Jumat, 14 Oktober 2011
Etika Bisnis Di Indonesia Melalui Pendekatan Budaya dan Agama
Tugas Etika Bisnis Islam
“Etika Bisnis Di Indonesia Melalui Pendekatan Budaya dan Agama”
Disusun oleh
Dwi Aji sapto 108084000015
Heslima Muslitha Zianti 108084000024
Dudi Garmadi 108084000036
Ullia Fransisca 108084000065
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2011
Etika Bisnis Di Indonesia
Melalui Pendekatan Budaya dan Agama
Etika bisnis ialah pengetahuan tentang tata cara ideal mengenai pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal. Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan etika bisnis dalam dua hal:
(1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama hukum, peraturan dan kode etik.
(2) Agama dan budaya lebih independen dalam etika bisnis dibanding jenis etika bisnis lainnya.
Dalam hal ini Syariah Islam, misalnya, memberikan aturan umum dan standar etika yang berhubungan dengan konsep bisnis, seperti dalam hal kepemilikan, keadilan, harga, persaingan, dan hubungan antara pemilik dengan karyawan. Secara normatif, nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading manager, perilaku bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah memiliki motivasi dan perilaku Qur'ani, di antaranya: berwawasan ke depan dan menekankan perlunya perencanaan (QS 59: 18).
Dalam konsep etika demikian, hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum (public interest), misalnya dengan penekanan pada penunaian zakat, infak dan sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam berbisnis, misalnya dalam hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja, efektivitas, efisiensi, dan tertib pembukuan.Profesionalisme telah dicontohkan dalam keseluruhan perjuangan Nabi Muhammad, bahkan dalam semua bidang kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan moral dan etika Qur'ani. Tidak hanya dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi juga dalam memenuhi komitmen (janji) dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122; dan QS 30: 6); dalam memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan dalam bermuamalah (QS 87: 1-3); dalam mengutamakan efisiensi terkait penggunaan sumber daya, tapi tidak kikir (QS 17: 26-27); dalam menegakkan kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52; QS 18: 85-89).Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi perubahan (QS 2: 138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang menyerah (QS 2: 155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan hubungan baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an, hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih.
Pendekatan Budaya dan Agama
Pendekatan kebudayaan didasarkan pada teori Weber (1958) yang menekankan pada analisis sistem nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang pada umumnya tidak cocok bagi pembangunan ekonomi. Weber berpendapat bahwa pimpinan perlunya menerapkan etika protestan dalam mengelola bisnis, sebagaimana etika protestan merupakan kunci keberhasilan bagi pembangunan ekonomi pada masyarakat kapitalis Eropa dan Amerika. Pendapat Weber tersebut dikaji lebih lanjut oleh Robert Bellah (1959) yang meneliti agama tokugawa di Jepang yang me-nyimpulkan bahwa pembangunan ekonomi Jepang sangat pesat berkembang karena masyarakat Jepang yang beragama tokugawa mempratekkan unsur-unsur yang terkandung dalam etika protestan. Etika protestan antara lain mengajarkan orang jujur, disiplin, kerja keras, patuh pada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Penulis berpendapat sebenarnya kitab suci Al Qur’an dari Agama Islam juga mengajarkan unsur-unsur tersebut seperti manusia harus bekerja keras (Al Qur’an surat Al Qashash :77; Al Jum’ah :11; At-Taubah :105); Bekerja merupakan mukmin yang sukses (Al Mu’minun :3); Islam mengangkat nilai kerja (Al Baqarah :110, An-Nahl :97); Islam melarang berusaha secara batil (An Nisa :29); Allah SWT tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri berusaha keras untuk mengubahnya (Al Qur’an : 13 :11). Oleh karena itu, seseorang perlu memperaktikan etika baik dalam pendekatan agama maupun budaya dalam kehidupan kerja di Indonesia.
1. Masyarakat Indonesia belum mempunyai Budaya Korporatif
” Berbeda dengan masyarakat di negara-negara Barat, masyarakat Indonesia hingga saat ini masih belum berbudaya korporatif. Indonesia masih terperangkap oleh tradisi, sehingga tidak mudah untuk melakukan perubahan. Padahal budaya korporatif akan mempengaruhi cara kerja. Demikian dikemukakan oleh ekonom Rhenald Khasali saat memberikan orasi ilmiah berjudul Building Institution’s Character with Strong Culture, dalam rangka peringatan Dies Natalies ke 55 Universitas Indonesia di Jkarta, Kamis 24 Februari 2005.”
Corporatism di Barat sudah berjalan, dan menganggap sebuah institusi berbadan hukum sendiri. Tidak demikian masyarakat kita. Banyak PT di Indonesia yang sebenarnya bukan PT, melainkan warung. Untung ruginya tidak jelas, kata Rhenald.
Menurut Rhenald, suatu organisasi bisa bertahan panjang bukan dibentuk oleh manajemen yang hebat, tidak juga oleh orang-orang yang hebat, ataupun sistem, melainkan dibangun oleh kekuatan nilai-nilai (values). Corporate culture selalu menekankan bottom up, menggali segala sesuatu mulai dari bawah, bukan dari atas ke bawah. Dengan demikian, semua orang harus ditanya apa yang sebenarnya mereka inginkan. Corporate culture itu seperti bongkahan es, yang tampak hanyalah yang di atas berupa simbol-simbol seperti logo, cara berpakaian. Padahal yang harus dibangun adalah yang di bawah, yang tidak kelihatan, yaitu nilai-nilai baru. Manusia itu berkomunikasi secara simbolik, simbol sebagai identitas, Rhenald menambahkan.
a). Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Budaya Kerja Korporasi?
Budaya kerja korporasi adalah keseluruhan kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai (values) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu organisasi, menjadi dasar cara berpikir, berperilaku dan bertindak dari seluruh insan organisasi, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi.
Budaya kerja dapat di daya gunakan sebagai daya dorong yang efektif dalam mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Budaya kerja yang efektif dapat:
1). Menyatukan cara berpikir, berperilaku dan bertindak seluruh insan organisasi/korporasi
2). Mempermudah penetapan dan implementasi Visi, Misi dan Strategi dalam korporasi
3). Memperkuat kerjasama tim dalam korporasi, menghilangkan friksi-friksi internal yang timbul
4). Memperkuat ketahanan dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal.
Dari definisi di atas terlihat betapa budaya kerja memegang peranan penting dalam ketahanan suatu organisasi. Keluarga adalah perusahaan yang terkecil, disitu ada ayah, ibu dan anak-anak. Cara penyelenggaraan rumah tangga yang satu dan yang lain akan berbeda, karena sifat-sifat penghuninya yang berbeda. Tetapi ada beberapa hal yang sama antara keluarga satu dan lainnya, karena ibaratnya hidup dalam satu lingkungan, maka untuk membuat lingkungan aman dan nyaman, ada peraturan-peraturan yang harus dipahami dan dipatuhi oleh anggota lingkungan tersebut. Peraturan ini dibuat oleh orang-orang atau keluarga dilingkungan tersebut, sehingga peraturan tersebut akan ditaati tanpa beban, bahkan anggota lingkungan merasa nyaman karena ada peraturan tersebut, sehingga masing-masing tahu ” apa yang boleh dan yang tidak boleh untuk dilakukan”.
Sekarang bagaimana membentuk budaya kerja korporatif? Di dalam budaya korporatif, peran pemimpin sangat penting, antara lain, sebagai: 1) First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, 2) Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen, 3) Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja, dan 4) Pencetus dan pengelola strategi, dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.
Dari ulasan di atas, terlihat bahwa pembentukan budaya korporatif yang baik, yang paling menentukan adalah orang-orangnya. Sebaik apapun aturan atau sistem di buat, tanpa ada keinginan dari manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik, semuanya menjadi tak berarti.
2. Etika Bisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.
Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
1). Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
2). Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
3). Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
4). Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
5). Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.
3. Etika dan Moral Melalui Pendekatan Agama
Secara etimologi kata “etika” dan “moral” berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan, hanya bahasa asalnya berbeda. Etika berasal dari bahasa Yunani, moral berasal dari bahasa Latin.
Etika :
1. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3. Ilmu tentang baik dan buruk (diterima dalam suatu masyarakat) = filsafat moral. Ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
Moral :
Nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Tidak bermoral = berpegang pada nilai dan norma yang tidak baik.
Moralitas = sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Nilai-nilai moral, nilai-nilai baik atau buruk, salah atau benar dapat muncul dalam penilaian dan kehidupan manusia karena :
1. Adanya Wahyu dari Sang Khalik yang diberikan kepada keimanan manusia itu sendiri. Karena itu setiap manusia harus taat beragama atau taat kepada pencipta-Nya.
2. Adanya pencarian oleh manusia itu sendiri terhadap fenomena-fenomena yang dihadapinya melalui pikiran-pikiran yang rasional melalui pendekatan-pendekatan filsafat. Informasi-informasi yang baik akan mempengaruhi terhadap kebaikan moralnya, begitu sebaliknya. Karena itu setiap manusia harus giat-giatnya belajar untuk dapat terus memperbaiki kualitas moralnya.
3. Dari hati nurani/suara hati. Namun suara hati dapat saja salah, karena itu perlu dilatih sejak kecil dan mau mendengarkan suara hati dalam memutuskan masalah-masalahyang berkaitan dengan moral.
Moral dan Agama.
Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.
Ajaran moral dalam suatu agama dianggap sangat penting :
Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan. Dasarnya adalah Wahyu. Ajaran moral itu diterima karena alasan keimanan.
Jadi alasan-alasan menerima aturan moral :
1. Karena alasan keagamaan.
2. Karena alasan filsafat (alasan-alasn rasional)
Filsafat :
Titik tolaknya adalah dalam rasio, dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri hanya atas rasio. Filsafat hanya menerima argument-argumen, artinya, alasan-alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui semua orang. Ia menghindari setiap unsure non rasional yang meloloskan diri dari pemeriksaan oleh rasio.
Keimanan :
Justru tidak terbuka untuk pemeriksaan rasional. Kebenaran iman tidak dibuktikan, melainkan dipercaya. Kebenaran tidak diterima karena dimengerti melainkan karena terjamin oleh usul-usul Ilahi atau Wahyu.
Kesalahan Moral :
Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan karena melanggar perintah-Nya.
Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah inkonsekuensi rasional, artinya pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi.
4. Etika Bisnis dalam Lingkungan Sosial
Etika bisnis menganut metode-metode dan tujuan etika normatif terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik suatu jenis pertimbangan moral tertentu, yaitu pertimbangan yang menyangkut kebijakan bisnis, norma, dan nilai bisnis. Etika ini menilai dan menentukan standar-standar moral yang sesuai dengan lingkungan spesifik dalam masyarakat modern, yaitu bisnis.
Bisnis adalah bagian dari masyarakat modern, mempunyai kedalaman logika yang tepat yaitu suatu prinsip dengan rumusan :
“Maksimumkan keuntungan perusahaan, kurangi biaya perusahaan.”
Etika bisnis harus menghadapi situasi yang kedalam logika rasionalitas bisnis menimbulkan ketegangan yang mungkin merugikan masyarakat moral. Etika bisnis menguraikan permintaan moral yang sah mengenai bisnis dengan mendasarkan fungsinya kepada teori yang sah mengenai hubungan antara bisnis dan masyarakat.
Tujuan etika bisnis :
1. Diagnosis dan pengobatan etika normatif umum.
2. Menilai perilaku moral dalam lingkungan bisnis dengan menggunakan standar-standar moral yang telah disefinisikan dengan jelas, serta merinci petunjuk moral tertentu yang sesuai dengan isu bisnis yang sebenarnya.
Pandangan masyarakat modern :
1. Pandangan Unitarian, menggunakan moralitas publik untuk mempertimbangkan kegiatan bisnis. Contoh pandangan Marxisme dan Katolikisme.
2. Pandangan separatis, menentang penggunaan moralitas publik untuk mempertimbangkan kegiatan bisnis, karena kegiatan bisnis mempunyai perilaku tersendiri. Contoh : pandangan Adam Smith.
3. Pandangan Integrasi, memposisikan diri di tengah kedua pandangan tersebut.
Lingkungan sosial bagi seorang individu :
1. Lingkungan keluarga.
2. Lingkungan organisasi, misalnya tempat bekerja, lingkungan bisnisnya
3. Lingkungan masyarakat Nasional (RT, Kecamatan, Kota, Negara, dan lain-lain)
4. Lingkungan masyarakat Internasional.
Etika, tindakan moral setiap individu sangat dipengaruhi oleh :
1. Kebiasaan-kebiasaan atau budaya/culture yang dibawa dari lingkungannya.
2. Dipengaruhi juga oleh kebiadaan-kebiasaan internasional, dampak dari globalisasi.
Setiap individu selalu mencari norma-norma yang lebih tinggi dalam mengatasi masalah hidupnya sampai norma tertinggi terakhir. Norma tertinggi yang diakui adalah nilai-nilai moral yang berasal dari Sang Khalik sendiri (wahyu).
Dalam lingkungan sosialnya setiap individu akan selalu berhadapan dengan konflik karena perbedaan pandangan terhadap suatu nilai-nilai moral. Untuk itu perlu tahapan untuk menilai suatu nilai moral dengan melihat norma-norma yang lebih tinggi. Misalnya:
1. Konflik antar karyawan-karyawan, bawahan-atasan, atasan-atasan, dan lain-lain, dalam mengatasinya harus mengikuti norma di perusahaannya, yaitu Anggaran Dasar dan Angaran Rumah Tangga.
2. Konflik antara karyawan dengan perusahaan kadangkala tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan AD/ART, maka mereka akan meninjau norma yang lebih tinggi lagi, yaitu Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang.
3. Undang-Undang yang menaungi aturan tersebut dianggap bersifat diskriminatif, maka harus ditinjau norma yang lebih tinggi lagi yaitu UUD.
4. UUD bukanlah hal yang haram untuk diubah jika bertentangan dengan nilai-nilai moral.
Demikianlah tindakan yang harus dilakukan oleh antar individu atau dengan lingkungan sosialnya agar konflik-konflik dapat diatasi dengan baik, yaitu dengan melakukan pencarian norma-norma yang lebih tinggi lagi sampai kepada norma tertinggi yaitu nilai-nilai moral itu sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar