Kata “ekonomi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari 2 kata yaitu “oikos” yang berarti “keluarga, rumah tangga” dan “nomos” yang berarti “praturan, hukum” kemudian bila digabung bermakna “aturan rumah tangga”. Sedangkan kata “Islam” berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari 3 akar kata yaitu “sin” yang berarti “alam”, “lam” yang berarti Allah, dan “mim” yang berarti ibadah, kemudian bila digabung menjadi “sinlammim” bermakna “alam dicipta Allah untuk ibadah”.
QS Adz-Dzariat [51]: 56
Artinya: Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.
Kata “islam” terdapat dalam 4 ayat dalam 3 surat yang berbeda.
Kata Islam dapat ditemukan dalam beberapa surat di al-Quran.
1. QS. Ali Imran [3]: 19.
Inna dina indallahil Islam.
Sesungguhnya Din di sisi Allah adalah Islam.
2. QS. Ali Imran [3]: 85.
3. QS. Al-Shaf [61]: 7.
4. QS. Al-Maidah [5]: 3.
Sedangkan berdasarkan kata jadian “salama” bermakna “keselamatan, kedamaian”. Sehingga jika digabungkan maka kata “Ekonomi Islam” secara harfiah berarti “aturan rumah tangga untuk keselamatan”. Di dalam filosofinya Ekonomi Islam terkandung tiga hal yaitu Ontologi Ekonomi Islam, Epistemologi Ekonomi Islam, dan Aksologi Ekonomi Islam (Mochamad Aziz, 2009).
Latar belakang keilmuan Ekonomi Islam disebut sebagai Ontologi Ekonomi Islam yaitu berupa alasan mendasar adanya Ekonomi Islam. Sesuai dengan sistem kehidupan yang ada pada diri manusia, keluarga, lingkungan, dan alam semesta maka elemen dasar penciptaan terdiri dari 3 unsur yaitu manusia, Allah, dan ibadah. Kemudian perpaduan 3 hal ini membentuk alasan besar penciptaan yaitu Islam, sehingga ontology dari Ekonomi Islam adalah Islam.
QS. Ali-Imran [3]: 19.
Artinya: Sesungguhnya Din (sistem) di sisi Allah adalah Islam.
Sesuai dengan firman Allah tersebut bahwa sistem atau Din yang diciptakan Allah itu hanya Islam. Sehingga sistem ekonomi yang ada seharusnya juga mengikuti aturan dalam sistem Islam. (Mochamad Aziz, 2009).
Islam dalam Ekonomi Islam merupakan konsep besar sebagai suatu sistem yang menyeluruh. Kemudian Islam yang menyeluruh inilah yang menjadi epistemology dari keilmuan Ekonomi Islam yang sedang berkembang yaitu kafah. Ekonomi Islam yang kafah muncul sebagai konsep dasar ekonomi dengan batasan Islam sebagai suatu sistem.
QS. Al-Baqarah [2]: 208.
Artinya: Wahai orang-orang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara kafah.
Konsep Ekonomi Islam yang kafah didukung oleh Quran Surat Al-Baqarah [2] ayat 208 bahwa tujuan dari Ekonomi Islam dapat dijalankan oleh orang-orang yang beriman dan dilakukan secara sistematis dan menyeluruh atau kafah yang berarti dimulai dari Islam sebagai kerangka dasar kehidupan yang di dalamnya mengandung makna bahwa manusia diciptakan Allah untuk ibadah. Kemudian dikembangkan ke berbahai aspek termasuk ekonomi (Mochamad Aziz, 2010).
Kerangka dasar Islam dari konsep yang menyeluruh berupa kaafah ini perlu diterjemahkan ke dalam penerapan berekonomi secara makro dan mikro ekonomi. Implementasi dari kedua hal tersebut dijabarkan dalam bentuk aksiologi yaitu keseimbangan sistem ekonomi yang terdiri dari 2 hal misalnya antara penawaran dan permintaan. Secara analogis, gambaran tentang keseimbangan antara 2 hal dalam Al-Quran disebutkan sebagai hubungan antara hal yang baik dan hal yang buruk (Mochamada Aziz, 2010).
QS. Saba [34]: 28.
Artinya: dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,
METODE SINLAMMIM
Pengembangan epistemologi Ekonomi Islam secara Kâffah untuk ibadah dalam tiga dimensi menghadirkan terminologi baru seperti metode Sinlammim. Hal ini sesuai dengan isi al-Quran yang berbunyi ‘silmi kâffah’, dengan penjelasan bahwa kata ‘silmi’ merupakan derivasi dari huruf sin lam mim .
Metode System Dynamics mampu menjadi konsep baru untuk menyempurnakan teori-teori yang sudah ada. Dalam bentuk piramida yang dibagi secara horizontal yang terdiri dari 3 bagian (puncak, tengah, dan dasar), maka bagian pertamanya yaitu puncak piramida merupakan konsep System Thinking. Kemudian dibagian kedua yaitu di tengah adalah metode System Dynamics. Sedangkan di bagian ketiga yaitu di dasar adalah software Powersim. Untuk piramida yang sama dengan pendekatan Islam, bagian 1 puncak adalah konsep Islam dalam Kâffah Thinking, bagian 2 tengah adalah metode Sinlammim, dan bagian 3 dasar adalah Number Of Everything disingkat NOE.
Diagram konsep Berpikir
Sumber: Mochamad Aziz, 2010
Selain surat al-Baqarah [2]: ayat 208, kata Kâffah juga terdapat dalam surat Saba [34] ayat 28 yang menyatakan 2 hal yaitu “pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan”.
Jika dalam System Thinking terdapat causal loop, maka Kâffah Thinking terdapat keseimbangan yang merupakan resultant dari causal loop positif/hal yang baik dan causal loop negative/hal yang buruk. Sehingga System Thinking dapat disandingkan dengan Kâffah Thinking. Jadi, kalau pendekatan barat adalah System Thinking, maka pendekatan Islam adalah Kâffah Thinking.
Pemaparan Kaffah Thinking dalam Ekonomi Kâffah atau Ekonomi Tiga Dimensi atau Ekonomi Dinamis dapat mengambil analogi dari System Thinking. Fungsi Ekonomi Dinamis di sini, untuk menjadi pilihan konsep bila ternyata Ekonomi Kapitalis sudah terbukti tidak mampu mengatasi masalah yang kompleks akhir-akhir ini. Sebagian ekonom barat mulai memperbaiki system ekonomi kapitalis dengan pendekatan system thinking. Dalam hal ini, Ekonomi Dinamis merupakan salah satu solusi yang merupakan paradigma baru dari pertumbuhan pesat Ekonomi Islam. Kehadiran Ekonomi Kâffah menjadi entitas yang berdiri sendiri, memiliki diferensiasi, dan dasar yang kuar dari al-Quran (QS. AL-Baqarah [2]: 208), tetapi dalam menjembatani pengembangan Ekonomi Kâffah dianalogikan bersama System Thinking. Peradaban barat yang memiliki referensi yang terstruktur, metodologi yang mendasar, dan yang paling penting sudah merasuki setiap lembar pemikiran kaum intelektual dunia. Sehingga dirasakan akan lebih sederhana dan logis bila Ekonomi Kâffah muncul bersama konsep System Thinking.
Kekhususan yang dimiliki oleh Ekonomi Kâffah adalah penjabaran dari metode Sinlammim. Hal ini sesuai dengan isi al-Quran yang berbunyi ‘silmi kâffah’, dengan penjelasan bahwa kata ‘silmi’ merupakan derivasi dari huruf sin lam mim.
Metode Sinlammim dalam Ekonomi Kâffah, juga menjadi metode yang baru bagi pengembangan epistemologi system ekonomi Islam secara keseluruhan. Untuk memudahkan pengertiannya maka metode Sinlammim dipersamakan dengan metode System Dynamics yang sudah lebih dulu exist sejak dekakde terakhir.
Metode Sinlammim secara umum merupakan salah satu solusi untuk menembus kebuntuan kehidupan dalam rangka memecahkan permasalahan yang mendasar. Hal ini dirasakan perlunya suatu metode yang lebih baik untuk menjadi perimbangan dalam pendekatan metafisika..
Hal ini sejalan dengan perkembangan metodologi terakhir yang menyatakan bahwa dirasakan perlu untuk mencari jalan tengah dari permasalahan ekonomi yang ada dengan beralih ke hal-hal yang berkaitan dengan spiritual. Salah satu contoh dari bukti metodologi metode Sinlammim adalah pencarian jati diri dari tangan manusia. Yang semula manusia beranggapan bahwa tangan ini atau jari-jari ini adalah giffen dari Tuhan, maka dengan semakin kritisnya manusia mulai mencari tahu adakah pola tertentu yang menjadi standar dari penciptaan jari-jari manusia.
Pendekatan yang ada selama ini kurang mampu mengintegrasikan system secara lebih diagonal atau transendental. Pendekatan dapat dilakukan dengan berbagai cara salah satunya adalah dengan metode sinlammim. Dengan pendekatan ini secara metodologis dapat sedikit membuka tabir konsep bentuk jari-jari manusia yang terkait erat dengan nilai spiritual yang ada dalam kitab suci.
Dengan metode sinlammim ini, manusia mencoba membuktikan bahwa model sinlammim ini ‘mampu atau tidak’ menjadi benchmark bagi setiap penciptaan yang ada di alam semesta ini. Jika dianggap bahwa dengan pendekatan ini dapat dibuat uraian tentang penciptaan jari-jari manusia, maka selanjutnya dapat dilakukan analogy dalam system ekonomi.
Gambar Metode Sinlammim
Dalam Tangan Manusia
Sumber: Mochamad Aziz, Lukisan, 2006.
Pembuktian valid/sahih dan tidaknya Sinlammim sebagai salah satu metode pendekatan dapat dilakukan dengan berbagai percobaan, trial and error, pengamatan dan penelitian yang dilakukan selayaknya oleh umat muslim sebagai pemilik dari model sinlammim ini. Kajian yang dilakukan sebenarnya tidak membatasi system tetapi sekiranya metode ini mampu menghadirkan buah karya dari umat Islam sendiri, mengapa tidak umat muslim yang mengembang secara proaktif pada metode Sinlammim ini.
Untuk metode Sinlammim, juga memenuhi syarat sebagai salah satu pembanding dalam System Dynamics yaitu dengan pola feedbacknya. Elemen pertama adalah Tuhan, kemudian elemen kedua adalah alam, dan feedbacknya adalah ibadah.
Diagram System Thinking Dalam Islam
Sumber: Mochamad Aziz, 2008
Bila System Dynamics mensyaratkan feedback sebagai bagian dari struktur sistemnya, maka Sinlammim juga memiliki feedback dalam hubungan di dalam sistem, seperti tersebut di atas.
Sinlammim merupakan akar dalam huruf. Selain huruf, dalam bahasa Arab ada juga angka. Angka sudah digunakan dalam kehidupan manusia sejak awal zaman sebagai symbol dasar untuk berkomunikasi secara universal.
Jika Allah akan memberikan symbol dalam kehidupan di ala mini, maka symbol tersebut adalah symbol yang mendasar dan berlaku untuk semua. Sedangkan dalam komunikasi manusia symbol yang digunakan adalah akar digiti atau digital root.
Rumus dari Digital Root adalah:
Disederhakan menjadi,
Sedangkan formula yang biasa digunakan dalam fungsi di Excel yaitu (1+MOD(n-1,9))
Tabel Akar Digit
Sumber: Mochamad Aziz, 2008
Sebenarnya proses pembentukan akar digit melalui beberapa perhitungan biasa yaitu dengan penjumlahan deret hitung yang menghasilkan triangular number yang merupakan penjumlahan dari bilangan asli dari 1 sampai n.
Dalam table lebih mudah dilihat bagaimana proses penghitungan bilangan asli menjadi triangular numbers kemudian menjadi akar digit.
Bilangan Asli
1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,16,17,18,19,20,21,22,23,24,25,26,27,28,29,30,31,32,33,34,35,36,37,38,39,40.
Bilangan Triangular
1, 3, 6, 10, 15, 21, 28, 36, 45, 55, 66, 78, 91, 105, 120, 136, 153, 171, 190, 210, 231, 253, 276, 300, 325, 351, 378, 406, 435, 465, 496, 528, 561, 595, 630, 666, 703, 741, 780, 820, 861, 903, 946, 990, 1035, 1081, 1128, 1176, 1225, 1275, 1326, 1378, 1431.
Akar Digit
1,3,6,1,6,3,1,9,9,1,3,6,1,6,3,1,9, 9,1,3,6,1,6,3,1,9,9,1,3,6,1,6,3,1,9,9,1,3,6,1,6
Konsep System Thinking dalam Islam yaitu Kaffah Thinking menunjukkan bahwa penjumlahan bilangan bulat positif (1,2,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13, ... dst) menghasilkan bukti dari kebesaran Allah
Dalam akar digit terlihat adanya 3 kelompok angka berulang yaitu:
Kelompok I: 3,1,9, kelompok II: 9,1,3, dan kelompok III: 6,1,6.
Kelompok I, merupakan akar digit yang sama Dengan symbol di tangan kiri manusia. Angka 3 seperti jari kelingking, jari manis, dan jari tengah. Angka 1 seperti jari telunjuk. Dan angka 9 seperti jari jempol. Serta akar digit 319 berkaitan Dengan al-Quran surat al-Baqarah [3] ayat 19.
Dalam kelompok 2, akar digit adalah 913. Angka ini bisa dilihat sebagai hijaiyah sin lam mim. atau angka 9,1,3. Dengan persamaan angka 3 untuk huruf sin , angka untuk huruf lam, dan angka 9 untuk huruf mim.
Dan kelompok 3 adalah akar digit 616, yang dapat dikatakan sebagai di sisi angka 1 ada 6.
Dari ketiga kelompok bilangan tersebut yang berulang0ulang pada penjumlahan sampai tak berhingga ternyata tetap memunculkan angka 319-913-616, sehingga kesatuan bilangan tersebut dinamakan sebagai Number Of Everything disingkat NOE.
DAFTAR PUSTAKA
Mochamad Aziz, Roikhan. “New Paradigm On Sinlammim Kaffah In Islamic Economics”. Jurnal Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.
Mochamad Aziz, Roikhan. “Sinlammim Kode Tuhan”. Esa Alam, Jakarta, 2005.
Mochamad Aziz, Roikhan. “Jejak Islam Yang Hilang”. Sinlammim, Jakarta, 2006.
________. “Kaffah Thinking On Sinlammim Method Through Digital Root”, Proceeding, ISOIT International Seminar On Islamic Thought, UKM, Bangi, Malaysia, 2009.
_________. “Education On Root Of Islam”, Proceeding, International Seminar On Islamic Education. UNJ, Jakarta, 2009.
_________. “Islamic Civilization Versus western System”, Proceeding.International Conference On Islamic Civilization. Kahorem Pakistam, 2010.
_________. “Pasar Modal Syariah”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.
_________. “Moneter Syariah”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.
_________. “Ekonomi Makro Islam Tuga Dimensi”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.
_________. “Bank Dan Lembaga Keuangan Lain”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.
_________. “Perekonomian Indonesia”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2009.
_________. “Ekonomi Moneter Tiga Dimensi”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.
_________. “Perbankan Syariah”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010..
_________. “Ekonomi Islam Tiga Dimensi”, Modul Kuliah, Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010.
_________. “Ekonomi Makromikro Syariah”, Modul Kuliah, Pasca Sarjana, Institut Agama Islam Negeri Raden Intan, Lampung, 2009.
Mochamad Aziz, Roikhan. The Prospect Of Islamic Revival In Indonesia 2015 Based On Development Of Sukuk The Sukuk Through Sinlammim Kaffah Method. Approved Paper For Seminar Sharia Economics Days (Second), UI, Depok, 2010.
Mochamad Aziz, Roikhan. Pemodelan Institusi Keuangan Islam Berbasis Metode Sinlammim Kaffah (Studi Kelayakan Pada Bofsa), UII, Jogjakarta, April, 2009.
--------------. Kaffah Thinking On Sinlammim Method Through Digital Root, Proceeding, UKM Malaysia, October, 2009.
--------------. Islamic Principle And Financial Aspect In Sukuk On Asset Becked securities, IALE Hukumonline.com, Jakarta, August 2009.
--------------. The Application Of Kaffah Economics On Sukuk As Islamic Economic Instrument In OIC Countries, IRTI-IDB, IIUM, Kuala Lumpur, Malaysia, March, 2009.
--------------. The Mistery Of Digital Root Based On Sinlammim Method. Proceeding. Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, Indonesia. October 2008.
The Root Of Mathematics And Science Is Level Compared With Religious Thinking. Proceeding. State Islamic University (UIN) Jakarta, Indonesia. October 2008.
--------------. The Sukuk Competition Between Indonesia and Malaysia With System Dynamics. Proceeding. University Malaysia Sabah, Labuan, Malaysia. November 2008.
--------------. The Application Of Mathematics In Information System Based On Al-Quran. Working Paper, Studium General, State Islamic University (UIN) Jakarta, Indonesia. October 2008.
--------------. The Assimilation Of Sinlammim Into System Thinking In The Quantitative Method With Modeling On Sukuk As Islamic Economic Instrument. Proceeding. University Of Malahayati, Lampung, Indonesia. October 2008.
--------------. The Future Of Sukuk Between Malaysia and Indonesia Based on System Thinking. Proceeding. Monash University, Sunway Campus, Malaysia. October 2008.
--------------. Sukuk Dynamics In System Thinking. School Of Business (SBM), Institute Technology Bandung (ITB), Bandung, Indonesia. September 2008.
--------------. Kaffah Approach In Islamic Economics Theory. Journal. University Islamic Indonesia (UII), Jogjakarta, Indonesia. August 2008.
--------------. Holistic Thinking To Develop Islamic Bonds In Indonesia. Proceeding. IAEI – University Airlangga (Unair), Surabaya, Indonesia. August 2008.
--------------. Analisis Pemodelan Sukuk Indonesia Malaysia Dengan System Dynamics. Disertasi, Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2008.
Sabtu, 17 Desember 2011
Sabtu, 19 November 2011
Etika Bisnis Islam Macam – Macam Etika Barat dan Pengaruhnya Terhadap Islam
Etika Bisnis Islam
Macam – Macam Etika Barat dan Pengaruhnya Terhadap Islam
Disusun oleh :
Kelompok 1
Devita Patriawati 108084000013
Sendy Firmansyah 108084000021
Fahri Nopiyansyah 108084000044
Dosen : Bapak Yogi Citra Pratama SE, Msi.
Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
(6 Pembangunan)
Fakutas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
Macam – macam Etika Barat dan Pengaruhnya
Terhadap Islam
1. Pendahuluan
Di zaman klasik bahkan juga di era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Maka tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang Ekonomi Klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Di Indonesia Paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia, sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, pengrusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang didepan mata kita baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik.
Di Indonesia, pengabaian etika bisnis sudah banyak terjadi khususunya oleh para konglomerat. Para pengusaha dan ekonom yang kental kapitalisnya, mempertanyakan apakah tepat mempersoalkan etika dalam wacana ilmu ekonomi?. Munculnya penolakan terhadap etika bisnis, dilatari oleh sebuah paradigma klasik, bahwa ilmu ekonomi harus bebas nilai (value free). Memasukkan gatra nilai etis sosial dalam diskursus ilmu ekonomi, menurut kalangan ekonom seperti di atas, akan mengakibatkan ilmu ekonomi menjadi tidak ilmiah, karena hal ini mengganggu obyektivitasnya. Mereka masih bersikukuh memegang jargon “mitos bisnis a moral” Di sisi lain, etika bisnis hanyalah mempersempit ruang gerak keuntungan ekonomis. Padahal, prinsip ekonomi, menurut mereka, adalah mencari keuntungan yang sebesar-besarnya.
2. Pengertian
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu “ethos” yang artinya kebiasaan atau karakter. Kata Bisnis dalam Bahasa Indonesia diserap dari kata “Business” dari Bahasa Inggris yang arrtinya yaitu kesibukan sehingga Bisnis adalah kesibukan yang berorientasi pada profit/ keuntungan..Etika Bisnis adalah Tata nilai yang dipegang dan dijadikan pijakan oleh setiap pelaku bisnis dalam mengelola perusahaan.
Menurut Erdina Masdina etika bisnis merupakan suatu bagian subyektif yang harus dimiliki seorang pelaku bisnis. Etika bisnis meski tidak tertuang dalam suatu kodifikasi etika yang disepakati oleh kalangan bisnis secara bersama-sama bisa mengendalikan kecendrungan manusia untuk menguasai orang lain. Dengan demikian etika berfungsi bukan hanya ketika manusia berhadapan dengan tuhan, tetapi etika menjadi faktor penentu bagi terciptanya suatu kondisi suatu bisnis yang harmonis. Hal itu sama juga dengan fungsi etika ketika diterapkan dalam kehidupan sosial.
Menurut Emile Durkheim seorang sosiolog dari Prancis memberikan penilaian akan pentingnya moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun pada dasarnya etika merupakan satu konsep yang tidak memiliki sanksi hukum formal, namun keberadaannya merupakan salah satu hal yang sangat penting. Karena bagaimanapun etika merupakan salah satu bentuk kontrol prilaku manusia dalam menjalani kehidupannya. Sebagai makhluk sosial manusia jelas membutuhkan konsep etika dalam menjalani interaksi dengan manusia lain. Semakin beretika seseorang maka ia akan mulia dimata orang lain dan akan mendapat penghargaan sebagai orang baik. Seperti yang termaktub di Al-Quran Surat At-Tiin ayat 4-5.
Dalam hal ini Dunia Barat sangat menghargai dan mempunyai perhatian besar terhadap konsep etik dalam sebuah entitas bisnis. Dan hal itulah yang saat ini menjadi perhatian sekaligus menjadi budaya bisnis yang sedang digalakkan dan diterapkan di Dunia Bisnis Barat.
3. Pengelompokkan Etika Bisnis
Etika Bisnis dikelompokkan menjadi 4,yaitu:
1.) Filsafat Barat
2.) Yudea/ Kristen
3.) Oriental ( Agama/ Filsafat Timur )
4.) Islam
1) Filsafat Barat
Filsafat barat sumber utamanya berasal dari etika yunani klasik yang secara umum dalam penerapannya diklasifikasikan menurut : Egoisme, Utilitarianisme, Kantian, dan Humanisme Sekuler.
a. Egoisme
Egoisme ditujukan untuk memudahkan klasifikasi dan mengingat Hedonisme yang merupakan manifestasi egoisme berasal dari pemikiran filsafat barat, walaupun pengikutnya bisa dari seluruh dunia. Aliran ini paling banyak pengikutnya didunia bisnis walaupun pelaksanaannya tidak mengemukakan secara formal. Intinya adalah mementingkan diri sendiri. Pengikut aliran egois pada umumnya mempertimbangkan tingkah lakunya menurut keuntungan diri sendiri.
Analisis untung rugi yang dilakukannya bertujuan untuk mengidentifikasi alternatif mana yang paling menguntungkan dirinya. Keuntungan dan manfaat bagi oranglain bukan urusannya. Disini dapat berkembang sikap menghalalkan segala cara termasuk upaya mempertahankan kekuasaan/harta ala Machiavelli.
b. Utilitarianisme
Merupakan Falsafah yang sangat penting sejak abad 19 dimana pencetus utamanya adalah John Stuart Mill. Utilitarianisme menyatakan bahwa suatu tindakan dikatakan benar secara moral apabila dapat menghasilkan sebanyak-banyaknya barang untuk memberikan manfaat kepada banyak orang.
Kapitalisme sedikit banyak merupakan penerapan utilitarianisme. Pandangan Adam Smith menyatakan bahwa perilaku memikirkan kepentingan sendiri (egoisme) menyebabkan produsen mengalokasikan sumber daya yang terbatas sedemikian rupa sehingga menghasilkan barang yang bermanfaat yang dapat memberikan manfaat material untuk banyak orang.
c. Kantian
Sistem etika dari Immanuel Kant didasarkan pada konsep ‘tugas’. Semua orang memiliki tugas untuk mematuhi hukum moral yang ditetapkan yang dianggap benar secara umum dalam praktek yang ada. Perilaku yang etis ialah apabila sesuai dengan yang diterima secara umum. Dasarnya:
1.) Seseorang tidak boleh melakukan sesuatu kecuali dia bersedia melakukan tindakan tersebut.
2.) Setiap orang dituntut untuk memperlakukan orang lain sebagai tujuan (end) tidak boleh sebagai alat (means).
3.) Seseorang harus bertindak sebagai seseorang yang membuat peraturan dan yang harus mematuhi peraturan tsb. Dengan demikian tindakan seseorang harus konsisten dengan keinginan bagaimana oranglain harus bertindak. (Frascona,1988)
d. Humanisme Sekuler
Perilaku etis harus ditentukan oleh pemikiran yang kritis dan tujuannya mengembangkan individu-individu yang otonom dan bertangggung jawab yang mampu menentukan pilihannya sendiri dalam kehidupan, didaasarkan pada pemahaman prilaku manusia. Yang penting bagi seorang humanis sekuler adalah kebahagiaan manusia disini dan sekarang. Menurut aliran ini tuntutan moral tidak perlu berasal dari agama. Hal-hal diatas dikutip dari “a secular humanist declaration”. Didalam praktek bisnis banyak yang secara sadar maupun tidak mempraktekan falsafah ini, yaitu apabila dianggap benar walaupun bertentangan dengan agama,tetap mereka jalankan sepanjang untuk kebahagian ‘didunia’ saja.
2) Yahudi- Kristen
Standar etika bisnis yang dilakukan berdasarkan agama Yahudi-Kristen sumber utamanya adalah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Etika Yahudi-Kristen pada umumnya dianggap sebagai dasar dari standar etika barat. Tujuan utamanya adalah ‘cinta’, cinta kepada Tuhan dan cinta kepada ‘tetangga’ ( Leslie.W.Rue& Lloyd L.Byar, 1986). Yang dikaitkan Yahudi dengan kristen ke dalam satu aliran adalah “10 perintah Allah” (The Ten Commandement).
a. Kristen
Apabila dicermati tradisi Kristiani tidak menghargai orang-orang yang bergerak dibidang usaha ekonomis (A.A.Islah, 1997). Injil tidak memuat sebuah ajaran moral spesifikasi kristiani. Dalam bidang bisnis pun tidak ada sebuah etika khusus injil (Frans Magnis Suseno,1994).
Pemikiran yang menyangkut masalah ekonomi didunia Nasrani Barat baru mulai mulai berkembang pada abad ke-12 yang secara falsafah didasarkan pada falsafah Yunani (Ariestoteles) yang terlebih dahulu dikembangkan melalui Arab. Yang berjasa dalam pengembangan falsafah ini adalah Albertus Magnus (1193-1280) dan muridnya Thomas Aquinas (1225-1274). Konsep ekonomi dan etika bisnis yang dikembangkan mencakup hal-hal berikut ini: Riba, Harga yang adil, dan Hak Milik (A.A.Islah,1997)
1.) Protestan
Hal yang paling monumental dari aliran ini adalah yang menurut Weber diberi nama “etika protestan” yaitu ajaran Martin Luther (1483-1546) yang menyatakan bahwa menurut ajaran kristen bekerja harus diangap sebagai panggilan/ beruf (hal ini sebetulnya sejalan dengan konsep Islam bahwa bekerja adalah ibadah), karena setiap orang memiliki jenis pekerjaan tertentu yang diberikan oleh Tuhan maka setiap manusia harus membayar kembali cinta kasih Tuhan tsb dengan mengekspresikan cinta kasih kepada sesama umat manusia melalui kerja keras.
Etika protestan inilah yang selanjutnya disebut sebagai motivasi penggerak keberhasilan Barat dengan Kapitalismenya, yang sebenarnya merupakan pengembangan dari materialisme.
2.) Katolik
Agama Katolik dibawah pimpinan Paus yang masih merupakan bagian dari Judea-Kristen dalam hal ekonomi dan etika bisnis memberikan kontribusi besar dalam hal konsep “charity” yaitu menyantuni anggota masyarakat yang kurang beruntung (miskin, tua renta,tuna sosial,dsb). Gerakan ini sejalan dengan apa yang dicita-citakan sistem sosialisme.
Ajaran sosial gereja menantang orang katolik dalam dunia bisnis untuk memperhatikan kesejahteraan umum, solidaritas,prinsip subsidiaritas dan terlebih lagi keprihatinan terhadap kaum miskin. ( Farans M. Suseno, 1994)
Prinsip hemat (thrifty) menurut etika Protestan yang berpadu dengan upaya menyantuni masyarakat yang kurang beruntung menghasilkan perintisan suatu gerakan kredit yang sudah mendunia yaitu Credit Union (saat ini sudah diikuti oleh orang-orang dari berbagai aliran) dalam operasinya masih menggunakan konsep bunga walaupun “usury”/ riba pada dasarnya juga dilarang.
b. Yahudi
Meskipun akarnya sama, Yahudi memiliki kekhasan yaitu lebih berkonsentrasi pada penguasaan pengelolaan uang masyarakat. Etika Yahudi mengajarkan dibolehkannya ( bahkan diharuskan ) adanya perbedaan pelayanan bisnis seorang Yahudi kepada sesama Yahudi dengan kepada orang luar (Gentiles). Kepada sesama Yahudi tidak boleh riba atau dengan bunga yang ringan tetapi terhadap pihak lain boleh menerapkan bunga yang tinggi.
Khusus masyarakat Yahudi di negara Israel mereka mengembangkan gerakan komunal dengan menerapkan koperasi yang dipadu dengan tradisi Yahudi yang disebut Kibbutzim. Adapun bentuk koperasi yang lebih longgar disebut Moshav (seperti koperasi biasa). Prinsip diskriminasi perlakuan dalam etika bisnis juga diterapkan bahkan antar Kibbutzim. Eksklusifitas Kibbutz yang melatar belakangi etika prilaku yang di anut Yahudi termasuk dalam bisnis seperti pernyataan berikut ini:
“ kekuatan dari Kibbutz terbatas pada hakekat sosial pokok yang mnegupayakan harmoni yang lengkap dari individu dan kelompok segenap ruang lingkup kehidupan untuk pengembangan maksimal individu dan pemantapan hubungan etis antar manusia.” ( Salah satu pernyataan prinsip Kibbutz).
Atas dasar hal diatas bisnis dan ekonomi Israel ( Negara yang dibangun berdasarkan gerakan Yahudi ziionisme) sangat bersifat ethnocentric, etika bisnis sesama Yahudi ( bahkan sesama anggota Kibbutz) berbeda dalam beberapa hal dengan antara Yahudi dengan oranng yg bukan Yahudi.
3) Oriental ( Agama/ Filsafat Timur )
Aliran terdahulu dari aliran ini berkembang terutama di Asia yang pada abad 20 menunjukkan prestasi perkembangan ekonomi yang menakjubkan. Wilayah yang menerapkan etika bisnis oriental adalah : Cina, Jepang, Korea, dan Taiwan , serta wilayah pengaruh lainnya seperti Singapura. Agama/ filsafat yang menjadi sumber etika bisnis adalah: Konghucu, Budha, Zen-Budha, Shinto, dan Hindu.
Beberapa hal yang khas dari konsep ekonomi dan etika bisnis menurut aliran ini secara umum adalah:
a. Kegiatan ekonomi adalah realisasi prinsip cinta dan pembangunan, kebaikan hati, menuju pikiran universal, pendidikan dan pengembangan segala sesuatu sesuai dengan alam semesta yang hidup dan selalu produktif.
b. Perusahaan bukan tempat untuk berebut uang serta keuntungan materi lainnya melainkan tempat suci untuk para manajer untuk mendidik dan membantu para pekerja dan untuk orang0orang yang mendidik dirinya sendiri (sejalan dengan “koperasi” sebagai lembaga pendidikan) (Hiroike, 1989)
c. Teori ekonomi yang digali dari agama budha yaitu dharmata (allelonomy) yaitu logika relitas bukan otonomi seperti di Barat. Menurut allelonomy kebebasan individu yang menghasilkan kompetisi harus diimbangi dengan harmoni yang menghasilkan kerjasama.(Harno Naniwada,1989).
d. “Ekonomi Budha” oleh EF.Schumacher mencakup dimasukkannya dimensi spiritual dalam kegiatan ekonomi seperti pelestarian alam.
e. Moralitas Konghucu/ Konfusius pada perusahaan-perusahaan Jepang menekankan kebersamaan ( bukan individualisme, menekankan konsep keteraturan sosial dalam bentuk kerjasama mencapai tujuan bersama dan penerimaan hirarki dan perbedaan peran. Nilai-nilai harmoni dan kerjasama sangat ditekankan. Identitas sosial seseorang sangatlah diutamakan (Prasert Chittawatana-pong, 1999).
Keberhasilan ekonomi wilayah oriental ini pada abad 20 sangat dipengaruhi oleh pemikiran SUN TZU dalam penerapan “Seni Perang” ( The Art of War) dalam bisnis khususnya dalam menghadapi Barat.
4) Islam
Risalah Islam diturunkan ke dunia melalui Rasul Muhammad SAW yang sebelum menjadi rasul memiliki profesi sebagai pedagang/ busineesman.Tuntunan Islam dalam perekonomian dan Etika Bisnis disebut Ekonomi Syariah yaitu ekonomi dan akhlak berekonomi yang didasarkan pada syariat Islam.Dalam Islam kita menemukan bahwa etika atau akhlak tidaklah berdasarkan pragmatisme tetapi berdasarkan idealisme universalisme, cinta dan affection. (Abu Sulaiman,1994)
Peradaban Islam mengalami kejayaan sampai akhir abad ke-16 telah melahirkan pemikir konsep ekonomi Islam yang sangat menonjol yaitu IBNU TAIMIAH (1263-1328) yang mencakup tuntunan tentang: harga yang adil, mekanisme pasar dan regulasi harga, hak milik, bunga bank, kerjasama ekonomi, peranan pemerintah, dan keuangan publik. Dengan lunturnya kekuasaan Islam yg mencapai kulminasi pada tahun 1924 (dijatuhkannya Sultan Hamid oleh Kemal Ataturk) maka terhambat oleh berkembangnya ekonomi Barat.
Semenjak kebangkitan Islam, Dunia Barat dan yang lainnya mulai memperhatikan islam yang memiliki karakter khas seperti: Sikap tegas terhadap riba yang di aktualisasikan dalam pasar modal islam, bank syariah, takaful ,dsb. Serta sikap yang tegas tentang halal-haram seperti dalam makanan.
Etika bisnis yang sudah lama berkembang dikalangan islam tradisional diIndonesia sejak Indonesia merdeka adalah yang ada dilingkungan pesantren seperti mandiri, sederhana, tolong menolong, dan ikhlas.
4. Pengaruh Etika Barat Terhadap Islam
Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis. Mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, masalah upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosio ekonomik menyangkut hak milik dan hubungan sosial.
Aktivitas bisnis merupakan bagian integral dari wacana ekonomi. Sistem ekonomi Islam berangkat dari kesadaran tentang etika, sedangkan sistem ekonomi lain, seperti kapitalisme dan sosialisme, cendrung mengabaikan etika sehingga aspek nilai tidak begitu tampak dalam bangunan kedua sistem ekonomi tersebut. Keringnya kedua sistem itu dari wacana moralitas, karena keduanya memang tidak berangkat dari etika, tetapi dari kepentingan (interest). Kapitalisme berangkat dari kepentingan individu sedangkan sosialisme berangkat dari kepentingan kolektif. Namun, kini mulai muncul era baru etika bisnis di pusat-pusat kapitalisme. Suatu perkembangan baru yang menggembirakan.
Al-Qur’an sangat banyak mendorong manusia untuk melakukan bisnis. (Qs. 62:10,). Al-Qur’an memberi pentunjuk agar dalam bisnis tercipta hubungan yang harmonis, saling ridha, tidak ada unsur eksploitasi (QS. 4: 29) dan bebas dari kecurigaan atau penipuan, seperti keharusan membuat administrasi transaksi kredit (QS. 2: 282).
5. Perbedaan Etika Barat dan Islam
Kesimpulan
Sebagai penganut Islam yang menceburkan diri dalam bidang profesional atau bekerja dalam lapangan sekalipun, jangan lah kita melupakan nilai vertikal yang menjadi sumber motivasi primer yaitu wahyu dan ketuhanan. Inilah nilai yang membedakan generasi rabbani yang progressif dengan generasi yang sekular progressif. Islam tidak mengenepikan elemen hadhariyy (pembangunan) serta progressif (berpenghasilan) dalam tindakan. Tetapi Islam mengikat golongan ilmuan dengan nilai kekuatanNya hanya kerana kedangkalan akal dan pemikiran kita yang terbatas. Intinya, kita sebagai mahluk yang paling sempurna harus menjaga nilai etika dalam segala hubungan agar mencapai keharmonisan dalam bersosialis.
Daftar Pustaka
• Dr.Ir. H. Riyadi slamet bisri, Etika Bisnis Global : Jurnal, 2008.
• Bashah Narudin, Teori Perbandingan Etika Barat dan Islam : Universiti Malaya, 2006.
• Wordpress.com/Konsepetikadalampandanganislam. (posted : Pasca sarjana UIN 07)
• Tata, Ahmad. Macam – macam Etika 2 : Blogspot.com , 2011.
TUGAS Etika bisnis kelompok 4 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBENTUK DAN MEMPENGARUHI ETIKA SESEORANG
TUGAS Etika bisnis kelompok 4
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMBENTUK DAN MEMPENGARUHI ETIKA SESEORANG
Disusun Oleh:
Muslih Yunan Saputra (1080840000 )
Muamar Faruqi (1080840000 )
Fika Khairun Nisa (108084000037)
Satria Adyatma (1080840000 )
JURUSAN Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
JAKARTA 2011
1. Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan dikenal beberapa teori berkaitan dengan factor pembentuk perilaku. Pertama, dikemukakan oleh John Locke yang diberi nama “teori tabularasa” yang mengatakan bahwa “child born like a sheet of white paper a void of all characters” ketika anak lahir diumpamakan sebagai kertas buram yang putih , tidak ada tulisan ,goresan,atau bahkan apapun. Jiwa anak masih bersih dari pengaruh keturunan sehingga pendidikan dan pengalaman dapat dibentuk sesuai kehendaknnya. Menurut Locke orang tua mempunyai peranana penting dalam mengisi lembaran kertas yang bersih tersebut. Teori ini dikenal kemudian dengan pengalaman dan lingkungan yang menjadi cikal bakal lahirnya teori belajar.
Sedangkan teori lain yg bertolak belakang dengan pandangan John Locke diatas dikemukakan oleh seorang filosif asal Perancis bernama Jean Jacques Rousseau (1712-1778) , bahwa semua orang ketika dilahirkan mempunyai dasar-dasar moral yg baik. Teori ini dikenal dengan istilah “noble savage” yg menerangkan segi moral (hal-hal yg berkenaan dengan baik dan buruk) dengan menitikberatkan pada factor keturunan sebagai factor yg penting terhadap isi kejiwaan dan gambaran kepribadian seseorang.
Dari kedua teori tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya prilaku seseorang banyak dipengaruhi oleh beberapa factor yg sangat mendasar yg dialami dan dijalani kehidupan yg dilaluinya sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Nilai prilaku dapat diibaratkan sebagai software, supaya prilaku dapat diamati, dihayati dan diaktualisasikan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :
“ Setiap bayi yang baru dilahirkan dalam keadaan suci, maka orangtua (ibu dan bapak) yang akan membentuknya apakah ia akan diberi hidayah (masuk islam) atau menjadi seorang nasrani ataupun menjadi seorang majusi” (Al-Hadits).
2. Tahapan Perkembangan Hidup Manusia
Tahapan-tahapan perkembangan hidup manusi, yang antara lain:
2.1. Tahap Perkembangan Jasmani dan Rohani
Perkembangan merupakan perubahan yang terus menerus dialami, tetapi ia tetap menjadi kesatuan. Perkembangan berlangsung secara perlahan-lahan masa demi masa. Charlotte Buhler, seorang ahli psikologi dalam bukunya :Practicche Kinder Psychologie”, 1949, mengemukakan masa perkembangan anak dan pemuda sebagai berikut ;
1. Masa Pertama
Pada masa ini anak berlatih mengenal dunia lingkungan dengan berbagai macam gerak. Pada waktu lahirnya ia mengalami dunia tersendiri yang tak ada hubungannya dengan lingkungannya. Perangsangan-perangsangan luar hanya sebagian kecil yang dapat disambutnya, sebagian besar lainnya masih ditolaknya. Pada masa ini terdapat 2 peristiwa penting, yaitu belajar, berjalan dan berbicara.
2. Masa Kedua
Keadaan dunia luar makin dikuasai dan dikenalnya melalui bermain, kemajuan bahasa dan pertumbuhan kemauannya. Dunia luar dilihat dan dinilainya menurut keadaan dan sifat batinnya. Semua binatang dan benda mati disamakan dengan dirinya.
3. Masa Ketiga
Keinginan bermain Berkembang menjadi semangat bekerja. Rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan semakin tinggi. Demikian pula rasa sosialnya semakin tinggi. Pandangan terhadap dunia sekelilingnya diterima secara objektif.
4. Masa Keempat
Keinginan maju dan memahami kenyataan mencapai puncaknya. Pertumbuhan jasmani sangat subur dan kejiwaannya tampak tenang. Pada masa ini mulai timbul kritik terhadap diri sendiri, Kesadran akan kemauan, penuh pertimbangan, mengutamakan tenaga sendiri, disertai berbagai pertentangan yang timbul dengan dunia lingkungan dan sebagainya.
5. Masa Kelima
Pada awal masa Pubertas kelihatan lebih subjektif, kemampuan dan kesadaran dirinya terus meningkat. Hal ini mempengaruhi sifat-sifat dan tingkah lakunya. Keseimbangan antara dirinya sendiri dengan pengaruh dunia lingkungan. Mereka membentuk pribadi, menerima norma-norma budaya dan kehidupan.
2.2. Tahap Perkembangan Moralitas Seseorang
Pada awal kehidupan seorang bayi, kita tidak dapat menilai tingkah lakunya sebagai bermoral, atau tidak bermoral. Pada hakekatnya, seorang anak bayi belum bermoral, artinya ia belum memiliki pengetahuan dan pengertian akan apa yang diharapkanoleh kelompok social dimana ia hidup. Contoh kisah Nabi Musa A.S terlepas dari pembahasan mengenai “kehendak Allah” , bahwa situasi musa ketika disuguhkan kepadanya mainan dan bara api ketika Fir’aun ingin menguji apakah Musa adalah bayi yang menurut peramal kelak ia akan mengambil kekuasaannya atau ia hanya bayi seperti kebanyakan bayi lainnya, dengan keluguan bayi Musa kecil mengambil bara api dan memasukkannya ke mulutnya yang pada akhirnya peristiwa tersebut mengurangi kemampuan musa dala berkomunikasi, yang ada dibenak Musa kecil ketika itu adalah bahwa bara api yang menyala-nyala itu menarik hatinya dan menggerakkan nalurinya untuk mengambil.
Dari peristiwa diatas kita dapat menyimpulkan bahwa ketika manusia dilahirkan ia tidak mempunyai kemampuan untuk menilai dan memilih perilaku yang dapat membahayakan atau tidak.Interaksinya dengan kehidupan social lah yang membentuk dan mengarahkannya untuk dapat memilih perilaku yang sesuai bagi diri dan lingkungannya.
Di sini islam datang untuk menerangi diri dan lingkungan tersebut dengan cahaya kebajikan (virtue) den prilaku baik (good manners) yang menjadi misi kedatangan para Rasul. Dalam konteks ini, prilaku baik menjadi tujuan utama diutusnya Rasululllah SAW dalam sebuah hadits nya yang berbunyi ;
“ Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan good moral “.
Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan etika dan akhlak yang baik yang secara factual dibuktikan dalam sejarah kehidupan beliau yang termaktub dalam banyak biografi yang ditulis oleh banyak ahli sejarah, baik muslim maupun non muslim.
Untuk itu, ibadah yang diajarkan oleh Rasulullah punya peranan penting dalam pembentukan prilaku baik tersebut.
Bentuk ibadah dalam islam bukanlah hal mistik yang menghubungkan manusia dengan ‘alam gaib’, sehingga manusia dianggap mengerjakan sesuatu yang tidak berarti. Sesungguhnya seluruh ibadah dalam islam dirancang sebagai bentuk pelatihan agar manusia mendapat akhlak yang benar, kebiasaan yang baik dan terpuji yang terus menghiasi kehidupannya sepanjang hayat.
Shalat misalnya sebagai sebuah ibadah yang menjadi tiang agama yang dirancang untuk dapat mencegah menusia dari perbuatan keji dan munkar. Zakat bertujuan untuk membersihkan diri seorang muslim, hartanya, menanamkan benih-benih kebajikan, dan simpati, serta mengenali lingkungan sekitar untuk untuk dapat menjalin kasih dan persahabatan.
Begitu juga dengan ibadah- ibadah lain yang secara keseluruhan punya tujuan mulia agar dapat membentuk pribadi- pribadi Muslim yang produktif, professional, bersimpati, menebar kasih dan saying kepada sesame dan bahkan kepada alam semesta.
3. Faktor Pembentuk Etika
Etika baik atau akhlak mulia itu tidak didapat dan terbentuk dengan sendirinya, tetai ada factor-faktor lain selain faktor ibadah, seperti yang dikemukakan oleh ahli Etika Bisnis Islam dari Amerika, Rafiq Issa Beekun mengungkapkan bahwa perilaku etika individu dapat dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu : 1)interpretasi terhadap hukum, 2) Faktor Organisasional dan, 3) Faktor Individu dan situasi. Dijelaskan sebagai berikut;
1. Interpretasi terhadap hukum. Secara filosofis, system hukum dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap jiwa dan raga manusia dari berbagai faktor yang dapat menghilangkan eksistensi manusia. Hukum akan hidup dan diyakini keberadaannya apabila dirasakan ada manfaatnya bagi manusia. Ketika hukum itu bertentangan dengan kepentingan manusia, maka ia dapat membahayakan eksistensinya dan tidak akan ditaati.
2. Faktor yang kedua adalah Lingkungan atau organisasi dimana ia hidup. Tanpa masyarakat (lingkungan; orang tua, saudara, teman, guru dsb)kepribadian seorang individu tidak dapat berkembang, demikian pula halnya dengan aspek moral pada anak. Nilai- nilai moral yang dimiliki seorang anak lebih merupakan sesuatau yang diperoleh anak dai luar, ia akan merekam setiap aktivitas yang terjadi di lingkungannya yang lambat laun akan membentuk pola tingkah laku bagi kehidupannya dimasa yang akan datang. Seorang karyawan akan terbentuk prilaku etiknya apabila organisasinya memang mempunyai ketentuan kode etik yang menjunjung tinggi etika bisnis.
3. Faktor ketiga adalah faktor individu. Hal-hal yang masuk dalam kategori ini antara lain; pengalaman batin seseorang yang juga merupakan faktor bagi terbentuknya perilaku etik bagi seseorang, misalnya seorang anak yang terbiasa dengan suasana keluraga yang harmonis akan membentuk perilakunya kelak menjadi seorang yang mencintai, peduli akan sesama dan saling menghormati karena empatinya terbentuk oleh pengalaman hidupnya tersebut. Akan tetapi sebaliknya apabila ia terbiasa dengan suasana yang tidak harmonis seperti orang tua yang sering bertengkar dan bagaimana perlakuan kasar ayahnya terhadap ibundanya dapat menjadikan seorang anak laki-laki kelak sebagai orang yang kasar (senang main pukul) atau bagi anak perempuan bahkan membenci ayahnya atau ia akan membenci setiap laki-laki sebagai makhluk yang kasar dan tidak berbudi.
Faktor lainnya adalah kondisi atau situasi. Faktor ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi terbentuknya perilaku etika seseorang, misalnya, si Ahmad sebagai seorang manager akuntansi disebuah perusahaan. Pada suatu saat ia diperintah membuat sebuah laporan dengan memanipulasi kewajiban pembayaran pajak agar tidak terlalu besar, padahal perusahaan telah membabankan atau mengambil pajak dari para konsumennya.
Dalam hal ini ia dihadapkan pada suatu hal yang dilematis, di satu sisi ia tidak ingin melawan atasannya karena etikanya adalah ‘bawahan harus menaati atasan’. Disisi yang lain ia paham dan sadar bahwa perbuatan memanipulasi laporan adalah sesuatu yang tidak etis.
Dalam situasi seperti ini ia dihadapkan pada kondisi yang berat untuk memilih antara mengikuti atasannya dengan mengorbankan prinsip nilai/moral yang selama ini diyakininya atau ia mempertahankan standar nilai yang ia miliki dengan resiko dipecat. Ketika ia memilih opsi kedua maka ia akan teringat lagi kondisi lain yang dihadapinya seperti, kewajibannya untuk menafkahi keluarga, cicilan rumah dna mobil yang masih harus dibayar dan lain sebagainya.
Dalam kondisi ini, sesungguhnya islam memandang kondisi dilematis seperti ini sebagai ajang menguji stendar iman seseorang dan sebagai bagian dari jihad. Karna sesungguhnya sikap taat pada atasan seperti diatas telah menjebaknya terlibat dalam persekongkolan penipuan terhadap Negara.
Ketika sikap menolak itu diambil, ia layak untuk disebut sebagi seorang mujahid dalam memerangi perilaku koruptif yang menjadi sumber utama kehancuran banyak negeri. Dalam kondisi ini, sesungguhnya si Ahmad telah dapat memenangkan pertarungan antara godaan hawa nafsu dan konsistensi pada nilai-nilai agama. Memang menurut hadist Rasulullah bahwa setiap kaum dihadapkan pada fitnah dan fitnah umatku adalah harta (Turmidzi). Dan fitnah ini sesungguhnya yang sedang berkecamuk dalam diri Ahmad.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi etika seseorang
• Pengaruh keluarga
Keluarga merupakan tempat tumbuhnya seorang individu,karena itu keluarga mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan etika seorang individu.individu akan berprilaku mencontoh orang tuanya atau keluarga dekat,akan berprilaku separti yang disuruh orang tuanya.keluarga yang berprilaku etis akan mendorong individu melakukan tindakan yang etis, sampai pada masa besarnya.
• Pengaruh faktor situasional
Situasi akan menentukan etika individu.sebagai contoh,jika seseorang mencuri barangkali mempunyai karena ia membutuhkan uang tersebut karena anaknya sakit.meskipun nampaknya jalan yang diambil merupakan jalan pintas,tetapi situasi semacam itu membantu memahami kenapa seseorang dapat melakukan tindakan yang tidak etis.
• Nilai,moral dan agama
Seseorang yang memprioritaskan sukses pribadi dan penyampaian tujuan keuangan tentunya mempunyai prilaku yang lain dibandingkan mereka yang memprioritaskan untuk menolong orang lain.keputusan dan prilaku manajer seringkali dipengaruhi oleh kepercayaan.sebagai contoh manajer yang percaya pada nilai kebersamaan tidak akan memberhentikan karyawan meskipun perusahaan sedang mengalami kesulitan.
• Pengalaman hidup
Selama hidupnya,manusia mengalami banyak pengalaman yang baik,yang buruk,maupun yang jelek.pengalaman tersebut merupakan proses yang normal dalam kehidupan seseorang.sebagain contoh,seseorang yang mencuri kemudian tidak tertangkap barang kali akan mendorong mencuri kembali dimasa mendatang.sebaliknya jika ia tertangkap dan dihukum,dapat membuatnya jera untuk melakukan pencurian.
• Pengaruh teman
Teman sebaya terutma akan berpengaruh terhadap pembentukan etika seseorang.contoh yang paling baik adalah masa kanak-kanak.bila seseorang anak berteman dengan anak yang nakal,maka ada kecenderungan anak tersebut tertular nakal.demikian juga dengan teman permainan pada waktu seseorang individu menginjak dewasa.jika lingkungan mempunyai standar etika yang tinggi,seseorang individu akan cenderung mempunyai etika yang tinggi juga.
5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelanggaran Etika :
1. Kebutuhan Individu
2. Tidak Ada Pedoman
3. Perilaku dan Kebiasaan Individu Yang Terakumulasi dan Tak Dikoreksi
4. Lingkungan Yang Tidak Etis
5. Perilaku Dari Komunitas
5.1 . Sanksi Pelanggaran Etika :
1. Sanksi Sosial
Skala relatif kecil, dipahami sebagai kesalahan yangdapat ‘dimaafkan’
2. Sanksi Hukum
Skala besar, merugikan hak pihak lain.
5.2. Perilaku Etika dalam Bisnis
Etika dan integritas merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang ekstrim, kemampuan untuk mengenalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan. Kompetisi inilah yang harus memanas belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang ketamakan. Padahal, perdagangan dunia yang lebih bebas dimasa mendatang justru mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang untuk terjun ke arena baru yaitu pasar bebas dimasa mendatang. Kemampuan berkompetisi seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah yang sering dikonsepkan berbeda oleh penguasa kita. Jika kita ingin mencapai target ditahun 2000, sudah saatnya dunia bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis, serta kesadaran semua pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu dapat dikurangi, serta kita optimis salah satu kendala dalam menghadapi era globalisasi pada tahun dapat diatasi.
Studi kasus
Factor lainnya adalah kondisi atau situasi. Factor ini memberikan kontribusi yang cukup besar bagi ternbentuknya prilaku etika seseorang, misalnya , si Ahmad sebagai seorang manager akuntasi di suatu perusahaan. Pada suatu saat ia di perintah direkturnya untuk membuat sebuah laporan dengan memanipulasai kewajiban pembayaran pajak agar tidak terlalu besar, padahal perusahaan telah membebankan atau mengambil pajak dari para konsumennya.
Dalam kondisi seperti ini ia dihadapkan pada situasi hala yang dilematis, di satu sisi ia tidak ingin melawan atasannya karena etikanya adalah ‘bawahan harus menaati atasan’. Disisi lain ia paham dan sadar bahwa perbuatan manipulasi laporan adalah sesuatu yg tidak etis.
Pada suasana dilematis seperti ini, ia dihadapkan pada kondisi yang besar untuk memilih antara mengikuti atasannya dengan mengorbankan prinsip nilai/moral yang selama ini diyakininya atau ia mempertahankan standar nilai/moral yang dimilikidengan resiko di pecat. Ketika memilih opsi kedua maka ia akan teringat lagi kondisi lain yang akan dihadapinya seperti, kewajibannya untul menafkahi keluarganya, cicilan rumah dan mobil yang masih harus dibayar dan lain sebagainya.
Factor kondisi seperti inilah yang dapat mempengaruhi seseorang untuk berprilaku atau tidak berprilaku etis. Kemungkinan pilihannya adalah jika kondisi dan situasi keuangan kurang baik maka ia akan cenderung memilih pilihan pertama (mentaati perintah atasan), walaupun resikonya ia harus rela berkorban nilai-nilai hati nuraninya. Ayau jika kondisi keuangannya baik, mungkin karena ia mempunyai penghasilan tambahan di luar profesinya sebagai karyawan maka ia akan memilih pilan kedua (menolak perintah atasannya) dan memenangkan standar nilai yang dimilikinya.
Dalam kondisi ini sesunggunya islam memandang kondisi dilematis seperti ini sebagai ajang menguji standar nialai seseorang dan sebagai bagian dari jihad. Karena sesungguhnya sikap taat pada atasan seperti diatas telah menjebaknya terlibat dalam persengkokolan penipuan terhadap Negara. S.H.Alatas bahwa si ahmad telah melakukan apa yang disebut dengan supportive corution yaitu melakukan tindakan yang memfasilitasi dan menyokong terjadinya korupsi. Bukan tindakan koruptif itu adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk kepentingan pribadi?
Presentation1.pptx
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/2134277-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-etika/
http://lismasetyowati.blogspot.com/2010/10/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-etika.html
ETIKA BISNIS ISLAM “Sifat-sifat Terpuji dan Tercela dalam Berbisnis menurut Perspektif Islam”
Tugas Kelompok 5
Dosen
Yogi Citra Pratama, M.Si
Nama :
Wisnu Hidayat (108084000032)
Dyan Fitria kusumawardani (108084000078)
Feline Yuliani Sayogie ( 108084000079 )
Angga Wiguna (108084000026 )
SEMESTER VII
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
Pendahuluan
Di sebagian masyarakat kita, seringkali terjadi interpretasi yang keliru terhadap teks al-Qur’an tersebut, sekilas nilai Islam ini seolah menundukkan urusan duniawi kepada akhirat sehingga mendorong komunitas muslim untuk berorientasi akhirat dan mengabaikan jatah dunianya, pandangan ini tentu saja keliru. Dalam konsep Islam, sebenarnya Allah telah menjamin bahwa orang yang bekerja keras mencari jatah dunianya dengan tetap mengindahkan kaidah-kaidah akhirat untuk memperoleh kemenangan duniawi, maka ia tercatat sebagai hamba Tuhan dengan memiliki keseimbangan tinggi. Sinyalemen ini pernah menjadi kajian serius dari salah seorang tokoh Islam seperti Ibnu Arabi, dalam sebuah pernyataannya.
“Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan Al-Qur’an yang diterapkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makna dari atas mereka (akhirat) dan dari bawah kaki mereka (dunia).”
Logika Ibnu Arabi itu, setidaknya mendapatkan penguatan baik dari hadits maupun dunia ekonomi, sebagaimana Nabi SAW bersabda : Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menginginkan akhirat maka hendaknya dia berilmu, dan barangsiapa yang menghendaki keduanya maka hendaknya dia berilmu.”
Dalam ekonomi Islam, bisnis dan etika tidak harus dipandang sebagai dua hal yang bertentangan, sebab, bisnis yang merupakan symbol dari urusan duniawi juga dianggap sebagai bagian integral dari hal-hal yang bersifat investasi akherat. Artinya, jika oreientasi bisnis dan upaya investasi akhirat (diniatkan sebagai ibadah dan merupakan totalitas kepatuhan kepada Tuhan), maka bisnis dengan sendirinya harus sejalan dengan kaidah-kaidah moral yang berlandaskan keimanan kepada akhirat. Bahkan dalam Islam, pengertian bisnis itu sendiri tidak dibatasi urusan dunia, tetapi mencakup pula seluruh kegiatan kita didunia yang “dibisniskan” (diniatkan sebagai ibadah) untuk meraih keuntungan atau pahala akhirat. Stetemen ini secara tegas di sebut dalam salah satu ayat Al-Qur’an.
Wahai Orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan pada suatu perniagaan (bisnis) yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab pedih ? yaitu beriman kepada allah & Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartamu, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Pertama kita perlu mengetahui terlebih dahulu sifat terpuji dan tercela kaum mukminin antara lain :
SIFAT-SIFAT TERPUJI MUKMININ
*Khauf artinya takutkan Allah SWT, takutkan kemurkaanNya dengan memelihara din dan melakukan perkara-perkara yang ditegah.
* Zuhud artinya bersih atau suci hati dari berkehendakkan lebih dari keperluannya serta tidak bergantung kepada makhluk lain. Hatinya sentiasa mengingati bahawa harta yang dimilikinya adalah sebagai amanah dari Allah.
* Sabar artinya tabah atau cekal menghadapi sesuatu ujian yang mendukacitakan.
* Syukur artinya menyedari bahawa semua nikmat yang diperolehinya baik yang lahir mahupun batin semuanya adalah dari Allah dan merasa gembira dengan nikmat itu serta bertanggungjawab kepada Allah.
* Ikhlas artinya mengerjakan amal ibadat dengan penuh ketaatan serta semua perbuatan yang dilakukan semata-mata mengharapkan keredhaan Allah, bukan kerana tujuan lain.
* Tawakal artinya berserah diri kepada Allah dalam melakukan sesuatu rancangan
* Mahabbah artinya kasihkan Allah dan hatinya sentiasa cenderung untuk berkhidmat dan beribadat kepadaNya serta bersungguh-sungguh menjaga diri dan jauhkan dari melakukan maksiat.
SIFAT-SIFAT TERCELA MUKMININ
* Syarhul Thaa’am artinya gemar kepada makan atau makan terlalu banyak.
* Syarhul Kafam artinya gemar kepada bercakap yang sia-sia, percakapan yang tidak berfaedah kepada dunia dan akhiratnya.
* Gha’dhab artinya bersifat pemarah dan cepat melenting walaupun kesilapan berlaku pada perkara yang kecil.
* Hasad artinya dengki akan nikmat yang ada pada orang lain serta suka jika orang itu susah.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yg telah memberikan ni’mat iman dan Islam kepada kita. Aku bersaksi tiada Tuhan yg wajib disembah kecuali Allah. Tiada sekutu bagi-Nya. Dialah yg memiliki kerajaan langit dan bumi. Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adl utusan Allah. Semoga selawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah saw keluarganya sahabatnya dan orang-orang yg mengikuti jalan hidupnya. Kaum muslimin rahimakumullah.Marilah kita tingkatkan kualitas iman dan takwa kepada Allah SWT dgn selalu memperbaiki akhlak dan ibadah kita. Semua orang Islam diwajibkan mempunyuai akhlak yg mulia krn Rasululullah saw diutus ke dunia tiada lain utk mengajarkan umat manusia berakhlak mulia dalam hubungannya dgn Allah dgn sesama manusia baik muslim maupun non muslim dan dgn sesama mahluk ciptaan-Nya. Untuk membentuk akhlak yg luhur seseorang harus mendidik dan membiasakan dirinya dgn perilaku-perilaku yg baik. Adapun cara utk memperbaiki akhlak yg buruk seseorang harus berusaha keras serta mau memaksakan diri utk melakukan lawannya. Misalnya kebiasaan berbohong atau dusta bisa diperbaiki dgn megusahakan lawan sifat itu yaitu selalu menjunjung sifat jujur. Kesukaan ingkar janji dan khianat bisa diperbaiiki dgn membiasakan diri menepati janji. Meskipun pada mulanya amat berat tetapi bila dibiasakan dgn latihan dan perjuangan secara terus-menerus maka lama kelamaan akan ringan dan mudah. Kaum muslimin yg berbahagia.
Bukankah tiap orang pasti memiliki sifat watak dan karakteristik yg berbeda? Karena itu tidak mungkin tiap orang akan memiliki tingkat kualitas akhlak dan kepribadian yg persis sama. Dalam masalah ini perlu kita sadari bahwa akhlak dan kepribadian seseorang merupakan faktor yg paling menentukan apakah ia bisa disenangi atau tidak oleh orang lain. Melalui kepribadian sesorang bisa memperlhatkan dirinya kepada orang lain. Oleh krn itu tiap orang harus menjaga akhlak dan kepribadiannya dgn menampilkan sifat-sifat terpuji dan perilaku yg luhur. Begitu mudahnya orang-orang di kalangan kita saling membohongi dan mengingkari janji. Padahal kepercayaan menurut kalangan bisnis adl modal utama yg tentunya harus dimulai dari diri sendiri. Behkan jika dikaji lbh jauh dusta ingkar dan khianat merupakan sifat-sifat tercela dan termasuk ciri kemunafikan. Sebab didalamnya terdapat unsur meremehkan orang lain sifat yg tentunya harus dihindari oleh ummat Islam. Rasulullah saw bersabda yg artinya “Tanda orang munafik itu tiga walupun ia puasa dan salat serta mengaku dirinya muslim. Yaitu jika ia berbicara ia berdusata jika berjanji ia menyalahi dan jika dipercaya ia khianat.” Dari hadis di atas dapat ditafsirkan bahwa orang munafik ialah orang yg bertolak belakang antara lahir dgn batinnya yakni lahirnya Islam sedangkan batinnya ingkar. Karena itu Rasulullah melukiskan orang munafik itu sebagai orang yg tak jujur dalam semua hal baik kata-kata maupun perbuatannya. Maksudnya walaupun seseorang mengaku muslim mengejakan salat dan puasa selama ia suka berlaku tidak jujur ingkar janji dan berkhianat maka ia termasuk golongan orang-orang munafik.
Jelasnya sifat munafik sangat meracuni keimanan seseorang. Ironisnya sifat-sifat seperti itu justru banyak terdapat di kalangan umat Islam. Sinyalemen ini bisa kita rasakan kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari. Sifat munafik telah menyusup ke lubuk hati kaum muslimin sehingga sering menimbulkan perilaku-perilaku sosial yg sangat menjengkelkan dan merusak nailai-nilai moral. Sidang Jumat rahimakumullah.Sekarang apa yg harus kita lakukan utk menghindari sifat-sifat buruk tersebut? Tentunya krn ini mencakup masalah pembinaan moral umat maka salah satu usaha kongritnya ialah dgn memasyarakatkan budaya malu di kalangan masyarakat utk melakukan sifat-sifat buruk itu. Kemudian masyarakat diajak utk membudayakan rasa bangga dan penghormatan kepada orang-orang yg memiliki sifat-sifat sidik konsisten pada janji dan amanah.
Sifat sidik artinya benar lawannya sombong atau dusta. Sidik merupakan sifat utama yg wajib diamalkan oleh semua orang Islam sebagaimana telah diperintahkan oleh Allah. “Hai orang-orang yg beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yg benar.” Bersikap benar tidak suka berbohong mempunyai pengaruh yg besar sekali dalam masyarakat dan merupakan sikap mental yg sangat dibutuhkan utk membangun kualitas sumber daya manusia guna mewujudkan masyarakat yg adil dan makmur. Karena itulah Rasulullah saw sangat tegas melarang umatnya melakukan dusta kecuali pada tiga hal krn alasan utk mencapai kebaikan dan menegakkan kebenaran yaitu Pertama suami berbohong kepada istri misalnya menjanjikan sesuatu yg patut dijanjikan kepada seorang istri sekedar utk menghibur dan menyenangkan hatinya. Kedua berdusta dalam perang sebagai siasat pertempuran. Ketiga dusta yg dilakukan sebagai taktik uuntuk mendamaikan dua orang muslim yg berselisih. Bahkan utk keadaan berdusta itu bisa menajdi wajib yaitu bila dalam keadaan darurat atau posisinya terdesak seperti utk menyelamatkan nyawanya sendiri dari kezaliman dan kekejaman. Tetapi meskipun demikian harus dipahami bahwa apabila suatu tujuan yg baik dan benar itu sudah bisa dicapai tanpa juga bohong atau dusta itu tetap haram hukumnya.
Menepati janji. Allah SWT berfirman “Hai orang-orang yg beriman peliharalah janji-janji itu.” Perintah utnuk memenuhi semua janji sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas sebenarnya merupakan prinsip umum yg harus dipatuhi oleh tiap orang yg terikat kepada suatu janji atau yg mesti berlaku sesuai adat kebiasaan dalam interaksi sosial seperti transaksi jual beli hutang piutang kehidupan politik sosial dan sebagainya. Sidang Jumat rahimakumullah.Dalam hukum Islam janji adl hutang yg berarti harus dibayar. Ajaran ini jelas sejalan dgn nilai-nilai kedisiplinan yg semakin dituntut bagi perkembangan zaman lebih-lebih dalam konteks kehidupan modern. Masyarakat sangat memerlukan sikap hidup dgn disiplin tinggi teguh pada janji serta menghormati peraturan dan norma-norma yg berlaku dalam kehidupan global. Karena itu sebagai petunjuk bentuk ajaran kedisiplinan umat dalam perjanjian Allah SWT telah menunjukan ketika berjanji bagi orang-orang yg beriman “Dan janganlah kamu mengatakan bahwa sungguh aku akan mengerjakannya besok pagi kecuali dgn menyebut ‘insya Allah’.” “Tepatilah janji sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.”
Sifat amanah artinya terpercaya atau jujur lawannya khianat. Amanah yg diajarkan di dalam Islam meliputi banyak hal di antaranya barang-barang yg dititipkan atau uang yg kita pinjam wajib dikembalikan kepada pemiliknya. Bisa juga berupa amanah berupa anak dan keturunan agar dididik menjadi orang yg beriman beramal saleh dan berakhlak mulia. Amanah juga bisa berupa tugas dan jabatan. Disamping itu ilmu harta pangkat umur kesehatan kecerdasan akal dan sebagainya semua itu merupakan amanah dari Allah yg harus dipelihara dan diamalkan sebaik-baiknya sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Kaum muslimin rahimakumullah.Pemahaman yg luas tentang makna amanah perlu lbh dimasyarakatkan di kalangan umat sebab sifat amanah atau kejujuaran itu biasanya hanya dikaitkan dgn bidang materi misalnya jujur tidak mengamil sesuatu yg bukan haknya baik dgn mencuri korupsi menipulasi bisnis ataupun tindakan lain yg intinya sama yaitu mengambil yg bukan haknya. Padahal sebenarnya perbuatan tidak jujur di bidang materi itu hanya salah satu segi dari ketdakjujuran. Kejujuran pada hakikatnya meliputi semua bidang kehidupan yg di dalamnya tertmasuk bidang ilmu pengetahuan pemikiran kekayaan dan sebagainya. Allah SWT berfirman “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yg berhak menerimannya.” Kaum muslimin rahimakumullah.Sebagai penutup kajian yg singkat ini dapat disimpulkan bahwa sifat sidik konsisten pada janji dan amanah apabila benar-benar telah diamalkan oleh kaum muslimin citra Islam pasti akan lbh harum daripada kenyataan selama ini. Sebaliknya citra Islam akan pudar apabila lawan dari sifat-sifat tersebut yaitu bohong ingkar janji dan khianat semakin membudaya di kalangan umatnya. Yang lbh penting lagi bukan masalah citra Islam atau lainnya tetapi tanggung jawab diri kita masing-masing di hadapan Allah SWT. Akhirnya marilah kita renungkan isi hadis peringatan Rasulullah saw berikut ini “Tiadalah beriman orang yg tidak amanah dan tiada beragama orang yg tidak menepati janji.” Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
Selanjutnya sifat terpuji berbisnis menurut perspektif islam meliputi :
-) Niat yang baik
Niat baik yang di ikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
-) Kejujuran
Kejujuran dalam bisnis merupakan perilaku terpuji dalam Islam, sehingga Nabi menempatkan pedagang yang jujur sejajar dengan para Nabi, syuhada dan orang-orang shalih.
-) Keadilan
Keadilan dalam berbisnis sangat perlu diutamakan, mengingat dengan mengutamakan keadilan aktivitas berbisnis menjadi lancar, mengingat tidak ada satu orang pun yang merasa tercurangi, dan Islam sangat menjunjung tinggi nilai keadilan.
-) Tanggung Jawab
Dalam berbisnis tanggung jawab sangat diperlukan, dan islam pun menganjurkan untuk mengedepankan sikap tanggung jawab, karena manusia harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya.
-) Kebajikan
Kebajikan ( ihsan ) atau kebaikan terhadap orang lain didefinisikan sebagai “ tindakan yang menguntungkan orang lain lebih dibandingkan orang yang melakukan tindakan tersebut dan dilakukan tanpa kewajiban apa pun “
-) Sopan Santun
Sopan santun juga sangat dipertimbangkan dalam aktivitas berbisnis menurut pandangan Islam.
-) Toleransi
Toleransi dalam berbisnis juga sangat diperlukan untuk memudahkan dalam aktivitas berbisnis, dan ini juga merupakan sifat yang dikedepankan dalam berbisnis yang islami.
Untuk mengatasi sifat tercela dalam berbisnis menurut perspektif Islam adalah :
1. Menghindari transaksi bisnis yang diharamkan agama Islam. Seorang muslim harus komitmen dalam berinteraksi dengan hal-hal yang dihalalkan oleh Allah SWT. Seorang pengusaha muslim tidak boleh melakukan kegiatan bisnis dalam hal-hal yang diharamkan oleh syariah. Dan seorang pengusaha muslim dituntut untuk selalu melakukan usaha yang mendatangkan kebaikan dan masyarakat. Bisnis, makanan tak halal atau mengandung bahan tak halal, minuman keras, narkoba, pelacuran atau semua yang berhubungan dengan dunia gemerlap seperti night club discotic café tempat bercampurnya laki-laki dan wanita disertai lagu-lagu yang menghentak suguhan minuman dan makanan tak halal dan lain-lain (QS: Al-A’raf;32. QS: Al Maidah;100) adalah kegiatan bisnis yang diharamkan.
2. Menghindari cara memperoleh dan menggunakan harta secara tidak halal. Praktik riba yang menyengsarakan agar dihindari, Islam melarang riba dengan ancaman berat (QS: Al Baqarah;275-279), sementara transaksi spekulatif amat erat kaitannya dengan bisnis yang tidak transparan seperti perjudian, penipuan, melanggar amanah sehingga besar kemungkinan akan merugikan. Penimbunan harta agar mematikan fungsinya untuk dinikmati oleh orang lain serta mempersempit ruang usaha dan aktivitas ekonomi adalah perbuatan tercela dan mendapat ganjaran yang amat berat (QS:At Taubah; 34 – 35). Berlebihan dan menghamburkan uang untuk tujuan yang tidak bermanfaat dan berfoya-foya kesemuanya merupakan perbuatan yang melampaui batas. Kesemua sifat tersebut dilarang karena merupakan sifat yang tidak bijaksana dalam penggunaan harta dan bertentangan dengan perintah Allah (QS: Al a’raf;31).
3. Persaingan yang tidak fair sangat dicela oleh Allah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah: 188: ”Janganlah kamu memakan sebagian harta sebagian kamu dengan cara yang batil”. Monopoli juga termasuk persaingan yang tidak fair Rasulullah mencela perbuatan tersebut : ”Barangsiapa yang melakukan monopoli maka dia telah bersalah”, ”Seorang tengkulak itu diberi rezeki oleh Allah adapun sesorang yang melakukan monopoli itu dilaknat”. Monopoli dilakukan agar memperoleh penguasaan pasar dengan mencegah pelaku lain untuk menyainginya dengan berbagai cara, seringkali dengan cara-cara yang tidak terpuji tujuannya adalah untuk memahalkan harga agar pengusaha tersebut mendapat keuntungan yang sangat besar. Rasulullah bersabda : ”Seseorang yang sengaja melakukan sesuatu untuk memahalkan harga, niscaya Allah akan menjanjikan kepada singgasana yang terbuat dari api neraka kelak di hari kiamat”.
4. Pemalsuan dan penipuan, Islam sangat melarang memalsu dan menipu karena dapat menyebabkan kerugian, kezaliman, serta dapat menimbulkan permusuhan dan percekcokan. Allah berfirman dalam QS:Al-Isra;35: ”Dan sempurnakanlah takaran ketika kamu menakar dan timbanglah dengan neraca yang benar”. Nabi bersabda ”Apabila kamu menjual maka jangan menipu orang dengan kata-kata manis”. Dalam bisnis modern paling tidak kita menyaksikan cara-cara tidak terpuji yang dilakukan sebagian pebisnis dalam melakukan penawaran produknya, yang dilarang dalam ajaran Islam. Berbagai bentuk penawaran (promosi) yang dilarang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a) Penawaran dan pengakuan (testimoni) fiktif, bentuk penawaran yang dilakukan oleh penjual seolah barang dagangannya ditawar banyak pembeli, atau seorang artis yang memberikan testimoni keunggulan suatu produk padahal ia sendiri tidak mengkonsumsinya.
b) Iklan yang tidak sesuai dengan kenyataan, berbagai iklan yang sering kita saksikan di media televisi, atau dipajang di media cetak, media indoor maupun outdoor, atau kita dengarkan lewat radio seringkali memberikan keterangan palsu.
c) Eksploitasi wanita, produk-produk seperti, kosmetika, perawatan tubuh, maupun produk lainnya seringkali melakukan eksploitasi tubuh wanita agar iklannya dianggap menarik. Atau dalam suatu pameran banyak perusahaan yang menggunakan wanita berpakaian minim menjadi penjaga stand pameran produk mereka dan menugaskan wanita tersebut merayu pembeli agar melakukan pembelian terhadap produk mereka.
Model promosi tersebut dapat kita kategorikan melanggar ’akhlaqul karimah’, Islam sebagai agama yang menyeluruh mengatur tata cara hidup manusia, setiap bagian tidak dapat dipisahkan dengan bagian yang lain. Demikian pula pada proses jual beli harus dikaitkan dengan ’etika Islam’ sebagai bagian utama. Jika penguasa ingin mendapatkan rezeki yang barokah, dan dengan profesi sebagai pedagang tentu ingin dinaikkanderajatnya setara dengan para Nabi, maka ia harus mengikuti syari’ah Islam secara menyeluruh, termasuk ’etika jual beli’.
Studi Kasus
STUDI KASUS untuk akhlak tepuji dalam berbisnis yang islami :
Konsep kantin kejujuran sistem self service sudah dimulai diadopsi diberbagai sekolah dan instansi di tanah air, hal ini dilandasi oleh pentingnya sikap atau berlaku jujur dalam Islam, salah satunya adalah kantin kejujuran yang ada di MTs Darrusalam Surakarta. MTs Darussalamm Surakarta merupakan salah satu sekolah yang ada di kota Surakarta yang telah mengadopsi kantin kejujuran. Pendirian kantin kejujuran di Mts Darussalam Surakarta sendiri merupakan terobosan pembangunan moral bagi generasi muda khususnya siswa sekolah. Meskipun kantin kejujuran di MTs Darrusalam Surakarta masih dalam tahapan percobaan, akan tetapi keberadaan kantin kejujuran di sekolah tersebut patut untuk mendapat apresiasi. Hal tersebut dikarenakan MTs Darrusalam Surakarta merupakan salah satu pioneer sekolah yang mengaplikasikan kantin kejujuran sebagai media pendidikan khususnya pendidikan aqidah akhlak.
STUDI KASUS untuk akhlak tercela dalam berbisnis yang islami :
Kasus penipuan, penipuan dalam islam sangat tidak dibenarkan. Penipuan dengan tawaran investasi perlu dikenali dan dihindari. Penipuan money game dikenal juga dengan istilah Skema Ponzi (Ponzi Scheme), berasal dari nama seorang penipu bernama Charles Ponzi, yang tinggal di Boston, Amerika. Ponzi menawarkan investasi berupa transaksi spekulasi perangko (mail coupons) Amerika terhadap perangko asing di akhir tahun 1919 sampai 1920.
Pada 26 Desember 1919, Ponzi mendirikan ”The Security Exchange Company” yang menjanjikan investasi dengan balas jasa 40% dalam 90 hari, dibandingkan dengan bunga bank yang pada saat itu hanya 5% per tahun. Tidak sampai satu tahun, diperkirakan sekitar 40,000 orang mempercayakan sekitar US$ 15 juta (lebih dari US$ 140 juta pada nilai sekarang) dalam perusahaannya.
Namun, pada pertengahan Agustus 1920, audit oleh pemerintah terhadap usaha Ponzi menemukan bahwa Ponzi sudah bangkrut. Total aset yang dimilikinya sekitar US$ 1,6 juta, jauh dibawah nilai hutangnya kepada investor.
Pengadilan Massachusets menghukum penjara Ponzi antara 12~14 tahun, meskipun kemudian ia melarikan diri. Dalam pelariannya, Ponzi mengulangi penipuan dengan menggunakan spekulasi tanah di Florida. Akhirnya pengadilan Florida memvonis Ponzi dan memenjarakannya selama 1926-1934.
Skema Ponzi tidak harus berbentuk piramid, cukup adanya satu orang yang mengelola pengumpulan uang dari investor dan kemudian membayarkan balas jasa investasi yang sangat menggiurkan kepada investor yg terlebih dahulu mendaftar.
Sedangkan dalam skema piramid sebuah hirarki bertingkat terbentuk oleh orang-orang yang menjadi anggotanya, dimana iuran peserta baru menjadi pendapatan bagi peserta awal (posisi atas piramid) dengan harapan akan adanya orang.
Kesimpulan
Dalam berbinis hendaklah memiliki niat yang baik karena dengan niat yang baik dan perilaku beretika yang baik dapat menghasilkan sesuatu yang baik pula. Jangan mendekati hal-hal yang membuat diri kita berdosa karena hidup hanya sementara tidak ada yang tau kapan umur kita habis.
Beretikalah yang terpuji sehingga nantinya dapat bermanfaat kepada diri sendiri dan orang lain.
DAFTAR PUSTAKA :
http://imarookie.wordpress.com/2010/11/11/etika-bisnis-dalam-perpektif-islam/ pesantrenvirtual.com
http://zonaekis.com/etika-bisnis-dalam-perpektif-islam
http://ilmu-ilmu-islam.blogspot.com/2010/03/sifat-sifat-terpuji-dan-tercela.html
Buku Etika Bisnis dalam Islam; Penulis: Faisal Badroen, Suhendra, M. Arief Mufraini, Ahmad D. Bashori; Penerbit: Prenada Media Group
Jumat, 14 Oktober 2011
Etika Bisnis Di Indonesia Melalui Pendekatan Budaya dan Agama
Tugas Etika Bisnis Islam
“Etika Bisnis Di Indonesia Melalui Pendekatan Budaya dan Agama”
Disusun oleh
Dwi Aji sapto 108084000015
Heslima Muslitha Zianti 108084000024
Dudi Garmadi 108084000036
Ullia Fransisca 108084000065
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
2011
Etika Bisnis Di Indonesia
Melalui Pendekatan Budaya dan Agama
Etika bisnis ialah pengetahuan tentang tata cara ideal mengenai pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku secara universal. Etika dalam implementasinya selalu dipengaruhi oleh faktor agama dan budaya. Faktor budaya dan agama mempengaruhi proses perumusan etika bisnis dalam dua hal:
(1) Agama dan budaya dianggap sebagai sumber utama hukum, peraturan dan kode etik.
(2) Agama dan budaya lebih independen dalam etika bisnis dibanding jenis etika bisnis lainnya.
Dalam hal ini Syariah Islam, misalnya, memberikan aturan umum dan standar etika yang berhubungan dengan konsep bisnis, seperti dalam hal kepemilikan, keadilan, harga, persaingan, dan hubungan antara pemilik dengan karyawan. Secara normatif, nilai-nilai dasar yang memberikan pedoman dalam perilaku bisnis Islami tercermin dalam perilaku Nabi Muhammad SAW. Sebagai a trading manager, perilaku bisnis Nabi, seperti digambarkan oleh Aisyah ra, adalah memiliki motivasi dan perilaku Qur'ani, di antaranya: berwawasan ke depan dan menekankan perlunya perencanaan (QS 59: 18).
Dalam konsep etika demikian, hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang sudah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); mengutamakan kepentingan umum (public interest), misalnya dengan penekanan pada penunaian zakat, infak dan sedekah; menekankan perlunya profesionalisme dalam berbisnis, misalnya dalam hal komitmen pada kualitas, produktivitas kerja, efektivitas, efisiensi, dan tertib pembukuan.Profesionalisme telah dicontohkan dalam keseluruhan perjuangan Nabi Muhammad, bahkan dalam semua bidang kehidupannya. Hal itu merupakan tuntunan moral dan etika Qur'ani. Tidak hanya dalam berbisnis (QS 2: 282-283); tapi juga dalam memenuhi komitmen (janji) dengan tepat (QS 3: 152; QS 4: 122; dan QS 30: 6); dalam memenuhi takaran, mempertahankan kejujuran dan keadilan dalam bermuamalah (QS 87: 1-3); dalam mengutamakan efisiensi terkait penggunaan sumber daya, tapi tidak kikir (QS 17: 26-27); dalam menegakkan kedisiplinan kerja (QS 24: 51-52; QS 18: 85-89).Nabi Muhammad juga dinamis dan selalu adaptif menghadapi perubahan (QS 2: 138; QS 2: 30). Ulet, bekerja keras, sabar dan pantang menyerah (QS 2: 155-157; QS 3: 186). Menekankan perlunya ukhuwah dan pemeliharaan hubungan baik antarsesama manusia (QS 3: 103-104; QS 6: 159-165).Etika bisnis Islami merupakan tatacara pengelolaan bisnis berdasarkan Al-Qur'an, hadist, dan hukum yang telah dibuat oleh para ahli fiqih.
Pendekatan Budaya dan Agama
Pendekatan kebudayaan didasarkan pada teori Weber (1958) yang menekankan pada analisis sistem nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang pada umumnya tidak cocok bagi pembangunan ekonomi. Weber berpendapat bahwa pimpinan perlunya menerapkan etika protestan dalam mengelola bisnis, sebagaimana etika protestan merupakan kunci keberhasilan bagi pembangunan ekonomi pada masyarakat kapitalis Eropa dan Amerika. Pendapat Weber tersebut dikaji lebih lanjut oleh Robert Bellah (1959) yang meneliti agama tokugawa di Jepang yang me-nyimpulkan bahwa pembangunan ekonomi Jepang sangat pesat berkembang karena masyarakat Jepang yang beragama tokugawa mempratekkan unsur-unsur yang terkandung dalam etika protestan. Etika protestan antara lain mengajarkan orang jujur, disiplin, kerja keras, patuh pada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Penulis berpendapat sebenarnya kitab suci Al Qur’an dari Agama Islam juga mengajarkan unsur-unsur tersebut seperti manusia harus bekerja keras (Al Qur’an surat Al Qashash :77; Al Jum’ah :11; At-Taubah :105); Bekerja merupakan mukmin yang sukses (Al Mu’minun :3); Islam mengangkat nilai kerja (Al Baqarah :110, An-Nahl :97); Islam melarang berusaha secara batil (An Nisa :29); Allah SWT tidak mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri berusaha keras untuk mengubahnya (Al Qur’an : 13 :11). Oleh karena itu, seseorang perlu memperaktikan etika baik dalam pendekatan agama maupun budaya dalam kehidupan kerja di Indonesia.
1. Masyarakat Indonesia belum mempunyai Budaya Korporatif
” Berbeda dengan masyarakat di negara-negara Barat, masyarakat Indonesia hingga saat ini masih belum berbudaya korporatif. Indonesia masih terperangkap oleh tradisi, sehingga tidak mudah untuk melakukan perubahan. Padahal budaya korporatif akan mempengaruhi cara kerja. Demikian dikemukakan oleh ekonom Rhenald Khasali saat memberikan orasi ilmiah berjudul Building Institution’s Character with Strong Culture, dalam rangka peringatan Dies Natalies ke 55 Universitas Indonesia di Jkarta, Kamis 24 Februari 2005.”
Corporatism di Barat sudah berjalan, dan menganggap sebuah institusi berbadan hukum sendiri. Tidak demikian masyarakat kita. Banyak PT di Indonesia yang sebenarnya bukan PT, melainkan warung. Untung ruginya tidak jelas, kata Rhenald.
Menurut Rhenald, suatu organisasi bisa bertahan panjang bukan dibentuk oleh manajemen yang hebat, tidak juga oleh orang-orang yang hebat, ataupun sistem, melainkan dibangun oleh kekuatan nilai-nilai (values). Corporate culture selalu menekankan bottom up, menggali segala sesuatu mulai dari bawah, bukan dari atas ke bawah. Dengan demikian, semua orang harus ditanya apa yang sebenarnya mereka inginkan. Corporate culture itu seperti bongkahan es, yang tampak hanyalah yang di atas berupa simbol-simbol seperti logo, cara berpakaian. Padahal yang harus dibangun adalah yang di bawah, yang tidak kelihatan, yaitu nilai-nilai baru. Manusia itu berkomunikasi secara simbolik, simbol sebagai identitas, Rhenald menambahkan.
a). Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Budaya Kerja Korporasi?
Budaya kerja korporasi adalah keseluruhan kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai (values) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu organisasi, menjadi dasar cara berpikir, berperilaku dan bertindak dari seluruh insan organisasi, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi.
Budaya kerja dapat di daya gunakan sebagai daya dorong yang efektif dalam mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Budaya kerja yang efektif dapat:
1). Menyatukan cara berpikir, berperilaku dan bertindak seluruh insan organisasi/korporasi
2). Mempermudah penetapan dan implementasi Visi, Misi dan Strategi dalam korporasi
3). Memperkuat kerjasama tim dalam korporasi, menghilangkan friksi-friksi internal yang timbul
4). Memperkuat ketahanan dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal.
Dari definisi di atas terlihat betapa budaya kerja memegang peranan penting dalam ketahanan suatu organisasi. Keluarga adalah perusahaan yang terkecil, disitu ada ayah, ibu dan anak-anak. Cara penyelenggaraan rumah tangga yang satu dan yang lain akan berbeda, karena sifat-sifat penghuninya yang berbeda. Tetapi ada beberapa hal yang sama antara keluarga satu dan lainnya, karena ibaratnya hidup dalam satu lingkungan, maka untuk membuat lingkungan aman dan nyaman, ada peraturan-peraturan yang harus dipahami dan dipatuhi oleh anggota lingkungan tersebut. Peraturan ini dibuat oleh orang-orang atau keluarga dilingkungan tersebut, sehingga peraturan tersebut akan ditaati tanpa beban, bahkan anggota lingkungan merasa nyaman karena ada peraturan tersebut, sehingga masing-masing tahu ” apa yang boleh dan yang tidak boleh untuk dilakukan”.
Sekarang bagaimana membentuk budaya kerja korporatif? Di dalam budaya korporatif, peran pemimpin sangat penting, antara lain, sebagai: 1) First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, 2) Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen, 3) Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja, dan 4) Pencetus dan pengelola strategi, dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.
Dari ulasan di atas, terlihat bahwa pembentukan budaya korporatif yang baik, yang paling menentukan adalah orang-orangnya. Sebaik apapun aturan atau sistem di buat, tanpa ada keinginan dari manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik, semuanya menjadi tak berarti.
2. Etika Bisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.
Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
1). Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
2). Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
3). Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
4). Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
5). Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.
3. Etika dan Moral Melalui Pendekatan Agama
Secara etimologi kata “etika” dan “moral” berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan, hanya bahasa asalnya berbeda. Etika berasal dari bahasa Yunani, moral berasal dari bahasa Latin.
Etika :
1. Nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3. Ilmu tentang baik dan buruk (diterima dalam suatu masyarakat) = filsafat moral. Ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
Moral :
Nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Tidak bermoral = berpegang pada nilai dan norma yang tidak baik.
Moralitas = sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk.
Nilai-nilai moral, nilai-nilai baik atau buruk, salah atau benar dapat muncul dalam penilaian dan kehidupan manusia karena :
1. Adanya Wahyu dari Sang Khalik yang diberikan kepada keimanan manusia itu sendiri. Karena itu setiap manusia harus taat beragama atau taat kepada pencipta-Nya.
2. Adanya pencarian oleh manusia itu sendiri terhadap fenomena-fenomena yang dihadapinya melalui pikiran-pikiran yang rasional melalui pendekatan-pendekatan filsafat. Informasi-informasi yang baik akan mempengaruhi terhadap kebaikan moralnya, begitu sebaliknya. Karena itu setiap manusia harus giat-giatnya belajar untuk dapat terus memperbaiki kualitas moralnya.
3. Dari hati nurani/suara hati. Namun suara hati dapat saja salah, karena itu perlu dilatih sejak kecil dan mau mendengarkan suara hati dalam memutuskan masalah-masalahyang berkaitan dengan moral.
Moral dan Agama.
Setiap agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya.
Ajaran moral dalam suatu agama dianggap sangat penting :
Karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan mengungkapkan kehendak Tuhan. Dasarnya adalah Wahyu. Ajaran moral itu diterima karena alasan keimanan.
Jadi alasan-alasan menerima aturan moral :
1. Karena alasan keagamaan.
2. Karena alasan filsafat (alasan-alasn rasional)
Filsafat :
Titik tolaknya adalah dalam rasio, dan untuk selanjutnya juga mendasarkan diri hanya atas rasio. Filsafat hanya menerima argument-argumen, artinya, alasan-alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui semua orang. Ia menghindari setiap unsure non rasional yang meloloskan diri dari pemeriksaan oleh rasio.
Keimanan :
Justru tidak terbuka untuk pemeriksaan rasional. Kebenaran iman tidak dibuktikan, melainkan dipercaya. Kebenaran tidak diterima karena dimengerti melainkan karena terjamin oleh usul-usul Ilahi atau Wahyu.
Kesalahan Moral :
Dalam konteks agama, kesalahan moral adalah dosa, artinya orang beragama merasa bersalah di hadapan Tuhan karena melanggar perintah-Nya.
Dari sudut filsafat moral, kesalahan moral adalah inkonsekuensi rasional, artinya pelanggaran prinsip etis yang seharusnya dipatuhi.
4. Etika Bisnis dalam Lingkungan Sosial
Etika bisnis menganut metode-metode dan tujuan etika normatif terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik suatu jenis pertimbangan moral tertentu, yaitu pertimbangan yang menyangkut kebijakan bisnis, norma, dan nilai bisnis. Etika ini menilai dan menentukan standar-standar moral yang sesuai dengan lingkungan spesifik dalam masyarakat modern, yaitu bisnis.
Bisnis adalah bagian dari masyarakat modern, mempunyai kedalaman logika yang tepat yaitu suatu prinsip dengan rumusan :
“Maksimumkan keuntungan perusahaan, kurangi biaya perusahaan.”
Etika bisnis harus menghadapi situasi yang kedalam logika rasionalitas bisnis menimbulkan ketegangan yang mungkin merugikan masyarakat moral. Etika bisnis menguraikan permintaan moral yang sah mengenai bisnis dengan mendasarkan fungsinya kepada teori yang sah mengenai hubungan antara bisnis dan masyarakat.
Tujuan etika bisnis :
1. Diagnosis dan pengobatan etika normatif umum.
2. Menilai perilaku moral dalam lingkungan bisnis dengan menggunakan standar-standar moral yang telah disefinisikan dengan jelas, serta merinci petunjuk moral tertentu yang sesuai dengan isu bisnis yang sebenarnya.
Pandangan masyarakat modern :
1. Pandangan Unitarian, menggunakan moralitas publik untuk mempertimbangkan kegiatan bisnis. Contoh pandangan Marxisme dan Katolikisme.
2. Pandangan separatis, menentang penggunaan moralitas publik untuk mempertimbangkan kegiatan bisnis, karena kegiatan bisnis mempunyai perilaku tersendiri. Contoh : pandangan Adam Smith.
3. Pandangan Integrasi, memposisikan diri di tengah kedua pandangan tersebut.
Lingkungan sosial bagi seorang individu :
1. Lingkungan keluarga.
2. Lingkungan organisasi, misalnya tempat bekerja, lingkungan bisnisnya
3. Lingkungan masyarakat Nasional (RT, Kecamatan, Kota, Negara, dan lain-lain)
4. Lingkungan masyarakat Internasional.
Etika, tindakan moral setiap individu sangat dipengaruhi oleh :
1. Kebiasaan-kebiasaan atau budaya/culture yang dibawa dari lingkungannya.
2. Dipengaruhi juga oleh kebiadaan-kebiasaan internasional, dampak dari globalisasi.
Setiap individu selalu mencari norma-norma yang lebih tinggi dalam mengatasi masalah hidupnya sampai norma tertinggi terakhir. Norma tertinggi yang diakui adalah nilai-nilai moral yang berasal dari Sang Khalik sendiri (wahyu).
Dalam lingkungan sosialnya setiap individu akan selalu berhadapan dengan konflik karena perbedaan pandangan terhadap suatu nilai-nilai moral. Untuk itu perlu tahapan untuk menilai suatu nilai moral dengan melihat norma-norma yang lebih tinggi. Misalnya:
1. Konflik antar karyawan-karyawan, bawahan-atasan, atasan-atasan, dan lain-lain, dalam mengatasinya harus mengikuti norma di perusahaannya, yaitu Anggaran Dasar dan Angaran Rumah Tangga.
2. Konflik antara karyawan dengan perusahaan kadangkala tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan AD/ART, maka mereka akan meninjau norma yang lebih tinggi lagi, yaitu Peraturan Pemerintah atau Undang-Undang.
3. Undang-Undang yang menaungi aturan tersebut dianggap bersifat diskriminatif, maka harus ditinjau norma yang lebih tinggi lagi yaitu UUD.
4. UUD bukanlah hal yang haram untuk diubah jika bertentangan dengan nilai-nilai moral.
Demikianlah tindakan yang harus dilakukan oleh antar individu atau dengan lingkungan sosialnya agar konflik-konflik dapat diatasi dengan baik, yaitu dengan melakukan pencarian norma-norma yang lebih tinggi lagi sampai kepada norma tertinggi yaitu nilai-nilai moral itu sendiri.
Minggu, 18 September 2011
Perbandingan Sistem Ekonomi Kapitalis dengan Ekonomi Islam
PERBEDAAN MENDASAR EKONOMI ISLAM
DAN EKONOMI KONVENSIONAL
By H. Nur Kholis, S.Ag, M.Sh.Ec
A. Pengantar
Sistem ekonomi menunjuk pada satu kesatuan mekanisme dan lembaga pengambilan keputusan yang mengimplementasikan keputusan tersebut terhadap produksi, konsumsi dan distribusi pendapatan.[1] Karena itu, sistem ekonomi merupakan sesuatu yang penting bagi perekonomian suatu negara. Sistem ekonomi terbentuk karena berbagai faktor yang kompleks, misalnya ideologi dan sistem kepercayaan, pandangan hidup, lingkungan geografi, politik, sosial budaya, dan lain-lain.
Pada saat ini terdapat berbagai macam sistem ekonomi negara-negara di dunia. Meskipun demikian secara garis besar, sistem ekonomi dapat dikelompokkan pada dua kutub, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Sistem-sistem yang lain seperti welfare state, state capitalism, market socialisme, democratic sosialism pada dasarnya bekerja pada bingkai kapitalisme dan sosialisme. Akan tetapi, sejak runtuhnya Uni Soviet, sistem sosialisme dianggap telah tumbang bersama runtuhnya Uni Soviet tersebut. Dalam konteks tulisan ini, maksud ekonomi konvensional adalah sistem ekonomi kapitalisme yang hingga kini masih menjadi sistem ekonomi kuat di dunia.
B. Pokok-pokok ekonomi konvensional
1. Sejarah
Sistem ekonomi konvensional yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis diawali dengan terbitnya buku The Wealth of Nation karangan Adam Smith pada tahun 1776. Pemikiran Adam Smith memberikan inspirasi dan pengaruh besar terhadap pemikiran para ekonom sesudahnya dan juga pengambil kebijakan negara.
Lahirnya sistem ekonomi kapitalis, sebenarnya merupakan perkembangan lebih lanjut dari perkembangan pemikiran dan perekonomian benua Eropa pada masa sebelumnya. Pada suatu masa, di Benua Eropa pernah ada suatu zaman dimana tidak ada pengakuan terhadap hak milik manusia, melainkan yang ada hanyalah milik Tuhan yang harus dipersembahkan kepada pemimpin agama sebagai wakil mutlak dari Tuhan. Pada zaman tersebut yang kemudian terkenal dengan sistem universalisme. Sistem ini ditegakkan atas dasar keyakinan kaum agama “semua datang dari Tuhan, milik Tuhan dan harus dipulangkan kepada Tuhan”.
Kemudian lahir pula golongan baru, yang mendekatkan dirinya pada kaum agama, yaitu kaum feodal. Mereka ini yang berkuasa di daerahnya masing-masing, lalu menguasai tanah-tanah dan memaksa rakyat menjadi hamba sahaya yang harus menggarap tanah itu. Sistem feodal hidup subur di bawah faham universalisme. Faham ini lebih terkenal dengan feodalisme. Jika kaum feodal memaksa rakyat bekerja mati-matian, maka kaum agama dengan nama Tuhan menghilangkan hak dari segala miliknya. Artinya kaum feodal yang bekerjasama dengan kaum agama, telah mempermainkan seluruh hak milik manusia untuk kepentingan mereka sendiri.
Gambaran yang dapat diperoleh dari zaman kaum agama dan feodal ialah manusia hidup seperti hewan, tidak mempunyai fikiran sendiri, tidak mempunyai hak atas dirinya sendiri dan semuanya hanyalah kaum agama yang memilikinya. Inilah suatu kesalahan besar yang pernah diperbuat oleh kaum agama di benua Eropa. Seluruh masyarakat Eropa berontak dan mengadakan perlawanan menentang kaum agama dan feodal. Pecahlah revolusi Perancis yang sudah terkenal itu.
Revolusi Perancis (1789 – 1793) dipandang sebagai puncak kegelisahan dari rakyat yang tertindas dan dirampas haknya. Dengan dendam dan kemarahan yang luar biasa mereka menghancurkan universalisme dan feodalisme yang mengikat mereka. Tetapi, akibatnya lebih buruk dari itu. Bukan saja mereka memusuhi kaum agama dan feodal, tetapi juga menjatuhkan nama suci dari Tuhan yang selalu dibuat kedok oleh kedua golongan di atas.
Di samping itu, berkembangnya sistem ekonomi kapitalis juga dapat dirunut dari sejak munculnya faham fisiokrat (abad 17) yang mengatakan bahwa pertanian adalah dasar dari produksi negara, sebab itu, seluruh perhatian harus ditumbuhkan kepada memperbesar hasil pertanian. Kemudian lahir pula paham merkantilisme (awal abad 18) yang mengatakan bahwa perdagangan adalah lebih penting dari pertanian, karena itu pemerintah harus memberikan perhatiannya kepada mencari perdagangan dengan negara-negara lainnya.
Pada pertengahan abad ke-18, lahirlah paham baru yang dinamakan liberalisme dari Adam Smith (1723 – 1790) di Inggris. Menurut dia, bukan soal pertanian atau perdagangan yang harus dipentingkan, tetapi titik beratnya diletakkan pada pekerjaan dan kepentingan diri. Jika seseorang dibebaskan untuk berusaha, dia harus dibebaskan pula untuk mengatur kepentingan dirinya. Sebab itu ajaran laiser aller, laisser passer (merdeka berbuat dan merdeka bertindak) menjadi pedoman bagi persaingan mereka. Selanjutnya manusia memasuki kancah individualisme yang ditandai dengan nafsu untuk menumpuk harta sebanyak-banyaknya yang ditimbulkan oleh persaingan yang bebas tadi. Dari paham liberalisme, timbullah kaum borjuis. Kaum borjuis ini akhirnya menimbulkan sistem ekonomi, sistem ekonomi kapitalis.
Berkembangnya paham kapitalis menimbulkan reaksi yang ditandai dengan munculnya paham komunisme. Paham ini lahir dari seorang Jerman, bernama Karl Marx pada tahun 1848 yang sangat kecewa terhadap sistem ekonomi kapitalis yang dianggap telah menyengsarakan rakyat banyak. Silih berganti nasib yang dilalui paham Marx itu. Tetapi akhirnya sewaktu Lenin mendirikan pertama kali negara komunis di Rusia pada tahun 1917, maka marxisme telah menjejakkan kakinya dengan kuat sebagai dasar bagi negara baru tersebut. Walapun ajaran komunisme ini pernah menguasai hampir separo dari penduduk dunia, akan tetapi paham ini dianggap telah runtuh bersamaan dengan runtuhnya Rusia.
2. Landasan Filosofi dan Welstanchaung
Landasan filosofi sekaligus welstanchaung sistem ekonomi kapitalis adalah materialisme dan sekularisme. Pengertian manusia sebagai homo economicus atau economic man adalah manusia yang materialis hedonis, sehingga ia selalu dianggap memiliki serakah atau rakus terhadap materi. Dalam perspektif materialisme hedonisme murni, segala kegiatan manusia dilatarbelakangi dan diorientasikan kepada segala sesuatu yang bersifat material. Manusia dianggap merasa bahagia jika segala kebutuhan materialnya terpenuhi secara melimpah. Pengertian kesejahteraan yang materialistik seperti ini seringkali menafikan atau paling tidak meminimalkan keterkaitannya dengan unsur-unsur spiritual ruhaniah.[2]
Dalam sistem ekonomi kapitalis, materi adalah sangat penting bahkan dianggap sebagai penggerak utama perekonomian. Dari sinilah sebenarnya, istilah kapitalisme berasal, yaitu paham yang menjadikan kapital (modal/material) sebagai isme.
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Rasionality assumption dalam ekonomi menurut Roger LeRoy Miller adalah individuals do not intentionally make decisions that would leave them worse off.[3] Ini berarti bahwa rasionaliti didefinisikan sebagai tindakan manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya yaitu memaksimumkan kepuasan atau keuntungan senantiasa berdasarkan pada keperluan (need) dan keinginan-keinginan (want) yang digerakkan oleh akal yang sehat dan tidak akan bertindak secara sengaja membuat keputusan yang bisa merugikan kepuasan atau keuntungan mereka. Bahkan menurutnya, suatu aktivitas atau sikap yang terkadang nampak tidak rasional akan tetapi seringkali ia memiliki landasan rasionaliti yang kuat, misalnya orang yang berpacaran menghabiskan waktu dan uang, dan lain sebagainya.
Rasionaliti merupakan kunci utama dalam pemikiran ekonomi modern. Ia menjadi asas aksioma bahwa manusia adalah makhluk rasional.[4] Konsep rasionaliti muncul karena adanya keinginan-keinginan konsumen untuk memaksimalkan utiliti dan produsen ingin memaksimalkan keuntungan, berasaskan pada satu set constrain. Yang dimaksud constrain dalam ekonomi konvensional adalah terbatasnya sumber-sumber dan pendapatan yang dimiliki oleh manusia dan alam, akan tetapi keinginan manusia pada dasarnya tidak terbatas. Dalam ekonomi Islam yang dimaksud dengan constrain adalah terbatasnya kemampuan manusia baik dari segi fisik maupun pengetahuan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu sumber yang tidak terbatas yang telah disediakan oleh Allah SWT.[5] Berdasarkan pernyataan di atas maka manusia perlu membuat suatu pilihan yang rasional sehingga pilihan tersebut dapat memberikan kepuasan atau keuntungan yang maksimal pada manusia.
Menurut ilmu ekonomi konvensional, sesuai dengan pahamnya tentang rational economics man, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest)[6] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam ekonomi konvensional, perilaku rasional dianggap ekuivalen (equivalent) dengan memaksimalkan utiliti. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat.
Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[7]
Pada sisi lain, landasan filosofi sistem ekonomi kapitalis adalah sekularisme, yaitu memisahkan hal-hal yang bersifat spiritual dan material (atau agama dan dunia) secara dikotomis. Segala hal yang berkaitan dengan dunia adalah urusan manusia itu sendiri sedangkan agama hanyalah mengurusi hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Implikasi dari ini adalah menempatkan manusia sebagai sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris) yaitu manusilah yang berhak menentukan kehidupannya sendiri.
3. Pokok-pokok pikiran
Dalam dunia nyata, kapitalisme tidak memiliki bentuk yang tunggal. Ia memiliki ragam yang tidak selalu sama di antara negara-negara yang menerapkannya, dan ia seringkali berubah-ubah dari waktu ke waktu. Hal ini paling tidak disebabkan oleh dua hal, (1) ada banyak ragam pendapat dari para pemikir, (2) definisi kapitalisme selalu berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi dan modifikasi ini telah berlangsung berabad-abad.[8] Dengan demikian, pengertian kapitalisme sebagaimana sebagaimana dimaksud dalam pemikiran Adam Smith mungkin tidak lagi dijumpai secara murni. Karakteristik umum kapitalisme antara lain:
a. Kapitalisme menganggap ekspansi kekayaan yang dipercepat dan produksi yang maksimal serta pemenuhan keinginan menurut preferensi individual sebagai sesuatu yang esensial bagi kesejahteraan manusia.
b. Kapitalisme menganggap bahwa kebebasan individu yang tak terhambat dalam mengaktualisasikan kepentingan diri sendiri dan kepemilikan atau pengelolaan kekayaan pribadi sebagai suatu hal yang sangat penting bagi inisiatif individu
c. Kapitalisme berasumsi bahwa inisiatif individu ditambah dengan pembuatan keputusan yang terdesentralisasi dalam suatu pasar yang kompetitif sebagai syarat utama untuk mewujudkan efisiensi optimum dalam alokasi sumberdaya ekonomi.
d. Kapitalisme tidak menyukai pentingnya peranan pemerintah atau penilaian kolektif (oleh masyarakat), baik dalam efisiensi alokatif maupun pemerataan distributif.
e. Kapitalisme mengklaim bahwa melayani kepentingan diri sendiri oleh setiap individu secara otomatis akan melayani kepentingan sosial kolektif.
Adapun konsep-konsep pemikiran penting dalam sistem ekonomi konvensional[9] adalah sebagai berikut:
a. Rational economic man
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa tindakan individu adalah rasional. Berdasarkan paham ini, tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest)[10] yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Dalam implementasinya, rasionaliti ini dianggap dapt diterapkan hanya jika individu diberikan kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya, sehingga dengan sendirinya di dalamnya terkandung individualisme dan liberalisme. Adam Smith menyatakan bahwa tindakan individu yang mementingkan kepentingan diri sendiri pada akhirnya akan membawa kebaikan masyarakat seluruhnya karena tangan tak tampak (invisible hand) yang bekerja melalui proses kompetisi dalam mekanisme pasar.[11] Oleh karena itu, kapitalisme sangat menjunjung tinggi pasar yang bebas dan menganggap tidak perlu ada campur tangan pemerintah.[12]
b. Positivism
Kapitalisme berusaha mewujudkan suatu ilmu ekonomi yang bersifat objektif, bebas dari petimbangan moralitas dan nilai, dan karenanya berlaku universal. Ilmu ekonomi telah dideklarasikan sebagai kenetralan yang maksimal di antara hasil akhir dan independensi setiap kedudukan etika atau pertimbangan normatif. Untuk mewujudkan obyektivitas ini, maka positivism telah menjadi bagian integral dari paradigma ilmu ekonomi. Positivism menjadi sebuah keyakinan bahwa setiap pernyataan ekonomi yang timbul harus mempunyai pembenaran dari fakta empiris. Paham ini secara otomatis mengabaikan peran agama dalam ekonomi, sebab dalam banyak hal, agama mengajarkan sesuatu yang bersifat normatif.
c. Hukum Say
Terdapat suatu keyakinan bahwa selalu terdapat keseimbangan (equilibrium) yang bersifat alamiah, sebagaimana hukum keseimbangan alam dalam tradisi fisika Newtonian. Jean Babtis Say menyatakan bahwa supply creates its own demand, penawaran menciptakan permintaannya sendiri. Ini berimplikasi pada asumsi bahwa tidak akan pernah terjadi ketidakseimbangan dalam ekonomi. Kegiatan produksi dengan sendirinya akan menciptakan permintaannya sendiri, maka tidak akan terjadi kelebihan produksi dan pengangguran. Implikasi selanjutnya, tidak perlu ada intervensi pemerintah dalam kegiatan ekonomi. Intervensi pemerintah dianggap justru akan mengganggu keseimbangan alamiah. Asumsi inilah yang menjadi piranti keyakinan akan kehebatan pasar dalam menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Inilah salah satu paradigma ilmu ekonomi konvensional.[13]
C. Pokok-pokok Ekonomi Islam
1. Sejarah
Sesungguhnya telah sepuluh abad sebelum orang-orang Eropa menyusun teori-teori tentang ekonomi, telah diturunkan oleh Allah SWT di daerah Arab sebuah analisis tentang ekonomi yang unggul, karena analisis ekonomi tersebut tidak hanya mencerminkan keadaan bangsa Arab pada waktu itu –sehingga hanya bermanfaat untuk bangsa Arab saat itu–, tetapi juga untuk seluruh dunia. Struktur ekonomi yang ada dalam firman Allah dan sudah sangat jelas aturan-aturannya tersebut, pernah dan telah dilaksanakan dengan baik oleh umat pada waktu itu. Sistem ekonomi tersebut adalah suatu susunan baru yang bersifat universal, bukan merupakan ekonomi nasional bangsa Arab. Sistem ekonomi tersebut dinamakan ekonomi Islam.
Berbagai pemikiran dari para sarjana ataupun filosof zaman dahulu mengenai ekonomi tersebut juga sudah ada. Diantaranya adalah pemikiran Abu Yusuf (731 - 798 M), Yahya Ibnu Adam (meninggal 818 M), Al Farabi (870 – 950 M), Ibnu Sina (980 – 1037 M), El-Hariri (1054 – 1122 M), Imam Al Ghozali (1058 – 1111 M), Tusi (1201 – 1274 M), Ibnu Taimiyah (1262 – 1328 M), Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M), dan lain-lain. Sumbangan Abu Yusuf terhadap keuangan umum adalah tekanannya terhadap peranan negara, pekerjaan umum dan perkembangan pertanian yang bahkan masih berlaku sampai sekarang ini.
Gagasan Ibnu Taimiyah tentang harga ekuivalen, pengertiannya terhadap ketidaksempurnaan pasar dan pengendalian harga, tekanan terhadap peranan negara untuk menjamin dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan pokok rakyat dan gagasannya terhadap hak milik, memberikan sejumlah petunjuk penting bagi perkembangan ekonomi dunia sekarang ini. Ibnu Khaldun telah memberikan definisi ekonomi yang lebih luas dengan menyatakan bahwa ilmu ekonomi merupakan ilmu pengetahuan yang positif maupun normatif. Maksudnya mempelajari ekonomi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan bukan kesejahteraan individu saja. Ibnu Khaldun juga menyatakan adanya hubungan timbal balik antara faktor-faktor ekonomi, politik, sosial, etika, dan pendidikan. Dia memperkenalkan sejumlah gagasan ekonomi yang mendasar seperti pentingnya pembagian kerja, pengakuan terhadap sumbangan kerja dalam teori nilai, teori mengenai pertumbuhan penduduk, pembentukan modal, lintas perdagangan, sistem harga dan sebagainya.
Secara keseluruhan para cendekiawan tersebut pada umumnya dan Ibnu Khaldun pada khususnya dapat dianggap sebagai pelopor perdagangan fisiokrat dan klasik (misalnya Adam Smith, Ricardo, Malthus) dan neo klasik (misalnya Keynes).
Tidak bisa dipungkiri, bahwa sebutan ekonomi Islam melahirkan kesan beragam. Bagi sebagian kalangan, kata ‘Islam’ memposisikan Ekonomi Islam pada tempat yang sangat eksklusif, sehingga menghilangkan nilai kefitrahannya sebagai tatanan bagi semua manusia. Bagi lainnya, ekonomi Islam digambarkan sebagai ekonomi hasil racikan antara aliran kapitalis dan sosialis, sehingga ciri khas spesifik yang dimiliki oleh Ekonomi Islam itu sendiri hilang.
Sebenarnya Ekonomi Islam adalah satu sistem yang mencerminkan fitrah dan ciri khasnya sekaligus. Dengan fitrahnya ekonomi Islam merupakan satu sistem yang dapat mewujudkan keadilan ekonomi bagi seluruh umat. Sedangkan dengan ciri khasnya, ekonomi Islam dapat menunjukkan jati dirinya – dengan segala kelebihannya — pada setiap sistem yang dimilikinya.
Ekonomi Rabbani menjadi ciri khas utama dari model Ekonomi Islam. Chapra menyebutnya dengan Ekonomi Tauhid. Tapi secara umum dapat dikatakan sebagai divine economics. Cerminan watak “Ketuhanan” ekonomi Islam bukan pada aspek pelaku ekonominya — sebab pelakunya pasti manusia — tetapi pada aspek aturan atau sistem yang harus dipedomani oleh para pelaku ekonomi. Ini didasarkan pada keyakinan bahwa semua faktor ekonomi termasuk diri manusia pada dasarnya adalah kepunyaan Allah, dan kepadaNya (kepada aturanNya) dikembalikan segala urusan (QS 3: 109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam batas koridor aturan main..”Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezeki orang yang Dia kehendaki” (QS 42: 12; 13: 26). Atas hikmah Ilahiah, untuk setiap makhluk hidup telah Dia sediakan rezekinya selama ia tidak menolak untuk mendapatkannya (11: 6). Namun Allah tak pernah menjamin kesejahteraan ekonomi tanpa manusia tadi melakukan usaha.
Sebagai ekonomi yang ber-Tuhan maka Ekonomi Islam — meminjam istilah dari Ismail Al Faruqi — mempunyai sumber “nilai-nilai normatif-imperatif”, sebagai acuan yang mengikat. Dengan mengakses kepada aturan Ilahiah, setiap perbuatan manusia mempunyai nilai moral dan ibadah. Setiap tindakan manusia tidak boleh lepas dari nilai, yang secara vertikal merefleksikan moral yang baik, dan secara horizontal memberi manfaat bagi manusia dan makhluk lainnya.
Ekonomi Islam pernah tidak populer sama sekali. Kepopuleran ekonomi Islam bisa dikatakan masih belum lama. Oleh karena itu, sering muncul pertanyaan, apakah ekonomi Islam adalah baru sama sekali? Jika melihat pada sejarah dan makna yang terkandung dalam ekonomi Islam, ia bukan sistem yang baru. Argumen untuk hal ini antara lain:
1. Islam sebagai agama samawi yang paling mutakhir adalah agama yang dijamin oleh Allah kesempurnaannya, seperti ditegaskan Allah dalam surat Al-Maidah (5):3. Di sisi lain, Allah SWT juga telah menjamin kelengkapan isi Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia yang beriman dalam menjalankan perannya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firmannya QS Al-An’am (6):38,
ما فرطنا في الكتاب من شيء ثم الى ربهم يحشرون
2. ٍSejarah mencatat bahwa umat Islam pernah mencapai zaman keemasan, yang tidak dapat disangkal siapapun. Dalam masa itu, sangat banyak kontribusi sarjana muslim yang tetap sangat diakui oleh semua pihak dalam berbagai bidang ilmu sampai saat ini, seperti matematika, astronomi, kimia, fisika, kedokteran, filsafat dan lain sebagainya. Sejarah juga membuktikan, bahwa sulit diterima akal sehat sebuah kemajuan umat dengan begitu banyak kontribusi dalam berbagai lapangan hidup dan bidang keilmuan tanpa didukung lebih awal dari kemajuan di lapangan ekonomi.
3. ٍSejarah juga mencatat banyak tokoh ekonom muslim yang hidup dan berjaya di zamannya masing-masing, seperti Tusi, Al-Farabi, Abu Yusuf, Ibnu Taimiyyah, Al-Maqrizi, Syah Waliyullah, Ibnu Khaldun dan lain-lain.[14] Bahkan yang disebut terakhir (Ibnu Khaldun) diakui oleh David Jean Boulakia[15] sebagai berikut: “Ibn Khaldun discovered a great number of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered the virtues and the necessity of a division of labor before (Adam) Smith and the principle of labor before Ricardo. He elaborated a theory of population before Malthus and insisted on the role of the state in the economy before Keynes. The economist who rediscovered mechanisms that he had already found are too many to be named.” “. . . although Ibn Khaldun is the forerunner of many economist, he is an accident of history and has no consequence on the evolution of economic thought.”
Ketiga argumen dan indikator di atas dapat dipakai sebagai pendukung yang amat meyakinkan bahwa sistem ekonomi Islam bukanlah hal baru sama sekali. Namun patut diakui bahwa sistem yang pernah berjaya ini pernah tenggelam dalam masa yang cukup lama, dan sempat dilupakan oleh sementara pihak, karena kuatnya dua sistem yang pernah berebut simpati dunia yaitu sistem kapitalisme dan sosialisme.
Sistem ekonomi Islam mengalami perkembangan sejarah baru pada era modern. Menurut Khurshid Ahmad, yang dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, ada empat tahapan perkembangan dalam wacana pemikiran ekonomi Islam, yaitu:
1. Tahapan Pertama, dimulai ketika sebagian ulama, yang tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu ekonomi namun memiliki pemahaman terhadap persoalan-persoalan sosio-ekonomi pada masa itu, mencoba untuk menuntaskan persoalan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga bank itu haram dan kaum muslimin harus meninggalkan hubungan apapun dengan perbankan konvensional. Mereka mengundang para ekonom dan banker untuk saling bahu membahu mendirikan lembaga keuangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip syariah dan bukan pada bunga. Yang menonjol dalam pendekatan ini adalah keyakinan yang begitu teguh haramnya bunga bank dan pengajuan alternatif. Masa ini dimulai kira-kira apada pertengahan dekade 1930-an dan mengalami puncak kemajuannya pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an. Pada masa itu di Pakistan didirikan bank Islam lokal ayang beroperasi bukan pada bunga. Sementara itu di Mesir juga didirikan lembaga keuangan yang beroperasi bukan pada bunga pada awal dasa warsa 1960-an. Lembaga keuangan ini diberi nama Mit Ghomir Local Saving yang berlokasi di delta sungai Nil, Mesir.
Tahapan ini memang masih bersifat prematur dan coba-coba sehingga dampaknya masih sangat terbatas. Meskipun demikian tahapan ini telah membuka pintu lebar bagi perkembangan selanjutnya.
2. Tahapan kedua dimulai pada akhir dasa warsa 1960-an. Pada tahapan ini para ekonom Muslim yang pada umumnya dididik dan dilatih di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serika dan Eropa mulai mencoba mengembangkan aspek-aspek tertentu dari sistem moneter Islam. Mereka melakukan analisis ekonomi terhadap larangan riba (bunga) dan mengajukan alternatif perbankan yang tidak berbasis bunga. Serangkaian konferensi dan seminar internasional tentang ekonomi dan keuangan Islam digelar beberapa kali dengan mengundang para pakar, ulama, ekonom baik muslim maupun non-muslim. Konferensi internasional pertama tentang ekonomi Islam digelar di Makkah al-Mukarromah pada tahun 1976 yang disusul kemudian dengan konferensi internasional tentang Islam dan Tata Ekonomi Internasional yang baru di London pada tahun 1977. Setelah itu digelar dua seminar tentang Ekonomi Moneter dan Fiskal dalam Islam di Makkah pada tahun 1978 dan di Islamabad pada tahun 1981. Kemudian diikuti lagi oleh konferensi tentang Perbankan Islam dan Strategi kerja sama ekonomi yang diadakan di Baden-Baden, Jerman pada tahun 1982 yang kemudian diikuti Konferensi Internasional Kedua tentang Ekonomi Islam di Islamabad pada tahun 1983.
Belasan buku dan monograf telah diterbitkan semenjak konferensi dan seminar ini digelar yang berhasil memberikan gambaran yang lebih terang tentang Ekonomi Islam baik dalam teori maupun praktek. Menurut Khurshid Ahmad, kontribusi yang paling signifikan selain dari hasil-hasil konferensi dan seminar tadi adalah laporan yang dikeluarkan oleh Dewan Ideologi Islam Pakistan tentang penghapusan riba dari ekonomi. Laporan ini tidak saja menjelaskan tentang hukum bunga bank yang telah ditegaskan haram oleh ijma’ para ulama masa kini, tetapi juga memberikan pedoman bagaimana menghapuskan riba dari perekonomian.
Pada tahapan kedua ini muncul nama-nama ekonom muslim terkenal di seluruh dunia Islam anatara lain Prof. Dr. Khurshid Ahmad yang dinobatkan sebagai bapak ekonomi Islam, Dr. M. Umer Chapra, Dr. M. A. Mannan, Dr. Omar Zubair, Dr. Ahmad An-Najjar, Dr. M. Nejatullah Siddiqi, Dr. Fahim Khan, Dr. Munawar Iqbal, Dr. Muhammad Ariff, Dr. Anas Zarqa dan lain-lain. Mereka adalah ekonom muslim yang dididik di Barat tetapi memahami sekali bahwa Islam sebagai way of life yang integral dan komprehensif memiliki sistem ekonomi tersendiri dan jika diterapkan dengan baik akan mampu membawa umat Islam kepada kedudukan yang berwibawa di mata dunia.
3. Tahapan ketiga ditandai dengan upaya-upaya konkrit untuk mengembangkan perbankan dan lembaga-lembaga keuangan non-riba baik dalam sektor swasta maupun dalam sektor pemerintah. Tahapan ini merupakan sinergi konkrit antara usaha intelektual dan material para ekonom, pakar, banker, para pengusaha dan para hartawan muslim yang memiliki kepedulian kepada perkembangan ekonomi Islam. Pada tahapan ini sudah mulai didirikan bank-bank Islam dan lembaga investasi berbasis non-riba dengan konsep yang lebih jelas dan pemahaman ekonomi yang lebih mapan. Bank Islam yang pertama kali didirikan adalah Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1975 di Jeddah, Saudi Arabia. Bank Islam ini merupakan kerjasa sama antara negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Tidak lama kemudian disusul oleh Dubai Islamic Bank. Setelah itu banyak sekali bank-bank Islam bermunculan di mayoritas negara-negara muslim termasuk di Indonesia.
4. Tahapan keempat ditandai dengan pengembangan pendekatan yang lebih integratif dan sophisticated untuk membangun keseluruhan teori dan praktek ekonomi Islam terutama lembaga keuangan dan perbankan yang menjadi indikator ekonomi umat.
2. Pengertian dan Prinsip Dasar
Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah “sosial science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”.[16] Menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam adalah a systematic effort to try to understand the economic problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective. Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them”.[17]
Dari berbagai definisi tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam).[18] Sedangkan prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam menurut Umer Chapra[19] adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid. Tauhid adalah fondasi keimanan Islam. Ini bermakna bahwa segala apa yang di alam semesta ini didesain dan dicipta dengan sengaja oleh Allah SWT, bukan kebetulan, dan semuanya pasti memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan signifikansi dan makna pada eksistensi jagat raya, termasuk manusia yang menjadi salah satu penghuni di dalamnya.
2. Prinsip khilafah. Manusia adalah khalifah Allah SWT di muka bumi. Ia dibekali dengan perangkat baik jasmaniah maupun rohaniah untuk dapat berperan secara efektif sebagai khalifah-Nya. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) persaudaraan universal, (2) sumber daya adalah amanah, (3), gaya hidup sederhana, (4) kebebasan manusia.
3. Prinsip keadilan. Keadilan adalah salah satu misi utama ajaran Islam. Implikasi dari prinsip ini adalah: (1) pemenuhan kebutuhan pokok manusia, (2) sumber-sumber pendapatan yang halal dan tayyib, 3) distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata, (4) pertumbuhan dan stabilitas.
3. Landasan Filosofi dan Welstanchaung
Banyak sekali keterangan dari Al-Quran yang menyinggung masalah ekonomi, baik secara eksplisit maupun implisit. Bagaimana jual beli yang baik dan sah menurut Islam, pinjam meminjam dengan akad-akad yang sah sampai dengan pelarangan riba dalam perekonomian. Walaupun pada kitab suci sebelumnya juga pernah disebutkan, dimana perbuatan riba itu dibenci Tuhan. Sedangkan pada tatanan teknisnya diperjelas dengan hadis serta teladan dari Rasulullah dan para alim ulama.
Dari namanya sudah dapat dipastikan bahwa secara ideologi sistem ekonomi Islam kental dengan nuansa keislaman, dengan kata yang lebih jelas adalah aqidah islamiyah. Sistem ekonomi Islam memberikan tuntunan pada manusia dalam perilakunya untuk memenuhi segala kebutuhannya dengan keterbatasan alat pemuas dengan jalan yang baik dan alat pemuas yang tentunya halal, secara zatnya maupun secara perolehannya.
Tujuan utama Syari‘at Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahahan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Ini sesuai dengan misi Islam secara keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat[20] menegaskan:
ومعلوم ان الشريعة انما وضعت لمصالح الخلق باطلاق
Artinya: “Telah diketahui bahwa syariat Islam itu disyariatkan/diundangkan untuk mewujudkan kemaslahahan makhluk secara mutlak”. Dalam ungkapan yang lain Yusuf al-Qaradawi menyatakan:
اينما كانت المصلحة فثم حكم الله
Artinya: “Di mana ada maslahah, di sanalah hukum Allah”. [21]
Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya hubungkait antara Syariat Islam dengan kemaslahahan. Ekonomi Islam yang merupakan salah satu bagian dari Syariat Islam, tujuannya tentu tidak lepas dari tujuan utama Syariat Islam. Tujuan utama ekonomi Islam adalah merealisasikan tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (falah), serta kehidupan yang baik dan terhormat (al-hayah al-tayyibah).[22] Ini merupakan definisi kesejahteraan dalam pandangan Islam, yang tentu saja berbeda secara mendasar dengan pengertian kesejahteraan dalam ekonomi konvensional yang sekuler dan materialistik.[23] Dengan demikian tujuan sistem ekonomi Islam adalah berkait dengan tujuan yang tidak hanya memenuhi kesejahteraan hidup di dunia saja (materialis) namun juga kesejahteraan hidup yang lebih hakiki (akhirat). Allah SWT sebagai puncak tujuan, dengan mengedepankan pencarian keridloan-Nya dalam segala pola perilaku sejak dari konsumsi, produksi hingga distribusi.
Secara terperinci, tujuan ekonomi Islam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kesejahteraan ekonomi adalah tujuan ekonomi yang terpenting. Kesejahteraan ini mencakup kesejahteraan individu, masyarakat dan negara. (2) Tercukupinya kebutuhan dasar manusia, meliputi makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan serta sistem negara yang menjamin terlaksananya kecukupan kebutuhan dasar secara adil. (3) Penggunaan sumber daya secara optimal, efisien, efektif, hemat dan tidak membazir. (4) Distribusi harta, kekayaan, pendapatan dan hasil pembangunan secara adil dan merata. (5) Menjamin kebebasan individu. (6) Kesamaman hak dan peluang. (7) Kerjasama dan keadilan.[24]
4. Pokok-pokok Pikiran
a. Metodologi Ekonomi Islam
Para pakar ekonomi Islam (seperti Masudul Alam Choudoury, M Fahim Khan, Monzer Khaf, M. Abdul Mannan, dan lain-lain) telah merumuskan metodologi ekonomi Islam secara berbeda, tetapi dapat ditarik garis persamaan bahwa semunya bermuara pada ajaran Islam. Metodologi Ekonomi Islam, dapat diringkaskan sebagai berikut[25]:
1. Ekonomi Islam dibentuk berdasarkan pada sumber-sumber wahyu, yaitu al-Quran dan al-Sunnah. Penafsiran terhadap dua sumber tersebut mestilah mengikuti garis panduan yang telah ditetapkan oleh para ulama muktabar, bukan secara membabi buta dan ngawur.[26]
2. Metodologi ekonomi Islam lebih mengutamakan penggunaan metode induktif.
3. Ilmu Usul tetap mengikat bagi metodologi ilmu ekonomi Islam. Walaupun begitu pemikiran kritis dan evaluatif terhadap ilmu usul sangat diperlukan karena pada dasarnya ilmu usul adalah produk pemikrian manusia.
4. Penggunaan metode ilmiah konvensional atau metodologi lainnya dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
5. Ekonomi Islam dibangun di atas nilai dan etika luhur yang berdasarkan Syariat Islam, seperti nilai keadilan, sederhana, dermawan, suka berkorban dan lain-lain.
6. Kajian ekonomi Islam bersifat normatif dan positif.
7. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat.
8. Pada dasarnya metodologi yang bersumber dari metode ilmiah memiliki peluang untuk menghasilkan kesimpulan yang sama dengan yang bersumber dari ilmu usul. Ilmu usul untuk ayat qauliyah dan metode ilmiah untuk ayat kauniyah
b. Ekonomi Islam Membentuk Islamic Man
Berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengasumsikan manusia sebagai rational economic man, ekonomi Islam membentuk manusia menjadi islamic man. Faham rational economic man dalam ekonomi konvensional menuai berbagai kritik. Di antara kritik-kritik terhadap rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah sebagai berikut:
1. Terlalu demanding, karena menganggap setiap agen ekonomi pasti memiliki informasi lengkap. Ini tentu anggapan yang tidak realistik. Di samping itu terlalu terbatas, karena memahami self interest secara sangat sempit.
2. Tidak menggambarkan tingkah laku manusia yang sesungguhnya yaitu apa yang diasumsikan oleh ekonomi konvensional tidak mewakili perilaku manusia yang sebenarnya dan mengabaikan sama sekali emosi dan perasan. Clive Hamilton mengungkapkan bahwa ilmu ekonomi berkait dan bersepakat dengan kehidupan manusia, sedangkan manusia adalah makhluk yang berperasaan selain berakal, oleh karena itu ekonomi modern yang mengabaikan perasaan (moral/etika) dan spirituality merupakan kesalahan yang sangat telak. Memahami sesuatu dengan hanya berdasarkan akal semata merupakan pemahaman yang tidak lengkap.[27]
3. Pilihan perlu konsisten. Individu diandaikan rasional jika memilih pilihannya yang senantiasa konsisten dan mengabaikan perbedaan cita rasa individu. Di samping itu, dalam setiap pilihannya, setiap individu tidak hanya mempertimbangkan apakah pilihannya itu memenuhi utilitinya, akan tetapi juga mempertimbangkan mestikah memilih pilihan itu. Misalnya, pertanyaannya bukan hanya, “Dapatkah benda ini dibeli?” Tetapi juga “Haruskah minuman keras ini dibeli?”. Oleh karena itu Viktor J. Vanberg[28] menyatakan bahwa karena tidak mungkin mencapai konsisten yang terus menerus dalam pilihan rasional, beliau menyatakan perlu ada sebuah teori yang disebut dengan theory of behavioural adaptation.
4. Terlalu materialistik. Teori ilmu ekonomi konvensional menganggap manusia senantiasa ingin mencapai keuntungan material yang lebih tinggi sedangkan sebenarnya ada batasan dalam kehendak manusia. Dalam kenyataannya keinginan manusia tidak hanya dibatasi oleh budget constrain/level of income, tingkat harga, atau tingkat modal yang dipunya, tetapi juga oleh hukum, peraturan perundangan, tradisi, nilai-nilai/ajaran agama, nilai moral, dan tanggung jawab sosial.[29]
Secara konseptual terdapat perberbedaan mendasar antara ekonomi konvensional dan ekonomi Islam dalam memandang manusia. Ekonomi konvensional mengasumsikan manusia sebagai rational economic man, sedangkan ekonomi Islam hendak membentuk manusia yang berkarakterkan Islamic man (‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup.
Islamic man dalam mengkonsumsi suatu barangan tidak semata-mata bertujuan memaksimumkan kepuasan, tetapi selalu memperhatikan apakah barang itu halal atau haram, israf atau tidak, tabzir atau tidak, memudaratkan masyarakat atau tidak dan lain-lain. Ketakwaannya kepada Allah dan kepercayaannya kepada hari kiamat membuatnya senantiasa taat kepada rules Allah dan Rasul-Nya.
Islamic man tidak materialistik, ia senantiasa memperhatikan anjuran syariat untuk berbuat kebajikan untuk masyarakat, oleh karena itu ia baik hati, suka menolong, dan peduli kepada masyarakat sekitar. Ia ikhlas mengorbankan kesenangannya untuk menyenangkan orang lain. (QS 2: 215; QS 92: 18-19). Motifnya dalam berbuat kebajikan kepada orang lain, baik dalam bentuk berderma, bersedekah, menyantuni anak yatim, maupun mengeluarkan zakat harta, dan sebagainya, tidak dilandasi motif ekonomi sebagaimana dalam doctrine of social responsibility, tetapi semata-mata berharap keridhaan Allah SWT.
Dalam ekonomi Islam, tindakan rasional termasuklah kepuasan atau keuntungan ekonomi dan rohani baik di dunia maupun di akhirat, sedangkan dalam ekonomi konvensional cakupan tujuannya terbatas hanya pada kepuasan atau keuntungan ekonomi saja. Oleh karena itu, dimensi waktu dalam ekonomi Islam adalah lebih luas dan menjadi perhatian tersendiri pada tingkat agen-agen ekonomi di dalam Islam. Dalam ekonomi Islam, di dalam menjalankan perekonomian tidak hanya berasaskan pada logika semata-mata, akan tetapi juga berasaskan pada nilai-nilai moral dan etika serta tetap berpedoman kepada petunjuk-petunjuk dari Allah SWT.
Manusia perlu bertindak rasional karena ia mempunyai beberapa kelebihan dibanding ciptaan Allah yang lainnya. Manusia dianggap bertindak rasional apabila .individu tersebut mengarahkan perilakunya untuk mencapai tahapan maksimum sesuai dengan norma-norma Islam.[30] Individu rasional adalah individu yang berusaha memaksimumkan al-falah dibanding memaksimumkan kepentingan diri sendiri.
Konsep asas rasionalisme Islam menurut Monzer Kahf[31]:
1. Konsep kesuksesan
Islam membenarkan individu untuk mencapai kesuksesan di dalam hidupnya melalui tindakan-tindakan ekonomi, namun kesuksesan dalam Islam bukan hanya kesuksesan materi akan tetapi juga kesuksesan di hari akhirat dengan mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Kesuksesan dalam kehidupan muslim diukur dengan moral agama Islam, bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas seseorang, semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketakwaan kepada Allah SWT merupakan kunci dalam moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan perilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan serta menjauhkan diri dari kejahatan. Ketakwaan kepada Allah dicapai dengan menyandarkan seluruh kehidupan hanya karena (niyat), dan hanya untuk (tujuan) Allah, dan dengan cara yang telah ditentukan oleh Allah.[32]
2. Jangka waktu perilaku konsumen
Dalam pandangan Islam kehidupan dunia hanya sementara dan masih ada kehidupan kekal di akhirat. Maka dalam mencapai kepuasan perlu ada keseimbangan pada kedua tempoh waktu tersebut, demi mencapai kesuksesan yang hakiki. Oleh karena itu sebagian dari keuntungan atau kepuasan di dunia sanggup dikorbankan untuk kepuasan di hari akhirat. Manakala dalam pandangan konvensional mereka tidak memperhitungkan hal tersebut karena mereka menganggap kematian sebagai akhir dari segalanya, sehingga tidak perlu menyisihkan sebagian hartanya dari keuntungan atau kepuasan untuk masa yang tidak jelas dan tidak logis pada hari akhirat.
3. Konsep kekayaan
Kekayaan dalam konsep Islam adalah amanah dari Allah SWT dan sebagai alat bagi individu untuk mencapai kesuksesan di hari akhirat nanti, sedangkan menurut pandangan konvensional kekayaan adalah hak individu dan merupakan pengukur tahap pencapaian mereka di dunia.
4. Konsep barang
Konsep barang dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan nilai-nilai moral. Dalam al-Quran dinyatakan dua bentuk barang yaitu: al-tayyibat (barangan yang baik, bersih, dan suci serta berfaedah) dan barangan al-rizq (pemberian Allah, hadiah, atau anugerah dari langit) yang bisa mengandung halal dan haram. Menurut ekonomi Islam, barang bisa dibagi pada tiga kategori yaitu: barang keperluan primer (daruriyyat) dan barang sekunder (hajiyyah) dan barang tersier (tahsiniyyat). Barang haram tidak diakui sebagai barang dalam konsep Islam. Dalam menggunakan barang senantiasa memperhatikan maqasid syariah (tujuan syariah). Oleh karena itu konsep barang yang tiga macam tersebut tidak berada dalam satu level akan tetapi sifatnya bertingkat dari daruriyyat, hajiyyat dan tahsiniyyat. [33]
5. Etika konsumen
Islam tidak melarang individu dalam menggunakan barang untuk mencapai kepuasan selama individu tersebut tidak mengkonsumsi barang yang haram dan berbahaya atau merusak. Islam melarang mengkonsumsi barang untuk israf (pembaziran) dan tabzir (spending in the wrong way) seperti suap, berjudi dan lainnya.
Dengan demikian economic rationality from Islamic view bermakna: (1) konsisten dalam pilihan ekonomi (2) Content pilihan tidak mengandungi haram, israf, tabdzir, mudarat kepada masyarakat (jadi senantiasa taat kepada rules Allah) (3) Memperhatikan faktor eksternal seperti kebaikan hati (altruism) yang sesungguhnya, interaksi sosial yang mesra. Menurut Siddiqi, perilaku rasional dalam ekonomi Islam tidak selalu mengindikasikan pemaksimuman.(Rational behaviour in Islamic economics doesn’t necessarily imply maximization).
c. Keseimbangan dalam Ekonomi Islam
Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang, akan tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri.[34]
Rasionaliti keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional ditunjukkan pada perilaku seseorang untuk memenuhi kehendaknya dan kehendak masyarakat sebagaimana ia memenuhi kehendak dirinya sendiri. Kenyataan ini adalah tidak benar karena perilaku seseorang individu adalah berbeda dengan perilaku individu lain dan tidaklah mungkin bisa memenuhi keperluan dan keinginan sendiri apabila keperluan individu itu tidak dipenuhi. Timothy Gorringe menyatakan bahwa mereduksi manusia yang homo sapiens (makhluk bijaksana) dengan hanya homo economicus yang secara rasional memaksimumkan utiliti, bertindak berasas self interest saja merupakan reduksi yang sangat telak terhadap nilai-nilai moral/etika.[35]
Menurut Umer Chapra, sebenarnya kalau tujuan-tujuan normatif masyarakat telah ditentukan, tidak bisa ada kebebasan tak terbatas untuk mendefinisikan rasionaliti sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Dengan demikian, perilaku rasional secara otomatik akan teridentifikasi dengan perilaku yang kondusif bagi realiasasi tujuan-tujuan normatif tersebut.[36]
Sebenarnya dapat saja memenuhi kepentingan diri sendiri dalam berbagai cara, baik ekonomi maupun nonekonomi, yang didasarkan kepada perhitungan uang atau selain uang. Namun, untuk menyelaraskan dengan orientasi materinya, ilmu ekonomi mengesampingkan semua aspek kepentingan diri nonekonomi itu, sementara itu ia hanya menyamakan rasionaliti dengan aspek ekonomi saja. Bahkan pengertian ekonomi di sini, disederhanakan lagi hanya dikaitkan dengan hitungan uang.
Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang “manusia ekonomi” di mana tanggungj awab sosial satu-satunya adalah meningkatkan keuntungannya. Dengan demikian, ilmu ekonomi hanya memperhatikan perilaku rasional manusia ekonomi yang dimotivasi hanya oleh dorongan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri dengan cara memaksimumkan kekayaan dan konsumsinya lewat cara apapun. Semua keinginan lain yang membawa manusia bersama-sama seperti kerjasama, saling menyayangi, persaudaraan dan altruisme, di mana orang berjuang untuk kebahagiaan orang lain, sekalipun kadangkala hal itu mesti mengorbankan kepentingan dirinya sendiri, dikesampingkan sama sekali. Dengan demikian, jebakan ilmu ekonomi sekularis pada dasarnya adalah bagaimana memenuhi kepentingan diri sendiri lewat maksimumisasi kekayaan dan konsumsi sebagai alat utama untuk melakukan filterasasi, motivasi, dan restrukrisasi.[37]
Berbeda dengan tujuan utama konsumsi oleh konsumen dalam ekonomi konvensional yang semata-mata memaksimumkan utilitinya, dalam Ekonomi Islam yang berasaskan syariat Islam, menolak aktivitas manusia yang selalu memenuhi segala kehendaknya untuk memaksimumkan utiliti, karena pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan terhadap hal yang baik dan buruk sekaligus. Kehendak manusia didorong oleh suatu kekuatan dalam diri manusia (inner power) yang bersifat pribadi, dan karenanya seringkali berbeda antara satu orang dengan lainnya (sangat subjektif). Kehendak tidak selalu sesuai dengan rasionaliti, karena sifatnya yang tak terbatas. Kekuatan dari dalam diri manusia itu disebut jiwa atau hawa nafsu (nafs) yang menjadi penggerak aktiviti manusia.[38] Karena kualitas hawa nafsu manusia berbeda-beda, maka sangat wajar apabila kehendak satu orang dengan lainnya berbeda-beda pula.[39]
Secara sistematis perangkat penyeimbang perekonomian dalam Islam berupa:
a. Diwajibkannya zakat terhadap harta yang tidak di investasikan, sehingga mendorong pemilik harta untuk menginves hartanya, disaat yang sama zakat tidak diwajibkan kecuali terhadap laba dari harta yang diinvestasikan, Islam tidak mengenal batasan minimal untuk laba, hal ini menyebabkan para pemilik harta berusaha menginvestasikan hartanya walaupun ada kemungkinan adanya kerugian hingga batasan wajib zakat yang akan dikeluarkan, maka kemungkinan kondisi resesi dalam Islam dapat dihindari.
b. Sistem bagi hasil dalam berusaha (profit and loss sharing) menggantikan pranata bunga membuka peluang yang sama antara pemodal dan pengusaha, keberpihakan sistem bunga kepada pemodal dapat dihilangkan dalam sistem bagi hasil. Sistem inipun dapat menyeimbangkan antara sektor moneter dan sektor riil.
c. Adanya keterkaitan yang erat antara otoritas moneter dengan sektor belanja negara, sehingga pencetakan uang tidak mungkin dilakukan kecuali ada sebab-sebab ekonomi riil, hal ini dapat menekan timbulnya inflasi.
d. Keadilan dalam distribusi pendapatan dan harta. Fakir miskin dan pihak yang tidak mampu ditingkatkan pola konsumsinya dengan mekanisme zakat, daya beli kaum dhu’afa meningkat sehingga berdampak pada meningkatnya permintaan riil ditengah masyarakat dan tersedianya lapangan kerja.
e. Intervensi negara dalam roda perekonomian. Negara memiliki wewenang untuk intervensi dalam roda perekonomian pada hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan kepada sektor privat untuk menjalankannya seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat. Ada dua fungsi negara dalam roda perekonomian: (1) Melakukan pengawasan terhadap jalannya roda perekonomian dari adanya penyelewengan atau distorsi seperti ; monopoli, upah minimum, harga pasar dan lain-lain. (2) Peran negara dalam distribusi kekayaan dan pendapatan serta kebijakan fiskal yang seimbang.
d. Konsep Need Membawa Maslahah
Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan kehendaknya (want) sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat. Sedangkan keperluan (need) muncul dari suatu pemikiran atau identifikasi secara objektif atas berbagai sarana yang diperlukan untuk mendapatkan manfaat bagi kehidupan. Keperluan diarahkan oleh rasionaliti normatif dan positif yaitu rasionaliti ajaran Islam, sehingga bersifat terbatas dan terukur dalam kuantitas dan kualitasnya. Jadi, seorang muslim mengkonsumsi suatu barang atau jasa dalam rangka memenuhi keperluannya sehingga memperoleh kemanfaatan yang setinggi-tingginya bagi kehidupannya. Hal ini merupakan asas dan tujuan dari syariat Islam itu sendiri, yaitu maslahah al-ibad (kesejahteraan hakiki untuk manusia), sekaligus sebagai cara untuk mendapatkan falah yang maksimum.
Rasionaliti dalam ekonomi Islam, senantiasa memperhatikan maslahah untuk diri, keluarga dan masyarakat, utiliti bukanlah suatu prioritas, walau tidak dibuang. Implikasi pengaplikasian konsep need ini dalam mewujudkan maslahah adalah sebagai berikut:
1. Menghindarkan diri dari sikap israf (berlebih-lebihan melampaui batas).
Seorang konsumen muslim akan selalu mempertimbangkan maslahah bagi diri dan masyarakatnya dalam mengkonsumsi suatu barang atau jasa dan menghindari sikap israf.[40] Ia tidak akan menuruti want-nya untuk mendapatkan utiliti yang maksimum, apabila didapati want-nya itu mengandungi israf. Misalnya, seorang muslim tidak akan mengkonsumsi makanan yang mahal-mahal walau income-nya memungkinkan untuk membelinya, sementara ia mengetahui tetangganya kelaparan karena tidak punya makanan. Ia akan memilih untuk menginfakkan sebagian income-nya kepada tetangganya agar dapat makan. Dengan begitu ia berarti mendahulukan maslahah daripada memaksimalkan utiliti untuk diri pribadinya.
2. Mengutamakan akhirat daripada dunia.
Pada asasnya seorang muslim akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu di antara mengkonsumsi barang ekonomi yang bersifat duniawi saja dan yang bersifat ibadah (ukhrawi). Pengunaan barang atau jasa untuk keperluan ibadah bernilai lebih tinggi dari konsumsi untuk duniawi. Konsumsi untuk ibadah lebih tinggi nilainya karena orientasinya adalah al-falah yang akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, sehingga lebih bertujuan untuk kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itulah, konsumsi untuk ibadah pada hakikatnya adalah konsumsi untuk masa depan (future consumption), sedangkan konsumsi duniawi adalah hanya untuk konsumsi masa sekarang (present consumption). Semakin besar konsumsi untuk ibadah maka semakin tinggi pula al-falah yang akan dicapai, vice versa.[41]
3. Konsisten dalam prioritas pemenuhan keperluan (daruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah)
Keperluan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat kepentingan yang tidak selalu sama. Terdapat prioritas-prioritas di antara satu dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaatan dan kemendesakan dalam pemenuhannya. Para ulama telah membagi prioritas ini menjadi tiga, yaitu al-hajat al-dharuriyyah, al-hajat al-hajiyyah, dan al-hajat al-tahsiniyyah. Seorang muslim perlu mengalokasikan budget-nya secara urut sesuai dengan tingkat prioritasnya secara konsisten. Keperluan pada tingkat dharuriyyah mesti dipenuhi terlebih dahulu, baru kemudian hajiyyah dan akhir sekali tahsiniyyah.[42] Prioritas ini semestinya diaplikasikan pada semua jenis keperluan, yaitu agama (al-din), kehidupan, harta, ilmu pengetahuan (akal) dan kelangsungan keturunan.
4. Memperhatikan etika dan norma[43]
Syariah Islam memiliki seperangkat etika dan norma yang mesti dipedomani dalam semua aktivitas kehidupan. Beberapa etika misalnya kesederhanaan, keadilan, kebersihan, halalan toyyiba, keseimbangan, dan lain-lain. Ringkasnya, seorang muslim dalam beraktivitas, khususnya dalam mengkonsumsi barang atau jasa mestilah berpedoman pada etika dan norma yang telah ditetapkan oleh syariat Islam. Ini artinya, ia lebih mengutamakan maslahah, dari mendapatkan utiliti untuk memenuhi want-nya yang relatif tidak terbatas.
Menurut Anas Zarqa’,[44] perilaku muslim yang rasional dalam mengaplikaiskan konsep need akan mendorong individu untuk berada pada suatu tingkat yang berada di antara pembaziran dan kecukupan. Rasional dalam mengkonsumsi menurut modelnya adalah:
1. Konsumen yang rasional tidak akan berpuas hati sebelum sampai ke tahap barang kecukupan yang mampu diusahakan, karena akan dihukum bersalah dan dianggap menimbulkan penganiayaan terhadap diri dan keluarga.
2. Tidak melebihi garis pembaziran, karena dilarang Islam
3. Konsumen tidak menggunakan barang terlarang, karena berkibat buruk di akhirat.
4. Bersedia share sebagian dari konsumsinya dengan orang lain atas sikap mematuhi prinsip Islam seperti zakat, sadaqah, infaq.
D. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah perbedaan mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Di antara perbedaan mendasar itu adalah:
1. Rasionaliti dalam ekonomi konvensional adalah rational economics man yaitu tindakan individu dianggap rasional jika tertumpu kepada kepentingan diri sendiri (self interest) yang menjadi satu-satunya tujuan bagi seluruh aktivitas. Ekonomi konvensional mengabaikan moral dan etika dalam pembelanjaan dan unsur waktu adalah terbatas hanya di dunia saja tanpa mengambilkira hari akhirat. Sedangkan dalam ekonomi Islam jenis manusia yang hendak dibentuk adalah Islamic man (‘Ibadurrahman), (QS 25:63). Islamic man dianggap perilakunya rasional jika konsisten dengan prinsip-prinsip Islam yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang seimbang. Tauhidnya mendorong untuk yakin, Allah-lah yang berhak membuat rules untuk mengantarkan kesuksesan hidup. Ekonomi Islam menawarkan konsep rasionaliti secara lebih menyeluruh tentang tingkah laku agen-agen ekonomi yang berlandaskan etika ke arah mencapai al-falah, bukan kesuksesan di dunia malah yang lebih penting lagi ialah kesuksesan di akhirat.
2. Tujuan utama ekonomi Islam adalah mencapai falah di dunia dan akhirat, sedangkan ekonomi konvensional semata-mata kesejahteraan duniawi.
3. Sumber utama ekonomi Islam adabah al-Quran dan al-Sunnah atau ajaran Islam. Segala sesuatu yang bertentangan dengan dua sumber tersebut harus dikalahkan oleh aturan kedua sumber tersebut. Berbeda dengan ekonomi konvensional yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat positivistik.
4. Islam lebih menekankan pada konsep need daripada want dalam menuju maslahah, karena need lebih bisa diukur daripada want. Menurut Islam, manusia mesti mengendalikan dan mengarahkan want dan need sehingga dapat membawa maslahah dan bukan madarat untuk kehidupan dunia dan akhirat.
5. Orientasi dari keseimbangan konsumen dan produsen dalam ekonomi konvensional adalah untuk semata-mata mengutamakan keuntungan. Semua tindakan ekonominya diarahkan untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Jika tidak demikian justeru dianggap tidak rasional. Lain halnya dengan ekonomi Islam yang tidak hanya ingin mencapai keuntungan ekonomi tetapi juga mengharapkan keuntungan rohani dan al-falah. Keseimbangan antara konsumen dan produsen dapat diukur melalui asumsi-asumsi secara keluk. Memang untuk mengukur pahala dan dosa seorang hamba Allah, tidak dapat diukur dengan uang, akan tetapi hanya merupakan ukuran secara anggaran unitnya tersendiri. Wallahua’lam bi Ash-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
AbulHasan M. Sadeq, 1992, “Islamic Economic Thought”, dalam AbulHasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali (eds.), Readings in Islamic Economic Thought, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn. Bhd.
Ahmad, Khursid, 1992, dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB.
Al-Syatibi, t.t., al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2.
Chapra, M. Umer, 1995, Islam and Economic Challenge, USA: IIIT dan The Islamic Foundation.
Chapra, Umer, 2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam/The Future of Economics: An Islamic Perspective. Ikhwan Abidin Basri (terj.) Jakarta: Gema Insani Press
Choudory, Masudul Alam, 1989, The Paradigm of Humanomics. Bangi: UKM
Gorringe, Timothy, 1999, Fair Shares: Ethics and The Global Economy. Slovenia: Thames
Hamilton, Clive, 1994, The Mystic Economist. Australia: Hamilton
Hamouri, Qasem, 1991, “Rationality, Time and Accounting for The Future in Islamic Thaought”, dalam Faridi (ed), Essays in Islamic Economic Analysis. New Delhi: Genuine Publication & Media PVT. Ltd.
Heap, Shaun Hargreaves, 1992, “Rationality”, dalam Shaun Hargreaves Heap et. al (1992), The Theory of Choice: A Critical Guide. Oxford UK: Basil Blackwell Ltd.
Joni Tamkin Bin Borhan, 2002, “Economic Function of The State: An Islamic Perspective” dalam Jurnal Usuluddin, No. 16, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.
___________________ 2002, “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.
Kahf, Monzer, 1989, “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.
_____________1992, “The Theory of Consumption” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd.
__________, “A Contribution to the theory of Consumer Behaviour in Islamic Society” dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia
___________ 1991, “Zakat: Unresolved Issues in Contemporery Fiqh”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.
Khan, M. Fahim, 1992, “Theory of Consumer Behaviour in Islamic Perspective”, dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia
____________ 1994, An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan.
Khan, Muhammad Akram, 1989, “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications.
M.B. Hendrie Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta: EKONISIA
Mannan, M. Abdul, 1986, Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd.
____________1993, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.). Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf
____________1982, “Scarcity, Choice and Opportunity Cost: Their Dimension in Islamic Economics” Saudi Arabia: International Centre for Research in Islamic Economics
March, James G. 1986, “Bounded Rationality, Ambiguity, and the Engineering of Choice”, dalam Jon Elster (ed.) Rational Choice. Oxford UK: Basil Blackwell Ltd.
Miller, Roger LeRoy, 1997, Economics Today, The Micro View, edisi 9. New York: Addison Wesley
Mohammad Daud Ali, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Nomani, Farhad dan Ali Rahnema, 1994, Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd.
Qaradawi, Yusuf al-, 1998, al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami.
Rahman, Afzalur, 1979, Economic Doctrines of Islam, Vol. 4, London: The Muslim Schools Trust.
Samuelson, Paul dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomics. New York: McGraw-Hill, edisi 17
Siddiqi, Muhammad Nejatullah, 1991, “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press.
______________ 1992, “Islamic Consumer Behaviour” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd
Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al. 2005, Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd.
Syed Omar Syed Agil, 1992, “Rationality in Economic Theory: A Critical Appraisal”, dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd
Tajuldin et.al, 2004, Rasionalisme dari Perspektif Ekonomi Konvensional dan Ekonomi Islam: Implikasi ke Atas Keseimbangan Konsumen dan Keseimbangan Pengeluar. Kertas kerja untuk seminar
Vanberg, Viktor J. 1994, Rules and Choice in Economics. London: Routledge, h. 37
Zarqa’, Anas, 1989, “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications
________________________________________
[1] Paul R Gregory dan Robert C Stuart, 1981, Comparative Economic System, Boston: Houghton Miffin Company, hal. 16.
[2] M. Umer Chapra, 2001, Masa Depan Ilmu Ekonomi, (terj.) Ikhwan Abidin, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Jakarta: Gema Insani Press, hal. 3.
[3] Roger LeRoy Miller, 1997, Economics Toda: The Micro View, edisi 9, New York: Addison Wesley, hal. 6
[4] Qasem Hamouri, 1991, “Rationality, Time and Accounting for The Future in Islamic Thaought”, dalam Faridi (ed), Essays in Islamic Economic Analysi, New Delhi: Genuine Publication & Media PVT. Ltd., hal. 70
[5] M.A. Mannan, 1982, “Scarcity, Choice and Opportunity Cost: Their Dimension in Islamic Economics” Saudi Arabia: International Centre for Research in Islamic Economics, hal. 107-109
[6] Ini tergambar dalam ungkapan Adam Smith (1776) dalam bukunya an Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, yang menyatakan “it is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest”. Sebagaimana dikutip oleh Miller, 1997, hal. 5-6
[7] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomic, New York: McGraw-Hill, edisi 17, hal. 30-31 dan 216
[8] Umer Chapra, 1995, Islam and Economic Challenge. Herndon USA: IIIT
[9] Umer Chapra, 2001, op.cit. hal. 23-28
[10] Ini tergambar dalam ungkapan Adam Smith (1776) dalam bukunya an Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation, yang menyatakan “it is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest”. Sebagaimana dikutip oleh Miller, 1997, hal. 5-6
[11] Paul Samuelson dan William D. Nordhaus, 2001, Microeconomic, New York: McGraw-Hill, edisi 17, hal. 30-31 dan 216
[12] Dalam bukunya yang berjudul Economics, Paul dan Ronald Wonnacott menulis enam kelemahan mekanisme pasar. Pertama, sekalipun pasar memberikan kebebasan individu lebih tinggi kepada para pemain di dalamnya, ia hanya memberikan kepada si lemah kebebasan untuk merasakan lapar dan tersingkir. Kenyataan menunjukkan, dalam mekanisme pasar yang bebas dan berjalan baik, banyak orang kaya dapat memberikan makanan yang lebih bergizi untuk anjingnya daripada si miskin memberikan makanan kepada diri dan keluarganya. Kedua, dalam suatu sistem perekonomian dengan sistem pasar yang tidak diatur, akan terjadi keadaan yang sangat tidak stabil dengan inflasi tinggi, diikuti oleh resesi yang tajam. Bila ini terjadi, segenap lapisan masyarakat akan menderita. Ketiga, dalam sistem laissez faire, harga-harga di pasaran tidak selalu mencerminkan kekuatan pasar yang tidak memihak. Harga-harga yang mencerminkan mekanisme murni permintaan dan penawaran, hanya terjadi pada pasar bersaing sempurna. Namun pasar ini hanya ada dalam teori. Dalam faktanya, para produsen senantiasa memiliki kekuasaan untuk mempermainkan harga dan pasar cenderung berbentuk monopolis, oligopolis dan persaingan tidak sempurna. Keempat, pasar tidak menggubris efek eksternalitas seperti polusi udara dan air dan penurunan kualitas kehidupan fisik. Kelima, dalam wilayah-wilayah tertentu, kadang-kadang terjadi kegagalan pasar. Jika ini ada, maka pemerintahlah yang harus mengambil alih komando. Keenam, dalam sebuah perekonomian dengan mekanisme pasar yang baik, dunia usaha mampu memenuhi keinginan konsumen dengan sangat baik. Namun harus disadari konsumen bersedia membeli produk tidak selalu didorong oleh keinginan riil pribadinya yang independen, tetapi sering lebih dipengaruhi gencarnya iklan di berbagai media. Preferensi dan cita rasa konsumen telah didikte oleh imajinasi yang ditimbulkan oleh promosi.
[13] M. B. Hendrie Anto, 2003, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA, hal. 353
[14] M. Abdul Mannan, 1986, Islamic Economics, Theory and Practice. Cambride: Hodder and Stoughton, The Islamic Academy; M. Umar Chapra, 2001, What is Islamic Economics, Jeddah: IRTI – IDB, hal. 44.
[15] David Jean C. Boulakia, 1971, “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist”, Journal of Political Economy, Vol. 79, No. 5 (September/October), The University of Chicago, hal. 1117-1118.
[16] M. Abdul Mannan, 1986, Islamic Economics; Theory and Practice, Cambride: Houder and Stoughton Ltd., hal. 18.
[17] Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1991, “Islamic Economic Thought: Foundations, Evolution and Needed Direction”, dalam AbulHasan M. Sadeq et al. (eds.), Development and Finance in Islamic, Petaling Jaya: International Islamic University Press, hal. 21. Bandingkan dengan definisi yang dikemukakan Akram Khan, “Islamic economics aims at the study of human falah [well-being] achieved by organizing the resources of the earth on the basis of cooperation and participation”. Lihat Muhammad Akram Khan, 1994, An Intrduction to Islamic Economics, Islamabad: IIIT Pakistan, hal. 33. Dan juga definisi Khurshid Ahmad, ekonomi Islam adalah “a sistematic effort to try to understand the economic problems and man’s behaviors in relation to that problem from an Islamic perspective”. Khursid Ahmad, 1992, dalam M. Umer Chapra, What is Islamic Economics, (Jeddah: IRTI – IDB, hal. 19.
[18] Lihat M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal. 10-11; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al., 2005, Pengantar Perniagaan Islam, Petaling Jaya: Pearson Malaysia Sdn. Bhd., hal. 50; Mohammad Daud Ali, 1988, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hal. 18.
[19] M. Umer Chapra, 2001, op.cit., hal. 202-206.
[20] Al-Syatibi, t.t., al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, Beirut: Dar al-Fikr, juz 2, hal. 19.
[21] Yusuf al-Qaradawi, 1998, al-Ijtihad al-Mu‘asir, Beirut: al-Maktab al-Islami, hal. 68.
[22] Al-Quran menyebut kata falah dalam 40 tempat. Falah mencakup konsep kebahagiaan dalam dua dimensi yaitu dunia dan akhirat. Kebahagiaan dimensi duniawi, falah mencakup tiga aspek, yaitu: (1) kelangsungan hidup, (2) kebebasan dari kemiskinan, (3) kekuatan dan kehormatan. Sedangkan dalam kebahagiaan dimensi akhirat, falah mencakup tiga aspek juga, yaitu: (1) kelangsungan hidup yang abadi di akhirat, (2) kesejahteraan abadi, (3) berpengetahuan yang bebas dari segala kebodohan. Falah hanya dapat dicapai dengan suatu tatatan kehidupan yang baik dan terhormat (hayah al-tayyibah). Lihat M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal. 7.
[23] Muhammad Akram Khan, 1989, “Methodology of Islamic Economics” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hal. 59; Syed Mohd. Ghazali Wafa Syed Adwam Wafa et al., 2005, op.cit., hal. 53; M. B. Hendrie Anto, 2003, op.cit., hal. 7.
[24] Anas Zarqa’, 1989, “Islamic Economics: An Approach to Human Welfare”, dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hal. 29-38.
[25] Joni Tamkin Bin Borhan, 2002, “Metodologi Ekonomi Islam: Suatu Analisis Perbandingan”, dalam Jurnal Usuluddin, No. 15, Kuala Lumpur: Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya, hal. 77-83; Farhad Nomani dan Ali Rahnema, 1994, Islamic Economic Systems, London: Zed Books Ltd., hal. 2-19; Muhammad Akram Khan, 1989, op.cit., hal. 53-60; Monzer Kahf, 1989, “Islamic Economics and Its Methodology” dalam Aidit Ghazali dan Syed Omar (eds.), Readings in The Concept and Methodology of Islamic Economics, Petaling Jaya: Pelanduk Publications, hal. 43-48.
[26] M. Abdul Mannan, 1986, op.cit., hal. 13-27.
[27] Clive Hamilton, 1994, op.cit., hal. 6-7. Lihat pula Masudul Alam Choudory, 1989, The Paradigm of Humanomics, Bangi: UKM
[28] Viktor J. Vanberg, 1994, Rules and Choice in Economics, London: Routledge, hal. 37
[29] Syed Omar Syed Agil, 1992, op.cit., hal. 34-38
[30] Muhammad Nejatullah Siddiqi, 1992, “Islamic Consumer Behaviour” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective, Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd, hal. 55-56
[31] Monzer Kahf, 1992, “The Theory of Consumption” dalam Sayyid Tahir et al. (ed.), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia Sdn Bhd, hal. 62-67
[32] MB Hendri, 2003, op.cit., hal. 123
[33] M. Fahim Khan, 1992, “Theory of Consumer Behaviour in Islamic Perspective”, dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective, Petaling Jaya: Longman Malaysia, hal. 74
[34] Bandingkan dengan penjelasan Clive tentang transrationality, Clive Hamilton, 1994, The Mystic Economist, Australia: Hamilton, hal. 158-161
[35] Timothy Gorringe, 1999, Fair Shares: Ethics and The Global Economy, Slovenia: Thames, hal. 31
[36] Umer Chapra, 2001, op.cit., hal. 19
[37] Ibid., hal. 20
[38] Lihat QS Asy-Syams: 7-10
[39] Lihat QS Yusuf: 53; al-Qiyamah: 2; al-Fajr: 27
[40] M. Fahim Khan (1992), op. cit., hal. 78
[41] M.B Hendri Anto, 2003, op.cit., hal. 129-131. Lihat pula Monzer Kahf, “A Contribution to the theory of Consumer Behaviour in Islamic Society” dalam Sayyid Tahir et al. (ed), Readings in Microeconomics An Islamic Perspective. Petaling Jaya: Longman Malaysia, hal. 96-98
[42] M.A Mannan, 1993, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek (terj.), Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, hal. 48
[43] M. Fahim Khan, 1992, op. cit., hal. 78. Lihat pula M.B Hendri Anto, 2003, op.cit., hal.132
[44] Sebagaimana dikutip Syed Omar Syed Agil, 1992, op.cit., hal. 43
Langganan:
Postingan (Atom)