Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah secara tegas menyatakan, tujuan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah untuk: (a) mewujudkan struktur perekonomian nasional yang seimbang, berkembang, dan berkeadilan, (b) menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, dan (c) meningkatkan peran Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam pembangunan daerah, penciptaan lapangan kerja, pemerataan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, dan pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu didukung dengan: (1) upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam berusaha melalui rumusan kebijakan yang terintegrasi dan akuntabel, (2) membaiknya stabilitas perekonomian yang ditandai oleh laju inflasi yang rendah dan terkendali, nilai tukar rupiah yang stabil, dan suku bunga SBI yang menurun diikuti secara proporsional oleh suku bunga pinjaman sehingga mendorong sektor riil untuk bergerak, (3) dukungan akses pembiayaan baik melalui pemberian dana bergulir atau kredit program bagi lembaga keuangan mikro dan koperasi dengan mengembangkan pola tanggung renteng maupun pembiayaan yang bersumber dari dana bank dan non bank, (4) technical assistance yaitu program pendampingan, pelatihan ketrampilan dan pembinaan pada aspek-aspek kualitas produksi, value added dan efisiensi sumber daya (business side), dan (5) membuka akses pasar, kemudahan untuk mengakses informasi usaha, melaksanakan promosi dan pameran, pengembangan jaringan kemitraan dan perlindungan dari persaingan yang tidak sehat.
Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Kriteria sebagaimana dimaksud diatas nilai nominalnya dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian yang diatur dengan Peraturan Presiden
Strategi Pengembangan Dan Permasalahannya
Hampir semua orang pernah mendengar istilah UMKM, namun mungkin
hanya sedikit orang yang paham maksud kata tersebut dengan satu kesamaan
pandangan. Maklumlah, karena instansi-instansi pemerintah sendiri memiliki
perbedaan cara dalam pengklasifikasiannya.
Menurut Departemen Perindustrian (1993) UMKM didefinisikan sebagai perusahaan yang dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI), memiliki total asset tidak lebih dari Rp 600 juta (diluar area perumahan dan perkebunan).
Sedangkan definisi yang digunakan oleh BiroPusat Statistik (BPS) lebih mengarah pada skala usaha dan jumlah tenaga kerja yang diserap. Usaha kecil menggunakan kurang dari lima orang karyawan,sedangkan usaha skala menengah menyerap antara 5-19 tenaga kerja.
Menurut survey BPS tahun 2004, di Indonesia ada 141,36 juta UMKM (99,9% dari total unit usaha). Dengan jumlahnya yang begitu banyak, serta kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja (76,55 juta atau 99,5% dari total angkatan kerja yang bekerja), dengan total kontribusi yang sangat signifikan yaitu sebesar 55,3% dari total PDB, maka potensi yang dimiliki oleh UMKM untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional sangatlah besar.
Itulah alasan mengapa pemerintah begitu gencar dalam usahanya mengembangkan UMKM, selain dengan pembuktian empiris dimana saat periode krisis ekonomi kemarin, ketika begitu banyak perusahaan-perusahaan besar yang tumbang dan melakukan PHK dalam jumlah besar, UMKM dengan fleksibilitasnya mampu survive dari kondisi tersebut.
Permasalahan yang paling sering timbul dalam usaha pengembangan ini berhubungan dengan karakteristik yang dimiliki oleh UMKM yang sedikit
menyulitkan.
Beberapa karakteristik yang paling melekat pada sebagian besar
UMKM antara lain:
1)Rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) yang bekerja pada sektor UMKM;
2) Rendahnya produktifitas tenaga kerja yang berimbas pada rendahnya gaji dan upah;
3) Kualitas barang yang dihasilkan relative rendah;
4) Mempekerjakan tenaga kerja wanita lebih besar daripada pria;
5) Lemahnya struktur permodalan dan kurangnya akses untuk menguatkan struktur modal tersebut;
6) Kurangnya inovasi dan adopsi teknologi-teknologibaru, serta 7) Kurangnya akses pemasaran ke pasar yang potensial.
Pada umumnya ada tiga institusi yang berperan dalam pembinaan UMKM,
yaitu: 1. Lembaga teknis yang bertugas mengembangkan produk, utilitas, kualitas SDM dan optimalisasi (lebih pada business side).
2. Lembaga keuangan yang bertugas menyediakan dana secara profesional
(microfinance). Keprofesionalan ini sering kali dikaitkan dengan pemberian
dana kepada UMKM yang bankable, namun fakta di lapangan menyebutkan
bahwa hampir 99% UMKM di Indonesia tidak memenuhi syarat bankable
tersebut, sehingga analisis kredit dapat dilakukan dengan metode kualitatif.
3. Lembaga pemasaran yang bertugas membantu memberi assitensi kepadaUMKM dalam akses pasar dan pemasaran (market and marketing).
Sebenarnya di Indonesia, sebelum isu UMKM merebak, telah dilakukan berbagai macam strategi dalam usaha mengembangkan UMKM ini yang sebagian besar
fokus pada pemberdayaan tenaga kerja melalui output expansion dan innovationadoption, yang berarti adanya peran lembaga teknis yang lebih besar dibandingkan dengan lembaga lainnya.
Hampir semua bentuk intervensi yang diketahui pernah diaplikasikan,antara lain program- program pelatihan technical skills dan kewirausahaan,konsultasi pemberdayaan karyawan, subsidi input,
peningkatan infrastruktur,pembangunan fasilitas public, pembangunan sentra-sentra industri, kredit subsidi dan lainnya. Review menunjukkan ada lebih dari 30 program- program pendampingan teknis UMKM di Indonesia yang tersebar di beberapa departemen. Pelatihan teknis yang dilakukan lebih difokuskan pada pelatihan kepada produsen dalam hal pembukuan, manajemen, technical skills, kewirausahaan dan marketing.
Kesimpulan umum yang diperoleh adalah bahwa sebagian besar program tersebut memberikan pengaruh yang sedikit sekali terhadap pengembangan UMKM. Sebagian besar disebabkan oleh terbatasnya dana yang dialokasikan untuk begitu banyaknya program dan dengan jumlah UMKM yang begitu besar.
Dari ketiga lembaga yang seharusnya berperan dalam pengembangan UMKM, hanya dua lembaga yang tampak wujud kegiatannya. Sebagai contoh, beberapa program yang pernah dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah pembentukan Lembaga Teknis berupa Program Bimbingan dan
Pengembangan Indutri Kecil khusus golongan ekonomi lemah (BIPIK program) yang dimulai akhir tahun 1970an yang berkonsentrasi pada technical assistance.
Program ini meyakini bahwa tanpa proses dan inovasi produk, mayoritas UMKM tidak akan mampu mengakomodasikan perubahan struktural yang terjadi di lingkungan ekonomi mereka. Budget yang dikeluarkan oleh BIPIK sebesar Rp. 2,5 juta/unit usaha Pendampingan teknis yang dilakukan oleh BIPIK terdiri dari training untuk memberikan penerangan kepada pegawai dan memperkenalkan peralatan baru untuk menunjukkan manfaat dari perubahan teknologi. Hasil yang bisa dicapai oleh program BIPIK ini adalah:
1. Technical training menciptakan kesadaran dari para produsen mengenai keberadaan teknologi-teknologi yang lebih produktif. Dengan training ini 4 pula, ditentukan produsen-produsen yang dianggap mampu untuk memberikan training/menyebarkan hasil training kepada produsen lainnya.
2. Bantuan peralatan memberikan kesempatan kepada produsen untuk melihat dan mencoba inovasi terbaru, sehingga mereka punya akses ke teknologi terbaru.
3. Sebagai tambahan, BIPIK juga membangun pusat service teknis, dimana produsen mendapatkan akses ke peralatan yang sangat penting, namun relatif dipandang sangat mahal untuk dimiliki secara individu.
Program lainnya adalah pembentukan Lembaga Keuangan yang dibentuk
dari beberapa bank komersial maupun departemen pemerintah. Program yang
pernah dilaksanakan antara lain:
1. Kredit Usaha Kecil (KUK) yang dilakukan oleh bank-bank komersial. Target
grup untuk KUK sangat luas. Setiap UMKM bias mengajukan kredit dan
dianggap layak, selama asset mereka tidak melebih batas program.
2. Kredit Modal Kerja Permanent (KMKP) dan Kredit Investasi Kecil (KIK)
yang dimotori oleh Bank Indonesia sebagai upaya bank sentral dalam
mendukung UMKM di tahun 1980an.
3. Sistem Unit Desa yang dilaksanakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang
mendanai UMKM yang memiliki skala aktivitas lebih kecil daripada yang
diberikan oleh KUK. Sistem ini menyediakan kredit (yang tidak disubsidi)
dengan tingkat bunga yang tidak lebih tinggi daripada cost of fund.
4. Beberapa kredit dengan nilai lebih kecil dikeluarkan oleh perusahaan
pembiayaan mikro (microfinance enterprises). Kredit ini disesuaikan dengan
kebutuhan nasabah
5. Kredit yang diberikan oleh Departemen Perindustrian, namun jumlahnya
sangat terbatas. Kredit ini merupakan follow up dari training yang telah
diberikan oleh BIPIK.
Dari beberapa program yang telah dilakukan ini, dengan segala usaha dan
keterbatasannya, ternyata tidak memberikan implikasi sesuai dengan harapan.
Beberapa permasalahan yang timbul, diantaranya:
1. Program pendampingan yang telah dilakukan lebih pada supply side effort.
Untuk UMKM yang baru tumbuh, perkenalan dan adaptasi terhadap inovasi
terbaru ternyata tidak efektif. Lingkungan market dari UMKM ini sendiri
tidak begitu memperhatikan perubahan teknologi yang digunakan.
2. Strategi pemasaran kurang diperhatikan, dimana produk cenderung tidak
melihat selera konsumen
3. Adanya kredit-kredit murah yang dikeluarkan oleh bank, baik bank komersial maupun bank sentral, telah memberikan pelajaran bahwa pemberian bantuan
likuiditas untuk KMKP dan KIK ternyata telah menimbulkan praktik moral
hazard di kalangan perbankan yang salah satu indikasinya adalah meledaknya
kredit bermasalah (non performing loan/NPL) pada saat itu.
Hal tersebut juga menunjukkan bahwa lembaga pemasaran tidak diperhatikan
fungsinya, sehingga peningkatan output, baik melalui technology adoption
maupun technical skill, tidak terserap pasar dengan baik.
Namun programprogram itu pula yang diyakini sebagai pembuka akses ke lembaga kredit formal, yaitu sektor perbankan, yang secara signifikan meningkat, meskipun subsidi tingkat bunga telah hampir seluruhnya diambilkan dari tingkat bunga pasar.
Pergantian tempat ini juga mendorong pihak-pihak “terlarang” lainnya lebih
banyak masuk ke pasar ini. Kebijakan deregulasi dan liberalisasi secara signifikan
telah menaikkan jumlah service points keuangan, terutama di daerah pedesaan.
Krisis ekonomi yang terjadi telah menyebabkan peningkatkan suku bunga, penutupan beberapa bank, dan merger didalam sistem perbankan. Hal itulah yang memberikan dampak negatif terhadap akses UMKM ke lembaga kredit formal.
Beberapa periode setelah krisis, banyak pihak mulai mengeluhkan lambatnya pemulihan sektor riil perekonomian Indonesia. Tidak seperti Korea Selatan dan Thailand, yang membutuhkan waktu lebih cepat dalam perbaikan kondisi ekonominya. Alasan yang paling sering digunakan adalah masih seretnya pengucuran kredit oleh perbankan kepada sektor riil. Seretnya sector perbankan
dalam menyalurkan kreditnya setelah periode krisis kemarin disebabkan karena
perbankan masih berhati-hati (selektif) dalam penyaluran kreditnya.
Apalagi diramalkan pada tahun-tahun kedepan tingkat risiko yang akan dihadapi sektor riil akan semakin meningkat. Selain itu juga suku bunga pinjaman masih sulit untuk diturunkan. Hal ini akan memberikan tekanan pada struktur biaya (cost structure) sektor riil.
Untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi, telah diupayakan perbaikan dan pengembangan di berbagai sektor, terutama sektor UMKM (apalagi dicanangkannya tahun 2005 sebagai tahun micro banking). Usaha ini dikerjakan
bersama-sama antara pemerintah dan Bank Indonesia sebagai bank sentral.
Meskipun menurut UU 23/1999 (dan dirubah dengan UU No 3/2004) BI tidak
diperkenankan berperan sebagai financing agent, BI masih tetap berperan aktif
sebagai konsultan, promotor dan fasilitator bagi pemberdayaan UMKM.
Peranan Bank Indonesia dalam upaya pemberdayaan UMKM dilakukan
melalui empat pilar kebijakan dan strategi, yaitu kebijakan kredit perbankan,
pemberian bantuan teknis kepada UMKM, penelitian mengenai pola pembiayaan
kepada UMKM, dan penyediaan sistem informasi usaha kecil dan pemberian
bantuan teknis. Karena itu, tugas pengelolaan kredit program dialihkan kepada
tiga BUMN yang ditunjuk oleh pemerintah yaitu PT Bank Rakyat Indonesia (BRI
sebagai koordinator penyaluran skim KUT, Kkop, KKPA-TR); PT Bank
Tabungan Negara (BTN sebagai koordinator penyaluran skim KPRS dan
KPRSS); serta PT Permodalan Nasional Madani (PNM sebagai koordinator
penyaluran kredit lainnya).
Implikasi penting dari beberapa program yang diterapkan oleh BI antara lain:
1. Kebijakan Kredit
Dari sisi kebijakan kredit, perbankan didorong untuk memasukkan rencana
penyaluran kredit UMKM ke dalam business plan perbankan. Sebelum krisis,
pemerintah pernah tegas-tegas mensyaratkan bahwa dari seluruh portofolio
pinjaman yang dimiliki bank, minimal 20 persen dari portofolio kreditnya
harus merupakan kredit kepada sektor UMKM. Secara spesifik, strategi yang
dilaksanakan adalah
a. Pengaturan kredit usaha kecil (KUK) yang mana tanggal 4 Januari 2001
Bank Indonesia telah menyempurnakan ketentuan tentang KUK melalui
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/2/PBI/2001 tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil yang pada intinya BI tidak mewajibkan namun menganjurkan kepada bank untuk menyalurkan KUK sesuai business plan-nya.
b. Penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah dalam rangka penanggulangan kemiskinan dengan memberdayakan UMKM pada 22 April 2002. Dalam perkembangan kredit
UMKM terjadi peningkatan kredit baru perbankan ke sektor UMKM dan
mencatat kinerja NPLs yang relatif rendah. Kredit baru yang disalurkan
perbankan ke sektor UMKM selama semester I/2004 sebesar Rp 30,9
triliun atau mencapai 80,4% dari total bussines plan perbankan untuk
menyalurkan kredit UMKM sebesar Rp 38,5 triliun. Pertumbuhan kredit
baru ini meningkat sebesar 14,3%.
c. Menyesuaikan ketentuan perbankan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dan peraturan perundang- undangan yang berlaku
d. Memfasilitasi pertemuan antar pemerintah, perbankan dan dunia usaha yang bertujuan untuk meningkatkan komunikasi antara kedua belah pihak
yang saling berkepentingan. Dengan ini diharapkan dapat menindaklanjuti
rekomendasi-rekomendasi yang berasal dari permasalahan dunia usah sehingga dapat dimanfaatkan dan direalisasikan oleh BI dan kalangan
perbankan untuk mendorong sektor riil.
d. Dalam pengembangan kelembagaan, Bank Indonesia mendorong peran
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebagai executing agent atau channelling
agent dalam linkage program antara bank umum dengan BPR yang memiliki sumber daya manusia yang lebih terlatih dalam membina hubungan dengan nasabah mikro dan kecil.
Strategi penguatan industri BPR dipandang perlu karena BPR merupakan lembaga keuangan mikro yang memiliki peran strategis dalam memberikan pelayanan jasa keuangan kepada UMKM.
Beberapa hal yang menjadi kunci sukses BPR dalam memberikan pelayanan kepada UMKM adalah lokasi yang dekat dengan masyarakat, prosedur pelayanan kepada nasabah yang lebih sederhanan serta lebih mengutamakan pendekatan personal serta fleksibilitas pola dan model pinjaman
2. Pemberdayaan Konsultan Keuangan/Pendamping UMKM Mitra Bank
(KKMB) Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberdayakan konsultan/pendamping, baik swasta maupun yang dibentuk oleh pemerintah, yang selama ini terlibat dalam pengembangan UMKM. Keberhasilan pendekatan ini akan nampak dari
meningkatnya jumlah UMKM yang bankable dan memperoleh kredit dari bank dan mampunya KKMB beroperasi secara bisnis sehingga dapat membiayai diri sendiri Sampai saat ini telah terbentuk 26 Satgas Pemberdayaan KKMB di 22 provinsi dengan melibatkan Badan Musyawarah Perbankan Daerah (BMPD) setempat, KPK dan Pemda terkait. Di Surabaya telah didirikan PEAC BROMO (Promoting Enterprise Access to Credit) pada Februari 2004 yang berperan sebagai jembatan penghubung antar UKM dengan lembaga keuangan yang ada di Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat telah didirikan Pusat Pembinaan Lembaga Jasa Pengembangan Usaha (Service Provider Management Center) yang menyediakan pendampingan dan konsultasi bagi UMKM. Sejauh ini, Pusat Pengembangan Pendamping Usaha Kecil Menengah (P3UKM) telah melakukan fungsinya dengan baik yang antara lain tercermin dari terakreditasinya 21 pendamping UKM dan 10 bank telah yang menggunakan layanan jasa para pendamping UKM yang telah
diakreditasi. Jumlah penyaluran kredit perbankan yang menggunakan fasilitas pendamping UKM telah mencapai sekitar Rp. 24 milyar, sedangkan proposal kredit yang telah diajukan dan menunggu persetujuan dari bank telah mencapai lebih dari Rp. 27 miliar.
3. Kegiatan Penelitian
Kegiatan Penelitian BI dalam kaitannya dengan UMKM saat ini terutama diarahkan dalam upaya mencari model atau pola pembiayaan dan bantuan teknis yang sesuai dengan kebutuhan pengembangan UMKM, juga untuk menggali potensi sector UMKM di tiap-tiap daerah. Penelitian yang telah dilakukan adalah baseline economic survey mengenai kredit mikro, bantuan teknis dan lending model. Sedangkan yang akan dilaksanakan adalah penelitian mengenai hubungan inti-plasma dan pola pembiayan UMKM.
4. Penyediaan Sistem Informasi Usaha Kecil dan Pemberian Bantuan Teknis
Ini dilakukan sebagai usaha untuk lebih memberikan nilai tambah dan manfaat
yang lebih besar terhadap hasil-hasil penelitian melalui Sistem Informasi Pengembangan Usaha Kecil (SIPUK) di website Bank Indonesia (http://www.bi.go.id/) yang di-launching tanggal 14 Februari 2002. Bank Indonesia juga menerbitkan PBI No. 5/18/PBI/2003 tentang Pemberian Bantuan Teknis dalam Pengembangan UMKM yang diharapkan dapat digunakan sebaga tambahan wawasan bagi kalangan perbankan dan UMKM dalam penyaluran kredit UMKM secara lebih luas. Pelatihan teknis tersebut juga diberikan kepada Business Development Service Provider (BDS-P) atau lembaga penyedia jasa pengembangan usaha (LPJPU) yang memenuhi persyaratan tertentu. Selain itu Bank Indonesia juga mendorong pembentukan UKM Center di bank-bank umum untuk melayani kebutuhan nasabah UMKM.
Dengan melihat begitu banyaknya strategi yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, serta pencapian hasilnya sampai saat ini dapat dikatakan bahwa pemerintah sudah berusaha untuk mengembangkan UMKM dan mendatangkan hasil yang cukup menggembirakan dengan indikasi pada meningkatnya pertumbuhan penyaluran kredit kepada UMKM. Namun bila dibandingkan kembali dengan program yang telah pernah dilakukan sebelumnya, ada beberapa program yang serupa sehingga ditakutkan akan mendatangkan hasil yang sama dengan sebelumnya, yaitu ketidakefektifan strategi dalam mendorong pemberdayaan UMKM. Dan fakta yang paling patut mendapatkan concern adalah, kembali tidak diberdayakannya lembaga pemasaran.
Apabila dilihat, strategi-strategi tersebut masih tetap difokuskan pada fungsi lembaga teknis dan peningkatan lembaga keuangan dengan mengabaikan fungsi pemasaran output akhir produksi.
Alternatif Pemikiran
Ada beberapa pemikiran yang mungkin patut dijadikan alternatif program
atau sebagai tambahan program yang bisa dilakukan, terutama dalam kaitannya
dengan meningkatkan eksistensi dan peran masing-masing lembaga pembina
UMKM, yaitu:
1. Pemberdayaan Peran Lembaga Pemasaran:
a. Pendampingan terhadap UMKM, seharusnya tidak hanya terfokus pada
produksi tetapi lebih pada pasar yang akan dituju. Dengan kata lain meningkatkan peran dan fungsi lembaga pemasaran Karenanya penggunaan teknologi baru yang memberikan peningkatan dan inovasi produk baru tetap tidak dapat diserap oleh pasar melalui channel yang telah ada. Mayoritas produk yang dihasilkan oleh UMKM adalah barang inferior, sehingga akan sangat sulit diserap oleh perkembangan pasar. Mungkin bisa dipikirkan untuk merubah kemasan ataupun menjadikan bentuk produk UMKM lebih bergengsi dan dijual tidak dengan harga murah sehingga akan lebih terlihat berkualitas.
b. Pemberian proteksi kepada UMKM untuk masuk pasar. Hasil pendampingan teknis dan keuangan yang diberikan akan terlihat setelah produsen sadar dan paham tentang eksistensi dan yakin akan adanya akses/jaringan ke perdagangan yang lebih baik.
Disinilah peran pemerintah sangat diperlukan. Untuk sebuah UMKM yang memiliki keterbatasan permodalan dan SDM, maka sangatlah susah untuk mereka
bisa masuk ke pasar tanpa proteksi dari pemerintah. Mereka tidak akan mampu berkompetisi dengan perusahaan besar yang notabene memiliki kekuatan yang jauh lebih besar. Apalagi bila UMKM ini merupakan new comer tidak akan mampu berkompetisi dengan perusahaan besar yang sudah exist. Bila proteksi tidak diberlakukan, maka bukannya tidak mungkin akan ada kegagalan dari UMKM tersebut untuk masuk pasar (no entry)
2. Pemberdayaan Peran Lembaga Teknis
a. Sehubungan dengan keterbatasan SDM dan dana yang dimiliki oleh pemerintah, perlu dikembangkan cost-effective strategy yang menstimulasi
dan mengembangkan sentra-sentra industri/UMKM, yang mengarah pada akses produsen ke pasar (berkunjung ke konsumen/pembeli, menjual dengan sistem retail atau wholesale, market and fairs), dianggap sangat berguna untuk membangun jaringan perdagangan baru yang menjadi tempat penjualan produk baru. Pemikiran untuk melakukan inovasi marketing seharusnya mulai dilakukan mengingat keterbatasan yang dimiliki oleh UMKM tidak hanya pada akses ke lembaga kredit fomal, namun lebih pada akses ke pasar.
b. Eksistensi lembaga yang mengkoordinasikan upaya pemberdayaan UMKM. Salah satu usaha yang dipandang efektif untuk memberdayakan UMKM adalah dengan cara koordinasi atau sinergi antar lembaga /instansi
, baik lembaga teknis, lembaga keuangan, maupun lembaga pemasaran, agar memudahkan bagi UMKM untuk segera memperoleh bantuan. UMKM tidak perlu mencari bantuan dari satu bank ke bank lain ataupun dari satu BUMN ke BUMN lain tetapi cukup datang ke satu tempat, maka seluruh bantuan yang dibutuhkan ada di sana (one stop service). Tetapi ini semua membutuhkan komitmen dan keterlibatan dari semua lembaga/instansi untuk berkoordinasi/bersinergi dengan satu tujuan menjadikan UMKM sebagai penopang perekonomian di Indonesia. BI sebenarnya telah sangat berpengalaman dalam pengembangan UMKM ini. Namun demikian, BI UMKM tidak terbatas hanya pada aspek pembiayaan yang menjadi kompetensi BI, namun juga soal kemampuan SDM, teknologi, pemasaran, dan aspek kualitas produk. Untuk inilah perlu dibentuk satu lembaga yang menetapkan strategi pengembangan UMKM melalui koordinasi yang terpadu antar departemen pemerintahan, minimal dapat dicari bentuk- bentuk koordinasi atau sinergi sebagai mekanisme penyaluran bantuan agar pemberdayaan UMKM maksimal
c. Pemerintah harus mengkaji ulang kriteria UKM, di mana kriteria UKM dapat dibuat berdasarkan batasan-batasan asset yang dimilikinya, tingkat penjualannya, atau jumlah tenaga kerja yang dimilikinya. Pemerintah juga
harus menstandardisasi kriteria UKM ini bagi seluruh perbankan. Dengan
demikian, dapat dihindari adanya dualisme kriteria UKM seperti yang
terjadi sekarang, yaitu masing-masing bank menentukan kriteria UKM
sendiri berdasarkan jumlah kredit yang diberikan, sementara pemerintah
mempunyai kriteria UKM dengan pendekatan yang lain
3. Pemberdayaan Peran Lembaga Keuangan
Kebijakan kredit yang diberlakukan hendaknya disertai dengan langkah
kongkrit bukan hanya himbauan semata, sehingga ada support nyata dari
lembaga ini.
Pembelajaran dari Malaysia
Di belahan dunia manapun, bank sentral tidak pernah terlibat dalam pengembangan UMKM karena tugas utamanya adalah untuk pengendalian stabilitas moneter. Namun, munculnya krisis di tahun 1997, timbul kesadaran baru bahwa sebenarnya bank sentral dapat mengambil peran aktif memajukan UMKM.
Karena masih merupakan program baru, Bank Negara Malaysia (BNM) masih
menganggap pengembangan UMKM harus didahului dengan penyediaan bantuan
likuiditas kepada bank-bank pelaksana. Ada lima hal yang dilakukan Bank Negara
Malaysia (BNM) dalam pengembangan UMKM, yakni (1) penyediaan dana khusus, (2) bantuan kolateral, (3) kebijakan perkreditan UMKM, (4) penyediaan lembaga penunjang, dan (5) restrukturisasi kredit UMKM. Follow up masingmasing program ini adalah:
1. BNM menyediakan lima jenis dana khusus untuk UMKM, di mana setelah berjalan sekitar enam bulan, jumlah kredit yang telah disetujui mencapai 6.576
juta ringgit Malaysia (RM) dengan outstanding sebesar 3.884 juta ringgit dengan jumlah nasabah sebanyak 16.574 orang
2. Untuk membantu UMKM yang tidak memiliki kolateral (agunan) atau agunannya tidak mencukupi, BNM mendirikan sebuah badan usaha pemerintah yaitu Credit Guarantee Corporation (CGC) dengan dana yang dialokasikan pemerintah senilai 800 juta ringgit. CGC ini akan menjamin hingga 80 persen terhadap nilai pinjaman baru UMKM yang tak beragunan.
3. BNM mengeluarkan kebijakan perkreditan agar perbankan di sana bersedia mengucurkan kredit kepada UMKM. Kebijakan ini tidak hanya bersifat imbauan, juga disertai langkah yang diperlukan sehingga perbankan tidak setengah hati di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM.
4. Lembaga penunjang yang dibentuk BNM (Bank Negara Malaysia), yang merupakan bank sentral Malaysia, untuk pengembangan UMKM adalah complaint unit. Unit ini dimaksudkan untuk menampung berbagai keluhan yang dihadapi UMKM dengan tujuan agar dapat diselesaikan seketika. Di dalam mekanisme kerja complaint unit ini juga ditegaskan bahwa setiap bank komersial yang menolak sebuah pengajuan kredit oleh UMKM harus menjelaskan alasan penolakannya. Praktik ini sebenarnya belum begitu lazim ditemukan di Indonesia, sehingga tidak aneh apabila UMKM selalu mempunyai persepsi bahwa perbankan kita masih sangat birokratis, arogan, dan prosedur kredit yang harus ditempuh UMKM merupakan sebuah "rimba gelap" yang sulit untuk ditembus
5. Restrukturisasi NPL. Sebagaimana diketahui bahwa praktik umum di seluruh
negara adalah bahwa apabila seorang debitor memiliki NPL, akan sulit baginya untuk memperoleh pinjaman baru dari sistem perbankan karena adanya daftar kredit macet yang dikeluarkan oleh bank sentral yang dapat diakses oleh seluruh bank.
Merupakan suatu pelanggaran apabila sebuah bank memberikan kredit baru untuk seorang debitor yang telah memiliki NPL pada bank sebelumnya. Padahal belum tentu macetnya kredit UMKM disebabkan oleh adanya itikad tidak baik dari debitor, namun mungkin lebih banyak diakibatkan oleh siklus bisnis yang naik-turun. Untuk mengatasi kendala tersebut BNM menawarkan program restrukturisasi kredit untuk UMKM.
Terhadap NPL UMKM yang telah direstrukturisasi langsung dianggap sebagai kredit lancar sehingga debitor dapat segera mengajukan pinjaman baru dan perbankan tidak akan lagi dipermasalahkan oleh BNM. Namun NPLs tampaknya tidak menjadi permasalahan yang mendasar bagi penyaluran kredit UMKM di Indonesia, karena NPLsnya masih relative rendah, 4,4% pada triwulan II/2004 dibandingkan dengan NPLs total kredit perbankan sekitar 6,2% Selain lima program tersebut, Pemerintah Malaysia juga menawarkan berbagai kebijakan terobosan untuk pengembangan UMKM, yaitu (1) meningkatkan batas penghasilan kena pajak sebesar 20 persen, dari 100 ribu ringgit menjadi 500 ribu ringgit, (2) mengalokasikan dana tambahan sebesar 1 juta ringgit untuk kredit mikro, dan (3) membentuk dewan tingkat tinggi untuk pengembangan UMKM (High Level SME Council) yang langsung dipimpin langsung oleh Perdana Menteri
Pemerintah menyadari bahwa UMKM merupakan tulang punggung kehidupan ekonomi Malaysia di masa depan. Pemerintah juga menyadari bahwa di tahun 2020, Malaysia telah mencanangkan visi menjadi salah satu negara maju di dunia sehingga UMKM harus siap menjadi bagian visi pemerintah tersebut.
Namun demikian, UMKM itu sendiri tidak dapat hidup jika hanya terus mengandalkan pada bantuan dari pemerintah. UMKM harus juga meningkatkan
kemampuannya untuk menghadapi globalisasi. Jika dilihat berbagai program yang telah dilaksanakan BI maupun pemerintah Indonesia, tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan BNM dan Pemerintah Malaysia.
Belajar dari pengalaman Malaysia, maka BI perlu mengeluarkan kebijakan perkreditan agar perbankan bersedia mengucurkan kredit kepada UMKM. Kebijakan ini tidak hanya bersifat imbauan, juga disertai langkah yang diperlukan sehingga perbankan tidak setengah hati di dalam menyalurkan kredit kepada UMKM. Yang menarik adalah, ternyata Malaysia mengambil pelajaran dari pengalaman yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia.
Meskipun program yang diajukan BI dan pemerintah cukup lengkap, namun ada hal penting yang belum dilaksanakan oleh pemerintah kita dalam pengembangan UMKM, yaitu keberpihakan yang sungguh-sungguh.
Jika keberpihakan ini memang sungguh-sungguh maka koordinasi antar departemen dalam pengembangan UMKM harus merupakan gerakan nasional yang seyogianya dipimpin langsung Presiden sebagaimana yang dilakukan Pemerintah Malaysia. Jika tidak, berbagai keluhan dan hambatan UMKM di seluruh pelosok Tanah Air akan tetap berjalan seperti saat ini. UMKM akan tetap "manis" sebagai daya tarik politik namun kehidupannya tetap akan merana
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia memperkirakan, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bakal bertumbuh sekitar 25% pada 2010 dibandingkan prediksi 2009 yang berkisar 15-20%. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang UMKM dan Koperasi Sandiaga S Uno mengatakan, hal itu bakal tercapai jika platform microfinance yang tengah digarap dalam roadmap Kadin dapat terealisasi.
"Saya optimistis, platform itu bakal terealisasi. Sehingga, pertumbuhan UMKM bakal bergerak pada level 25-30% dari tahun ke tahun. Selain itu, dengan pembiayaan yang berpihak pada sektor usaha mikro juga akan mendorong pemberdayaan yang mengarahkan unit usaha tersebut naik kelas. Di situ nilai utamanya," kata Sandiaga di Jakarta, Sabtu (8/8).
Di sisi lain, dia mengungkapkan, sekitar 99% unit UMKM Indonesia belum disentuh oleh lembaga pembiayaan. Hal itu, kata dia, karena mereka dinilai tidak bankable karena tidak memiliki kolateral atau jaminan aset
"Saat ini, terdapat sekitar 51 juta unit UMKM, yakni hingga 99% merupakan unit usaha mikro," jelas Sandiaga.
Menurut dia, saat ini, yang didukung oleh lembaga pembiayaan hanya sekitar 2 juta UMKM yang didominasi usaha makanan serta jasa dan perdagangan, itu pun melalui kredit usaha rakyat (KUR) dan mereka tergolong unit usaha kecil-menengah. Selama ini, unit-unit mikro, terutama di bidang pertanian dan unit usaha di level akar rumput, mengandalkan rentenir dengan bunga yang mencekik.
Untuk itu, lanjut dia. Kadin menyiapkan skema micronnanceunhik pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia. Platform microfinance tersebut kata dia, menjadi pilar penting dalam roadmap Kadin guna memberdayakan UMKM dan koperasi di Indonesia. Rencanaya, roadmap tersebut bakal rampung pada Oktober 2009 dan diserahkan kepada kabinet pe-merintahan baru. Sandiaga yakin, usulan dalam roadmap tersebut bakal diterima dan diimplementasikan oleh pemerintah mendatang.
Keyakinan itu, ujar dia, karena pihaknya bersama wakil dari Kementerian Negara Koperasi dan UKM juga baru melakukan kunjungan kerja ke Bangladesh pada 6 Agustus 2009.
"Dalam kunjungan tersebut kamiditantang oleh pendiri Grameen Bank, Profesor M Yunus, untuk mengembangkan pembiayaan mikro secara serius di Tanah Air. Menurut M Yunus, kredit adalah hak asasi setiap manusia, termasuk yang miskin. Dia sangat percaya, kredit mikro adalah jawaban jitu untuk masalah kemiskinan," tutur Sandiaga.
Dia memaparkan, saat ini, belum ada lembaga pembiayaan yang serius menggeluti skema microfinance sesuai dengan topografi penduduk Indonesia. Sementara itu, lanjut dia, saat ini Kadin secara serius mempersiapkan program pemberdayaan UMKM dan koperasi dengan memobilisasi kredit mikro melalu jaringan lembaga keuangan mikro nonperbankan yang lebih fleksible, efektif, dan efisien.
"Kredit mikro adalah bentuk intervensi bersama antara pengusaha, pemerintah dan akademisi untuk memberantas kemiskinan. Jadi, dibutuhkan kredit yang tidak menuntut kolateral atau jaminan aset dan yang tidak mencekik bunganya. Selama ini, banyak bentuk kredit tanpa agunan tapi bunganya tinggi sehingga tidak bisa dijangkau oleh pengusaha kecil apalagi mikro," pungkas Sandiaga.
Sumber : Investor Daily
TUGAS PEREKONOMIAN INDONESIA
UMKM INDONESIA
Di susun
O
L
E
H
Kelompok 12
Dwi Aji Sapto 108084000015
M.Wanda Syafii 108084000020
Hudzaifah 107084003749
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar