PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
(paper ini
dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ekonomi syari’ah)
Disusun Oleh:
KELOMPOK 11
Hudzaifah Hafizhudin 1070.8400.3749
Satria Adyatma 1080.8400.0022
Soraya. MHJ 1060.8400.4321
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDY PEMBANGUNAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan
ekonomi merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Kegiatan yang berupa produksi, distribusi dan konsumsi ini dilakukan dalam
rangka memenuhi seluruh kebutuhan hidup manusia. Setiap tindakan manusia
didasarkan pada keinginanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Aktivitas
ekonomi inipun dimulai dari zaman nabi Adam hingga detik ini, meskipun dari
zaman ke zaman mengalami perkembangan. Setiap masa manusia mencari cara untuk
mengembangkan proses ekonomi ini sesuai dengan tuntuan kebutuhannya. Tidak
terlepas dari itu, Islam yang awal kejayaannya di masa Rasulullah juga memiliki
konsep system ekonomi yang patut dijadikan bahan acuan untuk mengatasai
permasalahan ekonomi yang ada saat ini.
Oleh
karena itu salah satu hal yang mendasari dilakukannya penulisan ini adalah
untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang tersistematik yang pernah dilakukan pada
zaman nabi Muhammad yang merupakan zaman awal kegemilangan Institusi Islam
sebelum hancur di tahun 1924, serta sejarah juga membuktikan bahwa Ilmuwan
muslim pada era klasik telah banyak menulis dan mengkaji ekonomi Islam tidak
saja secara normatif, tetapi juga secara empiris dan ilmiah dengan metodologi
yang sistimatis, seperti buku Ibnu Khaldun (1332-1406) dan Ibnu Taymiyah,
bahkan Al-Ghazali (w.1111) Al-Maqrizi . Selain itu masih banyak ditemukan
buku-buku yang khusus membahas bagian tertentu dari ekonomi Islam, seperti,
Kitab Al-Kharaj karangan Abu Yusuf (w.182 H/798 M), Kitab Al-Kharaj karangan
Yahya bin Adam (.w.203 H), Kitab Al-Kharaj karangan Ahmad bin Hanbal (w.221
M), Kitab Al-Amwal karangan Abu ’Ubaid ( w.224 H ), Al-Iktisab fi
al Rizqi, oleh Muhammad Hasan Asy-Syabany. (w.234 H).
Dalam buku ini, Deliarnov Anwar membagi sejarah
pemikiran ekonomi Islam pada empat fase.
Fase
pertama, pemikiran-pemikiran
ekonomi Islam baru pada tahap meletakkan dasar-dasar ekonomi Islam, dimulai
sejak awal Islam hingga pertengahan abad ke-5 H/ 7-11 Masehi. Pada tahap ini
pemikiran-pemikiran ekonomi Islam pada umumnya bukanlah dibahas oleh para ahli
ekonomi, melainkan dirintis fuqaha, sufi, teolog, dan filsuf Muslim. Pemikiran
ekonomi Islam pada tahap ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab turats
(peninggalan ulama). Dari turats itulah para intelektual Muslim maupun
non-Muslim melakukan kajian, penelitian, analisis, dan kodifikasi
pemikiran-pemikiran ekonomi Islam yang pernah ada atau dikaji pada masa itu.
Pemikiran-pemikiran ekonomi yang terdapat dalam kitab tafsir, fiqih, tasawuf
dan lainnya, adalah produk ijtihad sekaligus interpretasi mereka terhadap
sumber Islam saat dihadapkan pada berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dan
persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi masa itu. “Karena sifatnya
penafsiran, sangat lumrah jika terdapat variasi dan perbedaan antara ulama yang
satu dengan yang lainnya. Perbedaan bisa saja terjadi karena berbedanya lokasi,
lingkungan dan waktu. Perbedaan penafsiran mungkin pula terjadi karena
perbedaan latar belakang dan kapasitas pengetahuan ulama yang menafsirkan itu
sendiri. Tidak hanya tentang riba, zakat, harta, warisan, uang, fungsi uang,
mahar, transaksi, perjanjian, dan denda, tetapi juga tentang permintaan, penawaran,
peran pasar, fungsi pemerintah, kebijakan publik, perpajakan, dan sebagainya,”
tulis Deliarnov. Menurut Deliarnov, para ulama fiqih (fuqaha) tidak hanya
mendiskusikan, menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena ekonomi sesuai
dengan Al-Quran dan tradisi kenabian, tetapi juga mengeksplorasi konsep-konsep
mashlahah dan mafsadat, manfaat dan mudharat (utility and disutility) yang
terkait dengan berbagai aktivitas ekonomi. Meskipun dalam menguraikannya
cenderung bersifat normatif, tetapi ada ketegasan sikap dalam membahas dan
menjelaskan tentang perilaku yang adil atau kebijakan yang harus diambil
penguasa. Sedangkan para sufi lebih menitikberatkan pada etika agar para pelaku
ekonomi tidak rakus atau memikirkan diri sendiri, dan cinta dunia. Menurut kaum
sufi, tujuan akhir dari setiap aktivitas ekonomi bukanlah kebahagiaan dunia,
melainkan kebahagiaan yang abadi di akhirat. Lain halnya dengan para filsuf,
yang dalam pembahasannya fokus ke masalah sa’adah (kebahagiaan) dengan
metodologi dan analisa ekonomi yang bersifat makro.
Fase
kedua
adalah “cemerlang”, berlangsung dari abad 11- 15. Pada masa ini para fuqaha,
sufi, filsuf, dan teolog, mulai menyusun bagaimana seharusnya umat Islam
melaksanakan berbagai aktivitas ekonomi. Tidak hanya merujuk pada Al-Quran dan
tradisi kenabian, tapi juga mulai mengemukakan pendapat-pendapatnya sendiri.
Fase
ketiga
adalah stagnasi, ditandai dengan kemunduran Dunia Islam dalam khazanah
intelektual, sejak 1446 hingga munculnya pemikir Muhammad Iqbal pada 1932. Pada
masa ini para fuqaha hanya mencatat atau mengulang para pendahulunya dan
mengikuti fatwa sesuai dengan mazhabnya. Stagnasi yang dialami pemikir-pemikir
Muslim ini terjadi akibat ditutupnya pintu ijtihad, sehingga tidak ada yang
mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mandiri. Pemahaman agama atau
tafsir yang berasal dari mazhab dan firqah yang diadopsi negara/pemerintah yang
berkuasa yang memegang peranan. Apabila muncul yang berbeda tafsir atau
pemahaman, penjara dan cambuk adalah hadiah yang didapatnya, bahkan sampai
dibunuh jika tidak mengikuti atau mematuhi yang sudah ditetapkan. Itulah
sebabnya sebagian ulama dan cendekiawan Muslim yang memiliki pemikiran yang
berbeda dengan “mainstream” selalu menyepi alias tidak menampakkan
kecemerlangan dalam pengetahuan maupun pemahaman agama yang mencerahkan.
Fase
keempat
adalah modern, ditandai dengan kebangkitan Dunia Islam dari stagnasi pemikiran
selama lima abad sejak pertenghaan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20.
Pada masa modern ini muncul pakar-pakar ekonomi Islam profesional. Jika
pembahasan ekonomi sebelumnya dilakukan para fuqaha, teolog, filsuf, dan sufi,
maka pada masa modern ini dikembangkan kalangan sarjana ekonomi atau
cendekiawan Muslim, yang tidak sedikit mendapat pendidikan Barat. “Mereka belajar tentang ekonomi mikro, ekonomi
makro, ekonomi pembangunan, ekonomi moneter, dan lainnya. Dengan latar
pendidikan mereka yang pada umumnya para ekonom, mereka tidak hanya menyajikan
pemikiran-pemikiran ekonomi dari segi konsep dan teori, tetapi banyak pula yang
mengimplementasikan ilmu-ilmu ekonomi yang mereka kembangkan dalam kehidupan
nyata. Mereka mengimplementasikan ekonomi Islam secara sistematis dan modern,
baik di tingkat mikro maupun makro. Atas kontribusi mereka ekonomi Islam
diterima sebagai suatu disiplin ilmu yang mandiri, dan begitu juga dalam tiga
dekade terakhir kita saksikan banyak bank-bank Islam yang dilandaskan pada
syari’ah bermunculan,” tulis Deliarnov.
Begitulah jejak perjalanan pemikiran
ekonomi Islam dalam sejarah peradaban Islam. Sebuah kekayaan yang pantas kita
banggakan dan hadirkan dengan kontekstualisasi dan pengembangan nalar sehingga
relevan dengan zaman sekarang. Memang harus diakui bahwa pasca-tumbangnya
Komunisme, Sosialisme, Liberalisme dan sistem ekonomi Kapitalisme yang
menjadikan krisis global di negara-negara Barat dan yang berada di bawah
naungannya, termasuk Indonesia, para ekonom Barat mencari “formula” yang
kemampuan, kekuatan, dan kehebatannya melampaui sistem dan pemikiran yang
sebelumnya. Mereka melihat pada Islam, khususnya pada khazanah pemikiran
ekonomi yang dikemukakan para ulama dan cendekiawan Muslim. Tidak sedikit karya
khazanah ekonomi Islam itu diadaptasi dan dikembangkan di negara-negara Barat
sekarang ini. Bedanya dengan di negeri-negeri Islam adalah, ekonom Barat
mengambil sistem dan konsepnya tanpa mengambil sisi spiritualitasnya. Mungkin,
bisa diibaratkan bentuk tanpa isi. Namun, meski begitu geliatnya dalam
mewujudkan sistem yang berdasarkan syari`ah sangat tampak dari beberapa
perusahaan yang ada di Eropa, khususnya di Inggris sudah muncul perguruan
tinggi yang mengajarkan Islamic finance dan di Jepang untuk kawasan Asia.
Mengapa mesti ekonomi Islam yang menjadi solusi dalam membangun sistem
perekonomian yang utuh dan paripurna?
Sumber:
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pemikiran Ekonomi IslamMasa Rasulullah.
Sebelum
Islam datang situasi kota Yatsrib sangat
tidak menentu karena tidak mempunyai
pemimpin yang berdaulat secara penuh. Hukum dan
pemerintahan di kota ini tidak pernah berdiri dengan tegak dan masyarakat
senantiasa hidup dalam ketidak pastiaan. Oleh karena itu, beberapa kelompok
penduduk kota Yatsrib berinisiatif menemui Nabi Muhamad Saw. Yang terkenal
dengan sifat al-amin (terpercaya) untuk memintanya agar menjadi pemimpin
mereka. Mereka juga berjanji akan selalu menjaga keselamatan diri nabi dan para
pengikutnya serta ikut memelihara dan mengembangkan ajaran Islam Nabi Muhammad
Saw berhijrah dari kota Makkah ke kota Yatsrib sesuai dengan perjanjian,di kota
yang bertanah subur ini, Rasulallah Saw disambut dengan hangat serta diangkat
sebagai pemimpin penduduk kota Yatsrib.
Sejak
saat itu kota Yatsrib berubah nama menjadi kota Madinah. Madinah merupakan
negara yang baru terbentuk yang tidak memiliki harta warisan sedikit pun.Oleh
karena itu Rasulullah harus memikirkan jalan untuk mengubah keadaan secara
perlahan-lahan dengan mengatasi berbagai masalah utama tergantung pada faktor
keuangan. Dalam hal ini strategi yang di lakukan oleh Rasulallah adalah dengan
melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Membangun
Masjid
Setibanya di kota Madinah,tugas pertama
yang di lakukan oleh Rasulallah Saw.adalah mendirikan masjid yang merupakan
asas utama dan terpenting dalam pembentukan masyarakat Muslim. Rasulullah
menyadari bahwa komitmen terhadap system, akidah dan tatanan Islam baru akan
tumbuh dan berkembang dari kehidupan sosial yang dijiwai oleh semangat yang
lahir dari aktivitas masjid. Kaum muslim akan sering bertemu dan berkomunikasi
sehingga tali ukhuwwah dan mahabah semakin terjalin kuat dan kokoh.
2.
Merehabilitas
Kaum Muhajirin
Setelah mendirikan masjid tugas
berikutnya yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah memperbaiki tingkat
kehidupan sosial dan ekonomi kaum Muhajirin (penduduk Makkah yang
berhijrah ke Madinah). Kaum muslimin yang melakukun hijrah pada masa ini
berjumlah sekitar 150 keluarga baik yang sudah tiba di Madinah maupun yang
masih dalam perjalanan dan berada dalam kondisi yang memprihatinkan karena
hanya membawa sedikit perbekalan di kota Madinah.
Sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka.
Sumber mata pencaharian mereka hanya bergantung pada bidang pertanian dan pemerintah belum mempunyai kemampuan untuk memberikan bantuan keuangan kepada mereka.
3.
Membangun
Konstitusi Negara
Setelah mendirikan masjid dan
mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar tugas berikutnya yang di
lakukan Rasulullah Saw adalah menyusun konstitusi negara yang menyatakan
tentang kedaulatan Madinah sebagai sebuah negara. Dalam konstitusi negara
Madinah ini, pemerintah menegaskan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab
setiap warga Negara baik Muslim maupun non-Muslim, serta pertahanan dan
keamanan negara.
Sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
setiap orang di larang melakukan sebagai aktivitas yang dapat mengganggu
stabilitas kehidupan manusia dan alam.
4.
Meletakan
Dasar-Dasar Sistem Keuangan Negara
Setelah melakukan berbagai upaya
stabilitas di bidang sosial, politik serta pertahanaan dan keamanan negara,
Rasulallah meletakan dasar-dasar sistem keuangan negara sesuai dangan
ketentuan-ketentuan Al Qur’an,seluruh paradigma berpikir di bidang ekonomi
serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam di hapus dan di gantikan dengan paradigma baru yang sesuai dengan
nilai-nilai Qurani, yakni persaudaran, persamaan, kebebasan dan keadilan.
·
Sistem
Ekonomi
Seperti di Madinah merupakan negara yang baru
terbentuk dengan kemampuan daya mobilitas yang sangat rendah dari sisi
ekonomi.Oleh karena itu,peletakan dasar-dasar sistem keuangan negara yang di
lakukan oleh Rasulallah Saw.merupakan langkah yang sangat signifikan,sekaligus
berlian dan spektakuler pada masa itu,sehingga Islam sebagai ssebuah agama dan
negara dapat brkembang dengan pesat dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani.Alqur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya,termasuk di bidang ekonomi.Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi, Dalam pandangan Islam,kehidupan manusia tidak bisa di pisahkan menjdai kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah,melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan,bahkan setelah kehidupan dunia ini,Dengan kata lain,Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
Sistem ekonomi yag di terapkan oleh Rasulallah berakar dari prinsip-prinsip Qur’ani.Alqur’an yang merupakan sumber utama ajaran Islam telah menetapkan berbagai aturan sebagai hidayah (petunjuk) bagi umat manusia dalam aktivitas di setiap aspek kehidupannya,termasuk di bidang ekonomi.Prinsip Islam yang paling mendasar adalah kekuasan tertinggi hanya milik Allah semata dan manusia diciptakan sebagai khalifah-Nya di muka bumi, Dalam pandangan Islam,kehidupan manusia tidak bisa di pisahkan menjdai kehidupan ruhiyah dan jasmaniyah,melainkan sebagai satu kesatuan yang utuh yang tidak terpisahkan,bahkan setelah kehidupan dunia ini,Dengan kata lain,Islam tidak mengenal kehidupan yang hanya memikirkan materi duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat.
·
Sistem
Keuangan Dan Pajak
Sebelum Nabi Muhamad s.a.w diangkat
sebagai rasul dalam masyarakat jahilyah sudah
terdapat lembaga politik semacam dewan
perwakilan rakyat untuk ukuran masa itu
yang disebut Darun Nadriah. Di dalamnya para tokoh
Mekkah berkumpul dan bermusyawarah untuk
menentukan suatu keputusan etika dilantik sebagai
rasul mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu
yaitu darul arqam. Perkembangan lembaga ini
terkendala karena banyaknya tantangan dan
rintangan sampai akhirnya Rasulullah memutuskan
untuk hijrah ke Madinah. Ketika beliau hijrah
ke Madinah maka yang pertama kali didirikan
Rasulullah adalah Masjid (Masjid Quba). Yang bukan saja merupakan tempat
beribadah tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau
masuk ke Madinah dan membentuk “lembaga”persatuan di antara para
sahabatnya yaitu persaudaraan antara kaum
Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini di ikuti
dengan pembangunan mesjid lain yang lebih
besar (Mesjid nabawi) yang kemudian yang menjadi
sentral pemerintah.
Untuk selanjutnya pendirian
(lembaga) dilanjutkan dengan penertiban pasar.
Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar
yang baru yang khusus untuk kaum muslimin.
Karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah
dan harus berjalan dengan sunatullah. Demikian
halnya dalam penentuan harga dan mata uang tidak
ada satupun bukti sejarah yang menunjukan bahwa
nabi Muhamad membuat mata uang sendiri.
Pada tahun-tahun awal
sejak dideklarasikan sebagai sebuah negara, Madinah hampir tidak memiliki
sumber pemasukan ataupun pengeluaran negara. Seluruh tugas
negara dilaksanakan kaum musimin secara bergotong royong dan
sukarela. Mereka memenuhi kebutuhan hidup diri
dan keluarganya sendiri. Mereka memperoleh pendapatan
dari bebagai sumber yang tidak terikat.
Tidak hanya masa sekarang
saja adanya sumber anggaran negara semisal pajak,
zakat, kharaj dsb tetapi di Madinah juga pada
masa rasulullah sudah ada yang namanya
sumber anggaran pendapatan negara semisal pajak,
zaka, kharaj dsb.
Pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang di fardhukan oleh Alloh kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Dimana Alloh telah menjadikan seorang imam sebagai pemimpin bagi mereka yang bisa mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan objek-obyek tertentu.
Pajak (dharibah) itu sebenarnya merupakan harta yang di fardhukan oleh Alloh kepada kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. Dimana Alloh telah menjadikan seorang imam sebagai pemimpin bagi mereka yang bisa mengambil harta dan menafkahkannya sesuai dengan objek-obyek tertentu.
Dalam mewajibkan pajak
tidak mengenal bertambahnya kekayaan dan
larangan tidak boleh kaya dan untuk
mengumpulkan pajak tidak akan memperhatikan ekonomi
apapun. Namun pajak tersebut dipungut semata
berdasarkan standar cukup. Tidak hanya harta yang
ada di baitul mal, untuk memenuhi seluruh
keperluan yang dibutuhkan sehingga pajak
tersebut di pungut berdasarkan kadar
kebutuhan belanja negara. Karakteristik pekerjaan
masih sangat sederhana dan tidak memerlukan perhatian penuh.
Rasulullah sendiri adalah seorang kepala
negara yang merangkap sebagai ketua
mahkamah agung, mufti besar, panglima perang tertinggi,
serta penanggungjawab seluruh administrasi negara.
Ia tidak memperoleh gaji dari negara atau
masyarakat, kecuali hadiah-hadiah kecil yang pada
umumnya berupa bahan makanan. Majelis syura
terdiri dari para sahabat terkemuka yang
sebagian dari mereka bertanggung jawab
mencatat wahyu. Pada tahun keenam hijriah, sebuah
sekretariat sederhana telah dibangun dan
ditindak lanjuti dengan pengiriman duta-duta
negara ke berbagai pemerintahan dan kerajaan.
Demikianlah adanya
sumber pendapatan negara semisal sistem keuangan dan
pajak yang ada pada masa
rasulullah yang dapat menjadikan kaum
muslimin bisa hidup sejahtera. Tanpa adanya
permsuhan dan kesenjangan sosial subhanalloh
begitu menakjubkan sekali ditengah kesederhanaannya
tetapi bisa menjadikan seluruh kaum
muslimin bisa menjalankan aktivitas perekonomian
dengan tidak mengesampingkan rasa ukhuwah mereka.
·
Sumber
Pendapatan dan Pengeluaran Negara
a.
Sumber
pendapatan
1)
Uang
tebusan untuk para tawanan perang ( hanya khusus pada perang Badar, pada perang
lain tidak disebutkan jumlah uang tebusan tawanan perang ).
2)
Pinjaman-pinjaman
( setelah penaklukan kota Mekkah ) untuk pembayaran uang pembebasan kaum
muslimin dari Judhayma/ sebelum pertemuan Hawazin 30.000 dirham ( 20.000 dirham
menurut Bukhari ) dari Abdullah bin Rabia dan pinjaman beberapa pakaian dan
hewan-hewan tunggangan dari Sufyan bin Umaiyah ( sampai waktu itu tidak ada
perubahan ).
3)
Khums
atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum islam.
4)
Amwal
fadillah yaitu harta yang berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal
tanpa ahli waris, atau berasal dari barang-barang seorang muslim yang
meninggalkan negrinya.
5)
Wakaf
yaitu harta benda yang didedikasikan oleh seorang muslim untuk kepentingan agama
Allah dan pendapatnya akan disimpan di Baitul mal.
6)
Nawaib
yaitu pajak khusus yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya raya dalam
rangka menutupi pengeluaaraan negera selama masa darurat.
7)
Zakat
fitrah
8)
Bentuk
lain sedekah seperti hewan qurban dan kifarat. Kifarat adalah denda atas
kesalahan yang dilakukan oleh seorang muslim pada saat melakukan kegiatan
ibadah.
9)
Ushr
10)
Jizyah
yaitu pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim.
11)
Kharaj
yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah khaibar
ditakhlukkan.
12)
Ghanimah
13)
Fa’i
b.
Sumber-sumber
pengeluaran
1)
Biaya
pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan.
2)
Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak
menerimanya menurut ketentuan Al-Qur’an, termasuk para pemungut zakat.
3)
Pembayarnan gaji untuk wali, qadi, guru, imam,
muadzin, dan pejabat negara lainnya.
4)
Pembayaran upah para sukarelawan.
5)
Pembayaran utang negara.
6)
Bantuan untuk musafir.
7)
Bantuan untuk orang yang belajar agama di
Madinah.
8)
Hiburan untuk para delegasi keagamaan.
9)
Hiburan untuk para utusan suku dan negera
serta perjalanan mereka.
10)
Hadiah untuk pemerintah negara lain.
11)
Pembayaran untuk pembebasan kaum muslim yang
menjadi budak.
12)
Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh
secara tidak sengaja oleh para pasukan kaum muslimin.
13)
Pembayaran utang orang yang meninggal dalam
keadaan miskin.
14)
Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.
15)
Tunjangan untuk sanak saudara
Rasulullah.
16)
Pengeluaran rumah tangga Rasulullaah Saw. (
hanya sejumlah kecil, 80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya
).
17)
Persediaan darurat.
·
Zakat
dan Ushr
1)
Zakat
Yaitu nama harta tertentu, dalam bentuk khusus/cara tertentu yang dimanfaatkan bagi sekelompok orang yang khusus pula. Hukum zakat wajib ain bagi tiap muslim.
Yaitu nama harta tertentu, dalam bentuk khusus/cara tertentu yang dimanfaatkan bagi sekelompok orang yang khusus pula. Hukum zakat wajib ain bagi tiap muslim.
Definisi lain dari zakat adalah harta yang
diwajibkan disisihkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh
orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
I.
Macam-macam
zakat
a.
Zakat
Fitrah
Yaitu
zakat yang dikeluarkan tiap bulan ramadhan untuk memenuhi kewajiban dirinya
sendiri, dan mereka yang menjadi beban nafkahnya (mereka yang beragama Islam).
b.
Zakat
Mal
Yaitu zakat harta yang harus dikeluarkan ketika penghasilannya
sudah mencapai nisab.
II.
Pada
masa Rasulullah Saw, zakat dikenakan pada hal-hal berikut :
1.
Benda
logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, perhiasan atau dalam
bentuk lainnya.
2.
Benda
logam yang terbuat dari perak seperti koin, perkakas, perhiasan, atau dalam
bentuk lainnya.
3. Binatang
ternak, seperti unta, sapi, domba, dan kambing.
4. Berbagai jenis
barang dagangan, termasuk budak dan hewan.
5. Hasil
pertanian,temasuk buah-buahan.
III.
Nisab
dari zakat diatas :
1. Zakat untuk
domba,sapi dan unta secara berurutan adalah 40 domba,30 sapi, dan 5 unta.
2. Zakat hasil
pertanian yang berupa gandum , kurma adalah lima warq atau sekitar 847
kilo per tahun.
3. Nisab uang dalam
bentuk emas dan perak adalah dua puluh dinar dan dua ratus dinar, sementara nilainya
adalah setengah dinar/lima dinar.
IV.
Delapan
golongan yang wajib menerima zakat yaitu :
1.
Fakir
Yaitu orang yang memiliki harta, namun kebutuhan hidup mereka lebih banyak ketimbang harta yang mereka miliki.
Yaitu orang yang memiliki harta, namun kebutuhan hidup mereka lebih banyak ketimbang harta yang mereka miliki.
2.
Miskin
Yaitu orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai sumber pemasukan.
Yaitu orang yang tidak memiliki harta dan tidak mempunyai sumber pemasukan.
3.
Zakat
Yaitu orang yang bekerja mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
Yaitu orang yang bekerja mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
4.
Mu’allaf
Yaitu orang yang baru masuk islam.
Yaitu orang yang baru masuk islam.
5.
Riqab
Yaitu orang-orang (budak-budak berlian) yang telah dibebaskan dengan uang tebusan.
Yaitu orang-orang (budak-budak berlian) yang telah dibebaskan dengan uang tebusan.
6.
Gharim
Yaitu orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu melunasi hutang-hutangnya.
Yaitu orang yang mempunyai hutang dan tidak mampu melunasi hutang-hutangnya.
7.
Fisabilillah
Yaitu orang-orang yang berjuang dijalan Allah.
Yaitu orang-orang yang berjuang dijalan Allah.
8.
Ibnu
Sabil
Yaitu musafir yang kehabisan bekal.
2)
Ushr
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak(ushr) jual beli(maqs). Ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan) merupakan pendapatan yang paling utama dan penting. Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi.
Ushr dibebankan kepada suatu barang hanya sekali dalam setahun. Seorang Taghlibi datang ke wilayah islam untuk menjual kudanya. Setelah dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir, kuda tersebut bernilai 20.000 dirham.Oleh karena itu, Zaid memintanya untk membayar 1000 dirham (5%) sebagai ushr.
Pos pengumpulan ushr terletak di berbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota.
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak(ushr) jual beli(maqs). Ushr (zakat atas hasil pertanian dan buah-buahan) merupakan pendapatan yang paling utama dan penting. Besarnya adalah sepuluh persen dari nilai barang atau satu dirham untuk setiap transaksi.
Ushr dibebankan kepada suatu barang hanya sekali dalam setahun. Seorang Taghlibi datang ke wilayah islam untuk menjual kudanya. Setelah dilakukan penaksiran oleh Zaid, seorang asyir, kuda tersebut bernilai 20.000 dirham.Oleh karena itu, Zaid memintanya untk membayar 1000 dirham (5%) sebagai ushr.
Pos pengumpulan ushr terletak di berbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota.
·
BAITUL
MAL
Baitul mal adalah
lembaga khusus yang mengenai harta yang
di terima negara dan mengalokasikan bagi
kaum muslim yang berhak menerimanya.
Rosulullah mulai melirik permasalahan ekonomi dan keuangan negara setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional di madinah pada masa awal hijriah.
Rosulullah mulai melirik permasalahan ekonomi dan keuangan negara setelah beliau menyelesaikan masalah politik dan urusan konstitusional di madinah pada masa awal hijriah.
Pertama kalinya berdirinyya baitul
mal sebagai sebuah lembaga adalah setelah
turunnya firman ALLAH SWT di Badr seusai
perang dan saat itu sahabat berselisih tentang ghonimah: ”Mereka
( para sahabat) akan bertaanya kepadamu
(Muhammad) tentang anfal, katakanlah bahwa anfal
itu milik ALLAH dan Rosul, maka bertaqwalah
kepada ALLAH dan perbaikilah hubungan diantara sesamamu
dan taatlah kepada ALLAH dan RosulNya jika
kalian benar-benar beriman”. (QS. AL-ANFAL : 1)
Pada masa Rosulullah Saw Baitul mal terletak di masjid Nabawi yang ketika itu digunakakan sebagai kantor pusat negara serta tempat tinggal Rosulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul mal akan tetapi binatang- binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.
Pada zaman Nabi baitul mal belum merupakan suatu tempat yang khusus, hal ini disebabkan harta yang masuk pada saat itu belum begitu banyak dan selalu habis dibagikan kepada kaum muslim, serta dibelanjankan untuk pemeliharaan urusan negara. Baitul mal belum memiliki bagian- bagian tertentu dan ruang untuk penyimpanan arsip serta ruang bagi penulis. Adapun penulis yang telah diangkat nabi untuk mencatat harta antara lain;
Pada masa Rosulullah Saw Baitul mal terletak di masjid Nabawi yang ketika itu digunakakan sebagai kantor pusat negara serta tempat tinggal Rosulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan negara tidak disimpan di baitul mal akan tetapi binatang- binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.
Pada zaman Nabi baitul mal belum merupakan suatu tempat yang khusus, hal ini disebabkan harta yang masuk pada saat itu belum begitu banyak dan selalu habis dibagikan kepada kaum muslim, serta dibelanjankan untuk pemeliharaan urusan negara. Baitul mal belum memiliki bagian- bagian tertentu dan ruang untuk penyimpanan arsip serta ruang bagi penulis. Adapun penulis yang telah diangkat nabi untuk mencatat harta antara lain;
1.
Maiqip
Bin Abi Fatimah Ad-Duasyi sebagai penulis
harta ghonimah.
2.
Az-Zubair
Bin Al- Awwam sebagai penulis harta zakat.
3.
Hudzaifah
Bin Al- Yaman sebagai penulis harga
pertanian di daerah Hijas.
4.
Abdullah
Bin Rowwahah sebagai penulis harga hasil
pertanian daerah khaibar.
5.
Al-Mughoirah
su’bah sebagai penulis hutang- piutang dan
iktivitaas muamalah yang dilakukan oleh
negara.
6.
Abdullah
Bin Arqom sebagai penulis urusan masyarakat
kabila- kabilah termasuk kondisi pengairannya.
Namun semua pendapatan
dan pengeluaran negara pada masa Rosulullah
tersebut belum ada pencatatan yang maksimal.
Keaadaan ini karena berbagai alasan:
1.
Jumlah
orang Islam yang bisa membaca dan menulis
sedikit.
2.
Sebagian
besarr bukti pembayaran dibuat dalam bentuk
yang sederhana.
3.
Sebagian
besar zakat hanya didistribusikan secara lokal.
4.
Bukti
penerimaan dari berbagai daerah yang berbeda
tidak umum digunakan.
5.
Pada
banyak kasus, ghonimah digunakan dan
didistribusikan setelah peperangan tertentu.
B.
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Masa Klasik.
·
Al-Ghazali
Panggilan,
Laqob atau gelar Al-Ghazali Zain ad Diin ath Thusy adalah Hujjatul Islam atau
Hujjatul Islam Abu Hamid. Lahir pada tahun 450 H / 1058 M. Tepatnya pertengahan
abad ke lima Hijriah, dan wafat pada tahun 505 H / 1111 M, tepatnya pada
tanggal 14 Jumadil Ats Tsani, hari senin di Thus, sebuah kota di Khurasan
(Iran) tempat kelahirannya.
Dibawah ini adalah pemikiran tentang
ekonomi menurut Al-Ghazali, yaitu:
1.
Asal Usul Uang (Nature of Money)
Sejarah perkembangan uang menurut
Al-Ghazali, dimulai dari barter (al-Mufawwadah) hingga pada
penggunaan logam mulia, yaitu : emas (al-Dzahab) dan Perak (al-Fidzah).
a.
Sistem
Barter (barter system)
Barter
(al-Mufawwadah) dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan
barang. Melakukan kegiatan tukar menukar barang dengan jalan "tukar
ganti" (Muqayyadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan
orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan. Sebelum
pertukaran dengan uang berkembang , barang-barang diperdagangkan dengan barter
ini.
Menurut Marilu
Hurt, barter adalah pertukaran barang dengan barang : telor dengan buah,
kain dengan keranjang, dan lembu (sapi) dengan bulu.
Menurut
Al-Ghazali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan
bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau
jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka
pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukar barang dengan barang yang
dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata uang tidak ada, yakni seperti
halnya mata uang sekarang.
Pada dasarnya
system barter terbatas pada beberapa jenis barang saja. Tetapi lama kelamaan
setelah masyarakat mengenal spesialisasi, cara barter semakin tidak sesuai
lagi, karena sulit sekali untuk menemukan pihak lain yang kebetulan sekaligus,
yakni :
1) Mempunyai barang
yang sama yang dibutuhkan
2) Membutuhkan apa
yang kita tawarkan
3) Dengan nilai yang
kira-kira sama atau dapat dibandingkan
4) Bersedia
menukarkannya
Sehingga system barter tersebut
perlu direvisi, Al-Ghazali kemudian menganjurkan membentuk supaya ada lembaga
keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan percetakan uang tersebut.
Dan lembaga keuangan sekaligus pencetak uang yang disebut Dar al-Darb
(lembaga percetakan). Berfungsi sebagai aktivitas moneter terpusat, guna
mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.
b.
Uang
Barang (Commodity Money)
Al-Ghazali
secara tegas mengatakan bahwa pakaian, makanan, binatang dan barang-barang
sejenis lain dapat ditukarkan seperti halnya fungsi uang. Oleh karena itu,
hakikat uang barang atau commodity money adalah barang-barang yang dipergunakan
untuk transaksi barter[8]. Dalam pandangan Al-Ghazali, setiap manusia
membutuhkan akan barang-barang, makanan, pakaian dan kebutuhan-kebutuhan
lainnya. Akan tetapi keterbatasan mereka untuk memiliki semuanya; sehingga apa
yang dia punya ditukar dengan milik orang lain.
Oleh karena itu,
uang barang (Commodity Money) sebagai pengganti dari penggunaan system barter
merupakan generalisasi dari barang-barang yang telah disepakati umum untuk
dipakai. Misalnya pisau pernah digunakan sebagai mata uang di Cina. Barang yang
dijadikan (difungsikan) sebagai uang syaratnya harus mudah dipakai, dibawa,
serta umum menjadi suatu kebutuhan
c.
Uang
Logam
Gagasan
Al-Ghazali dengan teori evaluasi uangnya dapat memberikan gambaran jelas
tentang terjadinya perpindahan (transformasi) dari system perekonomian (transaction)
barter menuju perekonomian yang menggunakan system mata uang logam, yaitu dinar
dan dirham.
2. Fungsi Uang (function
of Money)
Menurut Al-Ghazali fungsi uang
hanya sebagai :
1.
Medium
of Exchange (for transaction)
2.
Unit
of Account
Menurut Pemikiran konvensional
fungsi uang sebagai berikut :
1.
Medium
of Exchange (satuan alat tukar)
2.
Unit
of Account (satuan pengukur)
3.
Store
of value (penyimpan nilai)
Medium of
Exchange uang
menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain,
sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi. Uang dalam liquiditasnya dapat
memudahkan sebagai alat untuk pembayaran dalam semua bentuk transaksi.
Unit of Account uang sebagai
pengukur terhadap pertukaran dari barang lain, misalnya : untuk mengetahui
apakah 5 buah baju sama dengan 1 kue ? Al-Ghazali juga mengatakan, " Uang
itu seperti cermin, cermin tidak mempunyai warna tetapi dapat merefleksikan
warna". Uang tidak memiliki harga tetapi uang dapat
merefleksikan semua harga.
·
Fungsi
uang berdasarkan pemikiran konvensional :
Store of Value yang merupakan
konsekuensi logis dari pengakuan teori konvensional terhadap adanya motif
money demand for speculation, islam secara tegas menolak fungsi tersebut.
Islam hanya memperbolehkan uang dipergunakan untuk transaksi dan untuk
berjaga-jaga, namun menolak penggunaan uang untuk motif spekulasi. Al-Ghazali
mengingatkan, "memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang.
Jika banyak uang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat
berfungsi sebagai uang".
·
Abu Yusuf
Ya’qub
bin Ibrahim bin habib bin Khunais bin Sa’ad Al- Anshari Al- Jalbi Al-Kufi
Al-Bagdadi, atau yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di kufah pada
tahun 113 h (731 M) dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M).
dari nasib ibunya, ia masih mempunyai hubungan darah dengan salah seorang
sahabat Rasulullah Saw, Sa’ad Al- Anshari. Abu Yusuf menimba berbagai ilmu
kepada banyak ulama besar, seperti Abu Muhammad atho bin as-saib Al-kufi,
sulaiman bin Mahram Al-a’masy, hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrahman bin
abi Laila, Muhammad bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah.
Selain itu, ia juga menuntut ilmu kepada Abu Hanifah. Beberapa karya tulisnya
yang terpenting adalah al jawami’, ar-radd’ala syar al-auza’I, al-atsar,
ikhtilaf abi hanifah wa ibn abi laila, Adab al-Qadhi, dan al-Kharaj.
Dibawah ini pemikiran ekonomi dari Abu
Yusuf, yaitu:
Dengan latar belakang sebagai seorang
fuqaha beraliran ahl ar-Ra’yu, Abu Yusuf Cenderung memaparkan berbagai
pemikiran Ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului
dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap al-Qur’an, hadist Nabi, atsar
Shahabi, serta praktik para penguasa yang shalih. Landasan pemikirannya,
seperti yang telah disinggung, adalah mewujudkan kemaslahatan umum. Pendekatan
ini membuat berbagai gagasannya lebih relevan dan mantap.
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf
adalah dalam masalah keungan public. Dengan daya observasi dan analisisnya yang
tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa
kebijakan yang harus diadobsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat. Terlepas dari berbagai prinsip perpajakan dan pertanggungjawaban Negara
terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang
cara-cara memperoleh sumber pembelanjaan untuk pembangunan jangka panjang
sperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar
dan kecil.
1.
Negara dan
Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas
utama penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia
selalu menekankan pentingnya memenuhi kebutuan rakyat dan mengembangkan
berbagai proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum. Dengan mengutip
pernyataan Umar bin Khattab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa adalah
mereka yang memerintah demi kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa
adalah mereka yang memerintah tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan.
Abu Yusuf menyatakan bahwa Negara bertanggungjawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek public, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh Negara.
Namun demikian, Abu Yusuf managaskan bahwa jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tetentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Abu Yusuf menyatakan bahwa Negara bertanggungjawab untuk memenuhi pengadaan fasilitas infrastruktur agar dapat meningkatkan produktifitas tanah, kemakmuran rakyat serta pertumbuhan ekonomi. Ia berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan proyek public, seperti pembangunan tembok dan bendungan, harus ditanggung oleh Negara.
Namun demikian, Abu Yusuf managaskan bahwa jika proyek tersebut hanya menguntungkan suatu kelompok tetentu, biaya proyek akan dibebankan kepada mereka sepantasnya. Pernyataan ini tampak telihat ketika ia mengomentari proyek pembersihan kanal-kanal pribadi.
Persepsi Abu Yusuf tentang
pengadaan barang-barang public muncul dalam teori konvensional tentang keuangan
public. Tori konvensional mengilustrasikan bahwa barang-barang social yang
bersifat umum harus disediakan secara umum oleh Negara dan dibiayai oleh
kebijakan anggaran. Akan tetapi, jika manfaat barang-barang public tersebut
diinternalisasikan dan mengonsumsinya berlawanan dan mungkin menghalangi pihak
yang lain dalam memanfaatkan proyek tersebut, maka biaya akan dibebankan secara
langsung.
Siddiqi membahas hal-hal ini
bersamaan dengan penekanan Abu Yusuf atas pekerjaan umum terutama sarana
irigasi dan jalan-jalan raya. Ia juga mendesak penguasa untuk mengambil
tindakan-tindakan lain guna menjamin kemajuan pertanian.
Siddiqi mencatat bahwa komentar singkat Abu Yusuf mengenai hubungan antara penyediaan barang dan harganya tidak membahasnya cukup mendalam, dan nasehatnya kepada penguasa yang menentang pengawasan harga, tidak diiringi dengan pembahasan menyeluruh mengenai permasalahan tersebut.
Siddiqi mencatat bahwa komentar singkat Abu Yusuf mengenai hubungan antara penyediaan barang dan harganya tidak membahasnya cukup mendalam, dan nasehatnya kepada penguasa yang menentang pengawasan harga, tidak diiringi dengan pembahasan menyeluruh mengenai permasalahan tersebut.
Dalam hal pertanian, lebih jauh
Abu Yusuf cenderung menyetujui bila negara mengambil bagian dari hasil yang
dilakukan oleh para penggarap daripada menarik sewa dari lahan pertanian yang
digarap. Prinsip-prinsip yang jelas tentang pajak yang berabad-abad kemudian
dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai ‘canons of taxation’. Banyak sudut dalam
perpajakan yang menurut beliau akhirnya dijadikan sebagai prinsip yang harus
dijalankan. Akan tetapi, Abu Yusuf menentang keras pajak pertanian. Ia
menyarankan supaya petugas pajak diberi gaji. Tindakan mereka harus selalu
diawasi untuk mencegah terjadinya penyelewengan-penyelewengan seperti korupsi
dan praktek penindasan.
Farid mengemukakan, bahwa Abu Yusuf adalah seorang yang tulus dan baik hati dan sungguh-sungguh menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Inilah bentuk simpati Abu Yususf dan keinginan yang tulus yang beliau coba sampaikan kepada para penguasa. Pemenuhan pelayanan publik, dalam cakupan inilah beliau mendesak para penguasa yang merupakan bagian dari titik tekan pemikirannya yaitu tanggung jawab negara. Pemikiran-pemikiran yang diilhami oleh semangat keislaman ini sangat dihargai Maududi. Jelasnya, kontribusi besar dalam menetukan kewajiban-kewajiban penguasa, status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.
Farid mengemukakan, bahwa Abu Yusuf adalah seorang yang tulus dan baik hati dan sungguh-sungguh menginginkan terhapusnya penindasan, tegaknya keadilan dan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Inilah bentuk simpati Abu Yususf dan keinginan yang tulus yang beliau coba sampaikan kepada para penguasa. Pemenuhan pelayanan publik, dalam cakupan inilah beliau mendesak para penguasa yang merupakan bagian dari titik tekan pemikirannya yaitu tanggung jawab negara. Pemikiran-pemikiran yang diilhami oleh semangat keislaman ini sangat dihargai Maududi. Jelasnya, kontribusi besar dalam menetukan kewajiban-kewajiban penguasa, status Baitul Maal, prinsip-prinsip perpajakan dan hubungan pertanian kondusif untuk kemajuan sosial.
2.
Teori Perpajakan
Dalam hal perpajakan Abu Yusuf
telah meletakkan prinsip-prinsip yang jelas yang berabad-abad kemudian dikenal
oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan membayar,
pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi pembuatan
keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang ditekankannya.
Subjek utama Abu Yusuf adalah
perpajakan dan tanggung jawab ekonomi dari Negara. Sumbanganya terletak pada
pembuktian keunggulan pajak berimbang terhadap system pungutan tetap atas
tanah, keduanya ditinjau dari segi pandangan dan keadilan. Dalam pembahasannya
ia juga menunjuk pada lain-lain peraturan perpajakan, kemampuan untuk membayar,
suatu pertimbangan untuk memudahkan para wajib pajak dalam menentukan waktu
pungutan dan caranya serta pemusatan pengambilan keputusan dari administrasi
pajak.
3.
Mekanisme Harga
Berbeda dengan pemahaman saat itu
yang berangapan bila tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan
sebaliknya, Abu Yusuf menyatakan, tidak ada batasan tetentu tentang murah dan
mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya
tidak bisa diketahui. Murah bukan karena melimpahnya makanan,demikian juga
mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan
Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah, tetapi tetap mahal dan kadang-kadang
makanan sangat sedikit tetapi murah. (Abu Yusuf, kitab al-kharaj Beirut: Dar
al-Ma’rifah,1979, hlm.48 ).
Dari pernyataan tersebut, Abu
Yusuf tampknya menyangkal pendapat umum mengenai hubungan terbalik antara
penawaran dan harga. Pada kenyataannya, harga tidak bergantung pada penawaran
saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan permintaan. Karena itu peningkatan
atau penurunan harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan
produksi. Abu Yusuf menegaskan bahwa ada vareabel lain yang mempengaruhi,
tetapi dia tidak menjelaskan secara rinci. Bisa jadi, vareabel itu adalah
pergeseran dalam permintaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu negara,
atau penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Patut dicatat
bahwa Abu Yusuf menuliskan teorinya sebelum Adam Smith menulis The Wealth Of
Nation.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai vareabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobsevasinya terhadap perubahan penawaran uang. Namun pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
Karena Abu Yusuf tidak membahas lebih rinci apa yang disebutkannya sebagai vareabel lain, ia tidak menghubungkan fenomena yang diobsevasinya terhadap perubahan penawaran uang. Namun pernyataannya tidak menyangkal pengaruh dari permintaan dan penawaran dalam penentuan harga.
Abu Yusuf tercatat sebagi ulama
terawal yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memerhatikan
peningkatan dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Fenomena
yang terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka
harga cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka
harga cenderung untuk turun atau lebih rendah. Dengan kata lain, pemahaman pada
zaman Abu Yusuf tentang hubungan antara harga dan kuantitas hanya memerhatikan
kurva Demand. Fenomena umum inilah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf.
Poin controversial dalam
anallisis ekonomi Abu Yusuf ialah pada masalah penngendalian harga (tas’ir). Ia
menentang penguasa yang menetapkan harga. Argumennya didasarkan pada hadist
Rasulullah SAW. “Pada masa Rasulullah SAW; harga-harga melambung tinggi. Para
sahabat mengadu kepada Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan
harga. Rasulullah SAW bersabda, tinggi rendahnya harga barang merupakan bagian
dari ketentuan Allah, kita tidak bias mencampuri urusan dan ketetapanNya”. Penting
diketahui, para penguasa pada periode itu umumnya memecahkan masalah kenaikan
harga dengan menambah supply bahan makanan dan mereka menghindari control
harga. Kecenderungan yang ada pada dalam pemikiran ekonomi islam adalah
membersihkan pasar dari praktek penimbunan, monopoli, dan praktek korup
lainnya, dan kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan
penawaran. Abu Yusuf tidak dikecualikan dalam hal kecenderungan ini.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat
ditarik kesimpulan:
1.
Pada
masa Rasulullah, sistem ekonomi yang diberlakukan adalah sistem ekonomi yang
telah di syariatkan dalam Islam.
2.
Sistem
ekonomi di zaman rasulullah sangat kompleks dan sempurna meskipun pada masa
setelahnya tetap dilakukan perbaikan.
3.
Jenis-jenis
kebijakn baik pendapatan dan pengeluaran keuangan di masa Rasulullah lebih
terfokus pada masa perang dan kesejahteraan rakyat. Tidak seperti saat ini
bahwa kebijakan-kebijakan ekonomi lebih difokuskan pada pencarian keuntungan.
4.
Al-Ghazali
berkesimpulan bahwa menggunakan uang sebagaimana yang disyariatkan agama, yakni
dengan cara bermuamalah yang baik adalah salah satu dari bentuk syukur nikmat.
Sebaliknya, jika tidak maka ia berbuat dzalim, bahkan menjadi pengikar (kufur
nikmat).
5.
Pemikiran
Abu Yusuf diatas memperlihatkan perhatiannya yang besar pada sistem
perekonomian yang semakin berkembang. Dan mengedapankan nilai-nilai moral dan
sosial yang merupakan salah satu implementasi dari pemahaman keislaman yang
begitu mendalam.
B.
Saran
1.
Dari
pengkajian yang telah dilakukan diharapkan kita mau lebih memahami tentang
salah satu sistem aturan yang ada dalam agama kita yaitu sistem ekonomi Islam
yang terbukti mampu mengatasi permasalahan ekonomi yang kompleks ditengah-tengah
masyarakat.
2.
Para
pembaca dan juga penulis mau melibatkan diri dalam pengkajian ekonomi Islam dan
juga memiliki kepercayaan diri untuk menyerukan ekonomi Islam di tengah-tengah
masayarakat.
3.
Pemerintah
dan seluruh aktivis pendidikan harusnya memfasilitasi siapapun untuk mengkaji
ekonomi Islam lebih dalam. Terlebih lagi saat ini banyak kalangan yang sudah
melirik pada ekonomi alternatif (Islam), sebagai pengganti sistem ekonomi
Kapitalis yang sudah menampakkan kehancurannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar