PERBANDINGAN SISTEM EKONOMI MONETER
ISLAM DENGAN SISTEM EKONOMI MONETER KONVENSIONAL
Keadilan sosio-ekonomi, salah satu sisi yang paling menonjol dari suatu masyarakat
Islam yang diharapkan menjadi suatu jalan hidup (way of life) dan bukan sebagai
fenomena yang terisolasi, semangat ini harus menembus seluruh interaksi
manusia, sosial, ekonomi, dan politik.
Ketidakadilan di suatu daerah telah tersebar, satu
lembaga yang salah mungkin bisa mempengaruhi yang lain, bahkan dibidang bisnis
dan ekonomi, semua nilai harus bergerak kearah keadilan sehingga secara
keseluruhan mendukung bukan melemahkan apalagi menghilangkan keadilan sosio
ekonomi.
Di antara ajaran Islam yang paling penting untuk
menegakkan keadilan dan membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah
pelarangan semua bentuk upaya “memperkaya diri secara tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil).
Al-qur’an dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut
harta secara batil atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah
ayat 188 yang berbunyi :
وَلاَ تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ
لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنتُمْ
تَعْلَمُونَ {البقرة: 188}
“Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
Oleh karena itu, makalah ini mengupas mengenai pandangan Islam dan perbandingannya dengan moneter konvensional mengenai dalam rangka menjaga keadilan,
ketentraman, dan keharmonisan sosio-ekonomi masyarakat.
Dimana
Ekonomi Moneter
merupakan salah satu instrumen penting dalam perekonomian modern, dimana
dalam perekonomian modern terdapat dua kebijakan perekonomian yang
dijadikan instrumen oleh pemerintah dalam menstabilkan perekonomian suatu
negara, yang pertama adalah Kebijakan Fiskal,
yaitu kebijakan yang diambil pemerintah untuk membelanjakan pendapatannya dalam
merealisasi tujuan-tujuan ekonomi. Yang kedua adalah kebijakan moneter. Kebijakan Moneter
adalah langkah pemerintah untuk mengatur penawaran uang dan tingkat bunga. Pada
makalah ini saya sebagai penulis, akan mencoba menyajikan
konsep-konsep dasar dan perbandingan antara sistem ekonomi
moneter konvensional dengan sistem ekonomi
moneter islam.
Dalam
beberapa pemikiran masih “terkungkungi” cara berfikir ekonomi
konvensional, yaitu cara berfikir ribawi, sehingga ada kalanya tidak pas dengan
konsep ekonomi islam sesungguhnya, namun
ekonomi konvensional dapat jadikan bahan komparasi
untuk melihat sempurnanya agama islam sebagai sebuah ajaran sekaligus sebagai sistem.
Hal
ini sekaligus diharapkan memberikan jawaban atas keruwetan yang dimiliki
konsep-konsep ekonomi konvensional bahwa ada satu sistem ekonomi yang
menguntungkan, adil dan menentramkan, yaitu konsep Ekonomi Islam.
ISI
A. KONSEP
EKONOMI MONETER KONVENSIONAL
Ekonomi Moneter merupakan suatu
cabang ilmu ekonomi yang membahas tentang peranan uang dalam mempengaruhi
tingkat harga-harga dan tingkat kegiatan ekonomi dalam suatu negara.
B. UANG
DALAM EKONOMI KONVENSIONAL
a) Peranan Uang Dalam Ekonomi
Konvensional
Dalam ekonomi, uang di definisikan sebagai “anything
that is generally accepted as a medium of exchange” atau segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu
dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang
sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan
atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat
tukar.
b)
Fungsi Uang
Uang pada dasarnya berfungsi
sebagai alat transaksi yang berguna sebagai refleksi dari nilai sebuah barang
atau jasa. Berikut ini adalah fungsi uang berdasarkan pandangan konvensional:
Fungsi utama uang dalam
teori ekonomi konvensional adalah :
1)
Sebagai
alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat untuk
mempermudah pertukaran.
2)
Sebagai
alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/ harga sejenis
barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain.
3)
Sebagai
alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam bentuk uang atau
barang.
c)
Tujuan Memegang Uang
·
Tujuan
transaksi. Dalam rangka membayar
pembelian-pembelian yang akan mereka lakukan.
·
Tujuan
Berjaga-jaga. Sebagai alat untuk menghadapi
kesusahan yang mungkin timbul di masa yang akan datang.
·
Tujuan
Spekulasi. Dalam masyarakat yang menganunt sistem ekonomi
konvensional ini, maka fungsi uang yang tak kalah pentingnya adalah untuk
spekulasi, dimana pelaku ekonomi dengan cermat mengamati tingkat bunga yang berlaku
saat itu, jika menguntungkan bila dibandingkan investasi, maka masyarakat
cendrung mendepositokan saja uang, dengan harapan mendapat imbalan bunga.
d)
Teori Perilaku Uang
Ada
beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan prilaku uang dalam ekonomi konvensional,
antara lain:
Ø Teori
Moneter Klasik. Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori
kuantitas uang (MV = PT). Keberadaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga,
tetapi ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut.
Ø Teori
Keynes. Menurut Keynes, motif seseorang untuk memegang uang ada tiga tujuan
yaitu: Transaction motive, Precautionary motive (keperluan berjaga-jaga) dan
Speculative motive. Motif transaksi dan berjaga-jaga ditentukan oleh tingkat
pendapatan, sedangkan motif spekulasi ditentukan oleh tingkat suku bunga.
Ø Konsep
Time Value of Money. Dua hal yang menjadi alasan munculnya konsep ini
adalah : presence of inflation dan preference present consumption to future
consumption.
e)
Teori Economic Value Of Time Vs Time Value Of
Money
Teori konvensional meyakini bahwa uang saat ini lebih
bernilai dibanding uang di masa depan (time value of money). Teori ini
berangkat dari pemahaman bahwa uang adalah sesuatu yang sangat berharga dan
dapat berkembang dalam suatu waktu tertentu. Dengan memegang uang orang
dihadapkan pada risiko berkurangnya nilai uang akibat inflasi. Sedangkan jika menyimpan uang dalam bentuk surat
berharga, pemilik uang akan mendapatkan bunga yang diperkirakan diatas inflasi
yang terjadi. Teori time value of money ini tampak tidak akurat, karena setiap
investasi selalu mempunyai kemungkinan mendapat hasil positif, negatif bahkan
tidak mendapat apa-apa. Dalam teori keuangan hal ini dikenal dengan istilah risk-return
relation. Disamping itu kondisi ekonomi tidak selalu menghadapi masalah
inflasi, keberadaan deflasi yang seharusnya menjadi alasan munculnya negative
time value of money ini diabaikan oleh teori konvensional.
Sedangkan
dalam Ekonomi Islam memandang waktulah yang memiliki nilai ekonomis (penting).
Pentingnya waktu disebutkan Allah dalam QS.Al Ashr:1-3, yaitu:
وَالْعَصْرِ
(١) إِنَّ
الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)
”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran”.
Selanjutnya
terkait dengan konsep ekonomi Moneter Konvensional maka tidak bisa dipisahkan
dengan Kebijakan Moneter.
Kebijakan
Moneter adalah Kebijakan pemerintah dalam mengatur penawaran uang dan tingkat
bunga yang dilaksanakan oleh Bank sentral. Bentuk Kebijakan Moneter ini terdiri
dari Kebijakan Moneter Kuantitatif dan Kebijakan Moneter Kualitatif.
Kebijakan
Moneter Kuantitatif adalah merupakan suatu kebijakan umum yang bertujuan untuk
mempengaruhi jumlah penawaran uang dan tingkat bunga dalam perekonomian.
terdiri dari:
1. Operasi
pasar terbuka
Pada
masa inflasi maka Bang Sentral akan mengadakan operasi pasar terbuka dengan
melempar surat-surat berharga ke Bank umum, sehingga kelebihan uang di Bank
Umum tidak menyebabkan inflasi, dan sebaliknya pada masa deflasi.
2. Mengubah
Tingkat Bunga dan Tingkat Disconto
Tingkat
bunga dan tingkat disconto merupakan instrumen pemerintah dalam stabilisasi
moneter, ketika inflasi maka pemerintah melalui bank sentral dapat melakukan
kebijakan menaikkan suku bungga sehingga jumlah uang yang beredar di masyarakat
akan berkurang, dan kestabilan moneter akan tercapai, dan begitu pula
sebaliknya pada masa deflasi.
3. Mengubah
Tingkat Cadangan Minimum
Langkah
selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mengubah
cadangan minimun bank-bank umum ketika inflasi maka pemerintah mengambil
kebijakan untuk menaikkan cadangan minimum yang harus dimiliki oleh bank umum,
dengan demikian jumlah uang yang beredar di masyarakat akan berkurang, dan
sebaliknya pada masa deflasi.
Sedangkan
Kebijakan Moneter kualitatif dapat berupa :
1.
Pengawasan pinjaman secara selektif
Melalui
kebijakan ini maka pmerintah melalui bank sentral mengendalikan dan mengawasi
peminjaman dan investasi-investasi yang dilakukan oleh bank-bank umum.
2.
Pembujukan Moral
Bank
sentral melakukan pertemuan dengan bank-bank umum, melalui
forum ini maka bank sentral menjelaskan kebijakan-kebijakan yang sedang
dijalankan pemerintah dan bantuan-bantuan apa yang diinginkan oleh bank sentral
dari bank-bank umum untuk mensukseskan kebijakan tersebut.
3. Mengambil
asumsi
Bahwa
berbicara tentang ekonomi moneter terkait tentang dua hal :
(1). Tentang
uang dan aspek yang terpengaruh olehnya dan
(2). adalah
tentang tingkat bunga dan semua aspeknya.
C.
Konsep Ekonomi Moneter Syariah
Kebijakan moneter
sebenarnya bukan hanya mengutamakan suku bunga. Bahkan sejak zaman Rasulullah
SAW dan Khulafaur Rasyidin, kebijakan moneter dilaksanakan tanpa mengunakan
instrumen bunga sama sekali.
Perekonomian
Jazirah Arabia ketika itu adalah perekonomian dagang, bukan ekonomi yang
berbasis sumber daya alam; Minyak bumi belum ditemukan dan sumber daya alam
lainnya terbatas.
Lalu lintas
perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab dikenal sebagai Jalur
Dagang Selatan. Sedangkan antara Romawi dan Persia disebut Jalur Dagang Utara.
Sedangkan antara Syam dan Yaman disebut Jalur Dagang Utara-Selatan.
Perekonomian Arab
di zaman Rasulullah SAW, bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal
barter, bahkan jauh dari gambaran seperti itu. Valuta asing dari Persia dan
Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab.
Dinar dan Dirham
juga dijadikan alat pembayaran resmi. Sistem devisa bebas diterapkan, tidak ada
halangan sedikit pun untuk mengimpor dinar dan dirham.
Transaksi tidak
tunai diterima luas dikalangan pedagang. Cek dan promissory notes lazim
digunakan. Misalnya Umar Ibnu-Khaththab ra. Beliau menggunakan instrumen ini
untuk mempercepat distribusi barang-barang yang baru diimpor dari Mesir ke
Madinah.
Instrumen
factoring (anjak piutang) yang baru populer tahun 1980-an, telah dikenal pula
pada masa itu dengan nama al-hiwalah, tapi tentunya bebas dari unsur
bunga.
Apabila para
pedagang mengekspor barang, berarti dinar/dirham diimpor. Sebalikanya, bila mereka
mengimpor barang. Berarti dinar/dirham diekspor. Jadi dapat dikatakan bahwa
keseimbangan supply dan demand di pasar uang adalah derived market dari
keseimbangan aggregate supply dan aggregate demand di pasar barang dan jasa.
Nilai emas dan
perak yang terkandung di dalam dinar dan dirham, sama dengan nilai nominalnya.
Sehingga dapat dikatakan penawaran uang elastis sempurna terhadap tingkat
pendapatan. Tidak ada larangan impor dirham dan dinar berarti penawaran uang
elastis.
Sistem moneter
mengunakan bimetallic standar, dengan emas dan perak (dalam bentuk uang dirham
dan dinar) sebagai alat pembayaran yang syah. Nilai tukar emas dan perak pada
masa ini relatif stabil dengan nilai kurs dinar – dirham 1 : 10. Permintaan
akan uang dilandasi hanya oleh dua motif, yaitu untuk transaksi dan
berjaga-jaga. Modelnya sebagai berikut :Md = Mdtr + Md pr ; apabila Md pr maka
Mdtr. Mata uang dimpor, dinar dari romawi, dirham dari parsia dan disesuaikan
dengan volume ekspor dan impor. Nilai emas dan perak pada kepingan dinar dan
atau dirham sama dengan nilai nominal (face value) uangnya. Penawaran uang
terhadap pendapatan sangat elastis. Tinggi rendahnya permintaan uang bergantung
kepada frekuensi transaksi perdagangan dan jasa. Permintaan uang untuk
transaksi dan berjaga-jaga Kanz (larangan menimbun uang). Demand money,
elastis, karena tidak adanya hambatan terhadap impor ketika demand meningkat.
A. PERSPEKTIF
UANG DALAM EKONOMI ISLAM
1. Pengertian
Uang Menurut Ekonomi Islam
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak
dapat melakukan semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak
lain, dan untuk mendapatkannnya seorang individu harus menukarnya dengan barang
atau jasa yang dihasilkannya. Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal
yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus
menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang dibutuhkannya
dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena
itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan
satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Jauh sebelum bangsa
Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia Islam telah mengenal
alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit
menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai
ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.
Uang dalam bahasa Arab disebut “Maal”, asal katanya
berarti condong, yang berarti menyondongkan mereka kearah yang menarik, dimana
uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari logam misalnya-tembaga,
emas, dan perak. Menurut fiqh ekonomi Umar RA diriwayatkan[1],
uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran
dalam muamalah manusia. Berdasarkan sejarah Islam, pada masa Rasulullah SAW.
mata uang menggunakan sistem bimetallic standard (emas dan perak) demikian juga
pada masa Bani Umayyah dan Bani Abassiyah. Dalam pandangan Islam mata uang yang dibuat dengan emas (dinar) dan perak
(dirham) merupakan mata uang yang paling stabil dan tidak mungkin terjadi
krisis moneter karena nilai intrinsik sama dengan nilai riil. Mata uang ini
dipergunakan bangsa arab sebelum datangnya Islam.
Dalam
al-Qur’an ada beberapa ayat yang menunjukkan pengertian uang dan keabsahan
penggunaan uang sebagai pengganti sistem barter. Kata-kata yang menunjukkan
pengertian ‘uang’ dalam al-Qur’an ada beberapa macam, yaitu :
a. Dinar ( د
ينا ر ), yaitu QS. Ali Imran : 75
b. Dirham ( د ر هـم / د را هـم ), yaitu QS. Yusuf :
20
c. Emas dan perak ( ذ هـب / فضـة ), penggunaan
kata-kata emas dan perak ini banyak terdapat dalam al-Qur’an antara lain pada
QS. At-Taubah : 34.
d. Waraq atau uang tempahan perak ( و ر ق ), yaitu pada QS
al-Kahfi ayat 19
e. Barang-barang niaga yang biasa dijadikan
alat tukar ( بضـا
عـة ), tersebut antara lain pada QS. Yusuf ayat 88.
Ekonomi
Islam secara jelas telah membedakan antara money dan capital. Dalam Islam, Uang adalah adalah public good/milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan
uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar. Implikasinya, proses
pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta
juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti
tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak
baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan
perekonomian. Oleh karenanya Islam melarang penumpukan / penimbunan harta,
memonopoli kekayaan, “al kanzu” sebagaimana telah disebutkan dalam QS. At
Taubah 34-35 berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ
كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣٤)
”Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan
rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan
mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.
يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ
جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا
كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (٣٥)
”Pada
hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi
mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah
harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang
(akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
Uang Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu
Khaldun, Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada
tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin”
telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang
berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu
sendiri. Maksudnya, adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan
menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan
sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna.[2] Maknanya adalah uang tidak mempunyai
harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik
disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility
function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang,
maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat
dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan
bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara
tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca
pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya,
tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang
yang melimpah tersebut tidak ada nilainya.[3]
Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan
menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan
permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai
uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau
penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply)
dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga
keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak
daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya.
Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan
terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang.
Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya
beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali
berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena
menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori
moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini
berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu.
Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang
palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah suatu
perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus
berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun
yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.
2.
Fungsi Uang dalam Ekonomi Syariah vs Konvensional
Menurut konsep Ekonomi Syariah, uang
adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional,
konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest
and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital
secara bergantian[4].
Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow
concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock
concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public
goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi
milik pribadi (private good).
Islam,
telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi
konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan
berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah
externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods
tercermin dalam sabda Rasulullah Shalallahu alaihiwasalam, yakni “Tidaklah
kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput”.
Berikut ini merupakan fungsi
uang berdasarkan pandangan Ekonomi Islam:
a.
Dalam
penggunaannya sebagai alat pembayaran atau media untuk pertukaran dalam
melaksanakan transaksi ekonomi, maka penggunaan uang sejalan dengan konsep
ekonomi syariah. Dimana manfaat uang mencapai nilai optimum bila peredarannya
berlaku optimal. Akibatnya segala kegiatan yang mengganggu pemakaian uang dalam
transaksi ekonomi tidak sesuai dengan Syariah Islam. Sehingga pada saat emas
dipakai sebagai uang, maka penyimpanan emas yang mengakibatkan peredaran uang
terganggu (kanzul maal) dilarang oleh Syariah Islam.
b.
Dalam
penggunaannya sebagai sarana untuk menyimpan nilai maka penggunaan uang tidak
bertentangan dengan konsep ekonomi syariah, selama uang tersebut masih bisa
dipergunakan dalam kegiatan transaksi perniagaan. Oleh karena itu diperlukan
adanya pihak ketiga (dalam hal ini adalah lembaga keuangan) yang menerima
simpanan uang dari pihak yang ingin menyimpan nilai dan kemudian menyalurkannya
kepada pihak-pihak yang ingin melakukan transaksi sehingga uang tersebut masih
dapat dipergunakan dalam transaksi walaupun nilai yang disimpan oleh pemilik
asal tidak berkurang.
c.
Namun
penggunaan uang untuk spekulasi sama sekali bertentangan dengan Syariah Islam,
baik karena spekulasi tersebut tidak disukai maupun karena spekulasi umumnya
berkaitan dengan menghalangi terjadinya mekanisme pasar yang wajar guna
mendapatkan fluktuasi harga yang abnormal. Spekulasi juga mengakibatkan ketidak
stabilan nilai dari mata uang itu sendiri karena fluktuasi harga pada
hakekatnya adalah fluktuasi nilai (daya beli) dari uang itu sendiri.
Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi
Syariah dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of
exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah
ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store
of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for
speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi
perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan
uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan,
niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang”.
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang
tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang didapatkan bukan dari
uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk
mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang
dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat dirasakan saat
ini, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.
B. KEBIJAKAN MONETER DALAM PANDANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM
1.
Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan
Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian
melalui pengaturan jumlah uang beredar.[5]
Untuk mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung,
disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah penting adalah meluruskan
kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar masalah uang. Bila dicermati,
krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya
dipicu oleh dua sebab utama, yang semuanya terkait dengan masalah uang.
a.
Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini
pasti terikat dengan mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS),
tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil
karena bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi
kestabilan mata uang tersebut.
b.
Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi
dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang
diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest)
alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.
Persoalan
kedua relatif bisa selesai andai saja semua bentuk transaksi yang di dalamnya
terdapat unsur riba dinyatakan dilarang. Lembaga keuangan syariah, termasuk
bank syariah, menjadi satu-satunya anak tunggal yang sah beroperasi di negeri
ini menggantikan bank-bank konvensional. Dengan melarang semua transaksi ribawi, berarti telah menghilangkan factor
utama penyebab labilitas moneter. Sebaliknya, tetap membiarkan bank-bank
konvensional berjalan (sekalipun pada saat yang sama juga beroperasi bank-bank
syariah) sama saja memelihara penyakit yang sewaktu-waktu akan memporak-porandakan
kembali bangunan ubuh ekonomi Indonesia.
Sementara itu, persoalan pertama diatasi
dengan cara mengkaji ulang mata uang kertas yng selama beberapa puluh tahun
terakhir diterima begitu saja tanpa reserve (taken for granted),
seolah tidak ada persoalan di dalamnya. Berapa banyak diantara kita yang
menyangka bahwa uang kertas yang setiap hari ada di kantong kita menyimpan
sebuah persoalan begitu mendasar?
Berkenaan dengan mata uang, Islam memiliki
pandangan yang khas. Abdul Qodim Zallum mengatakan bahwa sistem moneter atau
keuangan adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu
negara[6].
Yang paling penting dalam setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar
keuangan (al-wahdatu al-naqdiyatu alasasiyah) dimana kepada satuan itu
dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar
keuangan itu adalah emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang
emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan
dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem
dua logam. Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap
dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau
dibuat dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam
sistem dua logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam
berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa
diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai
tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham
perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi
oleh Rasulullah SAW. Ketika itu kendati menggunakan sistem uang dua logam,
Rasulullah SAW memang tidak mencetak dinar dan dirham emas sendiri, tapi
menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia (ini juga menunjukkan bahwa sistem
uang dua logam tidak eksklusif hanya dilakukan oleh ummat Islam). Demikian
seterusnya, sistem dua logam itu diterapkan oleh para khalifah hingga masa
Khalifah Abdul Malik bin Marwan (79H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan
dirham khusus dengan corak Islam yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan
nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai
nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang
itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar
terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik
nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram
emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi
dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak
ekonomi seperti sekarang ini Insya Allah juga tidak akan terjadi. Penurunan
nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas
yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut
inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi
keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas
besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang
disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini
terjadi, emas temuan itu akan segera disimpan menjadi cadangan devisa negara,
tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas
terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin. Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh
negara.
Secara syar'i pemanfaatan sistem mata uang
dua logam juga selaras dengan sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut
uang. Diantaranya tentang nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham
perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal, bukan idzkar atau saving)
dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan
disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya
diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal
pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua
menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam
sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Abdul
Qodim Zallum menyarankan sejumlah hal. Diantaranya, menghentikan pencetakan
uang kertas dan menggantinya dengan uang dua logam dan menghilangkan hambatan
dalam ekspor dan impor emas[7].
Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu akan mendorong eksplorasi dan
eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran) untuk mencukupi kebutuhan
transaksi yang semakin meningkat.
2. Instrumen-instrumen Kebijakan
Moneter dalam Konvensional dan Syari’ah.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa kebijakan moneter adalah proses mengatur
persediaan uang sebuah Negara. Biasanya otoritas moneter dipegang oleh Bank
Sentral suatu negara. Dengan kata lain, kebijakan moneter merupakan instrumen Bank Sentral yang
sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi variable-variabel
finansial seperti suku bunga dan tingkat penawaran uang. Sasaran yang ingin dicapai
adalah memelihara kestabilan nilai uang baik terhadap faktor internal maupun eksternal.
Stabilitas nilai uang mencerminkan stabilitas harga yang pada akhirnya akan
mempengaruhi realisasi pencapaian tujuan pembangunan suatu negara, seperti
pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi, perluasan kesempatan kerja,
pertumbuhan ekonomi riil yang optimum dan stabilitas ekonomi.
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan
kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik
secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari
tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini
disebutkan AL Qur’an dalam QS.Al.An’am:152
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan
kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik
secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari
tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini
disebutkan AL Qur’an dalam QS.Al.An’am:152
…………وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ…….
“……. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. …”
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra (Al Quran Menuju
Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter
dalam perekonomian Islam adalah stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa
pengembangan moneter yang tidak berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya
dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa
bagi kesejahteraan sosial umum.
Pelaksanaan kebijakan moneter (operasi moneter) yang dilakukan otoritas
moneter sebagai pemegang kendali money supply untuk mencapai
tujuan kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan target yang akan dicapai
dan dengan instrumen apa target tersebut akan dicapai. Instrumen-instrumen pokok dari kebijakan moneter
dalam teori konvensional[8]
antara lain adalah:
a. Kebijakan
Pasar terbuka. (Open Market Operation). Kebijakan membeli atau menjual surat
berharga atau obligasi di pasar terbuka. Jika bank sentral ingin menambah
suplai uang maka bank sentral akan membeli obligasi, dan sebaliknya bila akan
menurunkan jumlah uang beredar maka bank sentral akan menjual obligasi.
b. Penentuan
Cadangan Wajib Minimum. (Reserve Requirement). Bank sentral umumnya menentukan
angka rasio minimum antara uang tunai (reserve) dengan kewajiban giral bank
(demand deposits), yang biasa disebut minimum legal reserve ratio. Apabila bank
sentral menurunkan angka tersebut maka dengan uang tunai yang sama, bank dapat
menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak daripada sebelumnya.
c. Penentuan
Discount Rate. Bank sentral merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau
komersial dan sebagai sumber dana yang terakhir (the last lender resort). Bank
komersial dapat meminjam dari bank sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di
bawah tingkat suku bunga kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas. Discount
rate yang bank sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial mempengaruhi
tingkat keuntungan bank komersial tersebut dan keinginan meminjam dari bank
sentral. Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga pinjaman,
maka bank komersial akan mempunyai kecendrungan untuk meminjam dari bank
sentral.
d. Moral
Suasion atau Kebijakan Bank Sentral yang bersifat persuasif berupa
himbauan/bujukan moral kepada bank.
himbauan/bujukan moral kepada bank.
Walaupun
pencapaian tujuan akhirnya tidak berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara
prinsip, moneter syari’ah berbeda dengan yang konvensional terutama dalam
pemilihan target dan instrumennya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis
instrumen tersebut adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal
maupun rate return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan
target pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan kebijakan
moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga sebagai
target/sasaran operasionalnya.
Adapun instrumen moneter
syariah adalah hukum syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan
kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadi
underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen
konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open
market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat
digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi sejumlah
instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam
masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti Reserve
Requirement, overall and selecting credit ceiling, moral suasion and change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga
bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate tersebut.
Bank Sentral Islam memerlukan
instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal
ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk meningkatkan atau
menurunkan uang beredar. Penghapusan
sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen
kebijakan moneter dalam ekonomi Islam[9],
antara lain :
a.
Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari
simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5 %. Jika bank
sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari
5 persen menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu
sebaliknya.
b.
Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk
bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi
berada dalam keadaan depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang
dapat dipompa ke dalam ekonomi.
c.
Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada
istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan
(pinjaman kebaikan).
d.
Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari
pinjaman bebas bunga. Ketika refinance
ratio
meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
e.
Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit
sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank sentral dapat
menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank
sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk
nasabah akan ditingkatkan.
f.
Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di
mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan mengeluarkan sukuk lebih banyak
sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan
tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas
untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Government Investment
Certificate
Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam
kerangka komersial, disebut sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri
Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam
jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di
terima dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan
pemerintah dengan system bebas bunga, yang disebut GIC: Government Instrument
Certificate.
Saat ini terdapat beberapa bank sentral,
baik yang menggunakan single banking
(bank Islam saja) maupun dual banking
system yang telah menciptakan dan menggunakan instrumen pengendalian
moneter ataupun menggunakan surat berharga dengan underlying pada transaksi-transaksi
syariah. Prinsip transaksi syariah[10]
yang digunakan antara lain adalah
Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
a.
Prinsip Wadiah
Digunakan di Indonesia
berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Malaysia berupa
Wadiah Interbank Acceptance (WIA).
b.
Prinsip Musyarakah
Negara yang menggunakan
mekanisme ini adalah Sudan yang dikenal sebagai Government Musharakah Certificate (GMC) dan Central Bank Musharakah
Certificate (CMC).
c.
Prinsip Mudharabah
Negara yang menggunakan
adalah Republik Iran dikenal dengan National
Participation Paper (NPP), dan Negara Malaysia dengan Mudharabah Money Market Operations
d.
Prinsip Al Ijarah
Instrumen pengendalian
moneter yang digunakan antara lain
Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain.
Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain.
3.
Strategi Kebijakan Ekonomi Islam
Dalam
sebuah perekonomian Islam, permintaan terhadap uang akan lahir terutama dari
motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada umumnya oleh tingkatan
pendapatan uang dan distribusinya. Permintaan terhadap uang karena motif spekulatif pada
dasarnya didorong oleh fluktuasi suku bunga pada perekonomian kapitalis. Suatu
penurunan dalam suku bunga dibarengi dengan harapan tentang kenaikannya akan
mendorong individu dan perusahaan untuk meningkatkan jumlah uang yang dipegang.
Karena suku bunga seringkali
berfluktuasi pada perekonomian kapitalis, terjadilah perubahan terus-menerus
dalam jumlah uang yang dipegang oleh publik. Penghapusan bunga dan kewajiban
membayar zakat dengan laju 2,5 persen per tahun tidak saja akan meminimalkan
permintaan spekulatif terhadap uang dan mengurangi efek suku bunga ”terkunci”,
tetapi juga akan memberikan stabilitas yang lebih besar bagi permintaan total
terhadap uang. Hal ini lebih jauh akan diperkuat oleh sejumlah faktor antara
lain sebagai berikut[11]
:
a. Aset pembawa bunga tidak akan tersedia
dalam sebuah perekonomian Islam, sehingga orang yang hanya memegang dana likuid
menghadapi pilihan apakah tidak mau terlibat dengan resiko dan tetap memegang
uangnya dalam bentuk cash tanpa memperolah keuntungan, atau turut
berbagi resiko dan menginvestasikan uangnya pada aset bagi hasil sehingga
mendapatkan keuntungan.
b. Peluang investasi jangka pendek dan
panjang dengan berbagai tingkatan resiko akan tersedia bagi para investor tanpa
memandang apakah mereka adalah pengambil resiko tinggi atau rendah, sejauh mana
resiko yang dapat diperkirakan akan diganti dengan laju keuntungan yang
diharapkan.
c. Barangkali dapat diasumsikan bahwa
--kecuali dalam keadaan resesi-- tak akan ada pemegang dana yang cukup
irasional untuk menyimpan sisa uangnya setelah dikurangi oleh
keperluan-keperluan transaksi dan berjaga-jaga selama ia dapat menggunakan
sisanya yang menganggur untuk melakukan investasi pada aset bagi hasil untuk
menggantikan paling tidak sebagian efek erosif zakat dan inflasi, sejauh
dimungkinkan dalam sebuah perekonomian Islam.
d. Laju keuntungan --bebeda dari laju suku
bunga-- tidak akan ditentukan di depan. Satu-satunya yang akan ditentukan di
depan adalah rasio bagi hasil, ini tidak akan mengalami fluktuasi, seperti
halnya suku bunga karena ia akan didasarkan pada konvensi ekonomi dan sosial,
dan setiap ada perubahan didalamnya akan terjadi lewat tekanan
kekuatan-kekuatan pasar sesudah terjadi negosiasi yang cukup lama. Jika prospek
ekonomi cerah, keuntungan secara otomatis akan meningkat. Karena itu, tidak ada
apa pun yang didapat dengan menunggu.
4.
Kebijakan Moneter Pada
Masa Rasulullah.
Seperti yang telah
kita ketahui bahwa mata uang yang digunakan bangsa arab, baik sebelum atau
sesudahnya, adalah dinar dan dirham. Kedua mata uang tersebut memiliki nilai
uang yang tetap dan karenanya tidak ada masalah dalam perputaran uang. Walaupun demikian, dalam
perkembangan berikutnya, dirham lebih umum digunakan daripada dinar. Hal ini
sangat berkaitan erat dengan penaklukan tentara Islam terhadap hampir seluruh wilayah kekaisaran Persia.
Sementara itu, tidak semua wilayah
kekaisaran Romawi berhasil dikuasai oleh tentara Islam.
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW
ini, kedua mata uang tersebut diimpor, dinar dari Romawi dan dirham dari
Persia. Besarnya volume dinar dan dirham yang diimpor dan juga barang-barang
komoditas bergantung kepada volume komoditas yang diekspor ke dua negara tersebut dan wilayah-wilayah
lain yang berada dibawah pengaruhnya. Lazimnya, uang akan diimpor jika permintaan
uang (money demand) pada pasar
internal mengalami kenaikan. Dan sebaliknya, komoditas akan diimpor apabila
permintaan uang mengalami penurunan.
Karena tidak adanya
pemberlakuan tarif dan bea masuk pada barang impor, uang diimpor dalam
jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan internal. Pada sisi lain, nilai
emas dan perak pada kepingan dinar dan dirham sama dengan nilai
nominal (face value) uangnya, sehingga keduanya dapat dibuat perhiasan atau ornamen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada awal periode Islam, penawaran
uang (money suply) terhadap
pendapatan , sangat elastis.
Frekuensi transaksi perdagangan dan jasa,
menciptakan permintaan uang. Karena itu motif utama permintaan terhadap uang pada masa ini adalah permintaan transaksi (transaction demand). Sementara itu
adanya peperangan antara kaum Quraisyi dan kaum muslimin (sedikitnya terjadi 26
ghozwah dan 32 sariyah yang berarti rata-rata 5 kali perang dalam setiap tahunnya), telah menimbulkan
permintaan uang untuk berjaga-jaga (precautionary demand) terhadap kebutuhan yang tidak terduga. Akibatnya, permintaan
terhadap uang selama periode ini secara umum bersifat permintaan transaksi dan
pencegahan. Larangan penimbunan, baik
uang maupun komoditas, dan talqqi rukhban tidak
memberikan kesempatan kepada penggunaan uang dengan selain kedua
motif tersebut.
Ketika penduduk arab banyak yang memeluk agama
islam, jumlah populasi kaum muslimin berkembang dengan pesat. Disamping itu,
harta rampasan perang (ghonimah) dibagikan kepada seluruh kaum muslimin, sehingga standar hidup dan pendapatan mereka meningkat.
Berdasarkan semua ini, Nabi Muhammad SAW, melalui kebijakan khususnya,
meningkatkan kemampuan produksi dan ketenaga kerjaan kaum muslimin
secara terus menerus. Keseluruhan faktor ini meningkatkan permintaan transaksi
terhadap uang dalam perekonomian periode awal islam.
secara terus menerus. Keseluruhan faktor ini meningkatkan permintaan transaksi
terhadap uang dalam perekonomian periode awal islam.
Disamping itu, penawaran uang tetap elastis
karena tidak ada hambatan terhadap impor uang ketika permintaan terhadapnya mengalami
kenaikan. Disisi lain, ketika penawaran akan naik,
penawaran berlebih (exces supply) akan diubah secara mudah menjadi ornament emas atau
perak. Akibatnya, tidak ada penawaran atau permintaan berlebih terhadap mata
uang emas dan perak sehinga pasar akan selalu tetap pada keseimbangan (equilibrium). Oleh karena itu, nilai
uang tetap stabil.
DAFTAR PUSTAKA
3.
Adi Warman Karim, Ekonomi Islam Suatu kajian
Ekonomi Makro, IIIT Indonesia, Mei 2002.
4.
Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan-Kebijakan Ekonomi
Umar Bin Khattab, Azzam, Jakarta, 2003.
5. Al-Quran
6. A. Karim, Adiwarman, 2007, Ekonomi
Makro Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
7. Chapra, M. Umer, 2000, Sistem Ekonomi
Islam. Jakarta: Gema Insani.
Kajian
Pengembangan Instrumen OPT Dalam Rangka Pelaksanaan Pengendalian Moneter
Melalui Perbankan Syariah, Direktorat Pengembangan Moneter Bank Indonesia, 2006
8.
Konsep Uang Dalam Ekonomi Islam
(Online),
(http://www.infogue.com/bisnis_keuangan/konsep_uang_dalam_ekonomi_islam/),
diakses 10 Oktober 2009
9. Masyhuri, 2005, Teori Ekonomi Dalam
Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana,.
10. Muhammad, 2002, Kebijakan
Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami,
Jakarta: Penerbit Salemba Empat, Jakarta 2002
Jakarta: Penerbit Salemba Empat, Jakarta 2002
11. Rogers
Colin, Money, Interest and Capital.
12. Samuelson,
Paul A., 1991, Ekonomi edisi 12, Jakarta: Erlangga.
Yuliadi, Imamudin. “Ekonomi Moneter”. Indeks. 200
[3] Ibid,
hal. 21.
[4] Colin Rogers, Money, Interest and
Capital, hal. 7.
[8]
Paul A. Samuelson & William D.Nordhaus, Ekonomi edisi 12, hal. 34.
[9]Kajian Pengembangan Instrumen OPT Dalam
Rangka Pelaksanaan Pengendalian
Moneter
Melalui Perbankan Syariah, Direktorat Pengembangan Moneter Bank Indonesia, 2006
[10] Drs. Muhammad M.Ag., Kebijakan Fiskal dan
Moneter Dalam Ekonomi Islami,
Hal. 67.
[11] Dr. M. Umer Chapra. Sistem Ekonomi
Islam. Hal. 98.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar