagai ekses seperti matinya inisiatif individu, dominasi partai dan elit partai yang ternyata mengekploitasi rakyat, yang akhirnya menimbulkan diktator proletariat yang lebih banyak menyengsarakan masyarakat.
Sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi yang memperjuangkan kesejahteraan sosial dan terciptanya pemerataan ekonomi yang lebih besar, biasanya melalui kepemilikan bersama (common ownership) atas alat-alat produksi, seperti kepemilikan oleh negara atau kepemilikan oleh pekerja cointohnya koperasi.
Sistem Ekonomi Islam (Syariah)adalah sebagai konsepsi dan praktek-praktek ekonomi berdasarkan ketentuan syariat atau hukum islam. Islam memberikan tuntunan yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan, termasuk tuntunan dalam melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis atau muamalah. Berbeda dengan konsep ekonomi lainnya, konsepsi dan kegiatan ekonomi dalam pandangan islam haruslah berlandaskan kepada keimanan, termasuk iman kepada hari akhirat. Mengajarkan keterpaduan antara akidah, syariah dan akhlak dalam kegiatan ekonomi dan bisnis yang tidak saja akan menghasilkan yang baik didunia tetapi juga di akhirat nanti.
Dalam hal kepemilikan, terdapat persamaan sekaligus perbedaan antara sistem ekonomi Islam dan Kapitalis serta Sosialis. Islam mengakui dan menghormati hak milik oleh pribadi, swasta, koperasi ataupun Negara, dengan catatan semua harta benda tersebut dan alam beserta isinya termasuk manusia adala milik ALLAH. Manusia diwajibkan untuk mengolah, memanfaatkan dan memelihara alam tersebut dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan masyarakat serta untuk kemaslahatan manusia pada umumnya. Dengan rambu-rambu syariah, sistem ekonomi islam memberikan kebebasan bagi individu dan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan dan transaksi ekonomi dan perdagangan, termasuk menggunakan mekanisme pasar. Yang perlu dijaga adalah agar pasar tersebut benar-benar efisien dan bebas dari berbagai eksternalitas, seperti monopoli, monopsoni, penipuan, pemalsuan, insider trading dan pelanggaran hukum lainnya.
Sistem ekonomi islam mengutamakan kesejahteraan masyarakat, pasar yang efisien, etos kerja yang tinggi, praktek bisinis yang jujur, produksi yang efisien, konsumsi yang tidak bertlebihan, keadilan distributidf, menepati kontrak dan perjanjian serta mendatangkan manfaat material maupun spritual.
Sistem ekonomi di Indonesia
Sejak berdirinya Republik Indonesia, perekonomian indonesia telah mengalami perubahan yang cukup mendasar, baik pada tataran konsepsi, sistem, maupun kebijakan. Perubahan-perubahan tersebut seringkali dipicu dan atau disertai dengan krisis atau gejolak ekonomi yang mengganggu proses pembangunan ekonomi serta menghambat upaya peningkata kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hal ini mengindikasikan bahwa konsepsi dan sistem ekonomi Indonesia dewasa ini dapat disebut sebagai mixed system yaitu campuran antara sistem sosialis, kapitalis, dan pancasila. Akan tetapi jika kita lihat kondisi ekonomi saat ini sangat memprihatinkan dimana terjadi kesenjangan yang luar biasa antara si kaya dengan simiskin, meningkatnya pengangguran, kemiskinan, tingginya biaya pendidikan, menurunnya kesejahteraan masyarakat, rendahnya daya saing, terjadinya tindak korupsi disegala lini, semakin membengkaknya utang (perangkap riba atau bunga) serta masih banyaknya sederetan masalah yang masih menyelimuti kondisi ekonomi indonesia saat ini. Sangatlah tepat Nabi Muhammad SAW. Selalu berdoa minta perlindungan dari ALLAH SWT “ Ya Allah! Jauhkanlah saya dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebathilan, keberatan utang serta tekanan dan paksaan orang”.
Ketidakmampuan konsepsi, sistem, kebijakan maupun praktek-praktek ekonomi konvensional untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak yang nota bene adalah umat islam, perlu menjadi bahan renungan bagi kita semua untuk membangun ekonomi syariah di Indonesia yang mengatur masalah halal-haram dan nilai-nilai keadilan, menjauhkan maksiat atau kezaliman dan sebagainaya.
Dalam ilmu ekonomi tenaga kerja dipandang sebagai salah satu faktor produksi yang kedudukannya lebih rendah dari fak tor modal atau kapital. Faktor tenaga kerja dalam islam menduduki posisi terpenting. Kewajiban bekerja mempunyai tujuan yang jelas dan mulia, diantaranya; a) mencukupi kebutuhan hidup; b) Kemaslahatan keluarga dan masyarakat c) untuk kkehidupan dan untuk semua yang hidup; d) untuk memakmurkan bumi; e) untuk kerja itu sendiri, karena bekerja adalah hak Allah dan salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Nya.. Bekerja perlu dilakukan dengan ketekunan, ketengan jiwa, istiqamah serta memperhatikan waktu.
Keseimbangan yang adil merupakan jiwa dari ekonomi islam: antara modal dan usaha, antara produksi dan konsumsi, antara produsen dan konsumen dan antara golongan-golongan dalam masyarakat. Islam juga menganjurkan untuk menjauhi utang (larangan riba). Prinsip umum ekonomi syariah adalah; a) aprinsip halal atau haram; b) prisip kemanfaatan. Manusia dapat menggunakan dan memanfaatkan semua yang dikaruniakan Allah dengan memperhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan; c) Prinsip kesederhanaan. Kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi harus dilakukan dengan baik, efisien dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan; d) prinsip kebebasan ekonomi. Setiap orang pada dasarnya bebas melakukan kegiatan ekonomi dan profesi apapun dalam koridor yang telah ditetapkan.
Ada perbedaan yang mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dari pondasi dasar yang telah dijelaskan diatas. Pertama adalah sumber landasan nilai yang muncul. M.N. Siddiqi mengemukakan bahwa sumber utama dari prilaku dan infrastruktur ekonomi Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Pengetahuan itu bukan buah fikiran pakar ekonomi Islam, tapi ‘ide langsung’ dari Allah SWT. Sementara itu sumber pengetahuan dari prilaku dan institusi ekonomi konvensional adalah intelegensi dan intuisi akal manusia melalui studi empiris. Perbedaan kedua, tentu saja terletak pada motif prilaku itu sendiri. Ekonomi Islam dibangun dan dikembangkan di atas nilaialtruisme, sedangkan ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai egoisme. Dari banyak prinsip-prinsip ekonomi Islam yang disebutkan oleh pakar ekonomi
Islam, setidaknya terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam.Pertama, menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct). Dari produk, manajemen, proses produksi hingga proses sirkulasi atau distribusi haruslah dalam kerangka halal. Usaha-usaha tersebut tidak bersentuhan dengan judi (maisir) dan spekulasi (gharar) atau tindakan-tindakan lainnya yang dilarang secara syariah. Hal ini juga berlandaskan pada surah al-Baqarah ayat 72 & 168 serta an-Nisaa ayat 29.. Dalam ekonomi Islam pada dasarnya aktifitas apapun hukumnya boleh kecuali ada dalil yang melarang aktifitas itusecara syariah. Kedua, hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan memuaskan keinginan (wants). Prinsip ini sejalan dengan panduan al-Qur’an dalam surah al-A’raf ayat 31-32 & al-Israa ayat 29.Ketiga, implementasi Zakat (implementation of zakat). Pada tingkat negara mekanisme zakat yang diharapkan adalah obligatory zakat system bukan voluntary zakat system.
Disamping itu ada juga instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah yang terimplementasi dalam bangunan sosial masyarakat. Prinsip ini sebagaimana diisyaratkan dalam surah at-Taubah ayat 60 dan 103. Keempat, penghapusan/pelarangan Riba atau Bunga (prohibition of riba), Gharar dan Maisir. Untuk itu perlu menjadikan sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrument mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit system) berikut instrumen bunganya (interest rate) dan membersihkan ekonomi dari segala prilaku buruk yang merusak sistem, seperti prilaku menipu, spekulasi atau judi. Sebagaimana surah al- Baqarah ayat 274-781 menjelaskan tentang hal ini. Keempat prinsip utama ini tentu bukan hanya memberi batasan-batasan moral saja dalam aktifitas dan sistem ekonomi Islam, tetapi juga memiliki konsekwensikonsekwensi yang menciptakan bangunan ekonomi Islam. Konsekwensi yang jelas sekali misalnya adalah eksistensi lembaga Baitul Mal sebagai respon langsung dari ketentuan implementasi sistem zakat dalam kebijakan fiskal Negara. Atau dominasi konsep bagi hasil dalam dunia keuangan dan investasi sebagai konsekwensi pelarangan bunga (riba). Juga adanya lembaga al-Hisbah untuk mengawasi pasar. Prinsip-prinsip ini utamanya dimaksudkan agar segala aktifitas manusia betul-betul dapat mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan dunia-akhirat (falah). Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dari prilaku individual dan juga kolektif yang akan mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dalam ekonomi Islam motif dalam aktifitas ekonomi adalah ibadah. Motif ibadah inilah yang kemudian mempengaruhi segala prilaku konsumsi, produksi dan interaksi ekonomi lainnya. Secara spesifik ada tiga motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah (public interest), kebutuhan (needs) dan kewajiban (obligation).
Mashlahah merupakan motif yang dominan diantara ketiga motif yang ada, Dr. Akram Khan menjelaskan bahwa mashlahah adalah parameter prilaku yang bernuansa altruism (kepentingan bersama). Berikutnya, motif kebutuhan merupakan sebuah motif dasar (fitrah), dimana manusia memang memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sedangkan motif kewajiban merupakan representasi entitas utama motif ekonomi yaitu ibadah. Ketiga motif ini saling menguatkan dan memantapkan peran motif ibadah dalam perekonomian.
Dalam paradigma ekonomi Islam harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk mencapai falah. Seluruh kekayaan adalah milik Allah SWT, sehingga pada hakikatnya apa yang dimiliki manusia itu hanyalah sebuah amanah. Dan nilai amanah itulah yang menuntut manusia untuk menyikapinya dengan benar. Sedangkan dari perspektif konvensional, harta merupakan kekayaan yang menjadi hak milik pribadi seseorang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan flow concept, yang sebaiknya mengalir. Sedangkan ekonomi konvensional cenderung memandangnya berdasarkan stock concept, yang mendorong prilaku penumpukan dan penimbunan. Dr. Muhammad Arif menjelaskan bahwa ekonomi konvensional lebih mengedepankan pasar sebagai paradigmanya. Orientasi pasar pada ekonomi konvensional sejalan dengan landasan filosofinya yang menjadikan kelimpahan materi sebagai parameter. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa kecenderungan pelaku pasar dalam sistem konvensional begitu konsumtif, hedonis, materialistis dan individualistis
Prospek Ekonomi Syariah dan Kesejahteraan Umat
Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa datang. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti jumlah kantor cabang bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek perbankan syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin cerah. Hal itu diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhadin Abdullah di sela-sela acara dialog ekonomi syariah di Jakarta pekan lalu. Burhanudin mengatakan bank-bank yang ada sekarang bisa memanfaatkan kebijakan dihilangkannya Batas Minimum Penyaluran Kredit (BMPK) untuk melakukan penyertaan pada bank lain. ”Ini satu kesempatan bagi bank untuk membuka unit-unit syariah. Misalnya bank A yang merupakan bank konvensional, dia bisa melakukan penyertaan di bank syariah tanpa dibatasi oleh BMPK. Di masa lalu batasnya 10 persen, sekarang tidak ada lagi,” jelas Burhanudin.
Selain perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia, prospek asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syariah bisa mencapai 10 persen market share asuransi konvensional.
Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan. Bisa dibayangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup segala aktivitas ekonomi di Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka luas. Persoalannya sekarang, mampukah kita memanfaatkan peluang yang terbuka lebar itu.
DAFTAR PUSTAKA
http://khay1328.multiply.com/reviews/item/5
http://www.jurnalkampus.org/rekonstruksi-ekonomi-konvensional-membangun-ekonomi-syariah-oleh-dr-senen-machmudm-se-msi/
Amin,A. Riawan 2006,21 April. “ Mensyariahkan Bank Nasional”. Republika,hlm.4.
http://www.iei.or.id/publicationfiles/Instrumen%20Ekonomi%20Syariah%20untuk%20Transformasi%20Masyarakat.pdf
file:///F:/1111-ekonomi-syariah-sebagai-solusi.htm
TUGAS EKONOMI SYARIAH
Perbandingan Ekonomi Syariah terhadap Ekonomi Konvensional
DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 8
1. Rieny Yuniarti (108084000030)
2. Wisnu Widayat (108084000032)
3. Dudi Garmadi (108084000036)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
2010
Perbandingan Ekonomi Syariah terhadap Ekonomi Konvensional
Sistem Ekonomi Konvensional
Para ahli ekonomi neo-klasik mengajukan pengertian lain bahwa inti kegiatan ekonomi itu adalah aspek pilihan dalam penggunaan sumber daya yang langka.ekonom neo-klasik mendefinisikan ilmu ekonomi konvensional sebagai berikut:
“ilmu ekonomi konvensional merupakan suatu studi tentang prilaku orang dan masyarakat dalam memilih cara menggunakan sumber daya yang langka dan memiliki beberapa alternative penggunaan, dalam rangka memproduksi berbagai komoditi , untuk menyalurkan baik saat ini maupun di masa depan kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat”.
Definisi ini mengandung arti bahwa segala perilaku manusia mengandung konsekuesi. Ia dituntut untuk memilih satu dari berbagai pilihan yang ia hadapi. Walaupun pada akhirnya pilihannya bukan yang terbaik baginya tetapi usaha untuk memilih merupakan bagian usaha yang harus dilakukan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Oleh karena itu, ekonomi dalam definisi ini dianggap mempengaruhi sikap manusia untuk lebih memperhatikan kepentingan pribadi dari pada sesamanya.
Sistem ekonomi konvensional merupakan sistem ekonomi yang banyak digunakan oleh berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Ekonomi konvensional merupakan sistem perekonomian yang memberikan kebebasan secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian. Sistem ekonomi konvensional menyatakan bahwa pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut campur dalam ekonomi. Dalam ekonomi konvensional, setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar-besarnya, serta malakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas dengan berbagai cara. Hal ini mengakibatkan terbentuknya sekelompok orang yang kaya dan sekelompok orang yang miskin. Kaum kaya akan semakin kaya dan kaum miskin akan semakin miskin.
Sistem ekonomi lainnya yang sempat berkembang di dunia adalah sistem ekonomi sosialis. Sistem ekonomi sosialis merupakan suatu sistem perekonomian yang diatur oleh negara tanpa memperhatikan kebebasan individu untuk berkembang sesuai dengan potensinya. Negara menjadi penguasa penuh atas kekayaan dan perekonomian negara.
Sistem ekonomi konvensional dan sosialis yang berkembang saat ini, ternyata belum mampu untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Kesejahteraan masyarakat menurut padangan konvensional saat ini menitikberatkan pada sisi materi. Pandangan ini menyatakan kesejahteraan dapat dicapai melalui pencapaian tujuan material tertentu, seperti penghapusan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan dasar semua individu, ketersediaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan dan kesejahteraan, serta pertumbuhan yang stabil. Namun, belum ada negara yang mampu untuk mewujudkan kesejahteraan materi tersebut.
Sistem Ekonomi Syariah
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
Ciri khas ekonomi syariah Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur’an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur’an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
1. Kesatuan (unity)
2. Keseimbangan (equilibrium)
3. Kebebasan (free will)
4. Tanggungjawab (responsibility)
Hakikat ekonomi Syariah (islam)
Ekonomi syariah (islam) berbeda dengan ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah/islam ”kebutuhan terbatas dengan sumber daya yang tidak terbatas, yang tidak terbatas bukankebutuhan tetapi keinginan”. Sedangkan pengertian ekonomi menurut ekonomi konvensional menyatakan bahwa ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari ”kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas”. Perbedaan dalam pendefinisian ini yang menjadikan perbedaan yang mendasar dari ekonomi syariah/islam dengan ekonomi konvensional. Dalam ekonomi syariah/islam kebutuhan manusia terbatas, karena pemenuhannya disesuaikan dengan kapasitas jasmani manusia. Sedangkan, yang tidak terbatas adalah keinginan, karena keinginan merupakan wujud pemenuhan manusia yang dipengaruhi faktor dari luar dirinya (preferensi).
Ekonomi Syariah (Islam) Keterkaitan Ilmu dan Nilai
Ekonomi syariah (islam) bukan semata-mata bidang kajian yang berdasarkan pada persoalan-persoalan nilai, tetapi juga bidang kajian keilmuan. Keterpaduan ilmu dan nilai menjadikan ekonomi syariah/islam sebagai konsep yang integral dalam membangun keutuhan hidup bermasyarakat. Nilai menjadikan ekonomi syariah/islam relevan dengan fitrah hidup manusia, yaitu menuntun ke jalan kebaikan dan menjauhi jalan kehinaan. Keberadaan nilai-nilai islam dalam ekonomi syariah/islam ada karena memiliki tujuan untuk memberikan kesejahteraan hidp bagi manusia, karena tidak mungkin allah memberikan tuntunan yang menyebabkan manusia terjerumus dalam kehinaan.
Sedangkan, Ekonomi Konvensional yang cenderung memisahkan antara ilmu dan nilai yang mengantar manusia pada kehidupan yang dimana manusia terbawa oleh rutinitas sehari-hari sehingga tidak menyadari, apakah yang dilakukannya untuk kebaikan hidupnya. Dalam ekonomi konvensional cenderung mengarahkan manusia untuk mengabaikan nili. Hal ini bahwa ekonomi konvensional mendorong manusia untuk mengabaikan ketentuan-ketentuan allah, ketentuan mengenai keterpaduan ilmu dan nilai dalam kehidupan. Sifat manusia yang merasa lebih tahu menjadikan manusia kurang proporsional dalam memandang masalah. Sifat ini menjadikan ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa ia kendalikan.
Masalah Ekonomi Syariah (Islam)
Dominasi pemikiran ekonomi konvensional menjadikan ekonomi syariah/islam belum mampu berkembang sebagaimana yang diharapkan. Padahal ekonomi syariah/islam berisi tuntutan dan pedoman ideal yang mampu mengakomodir kebutuhan hidup manusia didunia maupun diakhirat. Dengan jaminan mayoritas penduduk dinegara muslim tentunya akan mampu menerima ekonomi islam, tetapi perkembangan ekonomi syariah/islam tidak semulus yang diharapkan walaupun bisa dikatakan hal tersebut sebagai fenomena umum sebagai suatu ”sistem ekonomi baru” yang mau menanamkan pengaruhnya ditengah masyarakat yang telah lama menerima sistem ekonomi konvensional.
Sistem Ekonomi konvensional telah membangun struktur kehidupan masyarakat yang lebih berorientasi pada aspek material. Kebebasan untuk mengelola sumber daya demi meningkatkan produksi dipahami sebagai usaha yang ”manusiawi” yang ada didalam diri setiap manusia. Proses konvensionalisasi yang begitu telah menimbulkan kooptasi dalam kehidupan. Fenomena produksi guna memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian sebagai ”usaha yang rasional”. Tetapi ternyata dalam implementasi ekonomi konvensional kurang mampu mengelola masyarakat dengan baik, ketimpangan sosial, penggangguran, kemiskinan dan sebagainya masih tetap ada. Untuk itu ekonomi islam diperlukan untuk mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang lebih adil. Tetapi ternyata sebagian masyarakat walaupun sudah mengetahui implementasi dari ekonomi konvensional banyak yang belum tertarik pada ekonomi syariah/islam.
Secara umum masalah ekonomi syariah/islam dalam masyarakat seperti disebabkan oleh:
1. Dominasi literatur ekonomi konvensional
2. Praktek ekonomi konvensional lebih dahulu dikenal
3. Tidak representasi ideal negara yang menggunakan sistem ekonomi syariah/islam
4. Pengetahuan sejarah pemikiran ekonomi syariah/islam kurang
5. Pendidikan masyarakat yang materialistis
Menurut Baqir Sadr (Hambali, 2009) beberapa karakteristik yang melekat dalam sistem ekonomi Islam antara lain:
a. Konsep kepemilikan multi jenis (Multitype Ownership).
Ekonomi Islam memiliki konsep kepemilikan yang dikatakan sebagai kepemilikan multi jenis. Bentuk kepemilikan tersebut dirumuskan dalam 2 kelompok yakni bentuk kepemilikan swasta (private) dan kepemilikan bersama yang terbagi menjadi dua bentuk kepemilikan yakni kepemilikan publik dan kepemilikan Negara.
b. Pengambilan keputusan, alokasi sumber dan kesejahteraan publik. Peran pemerintah dalam bidang ekonomi sangatlah penting. Dalam hal ini, beberapa fungsi pokok pemerintah di bidang ekonomi antara lain :
1. Mengatur sistem distribusi kekayaan berdasarkan pada kemauan dan kapasitas kerja masing-masing individu dalam masyarakat.
2. Mengintegrasikan aturan hukum Islam dalam setiap penggunaan dan pengelolaan sumber daya alam
3. Membangun sistem kesejahteraan masyarakat melalui terjaminnya keseimbangan sosial dalam masyarakat.
c. Larangan riba dan pengimplementasian zakat. Riba adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari interaksi ekonomi masyarakat. Sedangkan zakat merupakan instrument strategis yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
Tujuan Ekonomi Syariah (Islam)
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa berubah.
Perbedaan Dasar Sistem Ekonomi Syariah (Islam) dan Konvensional
Perbedaan dasar antara ekonomi Islam dan konvensional boleh dilihat dari beberapa sudut yaitu:
1.Sumber ( Epistemology )
Sebagai sebuah addin yang syumul, sumbernya berasaskan kepada sumber yang mutlak
yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedudukan sumber yang mutlak ini menjadikan Islam itu sebagai suatu agama (addin) yang istimewa berbanding dengan agama-agama ciptaan lain.
Al-Qur’an dan al-Sunnah ini menyentuh kita mempraktikkan ajaran wahyu tersebut dalam semua kehidupan termasuklah soal muamalat. Perkara-perkara asas muamalat dijelaskan di dalam wahyu yang melibatkan suruhan/galakan dan larangan.
Suruhan seperti makan dan minum menjelaskan tentang tuntutan keperluan asasi manusia, Penjelasan Allah s.w.t tentang kejadianNya untuk dimanfaatkan oleh manusia (Yasin ayat 34-35. 72-73) (an-Nahl ayat 5-8, 14, 80) menunjukkan bahawa alam ini disediakan begitu
untuk dibangunkan oleh manusia sebagai Khalifah Allah (al-Baqarah ayat 30).
Larangan-larangan Allah s.w.t seperti riba (al-Baqarah ayat 275) perniagaan babi, judi, arak dan lain-lain kerana perkara-perkara tersebut menceroboh fungsi manusia sebagai khalifah tadi. Oleh itu sumber rujukan untuk manusia dalam semua keadaan termasuklah ekonomi ini adalah lengkap. Kesemuanya itu mejurus kepada suatu paksi iaitu pembangunan
seimbang rohani dan jasmani manusia berasaskan tauhid. Manakala ekonomi konvensional pula tidak bersumber atau berlandaskan wahyu. Oleh itu ianya lahir dari pemikiran manusia yang boleh berubah bila-bila masa sahaja berdasarkan pengalaman atau maklumat yang baru.
Kalau ada ketikanya diambil dari wahyu tetapu akal memprosesnya mengikut selera manusia sendiri kerana halatujunya ialah endapat pengiktirafan manusia bukan mengambil kira pengiktirafan Allah SWT. Itu bezanya antara sumber wahyu dengan sumber akal manusia atau juga dikenali sebagai falsafah yang lepas bebas dari ikatan wahyu.
Oleh itu sekalipun dapatan penyelidikannya adalah sama tetapi lahir dari kepompong yang berlainan. Tunjang yang tidak sama akan melahirkan implikasi yang berbeza kerana pakar ekonomi Islam bertujuan untuk mencapai al-falah di dunia dan akhirat, manakala pakar ekonomi sekular cuba menyelesaikan segala kemelut yang timbul tanpa ada pertimbangan mengenai soal ketuhanan dan keakhiratan tetapi keutamaannya hanyalah untuk kemudahan manusia di dunia sahaja.
2. Hal tujuan Kehidupan :
Hal tujuan ekonomi Islam membawa kepada konsep al-falah (kejayaan) di dunia dan akhirat tetapi ekonomi sekular untuk kepuasan di dunia sahaja. Ekonomi Islam meletakkan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini di mana segala bahan-bahan yang ada di bumi dan di langit adalah dipermudahkan untuk manusia.
Firman Allah S.W.T yang bermaksud:
“Dan ia memudahkan bagi kamu malam dan siang, matahari serta bulan dan bintang-
bintang dimudahkan dengan perintahNya untuk keperluan-keperluan kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu mengandungi tanda-tanda (yang membuktikan kebijaksanaan Allah) bagi
kaum yang mahu memahaminya. Dan apa-apa jua yang dijadikan untuk kamu di bumi yang
berlainan jenisnya (dimudahkan jua untuk kegunaan kamu). Sesungguhnya yang demikian
itu mengandungi satu tanda bagi kaum yang mahu mengingati ni’mat Allah itu.” (Surah al-
Nahl ayat 12 – 13).
Kesemuanya adalah bertujuan untuk beribadat kepada Allah S.W.T sama ada berkaitan
dengan soal ibadat yang khusus atau ibadat yang umum.Manusia merupakan makhluk yang
tidak boleh bersendirian. Oleh itu dalam soal pemilikan harta terdapat harta milik individu
dan juga terdapat hak-hak harta yang menjadi hak masyarakat umum. Oleh itu sebarang
pencabulan atau pencerobohan kepada hak milik orang lain adalah suatu kesalahan.
3. Konsep Harta Sebagai Wasilah:
Di dalam Islam harta bukanlah merupakan matlamat hidup tetapi adalah wasilah atau
perantara bagi merealisasikan perintah Allah swt. Matlamat hidup yang sebenar ialah seperti firman Allah swt surah al An’am ayat 162 yang bermaksud:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya sembahyangku dan ibadatku, hidupku dan matiku, hanyalah untuk Tuhan yang memelihara dan mentadbirkan sekalian alam”
Merealisasikan perintah Allah swt yang sebenarnya ini akan membawa kepada ketenangan hidup yang hakiki. Setiap Muslim percaya bahawa Allah swt merupakan Pencipta yang mampu memberikan ketenangan hakiki bukannya harta. Untuk itu harta bukanlah tujuan
sebenar kehidupan tetapi adalah sebagai jalan bagi mencapai nikmat ketenangan kehidupan
di dunia dan berterusan hingga ke alam akhirat.
Setiap Muslim percaya bahawa Allah swt merupakan Pencipta yang mampu memberikan ketenangan hakiki bukannya harta. Untuk itu harta bukanlah tujuan sebenar kehidupan tetapi adalah sebagai jalan bagi mencapai nikmat ketenangan kehidupan di dunia dan berterusan hingga ke alam akhirat. Ini berbeda dengan sekular yang meletakkan keduniaan sebagai matlamat yang tidak mempunyai kaitannya dengan Tuhan dan akhirat sama sekali. Ini sudah tentu berlawanan dengan Islam.
Bagi merealisasikan matlamat hidup menurut aliran sekular ini mereka menggubal sistem- sistem mengikut selera nafsu mereka bagi memuaskan kehendak material mereka semata- mata. Oleh kerana sistem sekular adalah berteraskan ekonomi buat untung tanpa mempedulikan apa-apa nilai wahyu, maka mereka mengutamakan kepentingan individu atau kepentingan golongan tertentu serta menindas golongan atau individu yang lemah dan tertindas di atas prinsip siapa kuat dialah yang berkuasa (survival of the fittest).
Antara sistem yang digubal ialah konsep riba. Riba bukanlah suatu yang baru. Ianya sudah lama dipraktikkan sejak dahulu lagi. Sebenarnya riba inilah yang membantut pertumbuhan ekonomi manusia. Ianya diibaratkan sebagai lintah yang menghisap darah manusia di mana akhirnya sisa-sisa hidup peminjam hutang secara riba terpaksa dihambakan kepada tuan punya harta tersebut yang semakin lama semakinbertambah hutangnya apabila bayaran gagal diselesaikan dalam tempohnya.
Di zaman tamadun Romawi misalnya apabila kaum wanita berkuasa dalam bidang ekonomi, mereka meminjamkan wang kepada suami mereka dengan kadar bunga yang tinggi dan akhirnya suami mereka menjadi hamba kepada mereka. Oleh kerana soal dunia sahaja yang dipentingkan maka kehidupan sekular ini hanya berpijak kepada memberi keseronokan peribadi sahaja dengan segala apa yang boleh didapati dengan segala cara yang ada. Inilah asas yang membezakan antara ekonomi Islam dengan sekular.
Di dalam Islam untuk mendapat keuntungan maka alternatif yang ada bukanlah berasaskan kepada riba tetapi berasaskan kepada sistem jual beli dan mudharabah. Di dalam Islam Allah s.w.t menjelaskan perbezaan antara riba dan jual beli iaitu jual beli adalah dihalalkan tetapi riba adalah diharamkan. Jual beli ialah kontrak yang berteraskan saling reda meredai tanpa sebarang hasutan atau matlumat yang palsu. Setelah masing masing berpuas hatimaka dijalankan aqad yang jelas melalui ijab dan qabul.
Sekalipun konsep jual beli ini nampak sama dengan sistem sekular tetapi sistem Islam adalah berteraskan niat yang ikhlas kerana Allah s.w.t. (yang menghubungkan dengan kejayaan akhirat tidak seperti sistem sekular untuk kepentingan duniawi semata-mata) tanpa ada sebarang bentuk penipuan dan provokasi untuk kepentingan diri semata-mata.
Disamping itu juga aktiviti-aktiviti yang dijalankan tidak terlibat dengan perkara yang merosakkan fungsi manusia seperti pernjualan barang-barang yang menyalahi syarak seperti arak, daging babi dan lain-lain.
Di dalam sistem muamalat Islam pelaburan merupakan suatu yang tidak asing lagi diperkatakan. dalam hal ini sistem mudharabah adalah merupakan suatu yang praktikal untuk dilaksanakan. Di samping lainya tidak berteraskan riba ia juga memberikan pengagihan keuntungan yang saksama kepada setiap pemodal atau sekiranya menganggung kerugian maka setiap pemodal menanggung kadar kerugian yang sama.
Di dalam Islam tidak sepatutnya diizinkan pertarungan bagi membolot harta orang lain dan berusaha untuk mengaut untung menerusi pegangan saham orang lain serta merugikan pihak yang satu lagi (yang kalah bertarung) seperti mana yang berlaku di dalam bursa anjuran sekular.
Oleh kerana sistem Islam mengutamakan aktiviti pelaburan yang sihat dan mempunyai tujuan yang mulia maka aktiviti-aktiviti yang tidak sihat seperti gharar adalah diharamkan. Gharar menurut bahasa ialah risiko yang tidak diketahui pada masa hadapan.
Dari segi istilahnya gharar boleh dikatakan sebagai sebarang bentuk pemalsuan yang tidak ketara pada asalnya termasuklah judi. Salah satu dari aktiviti gharar yang diharamkan ialah aktiviti spekulasi yang merbahaya.
Spekulasi seperti ini tidak sama dengan perniagaan risiko tinggi. Spekulasi seperti ini sebenarnya adalah amalan judi kerana speculator mendapat untung di atas kerugian orang lain.Manakala risiko tinggi pula ialah tidak membabitkan kerugian kepada orang lain tetapi mendapat keuntungan secara bersih dari usaha yang dilakukan. Dan kalaupun berlaku kerugian dengan sebab ijtihad yang salah, maka tidak ada pihak lain lagi akan mendapat keuntungan di atas kerugian kita dan begitulah sebaliknya. Mengenai wang kertas emas dan perak, Islam meletakkkan emas dan perak adalah sebagai asset hakiki yang berharga yang menjadi kecenderungan manusia (al-‘Imran ayat 14) serta piawai bagi matawang dunia.
Di dalam dunia moden pada hari ini penggunaan wang kertas menggantikan emas dan
perak tidak asing lagi kepada kita. Pada dasarnya ianya tidak mendatangkan masalah
sekiranya wang kertas tersebut benar-benar disandarkan kepada nilai sebenar emas dan
perak. Namun apa yang menjadi masalah kepada dunia sekarang ini ialah golongan sekular ini
menggunakan apa sahaja demi kepentingan material mereka. Sebagai contoh duit dolar
Amerika syarikat pada tahun 1970 di zaman Presiden Nixon sebenarnya mencipta kejatuhan
nilai yang teruk tetapi telah diisytiharkan sebagai setara dengan nilai emas.
Ini bermakna wang dolar tidak lagi disandarkan kepada emas bahkan pengeluaran wang
dolar bukannya di bawah pengendalian Bank Negara tetapi diberikan kepada pihak swasta
untuk mencetak wang iaitu Federal Reserve Bank tidak seperti di negara-negara lain
diseluruh dunia yang di bawah pengendalian Bank Negara.
Krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil. Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada ditengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrim, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
Perbedaan Sistem Bank Konvensional dan Bank Syariah
Perbedaan kedua system dapat dilihat dari sisi penghimpunan dan penyaluran dana. Dari sisi penghimpunan dana kedua sistem perbankan ini bertujuan untuk memobilisasi dana masyarakat. Namun dalam system syariah dimaksudkan untuk memobilisasi dana masyarakat yang belum tersentuh oleh perbankan konvensional, karena adanya masalah bunga. Dalam pembiayaan atau penyaluran dana, sistem perbankan konvensional menekankan pada hubungan antara debitur dan kreditur, sedangkan sistem syariah lebih menekankan pada prinsip keleluasaan dalam akad kredit dan kemitraan. Selain itu juga ada perbedaan yang menyangkut aspek hukum, struktur organisasi, usaha yang dibiayai, dan lingkungan kerja.
Perbedaan antara Bank Konvensional dan Bank Syariah dapat diringkas dalam Tabel berikut:
Perbedaan Sistem antara Bank Konvensional dan Bank Syariah
Bank Konvensional :
1. Investasi halal dan haram
2. Status bank “intermediary”
3. Sistem bunga dan fee
4. Bunga atas dasar pokok
5. Pembayaran bunga tidak mempertimbangkn usaha
6. Bank tidak menanggung resiko
7. Kehalalan bunga diragukan
8. Tidak ada Dewan Pengawas Syariah
Bank Syariah
1. Investasi yang halal saja
2. Status bank “intermediary dan investor”
3. Sistem bagi hasil, margin dan fee
4. Nisbah bagi hasil dari proyeksi penjualan
5. Pembayaran bagi hasil tergantung realisasi hasil usaha
6. Bank ikut menanggung resiko usaha
7. Halal
8. Ada Dewan Pengawas Syariah
Bank Konvensional
Produk penghimpunan dana antara lain adalah giro, tabungan dan deposito. Penyaluran dana dapat berbentuk kredit konsumsi, kredit investasi dan kredit modal kerja.Sedangkan produk jasa berbankan konvensional, misalnya jasa konsultansi, pengurusan transaksi ekspor dan impor, valuta asing, dan lainnya.
Bank Syariah
Penghimpunan dana pada bank syariah menerapkan prinsip Wadi’ah dan Mudhararabah. Prinsip Al-Wad’ah yaitu serbagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kepada si penitip. Prinsip Al-Wadiah (trust depository) dapat di bagi atas Al-Wadiah Yad Amanah dan Al-Wadiah Yad Adh Dhamanah. Aplikasi konsep Al-Wadiah Yad Amanah dalam bank syariah adalah pihak yang menerima titpan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, jadi harus dijaga sesuai dengan kelaziman. Dalam ini penerima titipan dapat membebankan biaya titip kepada penitip. Konsep Al-Wadiah Yad Adh Dhamanah, dalam konsep ini pihak yang menerima titipan boleh menggunakan uang atau barang yang dititipkan, tentunya pihak Bank dalam hal ini mendapatkan bagi hasil dari pengguna dana. Bank dapat memberikan bonus kepada penitip.
Prinsip Mudharrabah penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal (syahibul mall), bank sebagai mudharrib (pengelola dana). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan murabahah, mudharrabah dimana kedua hasil ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan mudharrabah kedua, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi. Rukun Mudharrabah terpenuhi sempurna ada mudharrib, ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagihasilkan, ada nisbah dan ada ijab Kabul. Prinsip ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudarsono, Heri (2007), ”Konsep ekonomi islam”. Yogyakarta : EKONISIA
2. Ali, Hasan (2009), ”Dasar-dasar ekonomi islam”, Jakarta : PKES
3. Hamidi, M. Luthfi (2003), ”Jejak-jejak ekonomi syariah”, Jakarta : Senayan Abdi
4. http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Syariah
5. http://www.scribd.com/doc/13141543/Perbedaan-Bank-Syariah-dan-Bank-Konvensional
6. http://sinau.forum.st/akuntansi-f11/perbedaan-ekonomi-syariah-dengan -ekonomi-konvensional-t11.htm
7. http://zonaekis.com/seacrh/perbandingan+ekonomi+islam+dengan+ekonomi+konvensional
8. http://humanthiaminelevels.fypeijryj.com
9. Harian Kompas, Senin, 25 Oktober 2010
Lembaga Keuangan Syariah
EKONOMI SYARIAH
Kelompok 9
Suci Amelia (108084000031)
Rizky Aprilia Permata (108084000033)
Avanda Fahri (108084000034)
IESP 5A
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDY PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
Lembaga Keuangan Syariah
A. Lembaga Keuangan Syariah Bank
1. Bank Syariah
Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang operasionalnya dengan menggunakan prinsip syariah. Elemen penting dari syariah adalah larangan terhadap riba. Elemen lainnya mencangkup pada penekanan kontrak yang adil, keterkaitan antara keuangan dengan produktivitas, profit sharing dan larangan terhadap judi serta berbagai ketidakpastian lainnya. Konsep akad dalam bank syariah mencangkup dunia dan akhirat. Rukun akad ada tiga, yakni; pelaku akad, objek akad, dan shighat atau pernyataan pelaku akad berupa ijab dan kabul. Akad atau transaksi yang digunakan bank syariah dalam operasinya terutama diturunkan dari kegiatan mencari keuntungan (tijarah) dan sebagian dari kegiatan tolong-menolong (tabarru). Turunan dari tijarah adalah perniagaan (al-bai') yang berbentuk kontrak pertukaran dan kontrak bagi hasil dengan segala variasinya.
Produk Bank Syariah:
1). Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Melalui kontrak ini, dua pihak atau lebih (termasuk bank dan lembaga keuangan bersama nasabahnya) dapat mengumpulkan modal mereka untuk membentuk sebuah perusahaan (syirkah al inan) sebagai sebuah badan hukum (legal entity). Setiap pihak memiliki bagian secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal mereka dan mempunyai hak mengawasi (voting right) perusahaan sesuai dengan proporsinya. Untuk pembagian keuntungan, setiap pihak menerima bagian ke-untungan secara proporsional dengan kontribusi modal masing-masing atau sesuai dengan kesepakatan yang telah ditentukan sebelumnya. Bila perusahaan merugi, maka kerugian itu juga dibebankan secara proporsional kepada masing-masing pemberi modal.
2) Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, ter¬masuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut.
Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya.
Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).
a) Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).
b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan.
3. Murobahah
Yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan nasabah kemudian menjualnya kembali dengang menaikan harga sesuai dengan margin keuntungan yang ditetapkan bank, nasabah bisa mengansur dengan angusran flat.
Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual beli terbagi empat macam;
a) Bai' al muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar.
b) Bai' al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa).
c) Bai' al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain.
d) Bai' as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai' as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam;
a) Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
b) Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
c) Bai' al muwadha'ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount).
d) Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok barang.
e) Bai' al istishna', yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang di¬sepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
4. Ijarah (sewa-menyewa)
Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina' atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
5. Qard
Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqd tathawwu', yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Dalam rangka mewujudkan tanggung jawab sosialnya, bank Islam dapat memberikan fasilitas yang disebut al qard al hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana kepada pihak-pihak yang patut mendapatkannya.
Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi bank sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun. Bank juga dapat menggunakan akad ini sebagai produk pelengkap untuk memfasilitasi nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang sangat pendek
6. Wadi’ah
Wadi’ah berarti menitipkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara. Barang yang dititipkan disebut ida', yang menitipkan disebut mudi' dan yang menerima titipan disebut wadi'.
a). Wadi'ah Yad Amanah
Wadi'ah yad amanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan, kecuali bila hal itu terjadi karena akibat kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan atau bila status titipan telah berubah menjadi wadi'ah yad dhamanah.
Di bawah prinsip yad amanah ini aset titipan dari setiap pemilik harus dipisahkan, dan aset tersebut tidak boleh dipergunakan dan cus¬todian tidak berhak untuk memanfaatkan aset titipan tersebut. Status penerima titipan berdasarkan wadi'ah yad amanah akan berubah menja¬di wadi'ah yad dhamanah apabila terjadi salah satu dari dua hal ini: (1) harta dalam titipan telah dicampur, dan (2) custodian menggunakan harta titipan.
Penerapannya dalam perbankan dapat dilihat, misalnya dalam pelayanan jasa penitipan surat-surat berharga (custodian).
b). Wadi'ah Yad Dhamanah
Wadi'ah Yad Dhamanah adalah akad titipan di mana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin (guarantor) keamanan aset yang dititipkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada aset titipan tersebut.
Dengan prinsip ini, custodian menerima simpanan harta dari pemi¬liknya yang memerlukan jasa penitipan, dan penyimpan mempunyai kebebasan mutlak untuk menariknya kembali sewaktu-waktu. Di bawah prinsip ini harta titipan tidak harus dipisahkan dan dapat di-gunakan dalam perdagangan, dan custodian berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam perdagangan.
Jadi, custodian memperoleh izin dari pemilik harta untuk menggunakannya dalam perniagaan selama harta tersebut berada di tangannya. Penyimpan sewaktu-waktu dapat menarik sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki. Dengan demikian mereka memerlukan jaminan penerimaan kembali atas simpanan mereka.
Semua keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan harta tersebut selama dalam status simpanan adalah menjadi hak custodian. Tetapi custodian diperbolehkan memberikan bonus kepada pemilik harta atas kehendaknya sendiri, tanpa diikat oleh perjanjian.
7. Kafalah
Kafalah menurut mazhab Hanafi adalah memasukkan tanggung jawab seseorang ke dalam tanggung jawab orang lain dalam suatu tuntutan umum, dengan kata lain menjadikan seseorang ikut bertanggung jawab atas tanggung jawab orang lain yang berkaitan dengan masalah nyawa, utang atau barang. Meskipun demikian penjamin yang ikut bertanggung jawab tersebut tidak dianggap berutang, dan utang pihak yang dijamin tidak gugur dengan jaminan pihak penjamin.
Ada tiga jenis kafalah, yaitu:
a) Kafalah bin nafs, yaitu jaminan dari diri si penjamin (personal guarantee);
b) Kafalah bil maal, yaitu jaminan pembayaran utang atau pelunasan utang. Aplikasinya dalam perbankan dapat berbentuk jaminan uang muka (advance payment bond) atau jaminan pembayaran (payment bond).
c) Kafalah muallaqah, yaitu jaminan mutlak yang dibatasi oleh kurun tertentu dan untuk tujuan tertentu. Dalam perbankan modern hal ini diterapkan untuk jaminan pelaksanaan suatu proyek (performance bonds) atau jaminan penawaran (bid bonds).
8. Hawalah
Hawalah adalah akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak lain. Dalam hal ini ada tiga pihak, yaitu pihak yang berutang (muhil atau madin), pihak yang memberi utang (muhal atau da'in) dan pihak yang menerima pemindahan (muhal 'alaih).
Menurut mazhab Hanafi ada dua jenis hawalah, yaitu:
a) Hawalah mutlaqah: Seseorang memindahkan utangnya kepada orang lain dan tidak mengaitkan dengan utang yang ada pada orang itu. Menurut ketiga mazhab lain selain Hanafi, kalau muhal 'alaih tidak punya utang kepada muhil, maka hal ini sama dengan kafalah, dan ini harus dengan keridaan tiga pihak (da'in, madin dan muhal 'alaih).
b) Hawalah Muqayyadah: Seseorang memindahkan utang dan mengaitkan dengan piutang yang ada padanya. Inilah hawalah yang boleh (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga mazhab selain mazhab Hanafi hanya membolehkan hawalah muqayyadah dan mensyariatkan pada hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal 'alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Kalau sudah sama jenis dan jumlahnya maka sahlah hawalah. Kalau berbeda salah satunya, maka hawalah tidak sah.
9. Ju'alah
Ju'alah adalah suatu kontrak di mana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/ pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. Prinsip ini dapat diterapkan oleh bank dalam menawarkan berbagai pelayanan dengan mengambil fee dari nasabah, seperti Referensi Bank, Informasi Usaha dan sebagainya. Prinsip ini juga digunakan oleh Bank Indonesia dalam Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
10. Sharf
Sharf adalah transaksi pertukaran antara emas dengan perak atau pertukaran valuta asing, di mana mata uang asing dipertukarkan dengan mata uang domestik atau dengan mata uang asing lainnya. Bank Islam sebagai lembaga keuangan dapat menerapkan prinsip ini, syarat-syaratnya antara lain: (1) harus tunai; (2) serah terima harus dilaksanakan dalam majelis kontak; dan (3) bila dipertukarkan mata uang yang sama harus dalam jumlah/kuantitas yang sama.
2. Bank Perkreditan Rakyat Syariah
BPRS ialah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan mekanismenya menggunakan prisip-prinsip syariah. BPRS dilarang untuk melakukan transaksi seperti, melekukan kegiatan usaha valuta asing, penyertaan modal, melakukan usaha asuransi.
Perbedaan Bank Syariah dengan BPRS
a) Kegiatn usaha yang diperbolehkan oleh BPRS sangat terrbatas bila dibandingkan dengan BS, yaitu meliputi deposito berjangka, tabungan, dll. BPRS tidak diperkenankan untuk menerima simpanan giro.
b) Kantor operasional BPRS dibatasi dalam satu wilayah propinsi.
c) BPRS bertempat disekitar masyarakat pedesaan serta memfokuskan pelayanannya kepada kebutuhan masyarakat tersebut.
Tujuan BPRS
a) Mensejahterakan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat pedesaan.
b) Menambah lapangan kerja di tingkat kecamatan shingga mengurangi arus urbanisasi.
c) Membina semanagt Ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan income per kapita.
B. Lembaga Keuangan Non-Bank
1. Takaful dan Retakaful
Takaful ialah saling memikul resiko diantara sesama muslim sehingga antara satu dengan yang lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang mengeluarkan dana kebajikan yang ditujukan untuk menanggung resiko tersebut.
Takaful tegak di atas tiga prinsip yaitu saling bertanggung jawab, saling bekerja sama dan membantu, saling melindungi.
Produk Individual :
1. Asuransi Pendidikan (Fulnadi), rencana pendidikan untuk sang buah hati.
2. Asuransi non saving (Term Life / Personal Accident / kesehatan).
3. Asuransi Jiwa, Kesehatan + Tabungan (Takaful falah) whole life.
4. Asuransi Kesehatan Keluarga (family care).
5. Asuransi + Investasi (Takaful istiqomah/mizan/alia/salam) bisa untuk dana cadangan apa saja,: pergi haji, beli rumah, pensiun, kesehatan, kecelakaan,cacat tetap, penyakit kritis.
Produk Umum :
6. Asuransi Kendaraan Takaful (Abror/Jaminan Standar/ TLO),
7. Asuransi proyek, cargo, marine, pembiayaan, dll
8. Takaful Baituna (Asuransi Perlindungan Rumah), kebakaran.
Produk Kumpulan :
9. Fulmedicare (Health Insurance/Fullmedicare/mini group)
Beberapa hal yang perlu diketahui Keunggulan produk Takaful sbb :
a) Dana Premi Dikelola dengan Transparan serta menjauhi hal-hal ketidakjelasan, gambling dan riba,
b) Mendapatkan manfaat dalam bentuk proteksi dengan aqad ”Takafuli”,
c) Produk yang kompetitif dgn biaya pengelolaan yang lebih murah, sehingga lebih menguntungkan,
d) Semua produk yang diluncurkan syariah dan telah di sahkan oleh Dewan Pengawas Syariah,
e) Perusahaan telah mendapatkan ISO 9001,
f) Asuransi PERTAMA dan TERBAIK SYARIAH (versi MUI Award, Majalah Investor, Karim Business Consulting, infoBank)
g) Adanya bagi hasil dari surplus bila tidak terjadi klaim.
Retakaful
Retakaful ialah transaksi dimana penangung ulang sepakat untuk menggantii sebagian dari kerugian perusahaan takaful.
Metode Retakaful
a) Retakaful Proporsional, pembagian resiko secara proporsional antara pool asuransi dengan pool reasuransi. Keuntungan dan kerugian akan dibagi secara sama.
b) Reakaful Non-Proporsional, bekerja berdasarkan besarnya kerugian, bukan berdasarkan besarnya resiko. Pool asuransi akan membayar klaim pada batas tertentu dan begitu pula Pool Reasuransi.
2. Koperasi Syariah
Koperasi Syariah berdiri untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Modal Awal koperasi bersumber dari dana usaha,dana-dana ini dapat bersumber dari dan diusahakan oleh koperasi syariah, misalkan dari Modal Sendiri, Modal Penyertaan dan Dana Amanah. Modal Sendiri didapat dari simpanan pokok, simpanan wajib, cadangan, Hibah, dan Donasi, sedangkan Modal Penyerta di dapat dari Anggota, koperasi lain, bank, penerbitan obligasi dan surat utang serta sumber lainnya yang sah. Adapun Dana Amanah dapat berupa simpanan sukarela anggota, dana amanah perorangan atau lembaga.
Usaha Koperasi Syariah
a) Usaha koperasi syariah meliputi semua kegiatan usaha yang halal, baik dan bermanfaat (thayyib) serta menguntungkan dengan sistem bagi hasil, dan tidak riba, perjudian (masyir) serta ketidak jelasan (ghoro).
b) Untuk menjalankan fungsi perannya, koperasi syariah menjalankan usaha sebagaimana tersebut dalam sertifikasi usaha koperasi.
c) Usaha-usaha yang diselenggarakan koperasi syariah harus dinyatakan sah berdasarkan fatwa dan ketentuan Dewan syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
d) Usaha-usaha yang diselenggarakan koperasi syariah harus dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tujuan dan peran Koperasi Syariah
a) Koperasi syariah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan sesuai prinsip-prinsip islam.
b) Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, guna meningkatkan, kesejahteraan sosial ekonominya.
c) Memperkuat kualitas sumber daya insani anggota, agar menjadi lebih amanah, professional (fathonah), konsisten, dan konsekuen (istiqomah) di dalam menerapkan prinsip-prinsip ekonomi islam dan prinsip-prinsip syariah islam
d) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Koperasi syariah berfungsi dan berperan sebagai:
a) Sebagai mediator antara menyandang dana dengan penggunan dana, sehingga tercapai optimalisasi pemanfaatan harta.
b) Menguatkan kelompok-kelompok anggota, sehingga mampu bekerjasama melakukan kontrol terhadap koperasi secara efektif
c) Mengembangkan dan memperluas kesempatan kerja
d) Menumbuhkan kembangkan usaha-usaha produktif anggota.
3. Pasar Modal Syariah
Pasar modal syariah ialah pasar modal yang mempertemukan mereka yang membutuhkan dana jangka panjang dengan mereka yang dapat menyediakan dana tersebut beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis efek yang diperdagangakan dan mekanisme perdagangannya telah mengikuti prinsip-prinsip syariah.
Instrumen pasar modal adalah:
a) Emiten atau perusahaan public yang menerbitkan efek syariah dan wajib menjamin bahwa kegiatannya memenuhi prinsip-prinsip syariah (bebas dari: riba, spekulasi/perjudian, barang atau jasa yang bersifat mudarat)
b) Efek syariah mencakup saham syariah (bukti kepemiikan atas suatu perusahaan), obligasi syariah, reksa dana, dll.
c) Obligasi syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip yariah yang dikeuarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi.
Transaksi yang Dilarang dalam Pasar Modal Syariah:
a) Tidak boleh mengandung unsure spekulasi dan manipulasi
b) Najsy, penawaran palsu
c) Ba’I al-ma’dum, menjual atas barang yang belum dimiliki (short selling)
d) Insider Trading, memakai informasi orang dalam bentuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang
e) Menimbulkan informasi yang menyesatkan
f) Margin Trading, yaitu melakukan transakis atas efek syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian efek syariah tersebut
g) Ikhtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembeliaan atau dan pengumpulan suatu efek syariah untuk menyebabkan perubahan harga efek syariahh, dengan tujuan mempengaruhi pihak lain.
Obligasi Syariah
adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip yariah yang dikeuarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi. Melibatkan dua phak yaitu penerbit dan pihak investor.
Jenis obligasi syariah ada dua:
a) Obligasi Mudharabah, obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah.
b) Obligasi Ijarah obligaasi yang memakai akad ijarah atau suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pengantian. Artinya, pemilik harta memeberikan hak kepada peminjam, dan peminjam harus membayar sewa.
Reksadana Syariah
Reksadana syariah ialah suatu wadah yang digunakan masyarakat untuk berinvestasi secara kolektif, dimana pengelolaan dan kebijakan investasinnya mengacu pada yariat islam.
Jenis reksadana ada dua:
a) Reksa Dana Pendapatan Tetap, ialah rekadana yang sekurangkurangnya investasi sebesar 80% dari portfolio yang dikelolanya ke dalam efek yang bersifat hutang. Jenis pendapatannya berupa deposito, obligasi syariah, dll.
b) Reksa Dana Campuran, ialah bisa melakukan investasi dalam bentuk hutang maupun dalam bentuk saham, obligasi atau deposito.
Keuntungan Reksadana Syariah
a) Jumlah dana tidak terlalu besar
b) Akses untuk beragam investasi
c) Diversifikasi investasi
d) Kemudahan invests
e) Dikelola oleh managemen professional
f) Transparansi informasi
g) Likuiditas
h) Biaya rendah
i) Return yang kompetitif
Resiko Investsi Reksadana
a) Resiko berkurangnya nilai unit penyerta (NUP)
b) Resiko liquiditas
c) Resiko wanprestasi
4. Pengadaian Syariah
Rahn ialah suatu produk jasa gadai yang berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah, dimana nasabah hanya dibebani terhadap biaya administrasi, biaya simpan, dan biaya pemeliharaan barang.
Persamaan dan Perbedaan Gadai Konvensional dengan Rahn
Persamaan:
a) Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
b) Tidak boleh mengambil manfaat atas barang yang digadaikan
c) Biaya atas barang yang digadaikan ditanggung oleh si pemberi gadai
d) Apabila batas aktu pinjaman uang telah habis, maka barang boleh dijual atau dilelang
Gadai Konvesional
• Profit orientation
• Hak gadai hanya pada benda bergerak
• Mengenal istilah bunga uang
• Dilaksanakan melalui suatu lembaga
perum penggadaian
Rahn
• Non-profit orientation (sukarela/tolong menolong)
• Hak gadai pada seluruh harta (bergerak/tidak)
• Tidak ada istilah bunga uang
• Dilaksanakan tanpa melalui lembaga
Prosedur Pengajuan Pinjaman
a) Nasabah mengisi formulir permintaan rahn
b) Menyerahkan formulir yang disertai kelengkapan identitas serta barang jaminan ke loket
c) Petugas menaksir barang yang diserahkan
d) Besarnya pinjaman adalah 90% dari harga taksir
e) Apabila sepakat, nasabah akan menandatangani akad dan menerima uang pinjaman.
5. Lembaga Wakaf
Wakaf ialah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau dalam jangka waktu tertentu guna kepentingan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Unsur-unsur wakaf
a) Wakif, orang atau organisasi atau badan hukum yang mewakaf.
b) Nazhir, orang atau organisasi atau badan hukum yang menerima wakaf.
c) Harta benda wakaf, harta benda bergerak atau tidak bergerak yang diwakafkan yang secara sah dimiliki oleh wakif.
d) Ikrar wakaf, yang dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir
e) Peruntukan, benda wakaf hanya untuk diperuntukan untuk sarana dan kegiatan ibadah, pendidikan dan kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa, kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan undang-undang.
Tugas dan Wewenang Badan Wakaf Indonesia
a) Melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta wakaf.
b) Melakukan pengeloalaan dan pengembangan harta wakaf dalam skala nasional dan internasional.
c) Memberikan persetujuan atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta wakkaf.
d) Memberhentikan atau mengganti nazhir.
e) Memberikan persetujuan atas penukaran harta wakaf
f) Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan
6. Lembaga Zakat
Lembaga pengelolaan zakat ialah lembaga yang melakukan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian zakat.
Harta yang Wajib Dizakati
a) Kepemilikan yang sempurna. Maksudnya ialah kekuasaan atau legalitas yang dapat memberikan hak kepada yang memilikinya untuk digunakan sekehendaknya dengan segala manfaat tanpa berkaitan dengan orang lain.
b) Tumbuh dan Berkembang. Harta itu harus menghasilkan keuntungan, penghasilan, dan economic rent jika disewakan.
c) Mencapai Nishab. Nishab adalah batasan minimal dari harta untuk dikenakan zakat atasnya.
d) Kelebihan di atas kebutuhan pokok. Jika jumlah harta yang telah mencapai nishab tersebut sudah diluar dari kebutuhan pokok orang yang akan berzakat.
e) Bebas dari beban utang. Jika si pemilik yang akan mengeluarkan zakat masih memiliki hutang yang sebesar nishabnya itu ia lebih diutamakan untuk melunasi hutangnya dulu.
f) Berlalunya masa setahun. Bahwa harta yang ada ditangan si pemilik harus melalui masa dua belas bulan. Namun syarat ini hanya berlaku untuk binatang ternak, atau barang-barang modal.
Penerima Zakat
a) Fakir, orang yang tidak mempunyai harta cukup untuk memenuh kebutuhan pokoknya.
b) Miskin, orang yang tidak memiliki apa-apa.
c) Amilin Zakat, orang yang ditunjuk untuk mengumpulkan zakat serta mendistribusikannya.
d) Mu’allaf, orang yang dipandang oleh Negara layak untuk menerima zakat demi memperkuat iman mereka karena baru masuk islam.
e) Budak
f) Gharim, orang yang mempunyai hutang tapi tidak dapat melunasi hutang-hutang mereka.
g) Fii Sabililah, orang yang sedang berjihad dijalan Allah.
h) Ibnu Sabil, orang yang sedang dalam perjalanan dan kehabisan bekal.
Daftar Pustaka
1. Muhammad sholahuddin, S.E., M.Si, Lukman Hakim, S.E., M.Si., 2008, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Syariah Kontemporer, Surakarta: Muhammadiyah University press.
2. http://www.takaful.com/index.php/publisher/articleview/action/view/frmArticleID/70
3. http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah
Ekonomi Syariah
Prospek Ekonomi Syariah dan Kesejahteraan
Oleh :
Kelompok 10
- Fika Khairun Nisa (108084000037)
- Wahyudin (108084000038)
- Ahmad Nasir Hafa (107084003574)
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2010
PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Ekonomi islam dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan yang pesat, baik dalam kajianakademis di perguruan tinggi maupun dalam praktek operasional. Dalam bentuk pengajaran, ekonomi islam telah dikembangkan di beberapa universitas baik di negara-negara muslim, maupun di negara-negara barat, seperti USA, Inggris, Australia, dan Iain-lain.
Dalam bentuk praktek, ekonomi islam telah berkembang dalam bentuk lembaga perbankan dan juga lembaga-lembaga islam non bank lainya. Sampai saat ini, lembaga perbankan dan lembaga keuangan islam lainya telah menyebar ke 75 negara termasuk ke negara barat (WASPADA online).
Di Indonesia, perkembangan pembelajaran dan pelaksanaan ekonomi islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat. Pembelajaran tentang ekonomi islam telah diajarkan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta. Perkembangan ekonomi islam telah mulai mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Berbagai Undang-Undangnya yang mendukung tentang sistem ekonomi tersebutpun mulai dibuat, seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahkan mendapat dukungan langsung dari bapak wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla.
Sejarah Berdirinya
Sebenarnya aksi maupun pemikiran tentang ekonomi berdasarkan islam memiliki sejarah yang amat panjang. Pada sekitar tahun 1911 telah berdiri organisasi Syarikat Dagang Islam yang beranggotakan tokoh-tokoh atau intelektual muslim saat itu, serta ekonomi islam ini sesuai dengan pedoman seluruh umat islam di dunia yaitu di dalam Al-Qur’an yang mengatakan bahwa jika kamu akan bermuamalah, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakannya (apa yang akan dituliskan itu), dan janganlah orang itu mengurangi sedikit pun dari utangnya. Jika orang yang mengutang itu lemah akalnya atau lemah keadaanya atau tidak mampu mengimlakannya, maka hendaklah walinya yang mengimlakannya dengan jujur. Selain itu juga harus didatangkan dua orang saksi dari orang lelaki. Jika tidak ada maka boleh dengan seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu kehendaki, dan jangalah saksi itu enggan memberikan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah engkau jemu menulis utang itu baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayaranya. Kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai kamu, maka tak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menuliskanya. Dan persaksikanlah apabila kau berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling menyulitkan (Q, S Al-Baqarah: 282).
Perkembangan ekonomi islam yang semakin marak ini merupakan cerminan dan kerinduan umat islam di Indonesia ini khususnya seorang pedagang, berinvestasi, bahkan berbisnis yang secara islami dan diridhoi oleh Allah swt. Dukungan serta komitmen dari Bank Indonesia dalam keikutsertaanya dalam perkembangan ekonomi islam dalam negeripun merupakan jawaban atas gairah dan kerinduan dan telah menjadi awalan bergeraknya pemikiran dan praktek ekonomi islam di dalam negeri, juga sebagai pembaharuan ekonomi dalam negeri yang masih penuh kerusakan ini, serta awal kebangkitan ekonomi islam di Indonesia maupun di seluruh dunia, misalnya di Indonesia berdiri Bank Muamalat tahun 1992.
Pada awal tahun 1997, terjadi krisis ekonomi di Indonesia yang berdampak besar terhadap goncangan lembaga perbankan yang berakhir likuidasi pada sejumlah bank, Bank Islam atau Bank
Syariah malah bertambah semakin pesat. Pada tahun 1998, sistem perbankan islam dan gerakan ekonomi islam di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tantangan yang harus dihadapi
Namun selain itu sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat dengan ekonomi perbankan secara islami, ekonomi islam mendapat tantangan yang sangat besar pula. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi, yaitu: Pertama, ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan keuanganya. Kedua, bagaimana sistem ekonomi islam dapat meningkatkan dan menjamin atas kelangsungan hidup dan kesejahteraan seluruh umat, dapat
Menghapus kemiskinan dan pengangguran di Indonesia ini yang semakin marak, serta dapat memajukan ekonomi dalam negeri yang masih terpuruk dan dinilai rendah oleh negara lain. Dan yang ketiga, mengenai perangkat peraturan; hukum dan kebijakan baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Untuk menjawab pertanyaan itu, telah dibentuk sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang tersebut yaitu organisasi IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia).
Organisasi tersebut didirikan dimaksudkan untuk membangun jaringan kerja sama dalam mengembangkan ekonomi islam di Indonesia baik secara akademis maupun secara praktek. Dengan berdirinya organisasi tersebut, diharapkan agar para ahli ekonomi islam yang terdiri dari akademisi dan praktisi dapat bekerja sama untuk menjalankan pendapat dan aksinya secara bersama-sama, baik dalam penyelenggaraan kajian melalui forum-forum ilmiah ataupun riset, maupun dalam melaksankan pengenalan tentang sistem ekonomi islam kepada masyarakat luas. Dengan cara seperti itu, maka InsyaAllah segala ujian yang diberikan dapat dipikirkan dan ditemukan solusinya secara bersama sehingga pergerakannya bisa lebih efektif dalam pembangunan ekonomi seluruh umat.
Harus diakui bahwa perkembangan ekonomi islam merupakan bagian penting dari pembangunan ekonomi bangsa dan juga mayoritas muslim, bukan hanya sebuah gerakan sebagaimana penilaian dan pemikiran oleh sebagian orang yang sama sekali tidak paham tentang karakteristik ekonomi syari’ah.
Hikmah didirikannya ekonomi islampun sangat banyak, salah satunya praktek ekonomi islam ini mengajarkan pada kita bahwa perbuatan riba (melebih-lebihkan) itu adalah perbuatan dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan mengajarkan pada kita agar menjauhi perbuatan tersebut. Selain itu ekonomi islam juga sebagai wadah menyimpan dan meminjam uang secara halal dan diridhoi oleh Allah SWT.
Prospek Ekonomi Syariah Cerah, Umat Sejahtera
Dalam sejarahnya, lahirnya ekonomi Islam dalam kurun ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sadaqah. Kedua, timbulnya surplus dollar dari negara-negara penghasil dan pengekspor minyak dari Timur Tengah dan negara-negara Islam di mana mereka pada akhirnya membutuhkan institusi keuangan Islami untuk menyimpan dana mereka.
Di Indonesia ekonomi syariah mulai dikenal sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1991. Selanjutnya ekonomi berbasis syariah di Indonesia menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Pada dasarnya, sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, sudah menjadi kewajiban bagi Indonesia untuk menerapkan ekonomi syariah sebagai bukti ketaatan dan ketundukan masyarakatnya pada Allah dan Rasulnya.
Sekarang, penerapan hukum syariah bukan hanya terbatas pada bank-bank saja, tapi sudah menjalar ke bisnis asuransi, bisnis multilevel marketing, koperasi bahkan ke pasar modal. Para investor Muslim kini tidak perlu susah-susah lagi untuk menanamkan modalnya pada suatu jenis usaha, karena Bursa Efek Jakarta sudah memiliki Jakarta Islamic Index yang memuat indeks saham-saham yang masuk katagori halal.
Meski demikian, harus diakui bahwa selama lebih dari satu dasawarsa di tengah makin berkembangnya institusi ekonomi berbasiskan hukum Islam, masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum memahami dan mengenal perekonomian yang berbasis syariah secara menyeluruh. Walaupun di sisi lain, MUI sudah mengeluarkan fatwa haram atas bunga bank yang menjadi acuan bagi umat Islam di Indonesia agar memilih institusi keuangan yang tidak menerapkan sistem bunga.
Perjalanan waktu menunjukkan, bahwa ekonomi syariah bisa menjadi pilihan untuk mengatasi masalah umat yang saat ini masih mengalami krisis ekonomi. Adalah menjadi tantangan bagi para pelaku ekonomi syariah untuk lebih meningkatkan pemahaman umat soal prinsip ekonomi syariah, karena mereka akan menjadi pasar potensial bagi penerapan ekonomi syariah yang bukan tidak mungkin akan menjadi batu loncatan bagi penerapan hukum syariah di semua aspek kehidupan yang menjadi impian banyak umat Islam di negeri ini.
Dukungan Pemerintah Belum Memadai
Meski sudah menunjukkan eksistensinya, masih banyak kendala yang dihadapi bagi pengembangan ekonomi syariah di Indonesia. Soal pemahaman masyarakat hanya salah satunya. Kendala lainnya yang cukup berpengaruh adalah dukungan penuh dari para pengambil kebijakan di negeri ini, terutama menteri-menteri dan lembaga pemerintahan yang memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan ekonomi. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pada masa kampanye pemilu kemarin menyatakan mendukung ekonomi syariah, belum sepenuhnya mewujudkan dukungannya itu dalam bentuk program kerja tim ekonomi kabinetnya.
Menurutnya, para ekonom yang ada di kabinet saat ini sebaiknya meninggalkan sistem ekonomi kapitalis dan mengikuti aturan main kapitalis, sehingga bisa keluar dari krisis. Riawan mengaku untuk saat ini para pelaku ekonomi syariah belum terlalu menuntut pemerintah untuk lebih berpihak pada sistem ekonomi syariah. ”Mereka mau mengerti saja, itu sudah bagus,” ujarnya. Meski demikian ada harapan dari sejumlah kementerian yang sudah menyatakan dukungannya terhadap sistem ekonomi syariah, antara lain dari Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.
Kendala lainnya adalah masalah regulasi. Penerapan syariah yang makin meluas dari industri keuangan dan permodalan membutuhkan regulasi yang tidak saling bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan sistem ekonomi konvensional. Para pelaku ekonomi syariah sangat mengharapkan regulasi untuk sistem ekonomi syariah ini bisa memudahkan mereka untuk berekspansi bukan malah membatasi. Saat ini, peraturan tentang permodalan masih menjadi kendala perbankan syariah untuk melakukan penetrasi dan ekpansi pasar.
Kenyataan di lapangan menunjukkan, bahwa para pelaku ekonomi syariah masih menghadapi tantangan berat untuk menanamkan prinsip syariah sehingga mengakar kuat dalam perekonomian nasional dan umat Islamnya itu sendiri. Berkaitan dengan hal tersebut, Sudarman Lc., anggota DPRD I Banten dalam sebuah dialog ekonomi syariah beberapa waktu lalu mengingatkan, penerapan ekonomi syariah harus dipahami sebagai bagian integral dari penerapan syariat Islam secara kaffah. Penerapan hukum syariah dalam perekonomian tidak akan berhasil tanpa didukung penerapan hukum syariah di bidang yang lain. Teori dan sistem ekonomi syariah yang baik, bukan jaminan bagi penegakan perekonomian Islam kalau kaum muslimin sebagai pelaku ekonominya belum terlembagakan dengan baik.
Prospek Ekonomi Syariah dan Kesejahteraan Umat
Ada sejumlah alasan mengapa institusi keuangan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, antara lain pasar yang potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran mereka untuk berperilaku bisnis secara Islami. Potensi ini menjadi modal bagi perkembangan ekonomi umat di masa datang. Selain itu, terbukti bahwa institusi ekonomi yang menerapkan prinsip syariah, mampu bertahan di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Di sektor perbankan saja misalnya, sampai tahun 2010 nanti jumlah kantor cabang bank-bank syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek perbankan syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin cerah. Hal itu diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhadin Abdullah di sela-sela acara dialog ekonomi syariah di Jakarta pekan lalu. Burhanudin mengatakan bank-bank yang ada sekarang bisa memanfaatkan kebijakan dihilangkannya Batas Minimum Penyaluran Kredit (BMPK) untuk melakukan penyertaan pada bank lain.
”Ini satu kesempatan bagi bank untuk membuka unit-unit syariah. Misalnya bank A yang merupakan bank konvensional, dia bisa melakukan penyertaan di bank syariah tanpa dibatasi oleh BMPK. Di masa lalu batasnya 10 persen, sekarang tidak ada lagi,” jelas Burhanudin.
Selain perbankan, sektor ekonomi syariah lainnya yang juga mulai berkembang adalah asuransi syariah. Prinsip asuransi syariah pada intinya adalah kejelasan dana, tidak mengadung judi dan riba atau bunga. Sama halnya dengan perbankan syariah, melihat potensi umat Islam yang ada di Indonesia, prospek asuransi syariah sangat menjanjikan. Dalam sepuluh tahun ke depan diperkirakan Indonesia bisa menjadi negara yang pasar asuransinya paling besar di dunia. Seorang CEO perusahaan asuransi syariah asal Malaysia, Syed Moheeb memperkirakan, tahun 2008 mendatang asuransi syariah bisa mencapai 10 persen market share asuransi konvensional.
Data dari Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia menyebutkan, tingkat pertumbuhan ekonomi syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen. Perbankan dan asuransi, hanya salah satu dari industri keuangan syariah yang kini sedang berkembang pesat. Pada akhirnya, sistem ekonomi syariah akan membawa dampak lahirnya pelaku-pelaku bisnis yang bukan hanya berjiwa wirausaha tapi juga berperilaku Islami, bersikap jujur, menetapkan upah yang adil dan menjaga keharmonisan hubungan antara atasan dan bawahan.
Bisa dibayangkan kesejahteraan yang bisa dinikmati umat jika penerapan ekonomi syariah ini sudah mencakup segala aktivitas ekonomi di Indonesia. Peluang penerapan ekonomi syariah masih terbuka luas. Persoalannya sekarang, mampukah kita memanfaatkan peluang yang terbuka lebar itu.
Membangun Kesejahteraan Rakyat
Islam memiliki metode untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Metode tersebut tentu dengan menerapkan sistem ekonomi Islam dalam pola hubungan ekonomi global melalui Khilafah Islamiyah. Perinciannya menurut Muttaqin3 (2009) dan Sholahuddin (2009) antara lain sebagai berikut:
1. Pengaturan dan pemisahan yang jelas mengenai kepemilikan harta; meliputi kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
2. Pengelolaan harta mencakup pemanfaatan dan pengembangan harta, yaitu mengutamakan pembelanjaan wajib, sunnah, kemudian yang mubah. Sistem ini melarang pemanfaatan harta yang tidak syar’i dan negara wajib memberikan sanksi ta’zîr dalam hal pemanfaatan harta haram.
3. Distribusi kekayaan; haram penimbunan emas, perak, uang atau modal, yaitu jika ditimbun bukan untuk membiayai sesuatu yang direncanakan. Hanya dibolehkan ekonomi riil, praktik ekonomi non-riil dilarang. Mata uang menggunakan standar emas dan perak. Semua ini menjamin pendistribusian kekayaan masyarakat secara adil. Semua aktivitas ekonomi bersifat riil dan memiliki efek langsung terhadap kesejahteraan dan peningkatan taraf ekonomi.
4. Memajukan sektor riil yang tidak eksploitatif. Ekonomi Islam adalah perekonomian yang berbasis sektor riil (lihat: QS al-Baqarah [2]: 275). Tidak ada dikotomi antara sektor riil dan sektor moneter. Sebab, sektor moneter dalam Islam bukan seperti sektor moneter kapitalis yang isinya sektor maya (virtual sector). Kegiatan ekonomi hanya terdapat dalam sektor riil seperti pertanian, industri, perdagangan dan jasa. Dari sektor inilah kegiatan ekonomi didorong untuk berkembang maju. Hanya saja, hukum-hukum tentang kepemilikan, produk (barang/jasa) dan transaksi dalam perekonomian Islam berbeda dengan kapitalisme.
5. Menciptakan mekanisme pasar internasional yang adil. Dalam Islam hubungan dagang dapat diberlakukan terhadap negara-negara lain jika secara politik negara tersebut terikat perjanjian damai dengan Khilafah. Mekanisme pasar dalam Islam tidak mengharamkan adanya intervensi negara seperti subsidi dan penetapan komoditas yang boleh diekspor. Sebaliknya, negara tidak pernah melakukan intervensi dengan cara mematok harga. Harga dibiarkan berjalan sesuai mekanisme supply dan demand. Untuk mempengaruhi harga, negara mengintervensinya melalui mekanisme pasar. Negara juga tidak mengenakan cukai atas komoditas yang datang dari negara lain jika negara tersebut tidak memungut cukai atas komoditas yang dibawa warga negara khilafah.
6. Menerapkan mata uang berbasis emas dan perak. Mata uang berbasis emas dan perak adalah mata uang negara Khilafah yang memiliki sifat universal. Dominasi dolar AS ataupun mata uang kuat (hard currency) lainnya atas transaksi ekonomi dunia merupakan salah satu metode penjajahan kapitalisme atas masyarakat dunia yang harus dihentikan dengan mata uang dinar (emas) dan dirham (perak). Mata uang dinar dan dirham menjamin kebebasan setiap negara dan penduduk dunia untuk melakukan transaksi ekonomi dan perdagangan tanpa harus takut mengalami gejolak kurs, kehilangan kekayaan, ataupun mengalami penjajahan moneter. Dengan demikian, keberadaan mata uang ini sebagai alat tukar internasional menjadi salah satu syarat bagi terwujudnya kesejahteraan.
Ekonomi Syariah sebagai Solusi
Allah swt berfirman dalam surah al-Ja>thiyah (45): 18: ”Kemudian kami jadikan bagi kamu sebuah syariah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”
Islam sebagai al-di>n mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna (shamu>l). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, (QS. al-Ma>idah (5): 3, al-An’a>m (6): 38, dan al-Nah}l (16): 89).
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua>’malah iqtis}a>diyyah). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar.
Dalam konteks ekonomi Islam dan perbankan syariah, aspek yang banyak disoroti sebagai bentuk ketidakadilan (penindasan) dalam praktik ekonomi dan perbankan konvensional adalah sistem bunga bank. Bunga, ditempatkan sejajar dengan riba yang dikenal dalam hukum Islam (fikih) sebagai hal yang haram hukumnya. Sistem yang riba>wy akan membuka peluang terhadap terjadinya ketidakadilan dan penindasan. Riba memberikan peluang kepada seseorang untuk menumpuk kekayaan di atas penderiataan orang lain.
Bunga dianggap sebagai ketidakadilan karena mekanisme penetapan profit yang menguntungkan satu pihak, yang mendahului proses pengelolaan modal oleh pihak lain, dan peminjam (baca: nasabah) yang belum pasti masa depan usahanya. Ketika terjadi transaksi yang mengatasnamakan membantu dengan cara memberikan piutang kepada oranglain, akan tetapi dengan model pengembalian yang berlebih dari yang pokok, maka hal ini telah mereduksi dan menghilangkan tujuan asasi dari hutang yang sejak disyariatkannya selalu berlandaskan prinsip ta’a>wuniyyah.
Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi dasar. Baik secara langsung melalui transaksi bisnis seperti perdagangan, sewa menyewa dan lain-lain, ataupun secara tidak secara langsung melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu usaha atau seluruh kegiatan usaha tersebut.
Berbeda dengan Islam yang memberikan solusi dengan sistem bagi hasil, yang diyakini mampu memenuhi cita rasa dan standar keadilan. Hal ni tercermin dari ajaran Islam yang menghendaki kerjasama. Dalam skim mud}a>rabah misalnya, bank syariah mengimplementasikan pola bagi hasil atas pendapatan (revenue sharing), yang berarti bank (mud}a>rib) membagikan hasil usaha secara penuh dan adil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati. Dengan kata lain, opeasionalisasi bank syariah selalu berada dalam koridor prinsip keadilan sebagai ruh dan misi utamanya. Kemitraan antara nasabah (s}a>h}ib al-ma>l) dan bank (mud}a>rib) selalu berada dalam hubungan sejajar sebagai mitra usaha yang saling bertanggung jawab berlandaskan keadilan dalam berbagi laba sesuai kontribusi dan resiko.
Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintah dalam recovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syariah. Ekonomi syariah memiliki komitmen yang kuat pada pengentasan kemiskinan, penegakan keadilan pertumbuhan ekonomi, penghapusan riba, dan pelarangan spekulasi mata uang, sehingga menciptakan stabilitas perekonomian. Ekonomi syariah yang menekankan keadilan, mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global.
Ke depan pemerintah perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syariah telah menunjukkan ketangguhannya dan bisa bertahan. Ini dikarenakan, ia menggunakan sistem bagi hasil sehingga tidak mengalami negative spread sebagaimana bank-bank konvensional. Bahkan perbankan syariah semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit tersebut.
Perkembangan Pasar Modal Syariah
Banyak cara untuk melakukan investasi keuangan yang sesuai dengan syariah Islam. Investasi tersebut dapat dilakukan pada berbagai kegiatan usaha yang berkaitan aktivitas menghasilkan suatu produk, asset maupun jasa. Karena itu, salah satu bentuk investasi yang sesuai dengan syariah Islam adalah membeli Efek Syariah. Efek Syariah tersebut mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah, Reksadana Syariah, Kontrak Investasi Kolektiv Efek Beragun Asset (KIK EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah.
Investasi dengan pemilikan Efek Syariah dapat dilakukan di Pasar Modal baik secara langsung pada saat penawaran perdana, maupun melalui transaksi perdagangan sekunder dibursa. Pasar Modal menjadi alternatif investasi bagi para investor selain alternatif investasi lainnya seperti: menabung di bank, membeli emas, asuransi, tanah dan bangunan, dan sebagainya.
Sebagaimana dipahami Pasar Modal merupakan kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek tersebut. Pasar Modal bertindak sebagai penghubung antara para investor dengan perusahaan ataupun institusi pemerintah melalui perdagangan instrumen keuangan jangka panjang. Sayangnya selama ini pasar modal menjadi wadah ekonomi yang paling banyak menjalankan transaksi yang dilarang seperti bunga (riba), perjudian (gambling/maysir), gharar, penipuan dan lain-lain. Upaya untuk melakukan Islamisasi pada sektor perputaran modal yang sangat vital bagi perekonomian modern ini semakin gencar.
Islamisasi Pasar Modal
Dilihat dari sisi syariah, pasar modal adalah salah satu sarana atau produk muamalah. Transaksi didalam pasar modal, menurut prinsip hukum syariah tidak dilarang atau dibolehkan sepanjang tidak terdapat transaksi yang bertentangan dengan ketentuan yang telah digariskan oleh syariah. Diantara yang dilarang oleh syariah adalah transaksi yang mengandung bunga dan riba. Larangan transaksi bunga (riba) sangat jelas, karena itu transaksi dipasar modal yang didalamnya terdapat bunga (riba) tidak diperkenankan oleh Syari’ah.
Syari’ah juga melarang transaksi yang didalamnya terdapat spekulasi dan mengandung gharar atau ketidakjelasan yaitu transaksi yang didalamnya dimungkinkan terjadinya penipuan (khida’). Termasuk dalam pengertian ini: melakukan penawaran palsu (najsy); transaksi atas barang yang belum dimiliki (short selling/bai’u maalaisa bimamluk); menjual sesuatu yang belum jelas (bai’ul ma’dum); pembelian untuk penimbunan efek (ihtikar) dan menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang (insider trading).
Dengan adanya berbagai ketentuan dan pandangan syariah seperti diatas, maka investasi tidak dapat dilakukan terhadap semua produk pasar modal karena diantara produk pasar modal itu banyak yang bertentangan dengan syari’ah. Oleh karena itu investasi di pasar modal harus dilakukan dengan selektif dan dengan hati-hati (ihtiyat) supaya tidak masuk kepada produk non halal. Sehingga hal inilah yang mendorong islamisasi pasar modal. Terkait dengan upaya pengembangan pasar modal syariah, hingga saat ini terdapat 6 (enam) Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan industri pasar modal. Fatwa-fatwa tersebut adalah:
1. Fatwa No.05 tahun 2000 tentang Jual Beli Saham;
2. No.20 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syariah;
3. No.32 tahun 2002 tentang Obligasi Syariah;
4. No.33 tahun 2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah;
5. No.40 tahun 2003 tentang Pasar Modal danPedoman Umum Penerapan Prinsip syariah di Bidang Pasar Modal; dan
6. No.41 tahun 2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.
Bentuk ideal dari pasar modal syariah dapat dicapai dengan islamisasi empat pilar pasar modal, yaitu;
1. Emiten (perusahaan) dan efek yang diterbitkannya didorong untuk memenuhi kaidahsyariah, keadilan, kehati-hatian dan transparansi;
2. Pelaku pasar (investor) harus memilikipemahaman yang baik tentang ketentuan muamalah, manfaat dan risiko transaksi di pasar modal;
3. Infrastruktur informasi bursa efek yang jujur, transparan dan tepat waktu yang merata dipublik yang ditunjang oleh mekanisme pasar yang wajar;
4. Pengawasan dan penegakan hukum oleh otoritas pasar modal dapat diselenggarakan secara adil, efisien, efektif dan ekonomis.
Selain itu prinsip-prinsip Syariah juga akan memberikan penekanan (emphasis) pada: (a) Kehalalan produk/jasa dari kegiatan usaha, karena menurut prinsip Syariah manusia hanya boleh memperoleh keuntungan atau penambahan harta dari hal-hal yang halal dan baik; (b) Adanya kegiatan usaha yang spesifik dengan manfaat yang jelas, sehingga tidak ada keraguan akan hasil usaha yang akan menjadi obyek dalam perhitungan keuntungan yang diperoleh; (c) Adanya mekanisme bagi hasil yang adil –baik dalam untung maupun rugi- menurut penyertaan masing-masing pihak; dan (d) Penekanan pada mekanisme pasar yang wajar dan prinsip kehati-hatian baik pada emiten maupun investor.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat diketahui bahwa ekonomi syariah telah memiliki sejarah yang panjang semenjak zaman Rasulullah saw. Dalam perjalanannya hingga saat ini sistem ekonomi syariah terbukti mampu bertahan dan berkembang, meskipun menghadapi krisis yang panjang. Hal tersebut karena siatem ekonomi syariah tidak berlandaskan bunga, tetapi berdasarkan hasil yang diperoleh. Selain itu ekonomi syariah tidak hanya memperhatikan nilai material saja tapi juga memiliki nilai spiritual yang memperhatikan nilai keadilan dan kemanusiaan. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia lebih memperhatikan perkembangan perbankan konvensional daripada perbankan syariah, sehingga ekonomi syariah di Indonesia kurang berkembang dibanding Malaysia dan Singapura. Maka untuk memajukan ekonomi syariah di Indonesia, pemerintah hendaknya lebih memperhatikan kemajuan perbankan syariah di Indonesia, karena kemajuan ekonomi syariah tidak akan terlepas dari kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Diharapkan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut, ekonomi syariah di Indonesia lebih maju dan berkembang dibanding negara-negara lainnya.
Daftar Pustaka
www.google.com
http://www.kampoengpenulis.com/index.php?option=com_content&view=article&id=170:bank-syariah-dan-kesejahteraan-masyarakat&catid=89:bisnis-syariah&Itemid=133
http://www.ekonomisyariah.net, diakses 19 Oktober 2009
Muttaqin, Hidayatullah, “Bagaimana Ekonomi Islam Mensejahterakan Dunia,” http://jurnal-ekonomi.org/2009/02/09/bagaimana-ekonomi-islam-mensejahterakan-dunia/, diakses: 5 juni 2009
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
(paper ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi syari’ah)
Disusun Oleh:
KELOMPOK 11
Hudzaifah Hafizhudin 1070.8400.3749
Satria Adyatma 1080.8400.0022
Soraya. MHJ 1060.8400.4321
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDY PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Aktivitas ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam hingga detik ini, meskipun dari zaman ke zaman mengalami perkembangan. Setiap masa manusia mencari cara untuk mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa Rasulullah juga memiliki konsep system ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk mengatasai permasalahan ekonomi yang ada saat ini.
Oleh karena itu salah satu hal yang mendasari dilakukannya penulisan ini adalah untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang tersistematik yang pernah dilakukan pada zaman nabi Muhammad yang merupakan zaman awal kegemilangan Institusi Islam sebelum hancur di tahun 1924, serta sejarah juga membuktikan bahwa Ilmuwan muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi yang sistimatis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah, bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti, Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221 M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Dalam buku ini, Deliarnov Anwar membagi sejarah pemikiran ekonomi Islam pada empat fase.
Fase pertama, pemikiran-pemikiran ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Pada tahap ini pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli ekonomi, melainkan dirintis fuqaha, sufi, teolog, dan filsuf Muslim. Pemikiran ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats (peninggalan ulama). Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun non-Muslim melakukan kajian, penelitian, analisis, dan kodifikasi pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang pernah ada atau dikaji pada masa itu. Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus interpretasi mereka terhadap sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa itu. “Karena sifatnya penafsiran, sangat lumrah jika terdapat variasi dan perbedaan antara ulama yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan bisa saja terjadi karena berbedanya lokasi, lingkungan dan waktu. Perbedaan penafsiran mungkin pula terjadi karena perbedaan latar belakang dan kapasitas pengetahuan ulama yang menafsirkan itu sendiri. Tidak hanya tentang riba, zakat, harta, warisan, uang, fungsi uang, mahar, transaksi, perjanjian, dan denda, tetapi juga tentang permintaan, penawaran, peran pasar, fungsi pemerintah, kebijakan publik, perpajakan, dan sebagainya,” tulis Deliarnov. Menurut Deliarnov, para ulama fiqih (fuqaha) tidak hanya mendiskusikan, menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi sesuai dengan Al-Quran dan tradisi kenabian, tetapi juga mengeksplorasi konsep-konsep mashlahah dan mafsadat, manfaat dan mudharat (utility and disutility) yang terkait dengan berbagai aktivitas ekonomi. Meskipun dalam menguraikannya cenderung bersifat normatif, tetapi ada ketegasan sikap dalam membahas dan menjelaskan tentang perilaku yang adil atau kebijakan yang harus diambil penguasa. Sedangkan para sufi lebih menitikberatkan pada etika agar para pelaku ekonomi tidak rakus atau memikirkan diri sendiri, dan cinta dunia. Menurut kaum sufi, tujuan akhir dari setiap aktivitas ekonomi bukanlah kebahagiaan dunia, melainkan kebahagiaan yang abadi di akhirat. Lain halnya dengan para filsuf, yang dalam pembahasannya fokus ke masalah sa’adah (kebahagiaan) dengan metodologi dan analisa ekonomi yang bersifat makro.
Fase kedua adalah “cemerlang”, berlangsung dari abad 11- 15. Pada masa ini para fuqaha, sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana seharusnya umat Islam melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak hanya merujuk pada Al-Quran dan tradisi kenabian, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri.
Fase ketiga adalah stagnasi, ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah intelektual, sejak 1446 hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932. Pada masa ini para fuqaha hanya mencatat atau mengulang para pendahulunya dan mengikuti fatwa sesuai dengan mazhabnya. Stagnasi yang dialami pemikir-pemikir Muslim ini terjadi akibat ditutupnya pintu ijtihad, sehingga tidak ada yang mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mandiri. Pemahaman agama atau tafsir yang berasal dari mazhab dan firqah yang diadopsi negara/pemerintah yang berkuasa yang memegang peranan. Apabila muncul yang berbeda tafsir atau pemahaman, penjara dan cambuk adalah hadiah yang didapatnya, bahkan sampai dibunuh jika tidak mengikuti atau mematuhi yang sudah ditetapkan. Itulah sebabnya sebagian ulama dan cendekiawan Muslim yang memiliki pemikiran yang berbeda dengan “mainstream” selalu menyepi alias tidak menampakkan kecemerlangan dalam pengetahuan maupun pemahaman agama yang mencerahkan.
Fase keempat adalah modern, ditandai dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran selama lima abad sejak pertenghaan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20. Pada masa modern ini muncul pakar-pakar ekonomi Islam profesional. Jika pembahasan ekonomi sebelumnya dilakukan para fuqaha, teolog, filsuf, dan sufi, maka pada masa modern ini dikembangkan kalangan sarjana ekonomi atau cendekiawan Muslim, yang tidak sedikit mendapat pendidikan Barat. “Mereka belajar tentang ekonomi mikro, ekonomi makro, ekonomi pembangunan, ekonomi moneter, dan lainnya. Dengan latar pendidikan mereka yang pada umumnya para ekonom, mereka tidak hanya menyajikan pemikiran-pemikiran ekonomi dari segi konsep dan teori, tetapi banyak pula yang mengimplementasikan ilmu-ilmu ekonomi yang mereka kembangkan dalam kehidupan nyata. Mereka mengimplementasikan ekonomi Islam secara sistematis dan modern, baik di tingkat mikro maupun makro. Atas kontribusi mereka ekonomi Islam diterima sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri, dan begitu juga dalam tiga dekade terakhir kita saksikan banyak bank-bank Islam yang dilandaskan pada syari’ah bermunculan,” tulis Deliarnov.
Begitulah jejak perjalanan pemikiran ekonomi Islam dalam sejarah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang pantas kita banggakan dan hadirkan dengan kontekstualisasi dan pengembangan nalar sehingga relevan dengan zaman sekarang. Memang harus diakui bahwa pasca-tumbangnya Komunisme, Sosialisme, Liberalisme dan sistem ekonomi Kapitalisme yang menjadikan krisis global di negara-negara Barat dan yang berada di bawah naungannya, termasuk Indonesia, para ekonom Barat mencari “formula” yang kemampuan, kekuatan, dan kehebatannya melampaui sistem dan pemikiran yang sebelumnya. Mereka melihat pada Islam, khususnya pada khazanah pemikiran ekonomi yang dikemukakan para ulama dan cendekiawan Muslim. Tidak sedikit karya khazanah ekonomi Islam itu diadaptasi dan dikembangkan di negara-negara Barat sekarang ini. Bedanya dengan di negeri-negeri Islam adalah, ekonom Barat mengambil sistem dan konsepnya tanpa mengambil sisi spiritualitasnya. Mungkin, bisa diibaratkan bentuk tanpa isi. Namun, meski begitu geliatnya dalam mewujudkan sistem yang berdasarkan syari`ah sangat tampak dari beberapa perusahaan yang ada di Eropa, khususnya di Inggris sudah muncul perguruan tinggi yang mengajarkan Islamic finance dan di Jepang untuk kawasan Asia. Mengapa mesti ekonomi Islam yang menjadi solusi dalam membangun sistem perekonomian yang utuh dan paripurna?
Sumber:
(http://ahmadsahidin.wordpress.com/2009/04/21/dendam-sejarah-bergulir-dalam-peradaban manusia/)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemikiran Ekonomi IslamMasa Rasulullah.
Sebelum Islam datang situasi kota Yatsrib sangat tidak menentu karena tidak mempunyai pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat senantiasa hidup dalam ketidak pastiaan. Oleh karena itu, beberapa kelompok penduduk kota Yatsrib berinisiatif menemui Nabi Muhamad Saw. Yang terkenal dengan sifat al-amin (terpercaya) untuk memintanya agar menjadi pemimpin mereka. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam Nabi Muhammad Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib sesuai dengan perjanjian,di kota yang bertanah subur ini, Rasulallah Saw disambut dengan hangat serta diangkat sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib.
Sejak saat itu kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah. Madinah merupakan negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit pun.Oleh karena itu Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah keadaan secara perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tergantung pada faktor keuangan. Dalam hal ini strategi yang di lakukan oleh Rasulallah adalah dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Membangun Masjid
Setibanya di kota Madinah,tugas pertama yang di lakukan oleh Rasulallah Saw.adalah mendirikan masjid yang merupakan asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah menyadari bahwa komitmen terhadap system, akidah dan tatanan Islam baru akan tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang lahir dari aktivitas masjid. Kaum muslim akan sering bertemu dan berkomunikasi sehingga tali ukhuwwah dan mahabah semakin terjalin kuat dan kokoh.
2. Merehabilitas Kaum Muhajirin
Setelah mendirikan masjid tugas berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat kehidupan sosial dan ekonomi kaum Muhajirin (penduduk Makkah yang berhijrah ke Madinah). Kaum muslimin yang melakukun hijrah pada masa ini berjumlah sekitar 150 keluarga baik yang sudah tiba di Madinah maupun yang masih dalam perjalanan dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena hanya membawa sedikit perbekalan di kota Madinah.
Sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka.
3. Membangun Konstitusi Negara
Setelah mendirikan masjid dan mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar tugas berikutnya yang di lakukan Rasulullah Saw adalah menyusun konstitusi negara yang menyatakan tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi negara Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga Negara baik Muslim maupun non-Muslim, serta pertahanan dan keamanan negara.
Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam setiap orang di larang melakukan sebagai aktivitas yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan manusia dan alam.
4. Meletakan Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara
Setelah melakukan berbagai upaya stabilitas di bidang sosial, politik serta pertahanaan dan keamanan negara, Rasulallah meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan ketentuan-ketentuan Al Qur’an,seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di hapus dan di gantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan nilai-nilai Qurani, yakni persaudaran, persamaan, kebebasan dan keadilan.
• Sistem Ekonomi
Seperti di Madinah merupakan negara yang baru terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi ekonomi.Oleh karena itu,peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di lakukan oleh Rasulallah Saw.merupakan langkah yang sangat signifikan,sekaligus berlian dan spektakuler pada masa itu,sehingga Islam sebagai ssebuah agama dan negara dapat brkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani.Alqur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya,termasuk di bidang ekonomi.Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi, Dalam pandangan Islam,kehidupan manusia tidak bisa di pisahkan menjdai kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah,melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan,bahkan setelah kehidupan dunia ini,Dengan kata lain,Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
• Sistem Keuangan Dan Pajak
Sebelum Nabi Muhamad s.a.w diangkat sebagai rasul dalam masyarakat jahilyah sudah terdapat lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat untuk ukuran masa itu yang disebut Darun Nadriah. Di dalamnya para tokoh Mekkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu keputusan etika dilantik sebagai rasul mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu yaitu darul arqam. Perkembangan lembaga ini terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan sampai akhirnya Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Ketika beliau hijrah ke Madinah maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah Masjid (Masjid Quba). Yang bukan saja merupakan tempat beribadah tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau masuk ke Madinah dan membentuk “lembaga”persatuan di antara para sahabatnya yaitu persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini di ikuti dengan pembangunan mesjid lain yang lebih besar (Mesjid nabawi) yang kemudian yang menjadi sentral pemerintah.
Untuk selanjutnya pendirian (lembaga) dilanjutkan dengan penertiban pasar. Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar yang baru yang khusus untuk kaum muslimin. Karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah dan harus berjalan dengan sunatullah. Demikian halnya dalam penentuan harga dan mata uang tidak ada satupun bukti sejarah yang menunjukan bahwa nabi Muhamad membuat mata uang sendiri.
Pada tahun-tahun awal sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan ataupun pengeluaran negara. Seluruh tugas negara dilaksanakan kaum musimin secara bergotong royong dan sukarela. Mereka memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya sendiri. Mereka memperoleh pendapatan dari bebagai sumber yang tidak terikat.
Tidak hanya masa sekarang saja adanya sumber anggaran negara semisal pajak, zakat, kharaj dsb tetapi di Madinah juga pada masa rasulullah sudah ada yang namanya sumber anggaran pendapatan negara semisal pajak, zaka, kharaj dsb.
Pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang di fardhukan oleh Alloh kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Dimana Alloh telah menjadikan seorang imam sebagai pemimpin bagi mereka yang bisa mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan objek-obyek tertentu.
Dalam mewajibkan pajak tidak mengenal bertambahnya kekayaan dan larangan tidak boleh kaya dan untuk mengumpulkan pajak tidak akan memperhatikan ekonomi apapun. Namun pajak tersebut dipungut semata berdasarkan standar cukup. Tidak hanya harta yang ada di baitul mal, untuk memenuhi seluruh keperluan yang dibutuhkan sehingga pajak tersebut di pungut berdasarkan kadar kebutuhan belanja negara. Karakteristik pekerjaan masih sangat sederhana dan tidak memerlukan perhatian penuh. Rasulullah sendiri adalah seorang kepala negara yang merangkap sebagai ketua mahkamah agung, mufti besar, panglima perang tertinggi, serta penanggungjawab seluruh administrasi negara. Ia tidak memperoleh gaji dari negara atau masyarakat, kecuali hadiah-hadiah kecil yang pada umumnya berupa bahan makanan. Majelis syura terdiri dari para sahabat terkemuka yang sebagian dari mereka bertanggung jawab mencatat wahyu. Pada tahun keenam hijriah, sebuah sekretariat sederhana telah dibangun dan ditindak lanjuti dengan pengiriman duta-duta negara ke berbagai pemerintahan dan kerajaan.
Demikianlah adanya sumber pendapatan negara semisal sistem keuangan dan pajak yang ada pada masa rasulullah yang dapat menjadikan kaum muslimin bisa hidup sejahtera. Tanpa adanya permsuhan dan kesenjangan sosial subhanalloh begitu menakjubkan sekali ditengah kesederhanaannya tetapi bisa menjadikan seluruh kaum muslimin bisa menjalankan aktivitas perekonomian dengan tidak mengesampingkan rasa ukhuwah mereka.
• Sumber Pendapatan dan Pengeluaran Negara
a. Sumber pendapatan
1) Uang tebusan untuk para tawanan perang ( hanya khusus pada perang Badar, pada perang lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang ).
2) Pinjaman-pinjaman ( setelah penaklukan kota Mekkah ) untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhayma/ sebelum pertemuan Hawazin 30.000 dirham ( 20.000 dirham menurut Bukhari ) dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman beberapa pakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah ( sampai waktu itu tidak ada perubahan ).
3) Khums atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.
4) Amwal fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang meninggalkan negrinya.
5) Wakaf yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal.
6) Nawaib yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam rangka menutupi pengeluaaraan negera selama masa darurat.
7) Zakat fitrah
8) Bentuk lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat adalah denda atas kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat melakukan kegiatan ibadah.
9) Ushr
10) Jizyah yaitu pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim.
11) Kharaj yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar ditakhlukkan.
12) Ghanimah
13) Fa’i
b. Sumber-sumber pengeluaran
1) Biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan.
2) Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Qur’an, termasuk para pemungut zakat.
3) Pembayarnan gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negara lainnya.
4) Pembayaran upah para sukarelawan.
5) Pembayaran utang negara.
6) Bantuan untuk musafir.
7) Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.
8) Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
9) Hiburan untuk para utusan suku dan negera serta perjalanan mereka.
10) Hadiah untuk pemerintah negara lain.
11) Pembayaran untuk pembebasan kaum muslim yang menjadi budak.
12) Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh para pasukan kaum muslimin.
13) Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
14) Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
15) Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah.
16) Pengeluaran rumah tangga Rasulullaah Saw. ( hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya ).
17) Persediaan darurat.
• Zakat dan Ushr
1) Zakat
Yaitu nama harta tertentu, dalam bentuk khusus/cara tertentu yang dimanfaatkan bagi sekelompok orang yang khusus pula. Hukum zakat wajib ain bagi tiap muslim.
Definisi lain dari zakat adalah harta yang diwajibkan disisihkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
I. Macam-macam zakat
a. Zakat Fitrah
Yaitu zakat yang dikeluarkan tiap bulan ramadhan untuk memenuhi kewajiban dirinya sendiri, dan mereka yang menjadi beban nafkahnya (mereka yang beragama Islam).
b. Zakat Mal
Yaitu zakat harta yang harus dikeluarkan ketika penghasilannya sudah mencapai nisab.
II. Pada masa Rasulullah Saw, zakat dikenakan pada hal-hal berikut :
1. Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam bentuk lainnya.
2. Benda logam yang terbuat dari perak seperti koin, perkakas, perhiasan, atau dalam bentuk lainnya.
3. Binatang ternak, seperti unta, sapi, domba, dan kambing.
4. Berbagai jenis barang dagangan, termasuk budak dan hewan.
5. Hasil pertanian,temasuk buah-buahan.
III. Nisab dari zakat diatas :
1. Zakat untuk domba,sapi dan unta secara berurutan adalah 40 domba,30 sapi, dan 5 unta.
2. Zakat hasil pertanian yang berupa gandum , kurma adalah lima warq atau sekitar 847 kilo per tahun.
3. Nisab uang dalam bentuk emas dan perak adalah dua puluh dinar dan dua ratus dinar, sementara nilainya adalah setengah dinar/lima dinar.
IV. Delapan golongan yang wajib menerima zakat yaitu :
1. Fakir
Yaitu orang yang memiliki harta, namun kebutuhan hidup mereka lebih banyak ketimbang harta yang mereka miliki.
2. Miskin
Yaitu orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai sumber pemasukan.
3. Zakat
Yaitu orang yang bekerja mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
4. Mu’allaf
Yaitu orang yang baru masuk islam.
5. Riqab
Yaitu orang-orang (budak-budak berlian) yang telah dibebaskan dengan uang tebusan.
6. Gharim
Yaitu orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu melunasi hutang-hutangnya.
7. Fisabilillah
Yaitu orang-orang yang berjuang dijalan Allah.
8. Ibnu Sabil
Yaitu musafir yang kehabisan bekal.
2) Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak(ushr) jual beli(maqs). Ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan) merupakan pendapatan yang paling utama dan penting. Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi.
Ushr dibebankan kepada suatu barang hanya sekali dalam setahun. Seorang Taghlibi datang ke wilayah islam untuk menjual kudanya. Setelah dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir, kuda tersebut bernilai 20.000 dirham.Oleh karena itu, Zaid memintanya untk membayar 1000 dirham (5%) sebagai ushr.
Pos pengumpulan ushr terletak di berbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota.
• BAITUL MAL
Baitul mal adalah lembaga khusus yang mengenai harta yang di terima negara dan mengalokasikan bagi kaum muslim yang berhak menerimanya.
Rosulullah mulai melirik permasalahan ekonomi dan keuangan negara setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional di madinah pada masa awal hijriah.
Pertama kalinya berdirinyya baitul mal sebagai sebuah lembaga adalah setelah turunnya firman ALLAH SWT di Badr seusai perang dan saat itu sahabat berselisih tentang ghonimah: ”Mereka ( para sahabat) akan bertaanya kepadamu (Muhammad) tentang anfal, katakanlah bahwa anfal itu milik ALLAH dan Rosul, maka bertaqwalah kepada ALLAH dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu dan taatlah kepada ALLAH dan RosulNya jika kalian benar-benar beriman”. (QS. AL-ANFAL : 1)
Pada masa Rosulullah Saw Baitul mal terletak di masjid Nabawi yang ketika itu digunakakan sebagai kantor pusat negara serta tempat tinggal Rosulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul mal akan tetapi binatang- binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.
Pada zaman Nabi baitul mal belum merupakan suatu tempat yang khusus, hal ini disebabkan harta yang masuk pada saat itu belum begitu banyak dan selalu habis dibagikan kepada kaum muslim, serta dibelanjankan untuk pemeliharaan urusan negara. Baitul mal belum memiliki bagian- bagian tertentu dan ruang untuk penyimpanan arsip serta ruang bagi penulis. Adapun penulis yang telah diangkat nabi untuk mencatat harta antara lain;
1. Maiqip Bin Abi Fatimah Ad-Duasyi sebagai penulis harta ghonimah.
2. Az-Zubair Bin Al- Awwam sebagai penulis harta zakat.
3. Hudzaifah Bin Al- Yaman sebagai penulis harga pertanian di daerah Hijas.
4. Abdullah Bin Rowwahah sebagai penulis harga hasil pertanian daerah khaibar.
5. Al-Mughoirah su’bah sebagai penulis hutang- piutang dan iktivitaas muamalah yang dilakukan oleh negara.
6. Abdullah Bin Arqom sebagai penulis urusan masyarakat kabila- kabilah termasuk kondisi pengairannya.
Namun semua pendapatan dan pengeluaran negara pada masa Rosulullah tersebut belum ada pencatatan yang maksimal. Keaadaan ini karena berbagai alasan:
1. Jumlah orang Islam yang bisa membaca dan menulis sedikit.
2. Sebagian besarr bukti pembayaran dibuat dalam bentuk yang sederhana.
3. Sebagian besar zakat hanya didistribusikan secara lokal.
4. Bukti penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda tidak umum digunakan.
5. Pada banyak kasus, ghonimah digunakan dan didistribusikan setelah peperangan tertentu.
Sumber: (http://maret27.multiply.com/journal/item/9)
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Klasik.
• Al-Ghazali
Panggilan, Laqob atau gelar Al-Ghazali Zain ad Diin ath Thusy adalah Hujjatul Islam atau Hujjatul Islam Abu Hamid. Lahir pada tahun 450 H / 1058 M. Tepatnya pertengahan abad ke lima Hijriah, dan wafat pada tahun 505 H / 1111 M, tepatnya pada tanggal 14 Jumadil Ats Tsani, hari senin di Thus, sebuah kota di Khurasan (Iran) tempat kelahirannya.
Dibawah ini adalah pemikiran tentang ekonomi menurut Al-Ghazali, yaitu:
1. Asal Usul Uang (Nature of Money)
Sejarah perkembangan uang menurut Al-Ghazali, dimulai dari barter (al-Mufawwadah) hingga pada penggunaan logam mulia, yaitu : emas (al-Dzahab) dan Perak (al-Fidzah).
a. Sistem Barter (barter system)
Barter (al-Mufawwadah) dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar menukar barang dengan jalan "tukar ganti" (Muqayyadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang , barang-barang diperdagangkan dengan barter ini.
Menurut Marilu Hurt, barter adalah pertukaran barang dengan barang : telor dengan buah, kain dengan keranjang, dan lembu (sapi) dengan bulu.
Menurut Al-Ghazali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukar barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata uang tidak ada, yakni seperti halnya mata uang sekarang.
Pada dasarnya system barter terbatas pada beberapa jenis barang saja. Tetapi lama kelamaan setelah masyarakat mengenal spesialisasi, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali untuk menemukan pihak lain yang kebetulan sekaligus, yakni :
1) Mempunyai barang yang sama yang dibutuhkan
2) Membutuhkan apa yang kita tawarkan
3) Dengan nilai yang kira-kira sama atau dapat dibandingkan
4) Bersedia menukarkannya
Sehingga system barter tersebut perlu direvisi, Al-Ghazali kemudian menganjurkan membentuk supaya ada lembaga keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan percetakan uang tersebut. Dan lembaga keuangan sekaligus pencetak uang yang disebut Dar al-Darb (lembaga percetakan). Berfungsi sebagai aktivitas moneter terpusat, guna mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.
b. Uang Barang (Commodity Money)
Al-Ghazali secara tegas mengatakan bahwa pakaian, makanan, binatang dan barang-barang sejenis lain dapat ditukarkan seperti halnya fungsi uang. Oleh karena itu, hakikat uang barang atau commodity money adalah barang-barang yang dipergunakan untuk transaksi barter[8]. Dalam pandangan Al-Ghazali, setiap manusia membutuhkan akan barang-barang, makanan, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Akan tetapi keterbatasan mereka untuk memiliki semuanya; sehingga apa yang dia punya ditukar dengan milik orang lain.
Oleh karena itu, uang barang (Commodity Money) sebagai pengganti dari penggunaan system barter merupakan generalisasi dari barang-barang yang telah disepakati umum untuk dipakai. Misalnya pisau pernah digunakan sebagai mata uang di Cina. Barang yang dijadikan (difungsikan) sebagai uang syaratnya harus mudah dipakai, dibawa, serta umum menjadi suatu kebutuhan
c. Uang Logam
Gagasan Al-Ghazali dengan teori evaluasi uangnya dapat memberikan gambaran jelas tentang terjadinya perpindahan (transformasi) dari system perekonomian (transaction) barter menuju perekonomian yang menggunakan system mata uang logam, yaitu dinar dan dirham.
2. Fungsi Uang (function of Money)
Menurut Al-Ghazali fungsi uang hanya sebagai :
1. Medium of Exchange (for transaction)
2. Unit of Account
Menurut Pemikiran konvensional fungsi uang sebagai berikut :
1. Medium of Exchange (satuan alat tukar)
2. Unit of Account (satuan pengukur)
3. Store of value (penyimpan nilai)
Medium of Exchange uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi. Uang dalam liquiditasnya dapat memudahkan sebagai alat untuk pembayaran dalam semua bentuk transaksi.
Unit of Account uang sebagai pengukur terhadap pertukaran dari barang lain, misalnya : untuk mengetahui apakah 5 buah baju sama dengan 1 kue ? Al-Ghazali juga mengatakan, " Uang itu seperti cermin, cermin tidak mempunyai warna tetapi dapat merefleksikan warna". Uang tidak memiliki harga tetapi uang dapat merefleksikan semua harga.
• Fungsi uang berdasarkan pemikiran konvensional :
Store of Value yang merupakan konsekuensi logis dari pengakuan teori konvensional terhadap adanya motif money demand for speculation, islam secara tegas menolak fungsi tersebut. Islam hanya memperbolehkan uang dipergunakan untuk transaksi dan untuk berjaga-jaga, namun menolak penggunaan uang untuk motif spekulasi. Al-Ghazali mengingatkan, "memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang. Jika banyak uang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang".
Sumber: (http://id.shvoong.com/books/1834907-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam/)
• Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim bin habib bin Khunais bin Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi Al-Bagdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di kufah pada tahun 113 h (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). dari nasib ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang sahabat Rasulullah Saw, Sa’ad Al- Anshari. Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad atho bin as-saib Al-kufi, sulaiman bin Mahram Al-a’masy, hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu, ia juga menuntut ilmu kepada Abu Hanifah. Beberapa karya tulisnya yang terpenting adalah al jawami’, ar-radd’ala syar al-auza’I, al-atsar, ikhtilaf abi hanifah wa ibn abi laila, Adab al-Qadhi, dan al-Kharaj.
Dibawah ini pemikiran ekonomi dari Abu Yusuf, yaitu:
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf Cenderung memaparkan berbagai pemikiran Ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, hadist Nabi, atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih. Landasan pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan ini membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keungan public. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang harus diadobsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban Negara terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang sperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.
1. Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip pernyataan Umar bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
Abu Yusuf menyatakan bahwa Negara bertanggungjawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek public, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh Negara.
Namun demikian, Abu Yusuf managaskan bahwa jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tetentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Persepsi Abu Yusuf tentang pengadaan barang-barang public muncul dalam teori konvensional tentang keuangan public. Tori konvensional mengilustrasikan bahwa barang-barang social yang bersifat umum harus disediakan secara umum oleh Negara dan dibiayai oleh kebijakan anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang public tersebut diinternalisasikan dan mengonsumsinya berlawanan dan mungkin menghalangi pihak yang lain dalam memanfaatkan proyek tersebut, maka biaya akan dibebankan secara langsung.
Siddiqi membahas hal-hal ini bersamaan dengan penekanan Abu Yusuf atas pekerjaan umum terutama sarana irigasi dan jalan-jalan raya. Ia juga mendesak penguasa untuk mengambil tindakan-tindakan lain guna menjamin kemajuan pertanian.
Siddiqi mencatat bahwa komentar singkat Abu Yusuf mengenai hubungan antara penyediaan barang dan harganya tidak membahasnya cukup mendalam, dan nasehatnya kepada penguasa yang menentang pengawasan harga, tidak diiringi dengan pembahasan menyeluruh mengenai permasalahan tersebut.
Dalam hal pertanian, lebih jauh Abu Yusuf cenderung menyetujui bila negara mengambil bagian dari hasil yang dilakukan oleh para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian yang digarap. Prinsip-prinsip yang jelas tentang pajak yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai ‘canons of taxation’. Banyak sudut dalam perpajakan yang menurut beliau akhirnya dijadikan sebagai prinsip yang harus dijalankan. Akan tetapi, Abu Yusuf menentang keras pajak pertanian. Ia menyarankan supaya petugas pajak diberi gaji. Tindakan mereka harus selalu diawasi untuk mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi dan praktek penindasan.
Farid mengemukakan, bahwa Abu Yusuf adalah seorang yang tulus dan baik hati dan sungguh-sungguh menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Inilah bentuk simpati Abu Yususf dan keinginan yang tulus yang beliau coba sampaikan kepada para penguasa. Pemenuhan pelayanan publik, dalam cakupan inilah beliau mendesak para penguasa yang merupakan bagian dari titik tekan pemikirannya yaitu tanggung jawab negara. Pemikiran-pemikiran yang diilhami oleh semangat keislaman ini sangat dihargai Maududi. Jelasnya, kontribusi besar dalam menetukan kewajiban-kewajiban penguasa, status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.
2. Teori Perpajakan
Dalam hal perpajakan Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
Subjek utama Abu Yusuf adalah perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari Negara. Sumbanganya terletak pada pembuktian keunggulan pajak berimbang terhadap system pungutan tetap atas tanah, keduanya ditinjau dari segi pandangan dan keadilan. Dalam pembahasannya ia juga menunjuk pada lain-lain peraturan perpajakan, kemampuan untuk membayar, suatu pertimbangan untuk memudahkan para wajib pajak dalam menentukan waktu pungutan dan caranya serta pemusatan pengambilan keputusan dari administrasi pajak.
3. Mekanisme Harga
Berbeda dengan pemahaman saat itu yang berangapan bila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, tidak ada batasan tetentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan,demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tetapi murah. (Abu Yusuf, kitab al-kharaj Beirut: Dar al-Ma’rifah,1979, hlm.48 ).
Dari pernyataan tersebut, Abu Yusuf tampknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak bergantung pada penawaran saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan. Karena itu peningkatan atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan produksi. Abu Yusuf menegaskan bahwa ada vareabel lain yang mempengaruhi, tetapi dia tidak menjelaskan secara rinci. Bisa jadi, vareabel itu adalah pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu negara, atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Patut dicatat bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth Of Nation.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai vareabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobsevasinya terhadap perubahan penawaran uang. Namun pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
Abu Yusuf tercatat sebagi ulama terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memerhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Fenomena yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung untuk turun atau lebih rendah. Dengan kata lain, pemahaman pada zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memerhatikan kurva Demand. Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf.
Poin controversial dalam anallisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah penngendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadist Rasulullah SAW. “Pada masa Rasulullah SAW; harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah SAW bersabda, tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak bias mencampuri urusan dan ketetapanNya”. Penting diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan harga dengan menambah supply bahan makanan dan mereka menghindari control harga. Kecenderungan yang ada pada dalam pemikiran ekonomi islam adalah membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan praktek korup lainnya, dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.
Sumber: (http://din07130062.wordpress.com/2009/05/11/pemikiran-ekonomi-islam-klasik-abu-yusuf/)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan:
1. Pada masa Rasulullah, sistem ekonomi yang diberlakukan adalah sistem ekonomi yang telah di syariatkan dalam Islam.
2. Sistem ekonomi di zaman rasulullah sangat kompleks dan sempurna meskipun pada masa setelahnya tetap dilakukan perbaikan.
3. Jenis-jenis kebijakn baik pendapatan dan pengeluaran keuangan di masa Rasulullah lebih terfokus pada masa perang dan kesejahteraan rakyat. Tidak seperti saat ini bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi lebih difokuskan pada pencarian keuntungan.
4. Al-Ghazali berkesimpulan bahwa menggunakan uang sebagaimana yang disyariatkan agama, yakni dengan cara bermuamalah yang baik adalah salah satu dari bentuk syukur nikmat. Sebaliknya, jika tidak maka ia berbuat dzalim, bahkan menjadi pengikar (kufur nikmat).
5. Pemikiran Abu Yusuf diatas memperlihatkan perhatiannya yang besar pada sistem perekonomian yang semakin berkembang. Dan mengedapankan nilai-nilai moral dan sosial yang merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang begitu mendalam.
B. Saran
1. Dari pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang salah satu sistem aturan yang ada dalam agama kita yaitu sistem ekonomi Islam yang terbukti mampu mengatasi permasalahan ekonomi yang kompleks ditengah-tengah masyarakat.
2. Para pembaca dan juga penulis mau melibatkan diri dalam pengkajian ekonomi Islam dan juga memiliki kepercayaan diri untuk menyerukan ekonomi Islam di tengah-tengah masayarakat.
3. Pemerintah dan seluruh aktivis pendidikan harusnya memfasilitasi siapapun untuk mengkaji ekonomi Islam lebih dalam. Terlebih lagi saat ini banyak kalangan yang sudah melirik pada ekonomi alternatif (Islam), sebagai pengganti sistem ekonomi Kapitalis yang sudah menampakkan kehancurannya.
EKONOMI SYARIAH
KEADILAN DISTRIBUSI DALAM EKONOMI ISLAM
NAMA KELOMPOK 13
SYAFRAN PARDAMEAN (108084000014)
ADAM RADITYA MARENDRA (106084002781)
Yoga Ikhwan Maulana
ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
1. Pendahuluan
Sebagai sebuah disiplin baru, ekonomi Islam hingga saat ini masih dalam suatu proses pencarian body of science-nya. Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka pencarian tersebut, salah satunya adalah dengan mengkaji ulang sejarah perekonomian dan umat Islam masa lalu, merekonstruksi pemikiran para tokoh (ekonomi) Islam dan kemudian memberikan interpretasi-interpretasi kritis terhadap sejarah dan pemikiran tersebut.
Proses interpretasi sejarah dan pemikiran ekonomi Islam di Indonesia mengalami pergumulan yang cukup dinamis, dimana muncul pro dan kontra terhadap terminologi ekonomi Islam itu sendiri, instrumen-instrumen teoritisnya maupun perdebatan yang bersifat metodologis. Perdebatan-perdebatan itu juga melahirkan berbagai macam corak pemikiran di bidang ekonomi Islam, dari yang bersifat liberal hingga radikal.
Disisi lain, Max Weber dalam karyanya, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (1904-5) menggambarkan hubungan erat antara (ajaran-ajaran) agama dan etika kerja, atau antara penerapan ajaran agama dengan pembangunan ekonomi. Demikian halnya dalam ekonomi Islam etika agama kuat sekali melandasi hukum-hukumnya. Namun yang membedakan Islam dengan kapitalisme dan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan etika, politik dengan etika, perang dengan etika dan aktivitas mu’amalah lainnya dengan etika. Islam adalah risalah yang diturunkan Allah swt melalui Rasulullah untuk membenahi etika manusia. Nabi saw bersabda yang artinya, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”.
Dalam sebuah tatanan sistem ekonomi kapitalisme, perilaku ekonomi kaum telah terasingkan dari karakter etik dan nilai-nilai yang dianggap benar. Etika (moral) yang dikembangkan dalam berbisnis hanya didasari oleh pertimbangan materi semata. Asas manfaat menjadi tolok ukur dalam perilaku ekonomi. Kejujuran, amanah, baik hati dan sebagainya hanya dilakukaan saat terdapat manfaat materi di dalamnya. Ekonom kapitalis yang jujur hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan meraup keuntungan materi. Mereka bersikap profesional juga karena manfaat materi. Mereka tidak melakukan penipuan karena takut kehilangan pelanggan yang merasa tertipu.
Kenyataannya etik (moral) memang bersifat universal. Pembeli akan merasa kecewa jika tertipu atau majikan akan merasa sakit hati jika pekerja malas bekerja dan sebagainya. Secara universal, siapapun tidak akan senang jika diperlakukan secara a-moral. Namun demikian, etika atau moral yang universal semacam ini adalah semu dan sementara. Moral akan dijunjung tinggi saat mendatangkan manfaat dan keuntungan materi. Sebaliknya, ketika dirasakan tidak perlu lagi, maka moral akan ditinggalkan. Moral akan berubah menjadi karakter menghalalkan segala cara (machiavelisme) dalam berperilaku ekonomi. Tidak ada lagi tempat, bahwa kebahagian individu harus mencakup aspek kebahagiaan diri sendiri sekaligus kesejahteraan orang lain, khususnya orang miskin dan anak terlantar, yang memiliki hak atas sebagian harta orang kaya.
Meskipun Max Weber menyangsikan eksistensi ekonomi Islam, dengan menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi kemajuan. Akan tetapi kesimpulan ini tidak terbukti benar dan kesimpulan Max Weber ini terbantahkan oleh Chapra, dengan menyatakan bahwa “Hanya karena faktor Islam-lah yang mampu menjawab permasalahan mengapa masyarakat Badui mampu membangun peradaban begitu cepat”.
Mungkin fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk Muslim menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita mungkin tidak serta merta melupakan kejayaan kaum Muslimin beberapa abad yang lalu, sejumlah sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977), Baeck (1994) dan Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang positif dalam pembangunan masyarakat Muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra mengeluarkan statemen menamfik apa yang disimpulkan oleh Weber tersebut. Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya golden ways untuk menuju masyarakat humanis yang maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi.
Dan kajian menyangkut masalah keadilan distributif dalam tiga dekade belakangan ini menunjukan peningkatan dan perkembangan yang luar biasa. Masalah keadilan distributif menjadi penting karena dalam kesehariannya masyarakat lebih banyak dihadapkan pada persoalan ketidakadilan. Di pihak lain keadilan distributif juga merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan di samping tolok ukur lainnya seperti kelestarian lingkungan, kualitas kehidupan, pemerataan dan produk domestik bruto.
Keadilan distribusi menempati posisi penting dari teori ekonomi mikro baik dalam sistem ekonomi Islam maupun Kapitalis, Sosialisme dan Marxisme karena pembahasan menyangkut keadilan distribusi ini tidak hanya berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan aliran pemikiran system ekonomi lainnya hingga saat ini.
Saat ini realita menunjukkan bahwa telah terjadi ketidakadilan dan ketimpangan dalam pendistribusian pendapatan dan kekayaan baik di negara maju maupun di negara-negara berkembang sehingga menciptakan kemiskinan dimana-mana. Menanggapi kenyataan tersebut Islam dalam system ekonominya dan diyakini memiliki klaim universal diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut dan sekaligus dapat menjadi sistem perekonomian dalam suatu negara. Dalam paper ini fokus pembahasan pada bagaimana keadilan distributif (distribusi pendapatan dan kekayaan) dalam ekonomi Islam (sebagai sebuah kritik terhadap sistem ekonomi kapitalis, sosialisme dan marxisme). Dengan mempergunakan pendekatan filsafat ekonomi Islam agar mendapat gambaran yang jelas tentang keunggulan sistem ekonomi Islam, dibandingkan dengan ketiga sistem yang menjadi sasaran kritik.
2. Pembahasan
1. Keadilan Distributif
Beberapa ahli memberikan definisi keadilan distribusi secara berbeda-beda sesuai dengan bidangnya. Filosof Aristoteles berpendapat bahwa keadilan distributif berkaitan dengan distribusi berdasarkan peran dan fungsi masing-masing dalam masyarakat. Deustch mendefinisikan keadilan distributif sebagai keadilan atas apa yang telah diterima sebagai hasil dari suatu keputusan atau ketetapan pembagian.
Sedangkan Adam Smith lebih menekankan pada kerangka teori pertukaran untuk mengevaluasi keadilan. Menurutnya, orang tidak melulu hanya melihat besarnya hasil yang diterima tetapi lebih menekankan pada apakah yang diterima tersebut sudah dirasakan adil. Cara untuk menentukannya adalah dengan membandingkan antara kontribusi atau input yang telah diberikan dengan hasil atau output yang diterimanya dan kemudian dibandingkan dengan kontribusi dan hasil yang diterima orang lain Pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Messicck dan Sentis (1983), bahwa suatu hasil dikatakan adil dan memuaskan ketika hasil tersebut sama dengan yang diterima oleh orang lain.
Pentingnya perbandingan dengan orang lain dan proporsi input atau output dalam keadilan distribusi tercermin pula dalam definisi yang disampaikan oleh Bartol yang menyatakan bahwa keadilan distribusi adalah penilaian keadilan pada proporsi antara hasil (outcomes) yang diterima oleh individu dengan input yang diberikan dibandingkan dengan proporsi input dan hasil yang diterima orang lain. Definisi tersebut mengindikasikan pada sistem proporsional (equity) yang memang sangat populer di negara–negara barat dan yang menjadi konsep awal dari keadilan distribusi.
Dari beberapa definisi tersebut di atas, yang menarik adalah apa yang diungkapkan dari pandangan Aristoteles yang menyatakan bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Walaupun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Dan inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut, Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat
Sedangkan John Rawls menyatakan bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Dengan demikian prinsip keadilan distributif merupakan prinsip normatif yang di desain untuk mengalokasikan sejumlah sumber daya yang relatif terbatas terhadap permintaan atau tuntutan. Prinsip ini bervariasi dalam berbagai hal diantaranya adalah tergantung barang apa yang akan didistribusikan seperti pendapatan, kesejahteraan atau kesempatan. Juga berdasar pada sifat dari subjek distribusi seperti individu atau kelompok serta yang terakhir berdasar pada tata cara pendistribusian, misalnya dengan apakah menggunakan prinsip persamaan (equality), proporsionalitas (equity), kebutuhan (need) atau berdasar karakter individunya. Deutcsh menambahkan bahwa keadilan dan ketidakadilan distributif dapat dilihat pada tingkatan, yaitu nilai-nilai, peraturan dan impelementasi peraturan.
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa keadilan distribusi adalah persepsi keadilan terhadap besarnya hasil pembagian, pemberian dan pertukaran sumber daya yang diterima oleh individu dari orang lain atau kelompoknya. Dan prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
Sedangkan Gagasan Islam tentang keadilan dimulai dari diskursus tentang keadilan ilahiyah, apakah rasio manusia dapat mengetahui baik dan buruk untuk menegakkan keadilan dimuka bumi tanpa bergantung pada wahyu atau sebaliknya manusia itu hanya dapat mengetahui baik dan buruk melalui wahyu (Allah). Pada optik inilah perbedaan-perbedaan teologis di kalangan cendekiawan Islam muncul. Perbedaan-perbedaan tersebut berakar pada dua konsepsi yang bertentangan mengenai tanggung jawab manusia untuk menegakkan keadilan ilahiah, dan perdebatan tentang hal itu melahirkan dua mazhab utama teologi dialektika Islam yaitu: mu` tazilah dan asy` ariyah.
Kedua pendirian teologis tersebut berdasarkan pada penafsiran ayat¬ayat al-Quran, yang mempunyai pandangan kompleks tentang peranan tanggung jawab manusia dalam mewujudkan kehendah ilahiah di muka bumi. Di satu pihak, al-Quran berisikan ayat-ayat yang mendukung penekanan Mu`tzilah pada tanggung jawab penuh manusia dalam menjawab panggilan bimbingan alamiah maupun wahyu. Di lain pihak, juga memiliki ayat-ayat yang dapat mendukung pandangan Asy` ariah tentang kemahakuasaan Allah yang tak memberi manusia peranan dalam menjawab bimbingan ilahiah. Betapapun, al-Quran mempertimbangkan keputusan dan kemahakuasaan ilahiah dalam masalah bimbingan.
Sesungguhnya, konsep bimbingan natural atau universal mempunyai implikasi-implikasi yang lebih luas daripada mempertunjukkan eksistensi kapasitas kemauan dalam jiwa manusia11, dan membuktikan tanggung jawab manusia dalam mengembangkan pengertian tajam persepsi moral dan spiritual serta motivasi, yang akan membawa kepada penegakan keadilan di muka bumi. Nampak bahwa al-Quran menganggap manusia seluruhnya sebagai satu bangsa berhubung dengan bimbingan unuversal sebelum bimbingan khusus melalui para Nabi diturunkan, dan dengan demikian menganggap mereka semua secara bersama-sama bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan.
Berdasarkan bimbingan universal, maka dapat dibicarakan tentang dasar-dasar natural-moral tingkah laku manusia di dalam al-Quran. Ayat-ayat tersebut menunjuk kepada watak moral yang universal dan obyektif yang membuat semua manusia diperlakukan secara sama dan sama-sama bertanggung jawab kepada Allah. Dengan kata lain, perintah-perintah moral tertentu jelaslah didasarkan pada watak umum manusia dan dianggap sebagai terlepas dari keyakinan-keyakinan spiritual tertentu, meskipun semua bimbingan praktis pada akhirnya berasal dari sumber yang sama, yaitu, dari Allah. Karena itu, penting untuk menekankan dalam konteks al-Quran, bahwa gagasan keadilan teistis menjadi relevan dengan mapannya tatanan sosial, karena secara logis membangkitkan keadilan obyektif universal yang mendarah daging dalam jiwa manusia. Dalam satu ayat yang sangat penting artinya, Al¬Quran mengakui watak obyektif dan universalitas keadilan yang disamakan dengan perbuatan-perbuatan baik (kebajikan-kebajikan moral), yang mengatasi masyarakat-masyrakat agama yang berlainan dan memperingatkan umat manusia untuk “tampil dengan perbuatan-perbuatan baik”
Jelaslah, disini kita mempunyai dasar yang jelas untuk membedakan antara keadilan obyektif dan teistis, dimana keadilan obyektif diperkuat lagi oleh tindakan-religius kepatuhan kepada Allah. Dalam bidang keadilan obyektif universal, manusia di perlakukan secara sama dan memikul tanggung jawab yang sama untuk menjawab bimbingan universal. Lagi pula, tanggung jawab moral asasiah semua manusia pada tingkat bimbingan universal inilah yang membuatnya masuk akal untuk mengatakan bahwa al-Quran menunjukkan sesuatu yang sama dengan pemikiran barat tentang hukum natural, yang merupakan sumber keadilan dalam masyarakat yang berdasarkan persetujuan yang tak di ucapkan atau oleh tindakan resmi.
2. Keadilan Sosial Ekonomi
Beberapa ahli (semisal Miceli, M.P., Jung, I., Near, J.P. & Greenberg, D.B) mengemukakan bahwa keadilan harus diformulasikan pada tiga tingkatan, yaitu outcome, prosedur, dan sistem. Penilaian keadilan tidak hanya tergantung pada besar kecilnya sesuatu yang didapat (outcome), tetapi juga pada cara menentukannya dan sistem atau kebijakan di balik itu. Keadilan yang berkaitan dengan outcome inilah yang sering disebut sebagai keadilan distributif, namun sesungguhnya kedua hal tersebut tidak sama. Kajian psikologi tentang keadilan pemberian upah hampir selalu memasukkannya dalam lingkup keadilan distributif. Bila dicermati, pemberian upah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu distribusi dan pertukaran. Karenanya, para ahli ekonomi menilainya sebagai keadilan pertukaran (komutatif). Bahkan, ekonom terkenal Adam Smith menyatakan bahwa hakikat keadilan adalah keadilan komutatif.
Antara keadilan distributif dan keadilan komutatif terdapat perbedaan dan persamaan. Di dalam proses distribusi akan tampak ada dua pihak, yaitu pembagi dan penerima. Di sini posisi pembagi kelihatan lebih tinggi dibandingkan dengan penerima. Sementara itu dalam proses pertukaran kedua pihak seharusnya berada pada posisi yang sama. Ditinjau dari sudut pertukaran, pekerja menukarkan tenaganya dengan uang. Analogi pertukaran jasa dengan uang ini mirip dengan proses jual beli barang. Pihak pertama memiliki barang atau jasa dan pihak lain memiliki uang. Persamaan prinsip keadilan distributif dengan keadilan komutatif akan menjadi sangat jelas bila kaidah distribusi yang digunakan adalah ekuitas pada hubungan dua pihak (diadic), terutama bila masukan (input) keduanya setara. Permasalahannya, bila masukan kedua pihak berbeda sangat jauh, kesetaraan antara kedua pihak itu juga akan sulit tercapai. Meskipun demikian perbedaan yang besar itu masih dapat dilihat persamaan prinsipnya bila pada keadilan komutatif menekankan aturan no harm dan no intervention. Artinya, pertukaran akan mirip distribusi karena pihak yang kuat (input besar) tidak berusaha mempengaruhi, merusak, maupun mencaplok pihak yang lemah.
Pada dasarnya, ada tiga hal yang dapat mempengaruhi sistem ekonomi: (1) Peraturan pelaksanaan dan permintaan sosial, yang berfungsi untuk menyediakan alat dimana individu dapat meneyelesaikan masalah yang dimunculkan dari keengganan atas fakta-fakta tertentu yang harus ada untuk menentukan keadilan umum dalam permintaan sosial. (2) Mekanisme penguatan. Karakteristik penguatan adalah setiap individu diharapkan bertanggung jawab untuk tahu teori-teori bagi diri mereka sendiri dan juga memastikan bahwa orang lain juga mengetahuinya. Dan mekanisme pengutana menjelma dalam seluruh aspek sosial. (3) Kontrak dan Ideologi, ini tidak hanya individual sebagai anggota masyarakat, melakukan pilihan atas diri mereka sendiri, tetapi mereka juga berinteraksi dengan anggota lain dari masyarakat melalui transaksi yang difasilitasi oleh kontrak eksplisit dan implisit.
Dengan ini, persoalan sosio-ekonomi tentunya tidak terlepas dari refleksi etika atau moral, karena individu akan terkait dengan individu yang lain. Menurut Keraf, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika…. dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.
Menurut Keraf, prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributif menyangkut pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan.
Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika ekonomi sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan distributif. Menurut Bertens, berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik, pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya “keadilan membagi”.
Salah satu konsep penting dan fundamental yang menjadi pokok bahasan dalam filasafat ekonomi Islam adalah konsep maqasid at-tasyri' atau maqasid al-syariah yang menegaskan bahwa kesejahteraan dalam ekonomi Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah." Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial dalam istilah filsafat hukum.
Adapun inti dari konsep maqasid al-syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena penetapan kesejahteraan dalam pembangunan ekonomi dalam Islam harus bermuara kepada maslahat. Untuk memahami hakikat dan peranan maqasid al-syari'ah.
Konsep maslahah dalam bingkai terwujudnya tujuan maqashid al-syariah merupakan suatu konsep yang sangat penting dalam menilai kinerja pembangunan. Dalam konteks kontemporer konsep ini menjadi sangat penting manakala pengukuran kinerja pembangunan manusia hanya dilihat pada aspek material belaka.
Sebagai sumber utama agama Islam, al-Qur’an dan Sunnah mengandung berbagi ajaran. Namun demikian al-Qur’an tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muamalah. Ia hanya mengandung dasar-dasar dan prinsip-prinsip bagi berbagai masalah hukum dalam Islam. Dari titik inilah, Rasulullas saw menjelasakan dari berbagai hadistnya, bahwa kedua sumber inilah (al-Qur’an dan Hadis) yang dijadikan pijakan utama dalam pengembangan hukum Islam, terutama dalam hal muamalah dalam kerangka inilah para ulama mengemukakan konsep maqashid al-Syar’iyah.
Dengan demikian, prinsip-prinsip dan kewajiban-kewajiban dalam syariah menyangkut perlindungan maqashid al-Syar’iyah yang pada gilirannya bertujuan melindungi kemaslahatan manusia. Kemaslahatan, dalam hal ini diartiakan sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektual dalam pengertian yang mutlak.
Imam al Haramain al Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al syari'ah dalam menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perin¬tah perintah dan larangan larangan Nya.
Kemudian al Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al syari'ah itu dalam hubungannya dengan illat, asl dapat dibedakan menjadi lima bagian, yaitu: asl yang masuk kategori daruriyat (primer), al hajat al ammah (sekunder), makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok daruriyat dan hajiyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya. Dengan demikian pada prinsipnya al Juwaini membagi asl atau tujuan tasyri' itu menjadi tiga macam, yaitu daruriyat, hajiyat dan makramat (tahsiniyah).
Pemikiran al Juwaini tersebut dikembangkan oleh muridn¬ya, al Gazali. Al Gazali menjelaskan maksud syari'at dalam kaitannya dengan pembahasan al munasabat al maslahiyat dalam qiyas yang dalam pembahasannya yang lain, ia menerangkan dalam tema istislah. Maslahat menurut al Gazali adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kelima macam maslahat di atas bagi al Gazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder dan tersier. Dari keterangan ini jelaslah bahwa teori maqasid al syari'ah sudah mulai tampak bentuknya.
Selanjutnya, barulah pembahasan tentang maqasid al syari'ah secara lebih khusus, sistematis dan jelas dilakukan oleh al Syatibi dari kalangan Malikiyah. Dalam kitabnya al Muwafaqat yang sangat terkenal itu, ia menghabiskan lebih kurang sepertiga pembahasannya mengenai maqasid al syari'ah. Sudah tentu, pembahasan ten¬tang maslahat pun menjadi bagian yang sangat penting dalam tulisannya. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum hukum Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, taklif dalam bidang hukum harus mengarah pada dan merealisasikan terwujudnya tujuan hukum tersebut. Seperti halnya ulama sebelumnya, ia juga membagi urutan dan skala prioritas maslahat menjadi tiga urutan peringkat, yaitu daruriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Yang dimaksud maslahat menurutnya seperti halnya konsep al Gazali, yaitu memelihara lima hal pokok, yaitu: agama, jiwa, akal, ketur¬unan dan harta.
3. Telaah Perbandingan
Terdapat tiga sistem ekonomi yang saat ini berkembang yakni Kapitalis, Sosialis dan Mix Economic. Sistem ekonomi tersebut merupakan sistem ekonomi yang berkembang berdasarkan pemikiran barat. Selain itu, tidak ada diantara sistem ekonomi yang ada secara penuh berhasil diterapkan dalam perekonomian di banyak negara. Sistem ekonomi sosialis atau komando hancur dengan bubarnya Uni Soviet. Dengan hancurnya komunisme dan sistem ekonomi sosialis pada awal tahun 90-an membuat sistem kapitalisme disanjung sebagai satu-satunya sistem ekonomi yang sahih. Tetapi ternyata, sistem ekonomi kapitalis membawa akibat negatif dan lebih buruk, karena banyak negara miskin bertambah miskin dan negara kaya yang jumlahnya relatif sedikit semakin kaya.
Di antara perbedaan yang mendasar menyangkut paradigma, dasar dan filosofi ke tiga sistem ekonomi tersebut. Dalam ekonomi sosialis, paradigma yang digunakan adalah Marxis yang tidak mengakui pemilikan secara individual. Semua kegiatan, baik produksi maupun yang lainnya ditentukan oleh negara dan didistribusikan secara merata menurut kepentingan negara. Dasar yang digunakan dalam ekonomi sosialis yaitu bahwa, pemilikan faktor produksi pribadi tidak diakui. Sedangkan filosofinya semua anggota masyarakat merupakan satu kesatuan yang mempunyai kesamaan hak, kesamaan tanggungjawab dan kesamaan lainnya, maka semua orang harus sama tidak boleh ada perbedaan.
Sosialisme berpandangan bahwa manusia, alam semesta dan kehidupan kesemuanya berasal dari materi. Tidak ada satu Dzat pun yang menciptakan-Nya. Demikian pula pandangannya terhadap kehidupan manusia di dunia. Manusia dibaratkan seperti jeruji yang berputar mengikuti roda. Artinya kehidupan manusia berkembang sejalan dengan perkembangan materi. Selanjutnya akan melahirkan nilai-nilai dan aturan semisal aturan saat era pertanian akan berganti ketika manusia memasuki era industrialisasi dan terus berganti dari waktu ke waktu. Pada akhirnya, setelah manusia mati akan kembali menjadi materi.
Dengan demikian falsafah sosialisme berdiri di atas bangunan meteri (benda) dan dialektika materialisme tentulah tidak masuk akal dan bertentangan dengan fakta. Materi tidaklah azali (tidak berawal dan tidak berakhir) dan tidak mungkin pula berevolusi untuk menghasilkan aturan yang tertentu. Sosialisme juga termasuk ideologi yang mengekang fitrah manusia. Naluri beragama tidak diakui bahkan agama dianggap sebagai candu. Padahal, tidak ada seorang manusia pun yang mampu membunuh naluri beragama.
Sedangkan sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem ekonomi memiliki paradigma bahwa kegiatan ekonomi ditentukan oleh mekanisme pasar. Dasar pemikiran yang digunakan bahwa semua orang merupakan makhluk ekonomi yang berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan tidak terbatas dan terus menerus dilakukan sesuai kemampuannya. Maka lahirlah filosofi individualisme, sehingga beranggapan bahwa semua orang berhak untuk memenuhi kebutuhannya sebanyakbanyaknya dan berhak atas kekayaan yang dimilikinya secara penuh. Faktor-faktor produksi dapat dikuasai secara individu dan digunakan oleh yang bersangkutan sesuai dengan keinginannya tanpa dibatasi sepanjang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dasar filosofis pemikiran ekonomi Kapitalis bersumber dari tulisan Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Pada dasarnya isi buku tersebut sarat dengan pemikiran-pemikiran tingkah laku ekonomi masyarakat. Dari dasar filosofi tersebut kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life).
Landasan atau sistem nilai (value based) yang membentuk kapitalisme adalah sekulerisme dan materialisme, yang mana sekulerisme berusaha untuk memisakan ilmu pengetahuan dari agama dan bahkan mengabaikan dimensi normatif atau moral yang berdampak kepada hilangnya kesakralan koektif (yang diperankan oleh agama) yang dapat digunakan untuk menjamin penerimaan keputusan ekonomi social. Sedangkan paham materialisme cendrung mendorong orang untuk memiliki pemahaman yang parsial tentang kehidupan dengan menganggap materi adalah segalahnya baginya.
Kapitalisme juga berpandangan bahwa kehidupannya manusia di dunia adalah untuk mengejar kebahagiaan duniawi, yakni mencari kepuasan jasmani yang sebesar-besarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa di tengah-tengah mereka berkembang paham hedonisme, pragmatisme, dan utilitarianisme. Dan semua sarana pemuasan tersebut dianggap tidak perlu diperoleh berdasarkan aturan agama. Cukup diperoleh dengan aturan yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Bahkan untuk kehidupan umum mereka bersikeras harus steril dari pengaruh aturan agama. Setelah kehidupannya, manusia akan dibangkitkan lagi pada hari kiamat, hanya saja kapitalisme tidak mengakui adanya perhitungan amal.
Kapitalisme tidak akan memuaskan akal karena bersifat kompromistis dengan mencampurkan nilai yang haq (agama) dan batil. Adalah tidak mungkin Tuhan sebagai Dzat yang mencipta dan mengatur manusia tidak diberikan kekuasaan untuk itu. Kapitalisme juga tidak sesuai dengan fitrah manusia. Tabiat manusia yang lemah dan terbatas seakan dipaksakan untuk membuat aturan sendiri. Oleh karenanya tidaklah mungkin manusia mampu menciptakan aturan yang benar, dan ini tampak dari sifat aturan kapitalisme yang tambal sulam.
Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan azas manfaat (naf’iyyah) ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa).
Berkaitan dengan masalah distribusi, system kapitalisme menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dan kekurangan dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah masalah kemiskinan pada mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah dengan meningkatkan produksi.
Dengan demikian ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat yang memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara membertikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya dan memberikan kekayaannya kepada para ahli waris secara mutlak apabila mereka meninggal dunia. Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem kapitalis ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat), oleh karena itu hal yang wajar kalau kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kakayaan.
4. Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam
Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis dan sosialis, sistem ekonomi syariah memiliki paradigma syariah, yang berarti tidak lagi berorientasi kepada Marxis dan pasar, melainkan berorientasi syariah (hukum) yang bersumber dari al-Quran dan Hadis. Kemudian dilihat dari dasar dan filosofinya, tidak lagi sekedar memperbincangkan antara kebersamaan dan individu, melainkan bersifat menyeluruh, bahkan berorientasi kepentingan dunia dan akhirat, karena filosofi Tauhid akan menaungi seluruh aktivitas hidup, bukan hanya sebatas ektivitas ekonomi melainkan akan terintegrasi kepada semua aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, hukum, ilmu pengetahuan, teknologi, bahkan tataran spiritual sekalipun.
Disamping itu ilmu ekonomi syariah juga merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Muhammad bin Abdullah al-Arabi mendefinisikan ekonomi syariah sebagai kumpulan prinsip-prinsip umum tentang ekonomi yang kita ambil dari al-Qur’an, sunnah dan pondasi ekonomi yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan dan waktu. Jadi sangat jelas bahwa ekonomi syariah terkait dan mempunya hubungan yang erat dengan agama yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis.
Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Yahya bin Umar, Ibnu Khaldun dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya.
Islam memandang pemahaman bahwa materi adalah segalahnya bagi kehidupan sebagaimana menurut kaum kapitalisme dan sosialisme yakni merupakan pemahaman yang salah, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam realitanya tampak sekali bahwa paham materialisme membawa kehidupan manusia kepada kekayaan, kesenangan dan kenikmatan fisik belaka dengan mengabaikan dimensi non materi.
Dalam ekonomi yang berbasis Islam kedua dimensi tersebut (material dan non material) tercakup didalamnya sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang dimilikinya, yaitu ketuhidan, keseimbangan, kebebasan kehendak dan betanggung jawab. Ketauhidan berfungsi untuk membedakan sang khaliq dan makhluknya yang diikuti dengan penyerahan tanpa syarat oleh setiap makhluk terhadap kehendak-Nya serta memberikan suatu perspektif yang pasti yang menjamin proses pencarian kebenaran oleh manusia yang pasti tercapai sepanjang menggunakan petunjuk Allah. Keseimbangan merupakan dimensi horisontal dari Islam yang dalam perspektif yang lebih praktis meliputi keseimbangan jasmani-ruhani, material-non material, individu dan sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan kebebasan kehendak disini adalah kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan oleh Allah. Dan tanggung jawab merupakan konsekuensi logis dari adanya kebebasan yang tidak hanya mencakup seluruh perbuatan di dunia dan akhirat saja tetapi juga terhadap lingkungan di sekitarnya.
Etika dalam perilaku ekonomi sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakan ekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Itulah sebabnya banyak ajaran dan paham dalam ekonomi Barat menunjuk pada kitab Injil (Bible), dan etika ekonomi Yahudi banyak menunjuk pada Taurat. Demikian pula etika ekonomi Islam termuat dalam lebih dari seperlima ayat-ayat yang dimuat dalam al-Quran. Namun jika etika agama Kristen-Protestan telah melahirkan semangat (spirit) kapitalisme, maka etika agama Islam tidak mengarah pada Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh).
Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. "Kecelakaanlah bagi setiap . yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitung" (104-2). Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, "jangan sampai kekayaan hanya beredar dikalangan orang-orang kaya saja diantara kamu" (59:7). Disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme.
Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak
demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter.
Manusia sebagai wakil (kalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaannya di bumi. Dari sini, selanjutnya Naqvi merumuskan lima sasaran kebijakan yang ia tarik dari postulat-postulat etika dasar Islam yakni menyangkut kebebasan indiviudu, keadilan distributive, pertumbuhan ekonomi, pendidikan universal (untuk umum) dan peluang kerja maksimum disinilah Naqvi membuktikan bahwa system ekonomi Islam dapat mengantarkan pada pencapaian pertumbuhan dan keadilan distributive secara simultan sekaligus menjamin kebebasan individu tanpa mengorbankan kebijakan sosial.
Terkait dengan teori distribusi, dalam ekonomi kapitalis dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan factor produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya bagi sebagian saja. Teori yang diterapkan oleh system kapitalis ini adalah salah dan dalam pandangan ekonomi Islam adalah dzalim sebab apabila teori tersebut diterapkan maka berimplikasi pada penumpukan kekayaan pada sebagian pihak dan ketidakmampuan di pihak yang lain.
Sistem ekonomi yang berbasis Islam menghandaki bahwa dalam hal pendistribusian harus berdasarkan dua sendi, yaitu sendi kebebasan dan keadilan kepemilikan Kebebasan disini adalah kebebasan dalam bertindak yang di bingkai oleh nilai-nilai agama dan keadilan tidak seperti pemahaman kaum kapitalis yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Keberadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur’an agar supaya harta kekayaan tidak diperbolehkan menjadi barang dagangan yang hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, akan tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan.
Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil Fakta empirik menunjukkan, bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan. Mustafa E Nasution pun menjelaskan bahwa berbagai krisis yang melanda perekonomian dunia yang menyangkut sistem ekonomi kapitalis dewasa ini telah memperburuk tingkat kemiskinan serta pola pembagian pendapatan di dalam perekonomian negara-negara yang ada, lebih-lebih lagi keadaan perekonomian di negara-negara Islam.
Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi, karena hanya dengan mengurangi konsumsi hari ini ia dapat menyediakan hasil yang kian bertambah bagi hari esok, dan kita tidak bisa berbuat demikian kecuali bila pendapatan kita sekarang ini bersisa sedikit di atas keperluan hidup sehari-hari.
Sistem ekonomi Islam sangat melindungi kepentingan setiap warganya baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang dikutuk. al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dengan jalan zakat, sadaqah, hibah, wasiat dan sebagainya, sebab kekayaan harus tersebar dengan baik.
3. Penutup
Perbincangan mengenai ekonomi Islam adalah erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang telah dibangun sebelumnya. Adanya ungkapan bahwa sistem ekonomi Islam adalah hasil adopsi dari rancang bangun sistem ekonomi sebelumnya. Sistem ekonomi konvensional selanjutnya disebut dengan sistem ekonomi sosialis dan kapitalis mungkin mempunyai andil besar dalam membagun sistem perekonomian di dunia, tetapi dengan tidak mengenyampingkan peran ekonomi Islam.
Dalam sistem ekonomi Islam, etika sebagai ajaran baik-buruk, benar-salah, atau ajaran tentang moral khususnya dalam perilaku dan tindakan-tindakanekonomi, bersumber terutama dari ajaran agama. Jika Kapitalisme menonjolkan sifat individualisme dari manusia, dan Sosialisme pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus yaitu: Kesatuan (Unity atau Tauhid), Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium atau Al-‘Adl wal Ihsan), Kebebasan (Free will atau Ikhtiyar), Tanggungjawab (Responsibility atau Fardh).
Konsep etika religious ini menunjukkan suatu keadaan keseimbangan dan kesejajaran sosial yang tinggi. Ini adalah sebuah alasan mengapa prinsip-prinsip etik merupakan nilai fundamental, yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam -yakni diinginkannya pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu penyesuaian-penyesuaian dalam spektrum hubungan-hubungan distribusi, produksi, konsumsi dan sebagainya. Inilah mungkin yang perlu dicatat bahwa sistem ekonomi Islam akan lebih disukai orang-orang Islam dari pada sosialisme dan kapitalisme, tidak berarti dalam dunia nyata, preferensi demikian itu akan benar-benar terlaksana, untuk bisa terjadi, sistem ekonomi Islam yang real, manakala itu diterapkan, akan berhadapan dengan tantangan dari sistem-sistem ekonomi yang ada (kapitalisme dan sosialisme).
Untuk memastikan bahwa orang-orang Islam benar-benar melaksanakan preferensi tersebut, sistem ekonomi Islam harus bertindak lebih baik daripada sistem-sistem lain dalam menjamin pertumbuhan ekonomi dengan keadilan distributif, dengan mengakui secara eksplisit kebutuhan kalangan yang kurang beruntung dalam masyarakat. Ini tidak akan terjadi hanya dengan menunjukkan sifat ilahiyah sistem ekonomi Islam tetapi dengan keberhasilannya mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah di dunia modern. Tetapi untuk melakukan ini, tujuan-tujuan dan target-target ekonomi Islam perlu dijabarkan dengan jelas, dan instrumen-instrumen kebijakan yang dirancang untuk mencapainya harus dipilih secara hati-hati, dengan membuka ruang yang luas bagi munculnya inovasi dan fleksibilitas dalam memilih baik tujuan maupun sarana.
Sistem yang berkeadilan dalam pendistribusian dalam sistem ekonomi kapitalis mendorong ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menimbulkan konflik dan menciptakan kemiskinan yang permanen bagi warga masyarakat. Dengan kebobrokan tersebut maka sudah seharusnya untuk ditinggalkan dan diganti dengan system ekonomi Islam yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan.
TUGAS EKONOMI SYARIAH
PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
Kelompok 14 :
Fitri Anasta
(108084000026)
Ilmu Studi dan Pembangunan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Kata Pengantar
Puji serta syukur hanya untuk Allah SWT, karena Dia-lah Tuhan yang telah menurunkan agama, dan menciptakan alam raya yang kaya raya serta akal pikiran, panca indera dan hati nurani bagi manusia. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, berserta keluarga dan sahabatnya, hingga akhir zaman.
Allah SWT, melalui ayat yang dilansir didalam kitab suci Al-Qurantelah memberikan banyak aturan tentang bagaimana sesungguhnya hidup yang sesuai dengan aturan islam. Mulai dari persoalan bersuci, beribadah kepada sang Khalik (hablum minallah), hubungan dengan sesama manusia (hablum minannas), sampai pada persoalan ekonomi dan sosial lainnya.
Didalam makalah ini terdapat banyak pembahasan menarik tentang berbagai macam-macam materi pembahasan diantara lain pembahasan yang menarik perhatian saya adalah tentang
Perkembangan Ekonomi Syariah.
Saya sangat berharap, insyallah makalah ini akan dapat sangat bermanfaat tentunya buat kelompok kami sendiri maupun bagi pihak yang membacanya. Akhirnya kepada Allah kita menggnatungkan secercah harapan, mudah-mudahan materi ini dapat melengkapi atau menyempurnakan lagi ilmu pengetahuan kita dan insyallah dapat menjadi amal ibadah bagi kita semua.
Jakarta, Oktober 2010
PENDAHULUAN
Lingkup ”ekonomi syari’ah” sangat luas. Pada perbincangan tentang ekonomi syari’ah akan terdapat di dalamnya permasalahan tanggung jawab sosial terhadap peningkatan ekonomi umat melalui berfungsinya lembaga zakat, wakaf dan kegiatan-kegiatan ekonomi syari’ah lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan ekonomi umat. Sementara itu ”bisnis syari’ah” lebih ditujukan kepada kegiatan yang berkaitan dengan perniagaan atau kegiatan niaga yang berkembang di masyarakat dengan menggunakan prinsip syari’ah.
Praktik bisnis syari’ah di Indonesia mulai berkembang dengan perkembangan keinginan dan harapan umat Islam yang menjadi sebahagian besar penduduk Indonesia. Keinginan tersebut berkembang seiring dengan berkembangnya upaya pemahaman terhadap kegiatan-kegiatan ekonomi yang berdasarkan syari’ah Islam pada awal tahun 1990-an.
Perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia dimulai dengan pembentukan perbankan syari’ah. Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ekonomi syari’ah tidak hanya terbatas kepada praktik pendirian dan operasional perbankan saja, tetapi lebih meluas kepada kegiatan niaga lainnya, seperti pembiayaan dan lembaga keuangan non bank lainnya. Bidang-bidang usaha yang dikembangkan tersebut antara lain adalah Asuransi Syari’ah, Reksa Dana Syari’ah dan Obligasi Syari’ah, dan lain-lain.
Ide tentang konsep ekonomi Islam di dunia Internasional mulai muncul tahun 70-an.Upaya ini adalah sebagai implementasi sidang-sidang Menteri Luar Negeri Negara-
Negara Organisasi Kompferensi Islam di Karachi-Pakistan Desember tahun 1970. Kegiatan bisnis syari’ah yang pertama dikembangkan di Indonesia adalah dalam bentuk lembaga keuangan perbankan. Lembaga keuangan pertama yang didirikan adalah Bank Mua’malat. Sampai tahun 2005 telah beroperasi setidaknya 68 buah lembaga keuangan syari’ah di Indonesia. Lembaga keuangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 18 buah berupa lembaga keuangan Bank, yang terdiri dari 3 dalam bentuk Perbankan syari’ah dan 15 dalam bentuk unit usaha syariah pada Bank Umum; 20 buah dari lembaga keuangan non bank berupa Asuransi Syariah; 12 dalam bentuk Reksa Dana Syariah dan 18 buah dalam bentuk Obligasi Syari’ah.
Dalam operasionalnya, semua lembaga keuangan syari’ah ini diatur dalam ketentuanketentuan umum dan belum ada yang diatur dalam ketentuan-ketentuan khusus. Ketentuan-ketentuan umum yang mengatur adalah UU No. 7 tahun 1992 yang telah dirubah dengan UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Acuan dan ketentuan khusus untuk operasional lembaga keuangan ini lebih banyak diatur dalam bentuk Surat Edaran Bank Indonesia. Dari segi teori ilmu hukum, ketentuan tersebut mempunyai kelemahan dalam hal kekuatan mengikat suatu aturan yang akan menimbulkan hak dan kewajiban kepada masyarakat Indonesia.
Berkembangnya kegiatan bisnis syari’ah dalam usaha ekonomi syari’ah tidak terlepas dari timbulnya pertikaian-pertikaian, ingkar janji (wan prestasi) dan bentuk sengketa lainnya. Melalui tulisan ini, penulis ingin mengungkapkan beberapa permasalahan berkaitan dengan prospek penyelesaian dan tantangan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah. Untuk itu telusuran ini dimulai dari mengungkapkan perkembangan dan pengaturan ekonomi syari’ah di Indonesia.
Perkembangan ekonomi syari’ah dalam praktiknya selalu didahului oleh adanya perjanjian-perjanjian yang akan mengikat pihak-pihak yang akan melakukan kegiatankegiatan ekonomi. Perjanjian-perjanjian yang dibuat tidak selamanya dapat dipenuhi
kerana banyak factor yang dapat mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut tentulah tiada
dengan niat untuk disengaja, namun dari segi perundangan semua itu mestilah ada pertanggungjawapannya. Pertangung jawapan tersebut ada yang dengan serta merta boleh diselesaikan, tetapi diantaranya mestilah melalui adanya campur tangan pihak ketiga. Dari sisi perundangan di Indonesia, penyelesaian perselisihan boleh di peradilan (mahkamah) dan melalui institusi timbang tara (arbitration). Kedua-dua institusi tersebut dipergunakan.
PERKEMBANGAN EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA
Perkembangan bisnis syari’ah di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan bisnis syari’ah pada masyarakat negara-negara Islam di dunia. Perkembangan ini dilatar belakangi oleh dua kelompok pemikir yang berbeda titik tolak. Ada kelompok yang ingin mengembangkan teori bisnis Islam (kelompok teoretis) dan ada kelompok yang ingin mengembangkan praktik bisnis Islam (kelompok fragmatis). Terlepas dari adanya dua kelompok pendapat ini, perkembangan bisnis syari’ah telah diawali dari hasil Sidang Menteri Luar Negeri Negara-Negara Organisasi Islam di Karachi Pakistan pada Desember tahun 1970 dengan dilontarkannya sebuah proposal untuk mendirikan bank syari’ah oleh Mesir. Proposal ini adalah hasil kajian para ahli dari 18 negara dan diberi nama ”Studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) (Syafi’i Antonio 1999:58).
Proposal tersebut berisikan:
1. Mengatur transaksi komersial antar negara Islam,
2. Mengatur institusi pembangunan dan investasi,
3. Merumuskan masalah transfer, kliring, serta settlement antar bank sentral di negara Islam sebagai langkah awal menuju terbentuknya sistem ekonomi Islam yang terpadu.
4. Membantu mendirikan institusi sejenis bank sentral syari’ah di negara Islam,
5. Mendukung upaya-upaya bank sentral di negara Islam dalam hal pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kerangka kerja Islam,
6. Mengatur administrasi mendayagunakan dana zakat,
7. Mengatur kelebihan likuiditas bank-bank sentral Islam.
8. Pembentukan badan-badan khusus berupa Badan Investasi dan Pembangunan
Negara-negara Islam (Investmen and Development Body of Islamc Countries).
Badan-badan ini diharapkan berfungsi untuk:
1) Mengatur investasi modal Islam
2) Menyeimbangkan antara investasi dan pembangunan di negara Islam
3) Memilih lahan/sektor yang cocok untuk investasi dan mengatur penelitiannya.
4) Memberikan saran dan bantuan teknis bagi proyek-proyek yang dirancang
untuk investasi regional di negara-negara Islam.
Proposal tersebut terealisasi pada tahun 1975 dalam sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah yaitu disetujui rancangan pendirian Bank Pembangunan Islami (Islamic Development Bank disingkat dengan IDB). Berdirinya IDB diikuti oleh didirikannya Dubai Islamic Bank oleh Uni Emirat Arab pada tahun 1975. Di akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an mulai disusul dengan dibentuk dan beroperasi bank-bank syari’ah seperti: di Mesir pada Maret tahun 1978 dengan nama Faisal Islamic Bank; di Pakistan pada awal Juli tahun 1979; di Siprus dengan didirikannya Faisal Islamic Bank of Kibris (Siprus) yang mulai beroperasi pada tahun 1983; di Malaysia dengan didirikannya Bank Islam Malaysia Berhad pada tahun 1983; di Indonesia dengan didirikannya Bank Mu’amalat Indonesia pada tanggal 1 November tahun 1991.
Dengan berdirinya bank-bank Islam di beberapa negara di dunia, menunjukkan bahwa upaya dari kelompok fragmatis lebih memperlihatkan kesan keberadaannya.
Pertimbangan yang dijadikan dasar untuk memperlihatkan eksistensi kelompok ini ialah:
1.Usaha ekonomi syari’ah yang dikembangkan terlebih dahulu adalah dalam bidang keuangan (moneter) khususnya dalam bidang perbankan. Latar belakang didirikan perbankan syari’ah (Warkum Sumitro, 2004:13-16) adalah:
2.Praktik dengan sistem bunga disinyalir menimbulkan akibat negatif berupa; masyarakat nasabah menghadapi suatu keadaan ketidak pastian atas hasil usahanya sementara bunga atas penggunaan uang kreditur tetap harus dibayar; dan praktik dengan sistem bunga menimbulkan kecenderungan terjadinya ekspolitasi oleh orang kaya terhadap orang miskin.
3.Sistem perbankan yang telah ada cenderung menyebabkan terjadinya konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan kelompok elit, para bankir dan pemilik modal.
4.Sistem perbankan dengan sistem bunga disinyalir menjadi salah satu penyebab semakin tingginya laju inflasi karena adanya kecenderungan bank-bank memberikan kredit secara berlebihan.
5.Sistem perbankan yang telah ada disinyalir kurang berhasil dalam membantu memerangi kemiskinan.
6.Dengan beroperasinya perbankan dengan prinsip syari’ah diharapkan berpengaruh besar terhadap terwujudnya suatu sistem ekonomi Islam.
Sama halnya dengan di negara-negara pendukung konsep ekonomi Islam lainnya, bisnis syari’ah dalam bidang moneter yang pertama kali berkembang di Indonesia ialah perbankan syari’ah. Fungsi utama yang diharapkan dari perbankan syari’ah adalah:
1. Menyelenggarakan mekanisme lalu lintas pembayaran yang efisien, sehingga lalu lintas pembayaran dapat dilakukan dengan biaya hambatan seminimal mungkin.
2. Menjadi penghubung antara penabung dengan penanam modal untuk keperluan mendorong tabungan dan mengalokasikan tabungan-tabungan untuk berbagai alternatif keperluan investasi.
3. Menjaga kestabilan tingkat harga dengan cara menciptakan uang dan jumlahnya sesuai dengan keperluan riil perekonomian.
Di dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disingkat dengan UU No. 7 tahun 1992), ditegaskan bahwa praktik dan pendirian serta beroperasinya Bank Mua’malat Indonesia pada tahun 1991 sebagai Bank Syari’ah dikategorikan sebagai Bank Umum. Bank umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Menurut Pasal 6 huruf m UU No. 7 tahun 1992, untuk melaksanakan kegiatan tertentu tersebut maka sebagai Bank Umum usaha yang dapat dilakukan adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Dengan demikian, sebagai Bank Umum, Bank Mu’amalat Indonesia menjalankan kegiatannya sebagai ”bank dengan sistem bagi hasil”.
Seiring dengan era reformasi hukum dan berkembangnya praktik perbankan syari’ah di Indonesia, maka di dalam perubahan UU No. 7 tahun 1992 khususnya Pasal 6 diatur lebih rinci tentang praktik perbankan syari’ah ini. Di dalam perubahan pasal ini praktik
perbankan syari’ah pada UU No. 10 tahun 1998 telah diatur secara lebih rinci.
Dalam Penjelasan Umum UU No. 10 tahun 1998 dinyatakan bahwa peranan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah perlu ditingkatkan untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Undang-undang ini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum untuk membuka kantor cabangnya yang khusus melakukan kegiatan berdsarkan prinsip syari’ah. Selanjutnya pada Penjelasan
Pasal 6 huruf m UU No. 10 tahun 1998 ditegaskan bahwa:
”Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat juga
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah:
a. Pendirian kator cabang baru atau kantor di bawah kantor cabang baru; atau:
b. Pengubahan kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara convensional menjadi kantor yang melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syari’ah. Dalam rangka persiapan perubahan kantor bank tersebut, kantor cabang atau kantor di bawah kantor cabang yang sebelumnya melakukan kegiatan usaha secara konvensional dapat terlebih dahulu membentuk unit tersendiri yang melaksanakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syari’ah di dalam kantor bank tersebut:
Bank umum berdasarkan prinsip syari’ah tidak melakukan kegiatan usaha secara konvensional.
Pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:
a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syari’ah.
b. Pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syari’ah.
c. Persyaratan bagi pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Dengan UU No. 10 tahun 1998 sebagai perubahan dari UU No. 7 tahun 1992, maka praktik, pendirian dan operasional perbankan syari’ah di Indonesia semakin lebih kuat dan didasari dengan suatu undang-undang. Dengan telah diatur dalam suatu undangundang, maka bila dipandang dari sudut ilmu hukum keberadaannya semakin kokoh. Artinya masyarakat Indonesia dan pihak-pihak terikat ataupun mengikatkan diri dengan keberadaan perbankan jenis ini sudah dapat diikat dan terikat serta dapat dituntut untuk mematuhinya.
Pengaturan dalam satu undang-undang bersamaan dengan praktik perbankan non syari’ah dapat dipandang dari sisi lain yaitu perbankan syari’ah bukanlah hal yang khusus melainkan merupakan hal yang seharusnya demikian. Maksudnya, apabila seseorang yang beragama Islam dan menghayati ajaran agamanya, tentunya dia akan memilih dan mengembangkan lembaga bisnis syari’ah dalam usaha ekonominya.
Dalam perkembangan selanjutnya, praktik ekonomi syari’ah tidak hanya terbatas kepada praktik pendirian dan operasional perbankan saja, tetapi lebih meluas kepada kegiatan niaga lainnya, seperti pembiayaan dan lembaga keuangan non bank lainnya. Bidangbidang usaha yang dikembangkan tersebut antara lain adalah Asuransi Syari’ah, Dana Reksa Syari’ah dan Obligasi Syari’ah. Pendirian, keberadaan dan operasional lembagalembaga bisnis syari’ah ini belum semuanya diatur secara khusus dalam suatu peraturan yang berbentuk undang-undang. Aturan yang melandasi operasionalisasi lembagalembaga bisnis syari’ah tersebut antara lain adalah; apabila hal itu berkaitan dengan perbankan maka dapat dijumpai Peraturan Bank Indonesia (selanjutnya disingkat dengan (PBI) dan Surat Edaran Bank Indonesia (selanjutnya disingkat dengan SEBI)
Daripada peraturan perundangan tersebut dapat diketahui bahwa peraturan yang secara khusus mengatur tentang bisnis syari’ah yang berkaitan dengan aktivitas perbankan syari’ah banyak diatur setelah tahun 2003. Di samping itu telah banyak pula dikeluarkan fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional. Dewan syari’ah Nasional (disingkat dengan DSN) adalah sebuah institusi di bawah Majelis Ulama Indoensia yang dibentuk pada awal tahun 1999. Menurut Pasal 1 ayat (9) Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah, lembaga ini diberi dan memiliki wewenang menetapkan fatwa tentang produk jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
Dari segi Ilmu Hukum timbul pertanyaan-pertanyaan terhadap keberadaan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional dalam mengatur keberadaan perkembangan praktik bisnis yang dinamakan bisnis syari’ah tersebut. Pertanyaan serupa sebetulnya tidak perlu sampai menjadikan suatu pro dan kontra tentang keberadaannya, karena di dalam Ilmu Hukum dikenal apa yang disebut dengan doktrin atau ajaran dari ahli. Mengingat Dewan Syari’ah di bawah MUI, sementara itu MUI merupakan kumpulan dari ahli-ahli agama Islam. Untuk itu Fatwa ini tidak perlu dijadikan perdebatan tentang keberadaannya sebagai salah satu sumber hukum.
Dalam rangka melengkapi dan mengadakan peraturan perundang-undangan yang tentang bisnis syari’ah, maka pada tahun 2008 telah diberlakukan berbagai peraturan perundangundangan antara lain adalah UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syari’ah Negara (disingkat dengan SBSN). Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Peraturan-peraturan memberikan indikasi bahwa perkembangan bisnis syari’ah semakin beragam dan untuk mengatur keberadaannya telah dilakukan upaya pengaturannya.
Pertanyaan yang kemudian dapat mengikuti fenomena ini adalah apakah dengan mulai berkembangnya kegiatan bisnis syari’ah dan adanya aturan yang mengaturnya telah menunjukkan aplikasi dari syari’ah Islam dan menunjukkan cara bermua’malat secara
Islam?
Terlepas dari ”apakah telah dilaksanakan atau belum syari’ah Islam dalam praktiknya” karena praktik bisnis tidak terlepas dari akad (perjanjian) yang melandasinya. Bisnis tidak terlepas dari berhasil dan risiko yang mungkin timbul. Risiko-risiko ini dapat menimbulkan permasalahan hukum seperti ingkar janji (wan prestasi) dan pebuatan yang dapat dikategorikan ke dalam perbuatan bertentangan (melawan) hukum lainnya. Hal tersebut sudah barang tentu akan menimbulkan pertikaian, salah paham dan lain sebagainya, yang dapat menimbulkan sengketa.
Pengaturan berkaitan dengan praktik bisnis syari’ah secara umum yang diatur dalam satu undang-undang baru ada pada tahun 2006 melalui UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Ha-hal yang diatur dalam undang-undang ini bukanlah tentang aktivitasnya, tetapi tentang penyelesaian sengketa bisnisnya.
PENUTUP
Perkembangan bisnis syari’ah dalam kontek ekonomi syari’ah adalah merupakan fenomena baru dalam perkembangan hukum yang perlu disikapi. Keperluan ini sudah sangat dirasakan semenjak dekade tahun 70-an dan di Indonesia baru dapat direalisasikan pada tahun 90-an. Dari segi kesiapan peraturan yang akan digunakan sebagai landasan operasional dan penyelesaian sengketa jika terjadi dalam praktik bisnis syari’ah di Indonesia masih perlu terus dibangun. Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut diharapkan dari kualitas hakim di dalam memeriksa dan memutus perkara-perkara ekonomi syari’ah yang diselesaikannya.
Perkembangan Ekonomi Syariah , mulai terlihat marak perkembangannyadi tanah air sejak kurang lebih satu decade terakhir. Perkembangannya ini tidak terlepas dari alasan pokok pokok keberadaan sistem ekonomi syariah, yaitu keinginan dari masyarakat muslim untuk kaffah dalam menjalankan ajaran islam dengan menjalankan seluruh aktivitas dan transaksi ekonominya sesuai dengan ketentuan syariah. Ekonomi syariah yang bertujuan untuk membangun sistem yang berkeadilan dan membawa kemaslahatan bagi seluruh masyarakat yang ada di Indonesia.
Saran dan Kritik
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Maka itu, untuk dapat memperbaikinya kami mohon saran dan kritik dari para pembaca. Kami mohon maaf sedalam-dalamnya seumpama ada kata-kata yang salah atau tidak mengenakan hati. Atas perhatian pembaca kami mengucapkan banyak terimakasih.
Daftar Pustaka
1. http://bataviase.co.id/node/222220
2. http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/2010/03/02/latar-belakang-syariah/
3. http://syakirsula.com/index.php?option=com_content&view=article&id=100: sejarah-perkembangan-ekonomi-islam-5&catid=33:amanah-bangsa&Itemid=75
4. http://ekonomiprofetik.wordpress.com/2009/03/24/perkembangan-ekonomi
5. http://vicry90.blogspot.com/2010/03/perkembangan-syariah-di-indonesia.html
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
BalasHapusNama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut