PENGANGGURAN
DAN KEMISKINAN DALAM ISLAM
a.
Pengangguran
Pengangguran adalah “keadaan tanpa
pekerjaan yang dihadapi oleh segolongan tenaga kerja, yang telah berusaha
mencari pekerjaan, tetapi tidak memperolehnya” (Sadono Sukirno. 2004: 355).
1)
Jenis- jenis pengangguran berdasarkan
penyebabnya:
a)
Pengangguran Alamiah
Pengangguran yang berlaku pada
tingkat kesempatan kerja penuh. Kesempatan kerja penuh adalah keadaan dimana
sekitar 95 persen dari angkatan kerja dalam suatu waktu sepenuhnya bekerja.
Pengangguran sebanyak lima persen inilah yang dinamakan pengangguran alamiah.
b)
Pengangguran Friksional
Suatu jenis pengangguran yang
disebabkan oleh tindakan seorang pekerja untuk meninggalkan pekerjaannya dan
mencari kerja yang lebih baik atau lebih sesuai dengan keinginannya.
c) Pengangguran
Struktural
Pengangguran yang diakibatkan oleh
pertumbuhan ekonomi. Tiga sumber utama yang menjadi penyebab berlakunya
pengangguran struktural adalah:
(1)
Perkembangan teknologi. Perkembangan
teknologi yang semakin maju membuat permintaan barang dari industri yang
memproduksi barang-barang kuno menurun dan akhirnya tutup dan pekerja di
industri ini akan menganggur. Pengangguran ini disebut juga sebagai pengangguran
teknologi.
(2)
Kemunduran yang disebabkan oleh adanya
persaingan dari luar negeri atau daerah lain. Persaingan dari luar negeri yang
mampu menghasilkan produk yang lebih baik dan lebih murah akan membuat
permintaan akan barang local yang tidak mampu bersaing akan bangkrut sehingga
timbul pengangguran.
(3)
Kemunduran perkembangan ekonomi suatu
kawasan sebagai akibat dari pertumbuhan yang pesat dikawasan lain.
d)
Pengangguran konjungtor
Pengangguran
yang melebihi pengangguran alamiah. Pada umumnya pengangguran konjungtor
berlaku sebagai akibat pengurangan dalam permintaan agregat. Penurunan
permintaan agregat mengakibatkan perusahaan mengurangi jumlah pekerja atau
gulung tikar, sehingga muncul pengangguran konjungtor.
2) Jenis
– Jenis Pengangguran berdasarkan Cirinya menurut (Sadono Sukirno. 2004: 330) :
a) Pengangguran
Terbuka
Pengangguran ini tercipta sebagai
akibat penambahan pertumbuhan kesempatan kerja yang lebih rendah dari pada
pertumbuhan tenaga kerja, akibatnya banyak tenaga kerja yang tidak memperoleh
pekerjaan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Pengangguran terbuka adalah
penduduk yang telah masuk dalam angkatan kerja tetapi tidak memiliki pekerjaan
dan sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha, serta sudah memiliki
pekerjaan tetapi belum mulai bekerja
b) Pengangguran
Tersembunyi
Keadaan dimana suatu jenis ekonomi
dijalankan oleh tenaga kerja yang jumlahnya melebihi dari yang diperlukan.
c) Pengangguran
Musiman
Keadaan pengangguran pada masa –
masa tertentu dalam satu tahun. Pengangguran ini biasanya terjadi disektor
pertanian. Petani akan menganggur saat menunggu masa tanam dan saat jeda antara
musim tanam dan musim panen.
d) Setengah
Menganggur
Keadaan dimana seseorang bekerja
dibawah jam kerja normal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia jam
kerja normal adalah 35 jam seminggu, jadi pekerja yang bekerja dibawah 35 jam
seminggu masuk dalam golongan setengah menganggur.
b.
Pengangguran
menurut pandangan islam
Islam telah memperingatkan agar umatnya jangan sampai ada yang menganggur
dan terpeleset kejurang kemiskinan, karena ditakutkan dengan kemiskinan
tersebut seseorang akan berbuat apa saja termasuk yang merugikan orang lain
demi terpenuhinya kebutuhan pribadinya, ada sebuah hadist yang mengatakan “
kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran. Namun kenyataannya, tingkat
pengangguran di negara – negara yang mayoritas berpenduduk muslim relatif
tinggi. Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang buruknya pengangguran, baik
bagi individu, masyarakat ataupun
negara, akan meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih serius. Walaupun Allah
telah berjanji akan menaggung rizqi kita semua, namun hal itu bukan berarti
tanpa ada persyaratan yang perlu untuk dipenuhi. Syarat yang paling utama
adalah kita harus berusaha untuk mencari rizqi yang dijanjikan itu, karena
Allah SWT telah menciptakan “sistem”
yaitu siapa yang bekerja maka dialah yang akan mendapatkan rizqi dan
barang siapa yang berpangku tangan maka
dia akan kehilangan rizqi.Artinya, ada suatu proses yang harus dilalui untuk
mendapatkan rizqi tersebut.
Oleh
karena itu semua potensi yang ada harus dapat dimanfaatkan untuk mencari,
menciptakan dan menekuni pekerjaan. Muhammad Al Bahi, sebagaimana yang telah dikutip oleh Mursi ( 1997:34)
mengatakan bahwa ada tiga unsur penting untuk menciptakan kehidupan yang
positif dan produktif, yaitu:
a). Mendayagunakan seluruh potensi yang telah dianugerahkan
oleh Allah kepada kita untuk bekerja, melaksanakan gagasan dan memproduksi.
b). Bertawakal kepada Allah, berlindung dan memeinta
pertolongan kepada-Nya ketika melakukan suatu pekerjaan.
c). Percaya kepada Allah bahwa Dia mampu menolak bahaya,
kesombingan dan kediktatoran yang memasuki lapangan pekerjaan.
Bermalas-malasan atau menganggur akan memberikan dampak negatif langsung
kepada pelakunya serta akan mendatangkan dampak tidak langsung terhadap
perekonomian secara keseluruhan. Dari kacamata makro, pengangguran akan
menyebabkan tidak optimalnya tingkat pertumbuhan ekonomi akibat sebagian
potensi dari faktor produksi tidak dimanfaatkan. Kelompok pengangguran akan
menggantungkan hidupnya pada orang – orang yang bekerja sehinggan tingkat
ketergantungan akan menjadi tinggi sedangkan tingkat pendapatan perkapita akan
merosot.
Untuk
menghindari dampak tersebut, maka sumberdaya yang ada harus dimanfaatkan untuk
melakukan suatu usaha walaupun jumlahnya terbatas.Bekerja, walaupun dengan
pekerjaan yang menggunakan tenaga kasar dan termasuk pada pekerjaan sektor
informal, tidak menjadi halangan karena
hal itu lebih terhormat daripada meminta-minta.
Dalam
kaitannya dengan bidang pekerjaan yang harus dipilih, Islam mendorong umatnya
untuk berproduksi dan menekuni aktivitas ekonomi dalm segala bentuk seperti:
pertanian, pengembalaan, berburu,industri , perdagangan dan lain-lain. Islam
tidak semata-mata hanya memerintahkan untuk bekerja tetapi harus bekerja dengan
lebih baik (insan), penuh ketekunan dan profesional. Ihsan dalam bekerja
bukanlah suatu perkara yang sepele tetapi merupakan suatu kewajiban agama yang
harus dipatuhi oleh setiap muslim. “ Sesungguhnya Allah mencintai jika
seseorang melakukan pekerjaan yang
dilakukan secara itqan (profesional)” (HR.Baihaqi).
Menurut
Qardhawi (2005:6-18) pengangguran dapat dibagi menjadi dua kelompokkan, yaitu:
a). Pengangguran jabariyah (terpaksa)
suatu pengangguran diamana seseorang tidak mempunyai hak
sedikitpun memilih status ini dan terpaksa menerimanya. Pengangguran seperti
ini umunya terjadi karena seseorang tidak mempunyai keterampilan sedikitpun,
yang sebenarnya bisa dipelajari sejak kecil sebagai modal untuk masa depannnya
atau seseorang telah mempunyai suatu keterampilan tetapi keterampilan ini tidak
berguna sedikitpun karena adanya perubahan lingkungan dan perkembangan zaman.
b). Pengangguran khiyariyah
Seseorang yang memilih
untuk menganggur padahal dia pada dasarnya adalah orang yang mampu untuk
bekerja, namun pada kenyataanya dia memilih untuk berpangku tangan dan
bermalas-malasan hingga menjadi beban bagi orang lain. Dia memilih hancur
dengan potensi yang dimilki dibandingkan
menggunakannya untuk bekerja . Dia tidak pernah mengusahakan suatu
pekerjaan dan mempunyai pribadi yang lemah hingga menjadi “ sampah masyarakat”.
Adanya
pembagian kedua kelompok ini mempunyai kaitan erat dengan solusi yang
ditawarkan islam untuk mengatasi suatu pengangguran. Kelompok pengangguran
jabariyah perlu mendapatkan perhatian dari pemeintah agar mereka dapat bekerja.
Sebaliknya, Islam tidak mengalokasikan
dana dan bantuan untuk pengangguran khiyariyah karena pada prinsipnya
mereka memang tidak memerlukan bantuan karena pada dasarnya mereka mampu untuk
bekerja hanya saja mereka malas untuk memanfaatkan potensinya dan lebih memilih
menjadi beban bagi orang lain.
c.
Biaya dan dampak bagi pengangguran
Pengangguran tentunya akan menimbulkan biaya bagi pelakunya, masyarakat
maupun negara. Biaya yang ditanggung oleh si pelaku adalah kehilangan gaji atau
pendapatan yang diperoleh apabila dia bekerja
padahal pengeluaran aka terus ada untuk setiap harinya gune untuk
memenuhi kebutuhannya. Di negara-negara maju yang sudah memberikan tunjangan
bagi penganguran, biaya menganggur yang harus ditanggung oleh individu tersebut
tentunya akan lebih kecil karena mereka dan keluarganya mendapatkan bantuan
dari pemerintah selama menganggur. Sedangkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, pada umumnya
biaya menganggur akan ditanggung sendiri oleh orang yang bersangkutan.
Dalam
kaitannya dengan biaya sosial yang ditimbulkan oleh pengangguran ini Joseph
Stigltz (2003:80) mengatakan biaya yang paling buruk adalah berbentuk kekerasan
yang terjadi di perkotaan, kejahatan yang meningkat,serta kerusuhan sosial dan
politik.
Qardhawi (2005:4-5) telah merinci dampak buruk pengangguran dalam dua
tingkatan, yaitu:
1). Dampak buruk pengangguran bagi individu:
a). secara
ekonomi tidak memiliki pemasukan ataupun penghasilan.
b). secara
kesehatan akan mengurangi gerak tubuh
c). secara
kejiwaan seseorang akan hidup dalam kekosongan waktu dan
akan
menimbulkan perasaan dengki dan iri terhadap keberhasilan orang
lain
d). dampak buruk
pengangguran bagi kehidupan keluargannya.`
2). Dampak buruk pengangguran bagi masyarakat sekitarnya:
a). perkembangan
ekonomi akan terhambat karena dalam masyarakat terdapat
kerusakan
dan kekurangan daya produksi
b). dampak
terhadap interaksi sosial dimana seseorang yang pengangguran akan
merasa
kehilangan semua kemampuannya dan akan selalu merasa pesimis dalam
hidupnya
c). dampak
terhadap moralitas dalam masyarakat yaitu munculnya kecenderungan
atau
indikasi untuk berbuat kriminalitas karena seseorang yang menganggur pada
umumnya akan
memiliki banyak kekosongan dan kekhawatiran.
d.
Teladan
Islam Dalam Pengentasan Pengangguran
Merujuk pada permasalahan diatas sebenarnya
Islam telah mengajarkan cara yang paling ideal dalam mengatasi pengangguran.
Suatu ketika datang kepada Rasulullah dari kalangan Anshar untuk meminta-minta
(pengemis). Lalu Rasulullah bertanya kepada pengemis tersebut, “Apakah kamu mempunyai sesuatu di
rumahmu?” Pengemis itu menjawab, “Saya mempunyai pakaian dan cangkir.” Kemudian Rasulullah mengambil sebagian
pakaian dan cangkir tersebut untuk di jual kepada para sahabat. Salah seorang
sahabat sanggup membeli barang-barang tersebut seharga dua dirham. Selanjutnya
Rasulullah membagi uang yang di dapat tersebut untuk sebagaian dibelikan
keperluan kebutuhan keluarga pengemis tersebut dan sebagian lagi dibelikan
kapak sebagai sarana untuk berusaha mencari kayu bakar. Akhirnya dengan
usahanya sang pengemis mendapatkan uang sebanyak sepuluh dirham.
Kisah ini sudah terlalu sering kita dengar
akan tetapi jarang kita mau mengambil hikmah untuk menganalisa suatu
permasalahan hidup. Khusus dalam permasalahan pengangguran hal ini dapat
menjadi cara yang ideal untuk diterapkan.
Kembali pada pernyataan pertama, “kita
berikan pancing, jangan memberi umpan” adalah kebijakan yang lemah. Coba kita
bayangkan orang yang sedang memancing, mengharapkan ikan akan tersangkut di
mata kail dengan penuh ketidak pastian. Jika dapat syukur, jika tidak dapat
maka pemancing (pengangguran) akan mati kelaparan.
Bagaimana dengan tauladan Rasulullah yang
ditujukan oleh pengemis tadi? Rasulullah tidak langsung memerintahkan pada
pengemis itu untuk membeli kapak, tetapi Rasulallah membelikan kebutuhan pokok
(primer) terlebih dahulu. Setelah kebutuhan pokok nya terpenuhi maka barulah
Rasulullah memerintahkan untuk membeli kampak. Dimana perbedaannya?
Perbedaannya jelas sangat jauh, Rasulullah memikirkan kebutuhan hidup sang
pengangguran kemudian membantunya dalam melihat peluang usaha. Jika pada hari
pertama pengemis tadi tidak mendapatkan penghasilan dari berjualan kayu bakar,
ia tidak perlu terlalu susah hati karena sebagian uang telah dibelikan
kebutuhan pokoknya.
Hal lain
yang menjadi pelajaran dari kisah tersebut adalah Rasulullah tidak suka kita
sebagai manusia menjadi pemalas. Dalam Islam mengajarkan “tangan diatas lebih
baik dari pada tangan yang selalu dibawah”.
Contoh
tersebut layak untuk dijadikan acuan berfikir oleh pemerintah bagaimana
seharusnya membuat sebuah kebijakan yang benar dan baik untuk mengatasi tingkat
pengangguran yang semakin hari semakin meningkat ini. Tidak lagi sekedar umpan,
atau sekedar pancing tetapi harus berjalan keduanya sekaligus.
e.
Kebijakan
yang Perlu Lakukan
Untuk aplikasinya ada baiknya pemerintah
tetap mendata pengangguran dan kemiskinan secara tepat tanpa kepentingan apapun
dan sekaligus mencari jalan keluar untuk masalah ini. Mungkin banyak hal yang
dapat dilakukan pemerintah mengatasi masalah pengangguran.
Pertama, menjaga stabilitas politik dan ekonomi. Keadaan politik
dan ekonomi yang stabil harus terus dipertahankan agar dunia usaha baik
pengusaha dalam dan luar negri merasa nyaman dalam menjalankan usahanya.
Bangkitnya dunia usaha (sektor riil) akan menyerap pengangguran yang ada.
Administrasi birokrasi harus seefesian mungkin. Jangan jadikan biriksasi yang
bertele-tele membuat pengusaha jadi enggan dalam memulai suatu usaha. Apalagi
cara ini akan meningkatkan biaya produksi perusahaan.
Kedua, meningkatkan kemampuan kerja. Pengangguran di Indonesia
disebabkan salah satunya karena kemampuan tenaga kerja (skill) kita yang
rendah. Untuk hal ini pemerintah harus terus menjaga kualitas pendidikan dan
pelatihan yang baik. Kejadian Ujian Nasional di beberapa daerah menjadi
pelajaran yang amat berharga untuk mengevaluasi kembali apakah kebijakan ini
dapat meningkatkan kualitas pendidikan kita.
Masih
banyak lagi kebijakan yang dapat diambil oleh pemerintah untuk menekan angka
pengangguran. Yang perlu selalu di ingat adalah pengangguran sangat dekat
dengan kemiskinan. Dan kemiskinan pasti akan menyimpan potensi konflik yang
besar.
f.
Kemiskinan
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) mendefinisikan “kemiskinan sebagai
kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak
dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hak-hak dasar antara lain: (1) terpenuhinya kebutuhan pangan; (2) kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan
lingkungan; (3) rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan; (4) hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik”.
g.
Pandangan Islam
Tentang Kemiskinan
Kemiskinan
adalah salah satu sebab kemunduran dan kehancuran suatu bangsa. Bahkan Islam
memandang kemiskinan merupakan suatu ancaman dari setan. Allah Swt.. berfirman:
]الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ
الْفَقْرَ[
Setan
menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan (TQS. Al-Baqarah [2]:
268)
Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan sebuah
ideologi yang shahih, sangat consen terhadap masalah kemisikinan dan
upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam fiqih, dibedakan antara istilah Fakir dan Miskin.
Menurut pengertian syara’, Fakir adalah orang yang tidak mempunyai
kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makanan, pakaian dan
tempat tinggal. Sedangkan Miskin adalah orang yang sama sekali tidak
mempunyai apa-apa.
Dari pengertian kedua istilah di atas, nampak bahwa kriteria
Fakir sebenarnya telah mencakup kriteria Miskin. Karena itulah dalam pembahasan
selanjutnya, kedua istilah tersebut dilebur dalam satu istilah yaitu miskin,
dengan pengertian orang-orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk
memenuhi kebutuhan pokoknya, berupa pangan, sandang dan papan.
Syariat Islam telah menetapkan kebutuhan pokok (primer) bagi
setiap individu adalah pangan, sandang, dan papan. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah
mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-halaq [65]: 6).
Rasulullah
saw. bersabda:
Dan
kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja
(makanan) dan pakaian. (HR.
Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Sebagai
kebutuhan primer, ketiga hal tersebut, harus terpenuhi secara keseluruhan. Jika
salah satu saja tidak terpenuhi, maka seseorang terkategori sebagai orang
miskin.
Pangan,
sandang, dan papan yang dimaksud di sini, tidak berarti sekadar apa adanya,
melainkan harus mencakup hal-hal yang berkaitan dengannya. Kebutuhan pangan,
misalnya, juga termasuk hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti peralatan
dapur; kayu bakar, minyak tanah, atau gas; rak piring, lemari makan, meja
makan, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk bagian dari kebutuhan pakaian
adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias, parfum, bedak, celak,
minyak rambut, lemari pakaian, cermin, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk
bagian dari kebutuhan tempat tinggal adalah apa-apa yang diperlukan untuk
tempat tinggal, seperti tempat tidur dan perabotan rumah tangga, menurut yang
umum diketahui masyarakat, seperti, meja, kursi, karpet, korden, dan lain-lain.
Demikianlah tolak ukur kemiskinan menurus Islam. Dari sini tampak bagaimana
Islam memberikan jaminan kepada manusia untuk hidup secara layak sebagai
manusia.
Tolok ukur kemiskinan ini berlaku untuk semua manusia, kapan
pun dan di mana pun mereka berada. Tidak boleh ada pembedaan tolok ukur
kemiskinan bagi orang yang tinggal di satu tempat dengan tempat lainnya, atau
di satu negeri dangan negeri lainnya. Misalnya, orang yang tinggal di Amerika
dikatakan miskin jika tidak memiliki mobil pribadi (walaupun tercukupi pangan,
sandang dan papannya). Sementara di Indonesia, orang semacam ini tidak
dikatakan miskin. Pandangan semacam ini bathil dan tidak adil. Sebab, Syariat
Islam diturunkan untuk menusia sebagai manusia, bukan sebagai individu.
Sehingga tidak ada perbedaan dari sisi kemanusiaan antara orang yang tinggal di
suatu negeri dengan negeri lainnya. Seandainya sebuah Negara memerintah
rakyatnya dari berbagai negeri, di Mesir, Yaman, Sudan, Indonesia, Jerman, dan
lain-lain; maka tidak sah jika pandangan pemerintah tersebut terhadap
kemiskinan berbeda-beda antara rakyat yang satu dengan yang lain.
Lebih
dari itu, yang ditetapkan syariat Islam sebagai kebutuhan pokok sebenarnya
bukan hanya pangan, sandang, dan papan. Ada hal lain yang juga termasuk
kebutuhan pokok yaitu kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hanya saja,
pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dibebankan kepada individu masyarakat,
melainkan langsung menjadi tanggungjawab negara. Dalam membahas kemiskinan,
ketiga hal ini tidak dimasukan dalam perhitungan, karena memang bukan
tanggungjawab individu.
h.
Cara Islam
Mengatasi Kemiskinan
Allah
Swt. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan
sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan tidak hanya manusia; seluruh
makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rizki
baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan
begitu saja tanpa menyediakan rizki bagi mereka. Allah Swt. berfirman:
]اللهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ ثُمَّ
رَزَقَكُمْ[
Allah-lah yang menciptakan kamu,
kemudian memberikan rizki.(TQS. ar-Rum [30]: 40)
]وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ
إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا[
Tidak ada satu binatang melata pun
di bumi, melainkan Allah yang memberi rizkinya. (TQS. Hud [11]: 6)
Jika
demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang
ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah.
Dalam
pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan
barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah.
Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah
kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, bathil, dan bertentangan dengan fakta.
Secara
i’tiqadiy, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah Swt. untuk
manusia pasti mencukupi. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola
dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor
utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya
keberadaan sebuah sistem hidup yang shahih dan keberadaan negara yang
menjalankan sistem tersebut.
Islam adalah sistem hidup yang shahih. Islam memiliki cara
yang khas dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Syariat Islam memiliki banyak
hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan
alamiyah, kultural, maupun sruktural. Hanya saja, hukum-hukum itu tidak berdiri
sendiri, melainkan memiliki hubungan sinergis dengan hukum-hukum lainnya. Jadi,
dalam menyelesaikan setiap masalah, termasuk kemiskinan, Islam menggunakan
pendekatan yang bersifat terpadu. Bagaimana Islam mengatasi kemiskinan, dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Primer
Islam
telah menetapkan kebutuhan primer manusia terdiri dari pangan, sandang, dan
papan. Terpenuhi-tidaknya ketiga kebutuhan tersebut selanjutnya menjadi penentu
miskin-tidaknya seseorang. Sebagai kebutuhan primer, tentu pemenuhannya atas
setiap individu, tidak dapat ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, Islam
memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan ini.
Adanya jaminan pemenuhan kebutuhan
primer bagi setiap individu, tidak berarti negara akan membagi-bagikan makanan,
pakaian, dan perumahan kepada siapa saja, setiap saat. Sehingga terbayang,
rakyat bisa bermalas-malasan karena kebutuhannya sudah dipenuhi. Ini anggapan
yang keliru. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer dalam Islam diwujudkan dalam
bentuk pengaturan mekanisme-mekanisme yang dapat menyelesaikan masalah
kemiskinan. Mekanisme tersebut adalah:
a) Mewajibkan
Laki-laki Memberi Nafkah Kepada Diri dan Keluarganya.
Islam mewajibkan laki-laki yang
mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya.
Allah Swt. berfirman:
]فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا
مِنْ رِزْقِهِ[
Maka berjalanlah ke segala penjuru,
serta makanlah sebagian dari rizeki-Nya. (TQS. al-Mulk[67]: 15)
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Aku
mendengan Rasulullah saw. bersabda:
Salah seorang diantara kalian pergi
pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya
(menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu
baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau
menolaknya.
Ayat dan hadits di atas menunjukan
adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami,
syara’ juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya.
Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[
Kewajiban ayah memberikan makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. (TQS. al-Baqarah [2]: 233)
]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ
سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[
Tempatkanlah mereka (para istri) di
mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu. (TQS. ath-Thalaq [65]: 6)
Jadi jelas, kepada setiap laki-laki
yang mampu bekerja, pertama kali Islam mewajibkan untuk berusaha sendiri dalam
rangka memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Adapun terhadap wanita, Islam
tidak mewajibkan mereka untuk bekerja, tetapi Islam mewajibkan pemberian nafkah
kepada mereka.
b) Mewajibkan
Kerabat Dekat untuk Membantu Saudaranya
Realitas menunjukkan bahwa tidak
semua laki-laki punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah. Mereka kadang ada
yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan
lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orang-orang yang tidak mampu bekerja.
Jika demikian keadaannya lalu siapa yang akan menanggung kebutuhan nafkahnya?
Dalam kasus semacam ini, Islam
mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu
mereka. Allah Swt. berfirman:
]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا
وُسْعَهَا لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ
وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ[
…Dan kewajiban ayah memberikan makan
dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan warispun
berkewajiban demikian… (TQS.
al-Baqarah [2]: 233).
Maksudnya, seorang waris
berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkan dan pakaian. Yang
dimaksud waris di sini, bukan berarti orang yang secara langsung bisa mewarisi.
Melainkan, yang dimaksud adalah siapa saja yang berhak mendapatkan waris.
Jadi jelas, jika seseorang secara
pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka
kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Jika kerabat dekat diberi kewajiban
untuk membantu saudaranya yang tidak mampu, bukankah hal ini akan menyebabkan
kemiskinan para keluarganya dan dapat berdampak pada menurunnya taraf kehidupan
mereka? Tidak dapat dikatakan demikian! Sebab, nafkah tidak diwajibkan oleh
syara’ kepada keluarga, kecuali apabila terdapat kelebihan harta. Orang yang
tidak memiliki kelebihan, tidak wajib baginya memberi nafkah. Sebab, memberi
nafkah tidak wajib kecuali atas orang yang mampu memberinya.
Orang yang mampu menurut syara’
adalah orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhan-kebutuhuan primer (al-hajat
al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat al-kamaliyah),
menurut standart masyarakat sekitarnya. Rasulullah saw. bersabda:
Sebaik-baik sedekah adalah harta
yang berasal dari selebihnya keperluan (HR. Imam Bukhari dari Abu Hurairah)
Tangan di atas (memberi) itu lebih
baik dari tangan di bawah (meminta), mulailah dari orang yang menjadi
tanggunganmu, dan sebaik-baik sedekah adalah dari selebihnya keperluan (HR. Nasa’i, Muslim, dan Ahmad
dari Abu Harairah)
Yang dimaksud al-Ghina
(selebihnya keperluan) di sini adalah harta di mana manusia (dengan keadaan
yang dimilkinya) sudah tidak butuh lagi apa-apa buat mencukupi level pemenuhan
kebutuhan primer (al-hajat al-asasiyah), dan kebutuhan pelengkap (al-hajat
al-kamaliyah), menurut standart masyarakat sekitarnya.
c) Mewajibkan
Negara untuk Membantu Rakyat Miskin
Bagaimana jika seseorang yang tidak
mampu tersebut tidak memiliki kerabat? Atau dia memiliki kerabat, akan tetapi
hidupnya pas-pasan? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih
ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul
Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Rasulullah Saw. pernah
bersabda:
Siapa saja yang meninggalkan harta,
maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang, meninggalkan ‘kalla’,
maka dia menjadi kewajiban kami. (HR. Imam Muslim)
Yang dimaksud kalla adalah
oang yang lemah, tidak mempunyai anak, dan tidak mempunyai orang tua.
Anggaran yang digunakan negara untuk
membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat.
Allah Swt.. berfirman:
]إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ[
Sedekah (zakat) itu hanya
diperuntukkan bagi para fakir miskin… (TQS. at-Taubah [9]: 60)
Apabila harta zakat tidak mencukupi,
maka negara wajib mencarinya dari kas lain, dari Baitul Mal.
d.
Mewajibkan Kaum Muslim untuk Membantu Rakyat Miskin
Apabila di dalam Baitul Mal tidak
ada harta sama sekali, maka kewajiban menafkahi orang miskin beralih ke kaum
Muslim secara kolektif. Allah Swt. berfirman:
]وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ
لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ[
Di dalam harta mereka, terdapat hak
bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 19)
Rasulullah saw. juga bersabda:
Siapa saja yang menjadi penduduk
suatu daerah, di mana di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka
perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka. (HR. Imam Ahmad)
Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa
saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia
mengetahuinya. (HR.
al-Bazzar)
Secara teknis, hal ini dapat
dilakukan dengan dua cara. Pertama, kaum Muslim secara individu membantu
orang-orang yang miskin. Kedua, negara mewajibkan dharibah (pajak)
kepada orang-orang kaya, hingga mencukupi kebutuhan untuk membantu orang
miskin. Jika, dalam jangka waktu tertentu, pajak tersebut tidak diperlukan
lagi, maka pemungutannya oleh negara harus dihentikan.
Demikianlah mekanisme bagaimana
Islam mengatasi masalah kemiskinan secara langsung. Pertama, orang yang
bersangkutan diwajibkan untuk mengusahakan nafkahnya sendiri. Apabila tidak
mampu, maka kerabat dekat yang memiliki kelebihan harta wajib membantu. Apabila
kerabat dekatnya tidak mampu, atau tidak mempunyai kerabat dekat, maka
kewajiban beralih ke Baitul Mal dari kas zakat. Apabila tidak ada, wajib
diambil dari Baitul Mal, dari kas lainnya. Apabila tidak ada juga, maka
kewajiban beralih ke seluruh kaum Muslim. Secara teknis, hal ini dapat
dilakukan dengan cara kaum Muslim secara individu membantu orang yang miskin;
dan negara memungut dharibah (pajak) dari orang-orang kaya, hingga
mencukupi.
2.
Pengaturan Kepemilikan
Pengaturan
kepemikikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah kemiskinan dan
upaya untuk mengatasinya. Syariat Islam telah mengatur masalah kepemilikan ini,
sedemikian rupa sehingga dapat mencegah munculnya masalah kemiskinan. Bahkan,
pengaturan kepemilikan dalam Islam, memungkinkan masalah kemiskinan dapat diatasi
dengan sangat mudah.
Pengaturan
kepemilikan yang dimaksud mencakup tiga aspek, yaitu jenis-jenis
kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan pendistribusian kekayaan di
tengah-tengah masyarakat. Bagaimana pengaturan kepemilikan ini dapat
mengatasi masalah kemiskinan, dapat dijelaskan secara ringkas sebagai Berikut.
a) Jenis-jenis
Kepemilikan
Syariat Islam mendefinisikan
kepemilikan sebagai izin dari as-Syari’ (Pembuat Hukum) untuk memanfaatkan
suatu zat atau benda. Terdapat tiga macam kepemilikan dalam Islam, yaitu
kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu adalah izin dari Allah Swt.. kepada individu untuk
memanfaatkan sesuatu.
Allah Swt. telah memberi hak kepada
individu untuk memiliki harta baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Tentu
sepanjang harta tersebut diperoleh melalui sebab-sebab yang dibolehkan,
misalnya: hasil kerja, warisan, pemberian negara, hadiah, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan individu ini,
menjadikan seseorang termotivasi untuk berusaha mencari harta, guna mencukupi
kebutuhannya. Sebab, secara naluriah, manusia memang memiliki keinginan untuk
memiliki harta. Dengan demikian, seseorang akan berusaha agar kebutuhannya
tercukupi. Dengan kata lain, dia akan berusaha untuk tidak hidup miskin.
Kepemilikan Umum adalah izin dari Allah Swt.. kepada jamaah (masyarakat)
untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu.
Aset yang tergolong kepemilikan umum
ini, tidak boleh sama sekali dimiliki secara individu, atau dimonopoli oleh
sekelompok orang. Aset yang termasuk jenis ini adalah: pertama, segala
sesuatu yang menjadi kebutuhan vital masyarakat, dan akan menyebabkan
persengkataan jika ia lenyap, misalnya: padang rumput,
air, pembangkit listrik, dan lain-lain; kedua, segala sesuatu yang
secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu, misalnya: sungai,
danau, laut, jalan umum, dan lain-lain; ketiga, barang tambang yang
depositnya sangat besar, misalnya: emas, perak, minyak, batu bara, dan
lain-lain.
Dalam prakteknya, kepemilikan umum
ini dikelola oleh negara, dan hasilnya (keuntungannya) dikembalikan kepada
masyarakat. Bisa dalam bentuk harga yang murah, atau bahkan gratis, dan
lain-lain. Adanya pengaturan kepemilikan umum semacam ini, jelas menjadikan aset-aset
startegis masyakat dapat dinikmati bersama-sama. Tidak dimonopoli oleh
seseorang atau sekelompok orang, sehingga yang lain tidak memperoleh apa-apa;
sebagaimana yang tejadi dalam sistem kapitalis. Dengan demikian masalah
kemiskinan dapat dikurangi, bahkan diatasi dengan adanya pengaturan kepemilikan
umum semacam ini.
Kepemilikan Negara adalah setiap harta yang menjadi hak kaum Muslim, tetapi
hak pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah (sesuai ijtihadnya) sebagai kepala
negara
Aset yang termasuk jenis kepemilikan
ini di antaranya adalah: fa’i, kharaj, jizyah, atau pabrik-pabrik yang dibuat
negara, misalnya, pabrik mobil, mesin-mesin, dan lain-lain.
Adanya kepemilikan negara dalam
Islam, jelas menjadikan negara memiliki sumber-sumber pemasukan, dan aset-aset
yang cukup banyak. Dengan demikian negara akan mampu menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai pengatur urusan rakyat. Termasuk di dalamnya adalah
memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat miskin.
b) Pengelolaan
Kepemilikan
Pengelolaan kepemilikan dalam Islam
mencakup dua aspek, yaitu pengembangan harta (tanmiyatul Mal) dan
penginfaqkan harta (infaqul Mal).
Baik pengembangan harta maupun
penginfaqkan harta, Islam telah mengatur dengan berbagai hukum. Islam,
misalnya, melarang seseorang untuk mengembangkan hartanya dengan cara ribawi,
atau melarang seseorang bersifat kikir, dan sebagainya. Atau misalnya, Islam
mewajibkan seseorang untuk menginfaqkan (menafkahkan) hartanya untuk anak dan
istrinya, untuk membayar zakat, dan lain-lain. Jelaslah, bahwa dengan adanya
pengaturan pengelolaan kepemilikan, akan menjadikan harta itu beredar,
perekonomian menjadi berkembang, dan kemiskinan bisa diatasi.
c) Distribusi
Kekayaan di Tengah-tengah Masyarakat
Buruknya distribusi kekayaan di
tengah-tengah masyarakat telah menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya
kemiskinan. Oleh karena itu, masalah pengaturan distribusi kekayaan ini,
menjadi kunci utama penyelesaian masalah kemiskinan.
Dengan mengamati hukum-hukum syara’
yang berhubungan dengan masalah ekonomi, akan kita jumpai secara umum
hukum-hukum tersebut senatiasa mengarah pada terwujudnya distribusi kekayaan
secara adil dalam masyarakat. Apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang
jenis-jenis kepemilikan dan pengelolaan kepemilikan, jelas sekali, secara
langsung atau tidak langsung mengarah kepada terciptanya distribusi kekayaan.
Kita juga dapat melihat, misalnya,
dalam hukum waris. Secara rinci syariat mengatur kepada siapa harta warisan
harus dibagikan. Jadi seseorang tidak bisa dengan bebas mewariskan hartanya
kepada siapa saja yang dikehendaki. Sebab, bisa berpotensi pada distribusi yang
tidak adil.
Lebih dari itu, negara berkewajiban
secara langsung melakukan pendistribusian harta kepada individu rakyat yang
membutuhkan. Misalnya, negara memberikan sebidang tanah kepada soseorang yang
mampu untuk mengelolanya. Bahkan setiap individu berhak menghidupkan tanah
mati, dengan menggarapnya; yang dengan cara itu dia berhak memilikinya.
Sebaliknya, negara berhak mengambil tanah pertanian yang ditelantarkan
pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Semua itu menggambarkan, bagaimana
syariat Islam menciptakan distribusi kekayaan, sekaligus menciptakan
produktivitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia, yang dengan sendirinya
dapat mengatasi masalah kemiskinan.
3.
Penyediaan Lapangan Kerja
Menyediakan lapangan pekerjaan
merupakan kewajiban negara. Hal ini menyandar pada keumuman hadits Rasululah
saw.:
Seorang
iman (pemimpin) adalah bagaikan penggembala, dan dia akan diminta
pertanggungjawaban atas gembalaannya (rakyatnya). (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah riwayat diceritakan
bahwa Rasulullah saw. pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian
Beliau saw. bersabda:
Makanlah
dengan satu dirham, sisanya belikan kapak, lalu gunakan ia untuk bekerja.
Demikianlah,
ketika syariat Islam mewajibkan seseorang untuk memberi nafkah kepada diri dan
keluarganya, maka syariat Islam pun mewajibkan negara untuk menyediakan
lapangan pekerjaan. Dengan cara ini, setiap orang akan produktif, sehingga
kemiskinan dapat teratasi.
4.
Penyediaan Layanan Pendidikan
Masalah
kemiskinan sering muncul akibat rendahnya kualitas sumberdaya manusia, baik
dari sisi kepribadian maupun ketrampilan. Inilah yang disebut dengan kemiskinan
kultural. Masalah ini dapat diatasi melalui penyediaan layana pendidikan oleh
negara. Hal ini dimungkinkan, karena pendidikan dalam Islam mengarah pada dua
kualifikasi penting, yaitu terbentuknya berkepribadian Islam yang kuat,
sekaligus memiliki ketrampilan untuk berkarya.
Syariat Islam telah mewajibkan negara
untuk menyediakan layanan pendidikan secara cuma-cuma kepada rakyat. Sebab,
pendidikan memang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu rakyat.
Layanan pendidikan ini akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, dan
selanjutnya akan mewujudkan individu-individu yang kreatif, onovatif, dan
produktif. Dengan demkian kemiskinan kultural akan dapat teratasi.
Ø
Keberhasilan
Islam dalam Mengatasi Kemiskinan
Solusi yang ditawarkan Islam dalam mengatasi kemiskinan,
sebagimana yang telah diuraikan di atas, bukanlah sesuatu yang menarik sebatas
dalam tataran konsep semata. Perjalanan panjang sejarah kaum Muslim,
membuktikan bahwa solusi tersebut benar-benar dapat realisasikan. Yaitu ketika
kaum Muslim hidup di bawah naungan Negara Khilafah yang menerapkan Islam secara
kaffah.
Dalam kitab al-Amwaal karangan Abu Ubaidah, diceritakan
bahwa Khalifah Umar bin Khathab pernah berkata kepada pegawainya yang bertugas
membagikan shadaqah: “Jika kamu memberikan, maka cukupkanlah”,
selanjutnya berkata lagi: “Berilah mereka itu sedekah berulangkali sekalipun
salah seorang diantara mereka memiliki seratus onta”. Beliau menerapkan
politik ekonomi yang memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan primer rakyatnya.
Beliau mengawinkan kaum Muslim yang tidak mampu; membayar hutang-hutang mereka,
dan memberikan biaya kepada para petani agar mereka menanami tanahnya.
Kodisi politik seperti ini terus berlangsung hingga masa
Daulah Umayah di bawah pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Pada saat itu
rakyat sudah sampai pada taraf hidup dimana mereka tidak memerlukan bantuan
harta lagi. Pada tahun kedua masa kepemimpinannya, Umar bin Abdul Aziz menerima
kelebihan uang Baitul Mal secara berlimpah dari gubernur Irak. Beliau
lalu mengirim surat kepada gubernur tersebut: “Telitilah, barang siapa
berhutang, tidak berlebih-lebihan dan foya-foya, maka bayarlah hutangnya”.
Kemudian gubernur itu mengirim jawaban kepada beliau: “Sesungguhnya aku
telah melunasi hutang orang-orang yang mempunyai tanggungan hutang, sehingga
tidak ada seorang pun di Irak yang masih mempunyai hutang, maka apa yang harus
aku perbuat terhadap sisa harta ini?” Umar bin Abdul Aziz mengirimkan
jawaban: “Lihatlah setiap jejaka yang belum menikah, sedangkan dia
menginginkan menikah, kawinkanlah dia dan bayar mas kawinnya” Gubernur itu
mengirimkan berita lagi bahwa dia sudah melaksanakan semua perinahnya, tetapi
harta masih juga tersisa. Selanjutnya Umar bin Abdul Aziz mengirimkan surat
lagi kepadanya: “Lihatlah orang-orang Ahlu adz-Dzimmah yang tidak mempunyai
biaya untuk menanami tanahnya, berilah dia apa-apa yang dapat
mensejahterakannya.” Dalam kesempatan lain, Umar bin Abdul Aziz
memerintahkan pegawainya untuk berseru setiap hari di kerumunan khalayak ramai,
untuk mencukupi kebutuhannya masing-masing. “Wahai manusia! Adakah diantara
kalian orang-orang yang miskin? Siapakah yang ingin kawin? Kemanakah anak-anak
yatim?” Ternyata, tidak seorang pun datang memenuhi seruan tersebut.
Jaminan pemenuhan kebutuhan hidup ini, tidak hanya diberikan
kepada kaum Muslim, tetapi juga kepada orang non-Muslim. Dalam hal ini,
orang-orang non-Muslim yang menjadi warga negara Daulah Khilafah, mempunyai hak
yang sama dengan orang Muslim, tanpa ada perbedaan. Sebagai contoh, dalam aqad
dzimmah yang ditulis oleh Khalid bin Walid untuk menduduk Hirah di Irak yang
beragama Nasrani, disebutkan: “Saya tetapkan bagi mereka, orang yang lanjut
usia yang sudah tidak mampu bekerja atau ditimpa suatu penyakit, atau tadinya
kaya kemudian jatuh miskin, sehingga teman-temannya dan para penganut agamanya
memberi sedekah; maka saya membebaskannya dari kewajiban membayar jizyah. Dan
untuk selajutnya dia beserta keluarga yang menjadi tanggungannya, menjadi
tanggungan Baitul Mal kaum Muslim.”Peristiwa ini terjadi pada masa
pemerintahan Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq ra.
Umar bin Khatab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang
sedang mengemis. Ketika ditanyakan kepadanya, ternyata usia tua dan kebutuhan
telah mendesaknya untuk berbuat demikian. Umar segera membawanya kepada
bendahara Baitul Mal dan memerintahkan agar detapkan bagi orang itu, dan
orang-orang seperti dia, sejumlah uang dari Baitul Mal yang cukup
baginya dan dapat memperbaiki keadaanya. Umar berkata: “Kita telah bertindak
tidak adil terhadapnya, menerima pembayaran jizyah darinya kala dia masih muda,
kemudian menelantarkannya kala dia sudah lajut usia.
Demikianlah
beberapa gambaran sejarah kaum Muslim, yang menunjukkan betapa Islam yang
mereka terapkan ketika itu benar-benar membawa keberkahan dan kesejahteraan
hidup. Bukan hanya bagi umat Muslim tapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup
di bawah naungan Islam.
Penutup
Islam bukanlah agama ritual semata,
melainkan sebuah ideologi. Sebagai sebuah ideologi yang shahih, tentu Islam
memiliki cara-cara yang lengkap untuk mengatasi berbagai problematika manusia,
termasuk problem pengangguran dan kemiskinan. Dari pebahasan ini, tampak
bagaimana kehandalan Islam dalam mengatasi problem pengangguran dan kemiskinan.
Apabila saat ini kita menyaksikan banyak pengangguran kemiskinan yang justru
melanda umat Islam, hal itu disebabkan karena mereka tidak hidup secara Islam.
Sistem hidup selain Islam-lah (Kapitalis, Sosialis/Komunis) yang mereka
terapkan saat ini, sehingga meskipun kekayaan alamnya melimpah, tetap saja
hidup dalam kemiskinan. Allah Swt. berfirman:
]وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ
لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى[
Barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka baginya penghidupan yang sempit dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta (TQS. Thahaa[20]: 124)
Jika
demikian halnya, masihkah umat ini tetap rela hidup tanpa syariat Islam?
Daftar Pustaka
1).
DR.H.Rijaluddin.FN,M.Ag. Nuansa-nuansa ekonomi Islam.Jakarta selatan:CV
Sejahter percetakan dan perdagangan umum.2007
2).
DR.Chapra, M.Umer. Islam dan tantangan ekonomi.Jakarta utara: Gema insane.2000
3).http://husnita.multiply.com/journal/item/31/SOLUSI_ISLAM_DALAM_MASALAH_KEMISKINAN
5). katalog.pdii.lipi.go.id/index.php/searchkatalog/.../8277/8277.pdf
Sukirno, Sadono. “Makro Ekonomi Teori Pengantar”, Edisi Ketiga. Penerbit Raja
Grafindo Persada, Jakarta. 2004