Powered By Blogger

Jumat, 28 Mei 2010

nilai ekonomi pendidikan

I. NILAI MODAL MANUSIA
Modal fisik, tenaga kerja dan kemajuan teknologi adalah tiga faktor pokok masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Di negara berkembang dan terbelakang, laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada di negara maju. Meski demikian, umumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di negara maju. Kenapa demikian?
Jawabnya adalah: kedua faktor selain tenaga kerja, sangat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi.
Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79.
Tetapi, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Bila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen.
Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas.
Lalu pertanyaan, apa ukuran yang menentukan kualitas manusia? Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik.

Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Ini adalah anggapan umum, yang secara teoritis akan diuraikan lebih detail.
 Kerangka Teoritis mengenai Nilai Modal Manusia
Dewasa ini berkembang paling tidak tiga perspektif secara teoritis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial.
Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini.
Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi.
Pada tahun 70-an, teori ini mendapat kritik tajam. Argumen yang disampaikan adalah tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Juga ditekankan bahwa dalam ekonomi modern sekarang ini, angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan lagi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan proses produksi yang semakin dapat disederhanakan.
Dengan demikian, orang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya noon formal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Argumen ini diformalkan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori alokasi atau persaingan status yang mendapat dukungan dari Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979).
Teori persaingan status ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi. Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang bependidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi.
Akan halnya teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial. Pendidikan pada kelompok elit lebih menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan kelas yang dominan. Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini didukung antara lain oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976).
Teori mana yang relevan dalam situasi sekarang? Seperti disebutkan di atas, pandangan baru dalam pertumbuhan produktivitas, yang dimulai pada akhir 1980-an dengan pionir seperti Paul Romer dan Robert Lucas, menekankan aspek pembangunan modal manusia.
Menurut Romer misalnya (1991), modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi.
Karena modal manusia, seperti dikemukakan dalam awal tulisan ini, memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi.
Secara implisit, pendidikan menyumbang pada penggalian pengetahuan. Ini sebetulnya tidak hanya diperoleh dari pendidikan tetapi juag lewat penelitian dan pengembangan ide-ide, karena pada hakikatnya, pengetahuan yang sama sekali tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan manusia akan mubazir.
Karenanya, aspek penelitian dan pengembangan menjadi salah satu agenda utama apabila bangsa Indonesia berkeinginan untuk hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah jauh lebih maju. Dengan keterbatasan modal kapital dan manusia, tugas pengembangan penelitian ini tidak mungkin hanya diusahakan pemerintah. Seharusnya, pihak swasta menjadi ujung tombak dalam usaha kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan.
 Realitas Nilai Modal Manusia yang terjadi di Indonesia
Akan tetapi, umumnya sektor swasta masih melihat investasi modal fisik sebagai satu-satunya faktor utama dalam pengembangan dan akselerasi usaha. Untuk memenuhi kebutuhan modal manusianya, sektor swasta cenderung mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri. Dalam jangka pendek cara ini mungkin ada benarnya. Tetapi dalam jangka panjang tentu sangat tidak relevan, apalagi untuk sebuah usaha berskala besar atau yang sudah konglomerasi.
Bila dilihat dari besarnya investasi di bidang riset dan pengembangan, kondisi ini tidak lebih baik. Dibanding China dan Singapura, Indonesia jauh lebih kecil. Demikian juga dari besarnya investasi pendidikan yang dilakukan di luar negeri. Singapura, yang berpenduduk tidak sampai setengah penduduk Jakarta, mengirim mahasiswa ke AS hampir setengah jumlah mahasiswa Indonesia di AS.
Sesuai dengan berbagai kesepakatan regional dan internasional di bidang ekonomi, Indonesia dihadapkan dengan situasi persaingan yang amat ketat. Dalam situasi ini, daya saing kompetitif produk/komoditi tidak mungkin dikembangkan jika tidak diimbangi daya saing kompetitif sumberdaya manusia. Dalam arti, mengandalkan keunggulan komparatif sumberdaya manusia yang melimpah dan murah sudah kurang relevan.
Dengan demikian, peningkatan investasi di bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan tidak bisa dihindarkan lagi, baik oleh pemerintah maupun kalangan swasta. Sebenarnya, setiap tahun pemerintah telah meningkatkan anggaran sektor pendidikan. Masalahnya, angka dan peningkatan ini secara absolut relatif sangat kecil, sehingga masih jauh bila dibanding negara-negara tetangga yang sangat serius dalam pengembangan sumberdaya manusia. Persentase investasi pendidikan sekitar 10-15 persen dari total anggaran pemerintah mungkin adalah hal yang wajar.
Demikian juga sektor swasta. Selama ini belum ada aturan yang menggariskan berapa persen biaya pengembangan sumberdaya manusia serta penelitian dan pengembangan dari struktur biaya perusahaan dalam industri nasional. Di sektor perbankan sempat ada ketentuan yang menetapkan biaya pengembangan sumberdaya manusia 5 persen dari profit. Akan tetapi, angka ini relatif sangat kecil, karena biaya pengembangan tersebut dibebankan pada profit, tidak sebagai beban input.
Dengan pendekatan beban input, proporsi sekitar 10-15 persen dari total biaya juga merupakan hal yang wajar. Barangkali dalam pelaksanaannya, tidak salah jika BUMN menjadi pionir
II. Teori Modal Manusia
SELAMA 32 tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan pendidikan nasional telah mengikuti Teori Modal Manusia (the human capital theory), yaitu meningkatkan produktivitas warga belajar, yang memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Teori ini bersumber dari pemikiran para ekonom (Schultz 1961, Blaugh 1976 dan Woodhal 1994), yang menyatakan proses pendidikan, nilai-nilai, dan keterampilan yang berguna pada manusia dapat meningkatkan kapasitas belajar dan produktivitasnya.
Semua ini yang memungkinkan pendapatan masa datang mereka, dengan meningkatkan penghasilan seumur hidup mereka. Proses pendidikan dilihat sebagai model investasi yang dibedakan dari konsumsi yang menghasilkan kepuasan atau manfaat segera, tetapi tidak menciptakan pendapatan masa depan.
Aset yang menghasilkan pendapatan masa depan disebut kapital, yang dalam analisis ekonomi tentang investasi dan kapital cenderung berkonsentrasi pada kapital fisik, yang menghasilkan pendapatan di masa depan dengan menghasilkan produksi.
Namun kemudian, investasi telah diperluas ke investasi manusia dalam bentuk pendidikan dan pelatihan, yang dapat meningkatkan kapasitas produksi kerja yaitu peningkatan produktivitas usaha manusia. Masyarakat memperoleh manfaat pendidikan atau pelatihan, dengan meningkatkan produktivitas tenaga kerja terdidik yang semakin banyak.
Biaya pendidikan bagi masyarakat adalah biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga pendidikan swasta, baik berupa penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun swasta. Keuntungan investasi dalam kapital manusia adalah dengan menggunakan teknis analisis biaya dan penafsiran investasi.
Dalam kenyataannya, akumulasi masyarakat terdidik dari tahun-ketahun tidak mendukung pembentukan investasi dalam bentuk kapital manusia. Pada awalnya, orang menduga berlakunya hukum ekonomi pertambahan yang makin berkurang (law diminishing return) sehingga berlangsung tidak berkesinambungan.
Banyak fenomena di negara berkembang bahwa akumulasi masyarakat terdidik malah menghasilkan akumulasi pengangguran. Fenomena ini muncul pada akhir 1960-an di banyak negara berkembang, sehingga membalikkan asumsi bahwa pendidikan maupun pelatihan tidak memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kapasitas belajar dan produksi pendidikan.
 Teori Modal Manusia di dalam Konsep Sekolah Unggulan
Perkembangan Teori Modal Manusia kemudian menjadi isu kontroversial. Dalam perkembangan ekonomi pendidikan, kehadiran Teori Modal Manusia dikoreksi oleh The Screening Hypothesis, yaitu asumsi yang menyatakan pendidikan tidak mampu meningkatkan kapasitas produksi pendidikan secara langsung. Tetapi cuma bertindak sebagai filter yang memungkinkan seseorang mempekerjakan atau mengidentifikasi personal, dengan kemampuan bawaan atau karakteristik personal yang tinggi yang membuat mereka produktif.
Asumsi ini kemudian diformalkan oleh Joseph Stiglitz (1975), melalui The Signaling Theory, yang melontarkan pemikiran bahwa setiap orang berbeda produktivitasnya. Ia pun menyatakan, pendidikan menyerap banyak biaya. Sedangkan perusahaan tidak bakal mengetahui produktivitas karyawan hanya lewat pendidikan formalnya.
Asumsi dari The Screening Hypothesis ini lantas mendasari elite pemodal mendirikan sekolah unggulan. Mereka yakin pendidikan akan menjadi tiket masuk untuk profesi-profesi tertentu. Selain itu, para pekerja terdidik kemungkinan besar datang dari kelas sosial yang lebih tinggi dan cenderung bekerja di kota daripada di desa.
Salah satu pengertian yang dikaitkan dengan keungulan adalah kemampuan yang diperlukan manusia untuk bisa survive secara berhasil dalam iptek (ada yang menerjemahkan dengan kemampuan teknokultural dan teknostruktural). Orang tua dari kelas menengah tertentu mulai gelisah, mencoba merebut masa depan dengan memposisikan anak-anaknya pada proses pendidikan yang lebih menjanjikan masa depan.
Dalam persaingan di alam yang serba kapitalistik itu, Teori Modal Manusia sudah mulai memihak yaitu kepada pemilik modal atau kapital. Teori modal manusia kemudian menggejala sebagai simbol status kebersaran sekolah unggulan dengan konsep yang dilontarkan oleh Peter Drucker (1997), ''Knowledge is the only meaningful resource today'' (Pengetahuan adalah salah satu sumberdaya yang bermakna dewasa ini).
 Teori Modal Manusia di dalam Konsep Social Action
Berlakunya Teori Modal Manusia selama ini menyiratkan ada sesuatu yang hilang: mengapa pendidikan hanya melahirkan akumulasi pengangguran dalam masyarakat? Mengapa pendidikan tidak menghasilkan masyarakat yang mempunyai keterampilan, tangguh, dan mampu bersaing, sehingga dapat menciptakan peluang usaha baru bagi masyarakat?
Serangkaian pernyataan selalu dapat terlontar untuk mengkritisi Teori Modal Usaha, sebab pada kenyataannya sejak tahun 1970-an di banyak negara berkembang lahir masalah baru akibat investasi pendidikan yaitu makin banyak pengangguran dan makin menumpuk hutang negara berkembang pada negara maju, karena investasi pendidikan yang tidak terbayar.
Menurut kacamata sosiologi, masalah pendidikan dapat diwawas lewat pendekatan makro dan mikro. Pada tataran makro, negara tidak berhasil memposisikan pendidikan dalam peristiwa social action. Yaitu kemampuan individu dalam masyarakat untuk ''memahami'' (pinjam istilah Max Weber soal vestehen) arti tindakan orang-perorang secara subjektif sebagai kekuatan yang berdiri sendiri, sesuai dengan kemampuan yang ada dan tersebar.
Pendidikan sebagai tindakan sosial untuk melepaskan diri dari ideologi pembangunan yang membelenggu. Proses pendidikan adalah konsep subjektif dari masyarakat untuk dapat mengatasi berbagai masalah empirik dalam kehidupan sehari-hari secara objektif. Pada tataran mikro, dibutuhkan berbagai jenis keterampilan khusus yang beragam di setiap daerah.
Desentralisasi pendidikan dalam bentuk otonomi daerah membutuhkan beragam produk keterampilan teknis, sesuai potensi yang dibutuhkan untuk mengembangkan sumber daya yang ada.
Selama ini, pendidikan dibangun atas dasar paradigma pembangunan yang sangat sentralistis. Acuan kemajuan bersifat general, sehingga menghasilkan produk lulusan yang tidak kompetitif. Konsep keunggulan yang terdapat pada lembaga sekolah tidak ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, tapi lebih condong untuk melayani kebutuhan pengembangan profit bagi pemilik kapital.
Sudah waktunya mulai dipikirkan konsep pendidikan unggulan yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Sekolah yang menjadi wadah proses social action, di mana lulusan sekolah tidak ''dicetak biru'' sebagai pelayan pemilik kapital, tetapi lulusan yang mampu bersaing di kaki lima karena mereka ditugaskan masyarakat untuk menciptakan usaha sendiri. Insya Allah! (Agus Salim-48)

Penulis adalah staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang




III. Peranan Pendidikan dalam Pembangunan

Di muka telah diuraikan bahwa pendidikan mempunyai peranan dalam meningkatkan kualitas manusia sebagai sumberdaya pembangunan dan menjadi titik sentral pembangunan. Manusia yang berkualitas me¬miliki keseimbangan antara tiga aspek yang ada padanya, yaitu aspek pribadi sebagai individu, aspek sosial dan aspek kebangsaan. Manusia sebagai makhluk individu memiliki potensi fisik dan nirfisik; dengan potensi potensi tersebut manusia mampu berkarya dan berbudi pekerti luhur. Manusia sebagai makhluk soslaJ mempunyai kesetiakawanan sosial, tanggung jawab sosial dan disiplin sosial. Manusia yang memiliki aspek kebangsaan mernpunyai rasa cinta tanah air, jiwa patriotik dan berwawasan masa depan.

Berorientasi pada peningkatan kualitas manusia Indonesia tersebut, maka peranan pendidikan dalam pembangunan dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dalam meningkatkan manusia sebagai makhluk individu yang berpotensi fisik dan nirfisik, dilaksanakan dengan pemberian pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap. Pembentukan nilai adalah nilai-nilai budaya bangsa dan juga nilai-nilai keagamaan sesuai dengan agama masing-masing dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Proses transformasi tersebut berlangsung dalam jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. John Vaizei dalam bukunya Education in the Modern World (1965) mengemukakan peranan pendidikan sebagai berikut : (1) melalui lembaga mengemukakan peranan pendidikan tinggi dan lembaga riset memberikan gagasan-gagasan dan teknik baru, (2) melalui sekolah dan latihan-latihan mempersiapkan tenaga kerja terampil berpengetahuan, dan (3) penanaman sikap.

Dalam menghadapi perubahan masyarakat yang terus menerus dan berjalan secara cepat manusia dituntut untuk selalu belajar dan adaptasi dengan perkembangan masyarakat sesuai dengan zamannya. Dengan perkataan lain manusia akan menjadi ”pelajar seumur hidup”. Untuk itu sekolah berperan untuk mepersiapkan peserta didiknya menjadi pelajar seumur hidup yang mampu belajar secara mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar baik yang ada di sekolah maupun di luar sekolah. Menurut Moedjiono dalam buku dasar-dasar Kependidikan (1986), mengemukakan bahwa aktivitas belajar dalam rangka menghadapi perubahan-perubahan yang cepat di dalam masyarakat menghendaki (1) kemampuan untuk mendapatkan informasi, (2) keterampilan kognitif yang tinggi, (3) kemampuan menggunakan strategi dalam memecahkan masalah, (4) kemampuan menentukan tujuan yang ingin dicapai, (5) mengevaluasi hasil belajar sendiri, (6) adanya motivasi untuk belajar, dan (7) adanya pemahaman diri sendiri.

Eksistensi kebangsaan nasional perlu dipertahankan dengan berbagai cara antara lain memupuk identitas nasional pada generasi muda, penanaman kesadaran nasional. Kesadaran nasional perlu dibangkitkan melalui kesadaran sejarah. Kesadaran ini mencakup pengalaman kolektif di masa lampau atau nasib bersama di masa lampau yang menggembleng nation.

Tanpa kesadaran sejarah tak ada identitas dan tanpa orang tak kepribadian atau kepribadian nasional. Kesadarari nasional, menciptakan inspirasi dan aspirasi nasional, keduanya penting untuk membangkitkan semangat nasional. Nasionalisme sebagai ideologi perlu menjiwai setiap warga negara yang wajib secara moral (moral com-mitment) dengan loyalitas penuh pengabdian diri kepada kepentingan negara, (Kartidirdjo, 1993).

Prinsip nasionalisme sebagaian tujuan pendidikan nasional adalah : (1) Unity (kesatuan persatuan) lewat proses integrasi dalam sejarah berdasarkan solidaritas nasional yang melampaui solidaritas lokal, etnis, tradisional, (2) Libcrty (kebebasan) setiap individu dilindungi hak-hak azasinya, kebebasan berpendapat, berkelompok, kebebasan dihayati dengan penuh tanggung jawab sosial, (3) Equality (persamaan) hak dan kewajiban, persamaan kesempatan, (4) Berkaitan dengan prinsip ke 2, ke 3 ada prinsip kepribadian atau individualitas. Pribadi perorangan dilindungi hukum antara lain dalam hak milik, kontrak, pembebasan dari ikatan komunal dan primoriaL (5) Performance (hasil kerja) baik secara individual atau kolektif. Setiap kelompok membutuhkan rang¬sangan dan inspirasi untuk memacu prestasi yang dapat dibanggakan.
Dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan mem¬punyai peranan penting dalam pembudayaan, pernyatan dan peng¬amalan nilai nilai budaya nasional yang akan mampu memupuk per¬satuan dan kesatuan bangsa.

IV. Nilai Ekonomi dari Pendidikan
 Pendidikan sebagai Investasi
Pendidikan dalam pandangan tradisional selama sekian dekade dipahami sebagai bentuk pelayanan sosial yang harus diberikan kepada masyarakat, dalam konteks ini pelayanan pendidikan sebagai bagian dari public service atau jasa layanan umum dari negara kepada masyarakat yang tidak memberikan dampak langsung bagi perekonomian masyarakat, sehingga pembangunan pendidikan tidak menarik untuk menjadi tema perhatian, kedudukannya tidak mendapat perhatian menarik dalam gerak langkah pembangunan.
Opini yang berkembang justru pembangunan sektor pendidikan hanyalah sektor yang bersifat memakan anggaran tanpa jelas manfaatnya (terutama secara ekonomi). Pandangan demikian membawa orang pada keraguan bahkan ketidakpercayaan terhadap pembangunan sektor pendidikan sebagai pondasi bagi kemajuan pembangunan disegala sektor.
Ketidakyakinan ini misalnya terwujud dalam kecilnya komitmen anggaran untuk sektor pendidikan. Mengalokasikan anggaran untuk sektor pendidikan dianggap buang-buang uang yang tidak bermanfaat. Akibatnya alokasi anggaran sektor pendidikanpun biasanya sisa setelah yang lain terlebih dahulu.
Cara pandangan ini sekarang sudah mulai tergusur sejalan dengan ditemukannya pemikiran dan bukti ilmiah akan peran dan fungsi vital pendidikan dalam memahami dan memposisikan manusia sebagai kekuatan utama sekaligus prasyarat bagi kemajuan pembangunan dalam berbagai sektor.

Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) telah berkambang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Konsep tentang investasi sumber daya manusia (human capital investment) yang dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.
Pemikiran ilmiah ini baru mengambil tonggal penting pada tahun 1960-an ketika pidato Theodore Schultz pada tahun 1960 yang berjudul “Investement in human capital” dihadapan The American Economic Association merupakan eletak dasar teori human capital modern. Pesan utama dari pidato tersebut sederhana bahwa proses perolehan pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata-mata, akan tetapi juga merupakan suatu investasi.
Schultz (1960) kemudian memperhatikan bahwa pembangunan sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya telah memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.
Alasan utama dari perubahan pandangan ini adalah adanya pertumbuhan minat dan interest selama tahun 1960-an mengenai nilai ekonomi dari pendidikan. Pada tahun 1962, Bowman, mengenalkan suatu konsep “revolusi investasi manusia di dalam pemikiran ekonomis”. Para peneliti lainnya seperti Becker (1993) dan yang lainnya turut melakukan pengujian terhadap teori human capital ini.
Perkembangan tersebut telah mempengaruhi pola pemikiran berbagai pihak, termasuk pemerintah, perencana, lembaga-lembaga internasional, para peneliti dan pemikir modern lainnya, serta para pelaksana dalam pembangunan sektor pendidikan dan pengembangan SDM. Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi “leading sektor” atau salah satu sektor utama. Oleh karena perhatian pemerintahnya terhadap pembangunan sektor ini sungguh-sungguh, misalnya komitment politik anggaran sektor pendidikan tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.
Pada tahun 1970-an, penelitian-penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan oertumbuhan ekonomi sempat mandeg karena timbulnya kesangsian mengenai peranan pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi di beberapa negara, khususnya di Amerika Serikat dan negara berkembang yang menerima bantuan dari Bank Dunia pada waktu itu. Kesangsian ini timbul, antara lain karena kritik para sosiolog pendidikan diantaranya Gary Besker (1964, 1975,1993) mengatakan bahwa teori human capital ini lebih menekankan dimensi material manusia sehingga kurang memperhitungkan manusia dari dimensi sosio budaya.
Kritik Becker ini justru membuka perspektif dari keyakinan filosofis baha pendidikan tidak pula semata-mata dihitung sebagai investasi ekonomis tetapi lebih dari itu dimensi sosial, budaya yang berorientasi pada dimensi kemanusiaan merupakan hal yang lebih penting dari sekedar investasi ekonomi. Karena pendidikan harus dilakukan oleh sebab terkait dengan kemanusiaan itu sendiri (human dignity).
Beberapa penelitin neoklasik lain, telah dapat meyakinkan kembali secara ilmiah akan pentingnya manusia yang terdidik menunjang pertumbuhan ekonomi secara langsung bahwa seluruh sektor pembangunan makro lainnya. Atas dasar keyakinan ilmiah itulah akhirnya Bank Dunia kembali merealisasikan program bantuan internasionalnya di berbagai negara. Kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ini menjadi semakin kuat setelah memperhitungkan efek interaksi antara pendidikan dan investasi fisik lainnya.
Artinya, investasi modal fisik akan berlipat ghanda nilai tambahnya di kemudian hari jika pada saat yang sama dilakukan juga investasi SDM, yang secara langsung akan menjadi pelaku dan pengguna dalam investasi fisik tersebut.
Sekarang diakui bahwa pengembangan SDM suatu negara adalah unsur pokok bagi kemakmuran dan pertumbuhan dan untuk penggunaan yang efektif atas sumber daya modal fisiknya. Investasi dalam bentuk modal manusia adalah suatu komponen integral dari semua upaya pembangyunan. Pendidikan harus meliputi suatu spektrum yang luas dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
 Nilai Balikan Pendidikan
Pengembangan SDM melalui pendidikan menyokong secara langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, dan karenanya pengeluaran untuk pendidikan harus dipandang sebagai investasi yang produktif dan tidak semata-mata dilihat sebagai sesuatu yang konsumtif tanpa manfaat balikan yang jelas (rate of return).
Sejumlah hubungan telah diuji dalam rangka kesimpulan tersebut. Misalnya studi Bank Dunia mengenai 83 negara sedang berkembang menunjukan bahwa di 10 negara yang mempunyai tingkat pertumbuhan riil tertinggi dari GNP perkapita antara tahun 1960 dan 1977, adalah negara yang tingkat melek hurup pada tahun 1960 rata-rata 16 persen lebih tinggi daripada nehara-negara lain
Juga telah digambarkan bahwa investasi dalam bidang pendidikan mempunyai pengaruh langsung terhadap produktivitas individu dan penghasilannya. Kebanyakan bukti berasal dari pertanian. Kajian antara poetani yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan di negara-negara berpendapa tan rendah menunjukan, ketika masukan-masukan seperti pupuk dan bibit unggul tersedia untuk teknik-teknik usaha tani yang lebih baik, hasil tahunan seorang petani yang tidak berpendidikan. Meskipun masukan ini kurang, penghasilan para petani yang berpendidikan tetap lebih tinggi 8 persen, (World Bank, World Development Report, 1980).
Peranan wanita dalam mengasung dan membesarkan anak begitu pending sehingga membuat pendidikan bagi anak perempuan menjadi sangat berarti. Studi-studi menunjukan adanya orelasi signifikan antara tingkat pendidikan ibu dan status gizi anaknya dan angka harapan hidup. Lebih jauh, manfaat kesehatan dan gizi yang lebih baik dan tingkat fertilitas yang lebih rendah yang diakibatkan oleh investasi-investasi lainnya dalam sektor pembangunan lainnya.
Sebuah studi lain oleh dilakukan untuk Bank Dunia dan disajikan dalam World Development Report 1980 menguji perkiraan tingkat pengembalian ekonomi (rate of return) terhadap investasi dalam bidnag pendidikan di 44 negara sedang berkembang. Disimpulkan bahwa nilai manfaat balikan semua tingkat pendidikan berada jauh diatas 10 persen.
Berbagai penelitian lainnya relatif selalu menunjukan bahwa nilai balikan modal manusia lebih besar daripada modal fisik. Tidak ada negara di dunia yang mengalami kemajuan pesat dengan dukungan SDM yang rendah pendidikannya. Jadi kalau kita mengharapkan kemajuan pembangunan dengan tidak menjadikan modal manusia (sektor pendidikan) sebagai prasyarat utama, maka sama dengan “si pungguk merindukan bulan”.
 Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Menurut Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas, pada ceramahnya di depan Mahasiswa Pasca UPI Prodi Administrasi Pendidikan, mengemukakan bahwa masalah dan tantangan yang dihadapi dibidang pendidikan di Indonesia antara lain :
1. Tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah
2. Dinamika perubahan struktur penduduk belum sepenuhnya terakomodasi dalam pembangunan pendidikan
3. Kesenjangan tingkat pendidikan
4. Good Governance yang belum berjalan secara optimal
5. Fasilitas pelayanan pendidikan yang belum memadai dan merata
6. Kualitas pendidikan relatif rendah dan belum mampu memenuhi kompetensi peserta didik
7. Pendidikan tinggi masih menghadapi kendala dalam mengembangkan dan menciptakan IPTEK
8. Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien
9. Anggaran pembangunan pendidikan belum tersedia secara memadai.
Permasalahan tersebut diatas merupakan permasalahan yang banyak dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Peranan pendidikan bila dikaji secara ekonomi, maka akan memberikan kontribusi terhadap peranan pemerintah dan masyarakat terhadap dampak yang akand ialami negara Indonesia dalam jangka panjang kedepan dengan kebijakan pembangunan pendidikan sebagai dasar pembangunan negara.
Dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009, peningkatan peran pendidikan ditekankan pada upaya : 1. Perluasan dan Pemerataan Pendidikan 2. Mutu dan Relevansi Pendidikan dan 3. Governance dan Akuntabilitas. Ketiga program tersebut merupakan upaya untuk pembangunan pendidikan secara merata untuk seluruh wilayah Indonesia, sehingga ketinggalan dibindang peningkatan mutu SDM bisa ditingkatkan sehingga tidak tertinggal dengan kemajuan diantara negara-negara Asia Pasifik.

 Nilai Ekonomi Pendidikan
Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga”, kata peraih Nobel Ekonomi, seperti muat pada harian Kompas (15/12/2004). Pertanyaan ini dilontarkan Stiglitz ketika menanggapi pertanyaan soal kebijakan ekonomi seperti apa yang iperlukan Indonesia. Ia juga mengomentari bahwa soal pendidikan ini adalah salah satu blunder kebijakan neoliberal yang dianut Indonesia.
Peranan pendidikan bahasa teknisnya modal manusia (human capital) dalam pertumbuhan ekonomi memang belum terlalu lama masuk dalam literatur teori pertumbuhan ekonomi. Dikemukakan oleh Ari A. Pradana menegaskan pendapat dari Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992) yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956) yang legendaris itu.
Dalam studi-studinya, mereka menunjukkan bahwa teori Solow yang standar hanya mampu menjelaskan bagaimana perekonomian sebuah negara bisa tumbuh, tetapi tidak cukup mampu menjelaskan kesenjangan tingkat pendapatan per kapita antar negara di dunia. Baru ketika variabel modal manusia diikutsertakan dalam perhitungan, sebagian dari kesenjangan itu bisa dijelaskan.
Namun, sejumlah misteri masih tersisa. Tingkat pendidikan di negara-negara bekembang sebenarnya mengalami peningkatan drastis pada tahun 1960-1990. Easterly (2001) menunjukkan bahwa median angka partisipasi sekolah dasar meningkat dari 88 persen menjadi 90 persen, sementara untuk sekolah menengah dari 13 persen menjadi 45 persen. Selanjutnya, jika di tahun 1960 hanya 28 persen negara di dunia yang angka partisipasi sekolah dasarnya mencapai 100 persen, di tahun 1990 menjadi lebih dari separuhnya.
Nyatanya, kenaikan dari tingkat pendidikan di negara-negara berkambang tidak menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi. Ambil contoh Afrika. Antara tahun 1960 hingga tahun 1985 pertumbuhan tingkat sekolah di benua itu tercatat lebih dari 4 persen per tahun. Nyatanya, ekonomi negara-negara di Afrika hanya tumbuh 0,5 persen per tahun. Itu pun karena ada “keajaiban ekonomi” di Afrika, yaitu Botswana dan Lesotho.
Kebanyakan negara Afrika lain justru mencatat pertumbuhan negatif dalam periode tersebut. Kasus ekstrem dialami Senegal yang mengalami pertumbuhan angka sekolah hampir 8 persen per tahun, tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Dalam periode yang sama negara-negara Asia Timur mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan angka partisipasi sekolah. Namun, perbedaan keduanya tidak banyak, hanya 4,2 persen dibandingkan dengan 2,7 persen. Artinya, jika pendidikan adalah rahasia untuk pertumbuhan ekonomi, perbedaan itu seharusnya jauh lebih besar.

Selain tidak bisa menjelaskan kinerja pertumbuhan ekonomi, pendidikan juga tidak berhasil menjelaskan fenomena membesarnya kesenjangan dalam pendapatan per kapita. Pritchett (2003) menunjukkan terjadinya konvergensi tingkat pendidikan antar negara di dunia. Sepanjang 1960-1995, deviasi stndar dalam tingkat pendidikan turun dari 0,94 menjadi 0,56. Tapi, disaat yang sama, deviasi standar untuk pendapatan per kapita antar negara meningkat dari 0,93 menjadi 1,13.
Asumsi darsar dalam menilai kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesenjangan adalah pendidikan meningkat produktivitas pekerja. Jika produktivitas pekerja meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat.
Disisi lain kenaikan produktivitas berarti kenaikan penghasilan. Selalu diasumsikan bahwa manfaat dari kenaikan pendidikan secara agregat akan lebih besar bagi kelompok miskin. Dengan demikian, jika tingkat pendidikan meningkat, penghasilan kelompok miskin juga akan tumbuh lebih cepat dan pada akhirnya ketimpangan akan mengecil.
Masalahnya, asumsi demikian tidak selalu bisa menjadi generalisasi. Manfaat dari pendidikan dalam hal kenaikan produktivitas dan penghasilan pekerja hanya berlaku untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu. Akibatnya, kenaikan tingkat pendidikan belum tentu memberikan manfaat terhadap pertumbuhan danpemerataan. Terutama jika kita berbicara mengenai manfaat pendidikan bagi kelompok termiskin.
Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995) mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India semasa revolusi hijau bisa memberikan sedikit gambaran. Studi sektor pertanian di negara seperti India (juga Indonesia) sangat relevan dalam wacana pembangunan ekonomi karena mayoritas penduduk, termasuk mereka yang masuk dalam kelompok termiskin, ada di sektor ini.
Dalam studi ini petani yang memiliki pendidikan dasar memang jauh lebih produktif daripada yang tidak pernah sekolah. Namun, tak ada perbedaan signifikan antara memiliki pendidikan menengah dan hanya pendidikan dasar.
Selain itu, di daerah yang kondisi alam dan geografisnya jelek, seringkali produktivitas lebih ditentukan oleh pengaaman, bukan pendidikan. Bagi petani di tempat-tempat seperti ini, pergi ke sekolah selain tidak banyak bermanfaat, juga membuat mereka kehilangan sekian tahun pengalaman bekerja di sawah.
Orang bisa mendebat baik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Dibanyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Pendapat yang mengataan bahwa pendidikan dan kebijakan pendidikan tidak bermanfaat bagi kemakmuran sebuah negara. Ini adalah pendapat sama sekali tidak berdasar secara impiris. Pesan yang ingin disampaikan adalah ada banyak hal lain yang menyebabkan kontribusi positif pendidikan tidak teralu besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dengan kata lain, pendidikan bukanlah mantra ajaib. Konsekuensinya, intervensi pemerintah dalam bidang ini juga harus dilakukan secara hati-hati.
Bentuk kehati-hatian adalah tidak terjeba untuk mengukut peranan pemerintah dari besarnya alokasi anggaran pendidikan. Anggaran memang penting, tetapi bukan pada seberapa besar, melainkan direncanakan digunakan untuk apa, mengapa dan bagaimana. Di beberapa negara Asia yang sedang berkembang meski kebanyakan guru dibayar terlalu murah, dari hasil studi ADB menyatakan bahwa tambahan anggaran untuk peralatan dan gedung memberikan hasil lebih besar terhadap peningkatan mutu pendidikan.
Dalam hal ke tingkat pendidikan mana anggaran harus dialokasikan, Booth (2000) menulis bahwa di Indonesia pada 1980-1990-an dalam laporan World Bank subsidi pemerintah yang terlalu besar bagi pendidikan tinggi menyebabkan oefisien Gini yang meningkat. Alasannya, lulusan perguruan tinggi adalah yang paling diuntungkan dari boom selama ekonomi periode itu.
Selain soal anggaran, tingkat pendidikan di suatu negara mungkin menghadapi masalah lain di luar pendanaan. Disini dibutuhkan intervensi pemerintah yang spesifik untuk mengatasi masalah-masalah itu. Contohnya, di Kenya ditemukan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dasar disebabkan oleh kuranynya nutrisi murid sekolah dasar akibat penyakit cacingan. Pembagian bat cacing bagi murid SD ternyata lebih efektif dalam meningkatkan kualitas pendidikan disana.
Kesimpulannya, tidak ada kebijakan pemerintah yang bisa diteraka secara universal di semua negara. Ini adalah inti dari kritik kaum populis terhadap kebijakan neoliberal. Hal ini yang sebaliknya juga berlaku, tidak ada kebijakan populis yang berlaku secara universal. Dan tidak semua hal bisa diselesaikan dengan anggaran pemerintah yang lebih besar.
Menurut Mohamad Ali (2005), dikemukakan Malaysia mengalami kemajuan yang tinggi di pengembangan SDM, karena pada masa pemerintahan PM Mahathir Mohamad, telah mencanangkan pengembangan SDM kedepan dengan melakukan investasi yang cukup tinggi yaitu 28 persen dari anggaran belanja negaranya, dan pemerintahan PM Mahathir yang berjalan selama 17 tahun. Melihat keberhasilan tersebut, maka negara Indonesia dengan UUD 1945 yang telah diamandemen memberikan amanat kepada pemerintah untuk menetapkan anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran belanja negara seperti tertuang pada pasal 31 Ayat 4.
Investasi dibidang pengembangan SDM merupakan suatu proses yang panjang dan untuk menunjang keberhasilan perencanaan tersebut, pendidikan dan pelathan harus dijadikan suatu tolok ukur untuk membangun suatu negara. Tetapi pendidikan diibaratkan sebagai suatu kereta yang ditarik kuda, artinya keberhasilan proses pendidikan merupakan kontribusi dari lintas sektoral yaitu tenaga kerja, industri ekonomi, budaya dan lain sebagainya.



V. Peran Pemerintah Indonesia dalam Pendidikan
MASALAH pendidikan sebenarnya teramat penting untuk negara sebesar Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa dan jumlah tenaga kerja sekitar 144 juta orang. Apabila tidak memperoleh pendidikan memadai, penduduk atau tenaga kerja yang ada itu akan menjadi beban daripada menjadi modal dasar pembangunan.
MESKI dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah disebutkan salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa selain untuk memajukan kesejahteraan umum, sektor pendidikan tampaknya amat terbelakang dibandingkan dengan upaya pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi, misalnya.
Hal ini dapat dilihat dari pengeluaran pemerintah untuk pendidikan yang amat rendah. Indonesia hanya menyumbangkan sekitar 1,4 persen produk nasional brutonya untuk pendidikan dibandingkan dengan rata-rata global sebesar 4,5 persen (UNDP, 2001).
Sementara untuk pengeluaran pemerintah pada periode sebelum krisis (1991-1995), pengeluaran pemerintah hanya 1,3 persen, amat jauh di bawah negara jiran Malaysia yang mencapai 4,8 persen. Meski sama-sama dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, Malaysia tampaknya lebih berhasil dalam mencerdaskan kehidupan rakyatnya daripada Indonesia. Malaysia juga lebih berhasil dalam menanggulangi masalah ketenagakerjaan. Data sebelum krisis (1995) menunjukkan, Malaysia bahkan mengalami kekurangan tenaga kerja sebesar 60.000 orang, sedangkan Indonesia dihadapkan masalah kelebihan 1,2 juta tenaga kerja!
Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai landasan perjuangan bangsa yang sakral.
Sebelum pemerintahan Presiden Soeharto, sebenarnya masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme.
Sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI baru) sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah menjadi Partai Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), konsep pentingnya pendidikan telah diajukan Hatta dalam Pasal 4 Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat dalam hal pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung Hatta dalam reuni Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun 1968).
Namun, sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikan mulai dikesampingkan, terutama mungkin terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan Soeharto untuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat.
Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam sejarah, berbagai macam pelajaran sejarah yang ada secara tumpang tindih diberikan berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan perguruan tinggi dalam bentuk P4. Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih dari justifikasi mengenai G30S, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran konstitusional terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Tidak heran apabila sistem pendidikan yang ada di Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari kurikulum yang ada ditentukan oleh pusat (Ibrahim, 1998).
Contoh lain, dalam hal dana instruksi presiden (inpres) pada masa Soeharto. Meski tujuannya baik, yaitu untuk menanggulangi kemiskinan, penyaluran dana inpres untuk pendidikan (pembangunan SD inpres) lebih banyak muatan politiknya, yaitu untuk memberi \"hadiah\" bagi wilayah di mana pemerintah memperoleh dukungan politik, hal ini dikarenakan kategori penyaluran dana yang tak jelas dan abstrak.
Sejak saat itu, fokus pembangunan lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi daripada pembangunan manusia. Departemen Pendidikan pun tumbuh menjadi kementerian yang termarjinalisasi dibandingkan dengan departemen lain.
Rosser (2002) mencatat, pada tahun 1980-an Menteri Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita) dan Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ Habibie) merupakan kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan pembangunan.
Hal ini berbeda dengan Malaysia. Menurut Musa (2003), Kementerian Pendidikan selalu memperoleh tempat yang terpandang di Malaysia, dengan semua perdana menteri Malaysia pernah menjabat sebagai menteri pendidikan. Kementerian Pendidikan di Malaysia juga memperoleh anggaran yang besar dari total pengeluaran pemerintah. Bahkan, tahun 2003, departemen ini menerima 27 persen dari total pengeluaran pemerintah (Musa, 2003).
DPR sebenarnya sudah berupaya mengoreksi kebijakan pendidikan di Indonesia dengan mengeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 Ayat (49), yang mensyaratkan pengeluaran pemerintah di bidang pendidikan harus paling rendah sebesar 20 persen dari total anggaran pemerintah pusat maupun daerah. Namun, dengan mudahnya menteri keuangan menyatakan angka itu baru bisa dipenuhi tahun 2009! Anehnya, DPR tidak bereaksi apa-apa.
Atas keadaan ini, seharusnya ada konsekuensi hukum bila ada pihak yang melanggar UU. Anehnya lagi, tidak lama kemudian pemerintah mengumumkan darurat militer di Aceh, di mana untuk perpanjangannya selama enam bulan telah menelan dana sekitar Rp 2 triliun (Tempointeraktif, 14/11/2003), yang sebelumnya tidak ada dalam anggaran.
Uraian itu menunjukkan rendahnya prioritas pendidikan dalam pemikiran elite politik saat ini. Anehnya, dalam masa kampanye pemilu presiden beberapa waktu lalu, masalah pendidikan merupakan masalah utama yang dijanjikan para kandidat. Beberapa kandidat menjanjikan akan memberikan pendidikan yang lebih baik, pendidikan gratis, beasiswa, bahkan mengangkat 100.000 guru.
Sayangnya, janji-janji itu justru menggambarkan ketidakmengertian pemerintah saat ini atas masalah pendidikan. Kandidat yang menjanjikan pengangkatan 100.000 guru seharusnya memahami bahwa beban anggaran gaji guru dalam otonomi daerah menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sudah banyak pemerintah daerah yang bingung mengatasi beban transfer gaji guru dari pusat ke daerah karena APBD mereka tidak mencukupi, bahkan di kemudian hari mungkin harus menanggung beban tambahan dari janji-janji kandidat presiden yang ada.
Hal ini menunjukkan, pada masa mendatang, paling tidak lima tahun ke depan, masalah pendidikan di Indonesia masih akan memperoleh prioritas yang tidak semestinya.Lantas, apa yang harus dilakukan? Dalam buku IQ and the Wealth of Nations (2002), Lynn dan Vanhanen menyimpulkan, produk domestik bruto (PDB) dan IQ dari penduduk suatu negara mempunyai hubungan yang amat erat. Tingkat IQ dari penduduk suatu negara, menurut mereka, dapat menjelaskan variasi yang ada dalam PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi.
Di kawasan Asia Tenggara, rata-rata IQ penduduk Indonesia hanya lebih baik dari Filipina dan ada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Satu hal lagi dari tabel di atas adalah prediksi PDB Indonesia berdasarkan level IQ yang sebenarnya jauh lebih besar dari yang ada. PDB Indonesia pada tabel itu hanya sekitar 25 persen dari PDB yang diprediksikan atau PDB potensial yang dapat dicapai.
Hal ini menunjukkan potensi luar biasa bagi perekonomian Indonesia apabila saja kondisi infrastruktur sosial yang ada dibenahi (budaya KKN dan sebagainya) dan kita dapat membentuk masyarakat yang berdasarkan \"guna\" (merit-based society) sehingga seseorang benar-benar dinilai berdasarkan pada apa yang telah dihasilkan, bukan sekadar berdasarkan pada relasi atau kekuasaan.
Apabila pengeluaran pemerintah untuk pendidikan kurang bisa diharapkan, apakah kita harus menunggu sampai elite politik sadar bahwa pendidikan itu penting? Sebenarnya peran serta masyarakat sendiri masih dapat diharapkan.
Porsi pengeluaran untuk pendidikan sebenarnya masih dapat ditingkatkan lagi dalam rumah tangga. Namun, ini juga bergantung pada bagaimana masyarakat memandang pendidikan itu sendiri. Jika pendidikan hanya dipandang sebagai \"biaya\", tentu ada keengganan untuk meningkatkan pengeluaran pendidikan.
Namun, apabila masyarakat dapat melihat pendidikan sebagai bentuk \"investasi\", yang nantinya akan dapat membawa mereka ke tingkat kesejahteraan lebih baik, masa depan lebih cerah, dan pendapatan lebih tinggi, masyarakat tentu tidak akan sayang meningkatkan pengeluaran untuk pendidikan. Hanya saja, \"investasi\" dalam pendidikan mungkin hanya akan tinggal angan-angan jika tidak ada perbaikan struktur ekonomi dan struktur sosial yang menjamin bahwa keahlian yang diperoleh dalam pendidikan benar-benar bisa dimanfaatkan untuk memperoleh pekerjaan ataupun pendapatan lebih baik.


Daftar rujukan
Browsing di Intenet di www.google.com dan www.yahoo.com pada tanggal 5 Mei 2010 di warnet dekat kampus UIN Syarf Hidayatullah Jakarta
Becker G.S. 1993. Human Capital, A theoritical and Empirical Analysis with Speccial reference to Education. Chicago, University of Chicago P ress
Cohn. Elchanan, 1979. The Economics Of Education, Ballinger Publishing
Engkoswara. 2002. Lembaga Pendidikan sebagai Pusat Pembudayaan. Bandung, Yayasan Amal Keluarga
Dodi Nandika. 2005. Kebijakan Pembangunan Pendidikan 2005-2009. Bandung UPI.
Fattah, Nanang. 2000. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan.Rosda. Bandung
Jac Fitz-enz, 2000.The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance, New York, Amacom
Joseph Stiglitz, 2004. Economy Growth and Education Policy, Jakarta. Kompas 15-12-2004
Akhmad Bayhaqi Pengajar pada Fakultas Ekonomi UI dan Peneliti pada LPEM-FEUI
Teori Alokasi atau Persaingan Status, Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979).
W Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976).
orld Bank, World Development Report, 1980

Lynn dan Vanhanen. Buku IQ and the Wealth of Nations (2002)

Prof Dr Dodi Nandika (2005), Sekretaris Jendral Depdiknas

Menurut Ari A. Pradana (2005) mengutip pendapat Profesor Joseph Stiglitz, di Jakarta “Sediakan pendidikan sebisa mungkin dan bisa diraih dengan mudah oleh semua warga

Lucas (1990) serta Mankiw, Romer, dan Weil (1992), yang merevisi teori pertumbuhan neoklasik dari Solow (1956)

Easterly (2001), Rosser (2002)


Kutipan Buku Studi dari Foster dan Rosenzweig (1995), mengenai dampak dari pendidikan terhadap petani di India

Tidak ada komentar:

Posting Komentar